Pages

Kamis, 24 Juni 2010

ANDJING BELANDA

Asap rokok itu mengepul. Satu per satu keluar dari mulut yang menghembuskannya. Seperti anak yang baru lahir dia tumbuh dari kecil hingga membesar kemudian menghilang dan seterusnya begitu. Seisi ruangan penuh oleh asap yang terus direproduksi. Tatapan mata tajam tersingkap dari balik asap. Seperti hendak mencari mangsa tatapan itu terus memperhatikan gerak wajah orang di hadapannya yang kebetulan juga merokok.

Dalam ruangan persegi empat dengan latar belakang tembok berwarna coklat krem disertai dengan penerangan lampu remang-remang yang tergantung menjulur dari langit-langit, kedua orang yang berada di dalamnya saling duduk berhadap-hadapan dengan media sebuah meja jati coklat berbentuk kotak lebar. Di atas meja itu tersusun rapi beberapa data dan tumpukan buku. Asap rokok dari keduanya pun juga demikian.

“Jadi, bagaimana keputusan Anda sekarang?” tanya si perokok satu yang terlihat memakai baju militer berwarna hijau toska polos dengan jahitan bendera merah putih di lengan kanannya. Wajahnya yang coklat oval serta berkumis memang terlihat begitu serius ketika mengeluarkan pertanyaan itu bahkan sebelum itu keluar raut serius memang sudah ditampilkannya mengingat ia adalah seorang perwira militer. Di depannya ini juga bukan orang biasa sepertinya. Dengan tatapan yang sama tajam, bentuk muka kotak dan berpadu dengan mata yang terkesan sipit dan memakai sebuah seragam loreng hijau abu-abu dengan sebuah badge bergambar anjing hitam berlatar oranye di lengan kanannya. Terlihat juga ia adalah seorang perwira militer. Dari balik tatapan mata tajamnya tersimpan pikiran di kepalanya yang tampak bimbang dan belum bisa menjawab.

Sudah sekitar dua jam mereka berada di ruangan tersebut. Ruangan yang diluarnya dijaga oleh dua pasukan TNI dengan senapan laras panjang. Di luarnya lagi ada beberapa pasukan yang siap siaga dengan beberapa persenjataan seperti senapan, pistol, granat, dan juga meriam. Beberapa senjata yang sepertinya ditujukan untuk perlawanan dan pertahanan diri dari serangan musuh yang memakai tank dan pesawat tempur dan musuh mereka adalah Belanda yang memang sedang giat-giatnya melancarkan agresi militer untuk merebut kembali tanah jajahannya yang sebenarnya secara de facto sudah merdeka, Indonesia.

Beberapa jam sebelumnya sekitar 10 kilometer dari markas tentara ini terjadi tembak-menembak antara kedua belah pihak. Pertempuran tersebut terjadi di sebuah bukit. Pertempuran ini sebenarnya tidak disengaja. Pihak TNI yang sedang giat berpatroli tanpa diduga bertemu dengan pihak Belanda yang juga demikian. Tanpa banyak kata kedua-duanya melancarkan serangan. Senapan berentet, perluru mendesing, darah bercucuran dimana-mana, dan granat ikut serta juga menambah ketegangan. Pihak Belanda yang memang persenjataannya lebih canggih walaupun terdesak masih saja bisa meminta bantuan udara. Maka datanglah beberapa pesawat tempur seperti spitfire dan katty hawk menguing-nguing lalu menembakkan senapan yang terpasang di kedua sayap. Beberapa pihak TNI terkena namun ada juga yang berhasil menghindar dengan tiarap dan bersembunyi di balik pepohonan rindang. Ketika pesawat-pesawat itu menghilang mereka pun muncul dari persembunyian meninggalkan medan pertempuran dengan serta merta membawa sang komandan tentara Belanda yang berhasil ditangkap.

Komandan ini wajahnya seperti pribumi dan ketika ditangkap ia disumpahi serapah oleh beberapa anggota TNI dan warga di sekitar markas dengan sebutan “Andjing Belanda”. Kemudian ia yang diikat kedua tangannya dibawa menghadap Kolonel Sardjono, komandan yang bertugas di markas tersebut. Nama komandan Belanda pribumi itu adalah Jan Alberts Soputan. Ia lalu menceritakan tentang dirinya di hadapan Kolonel Sardjono.
***
Andjing Belanda. Memang aku andjing Belanda seperti yang kalian bilang. Jujur, aku tak peduli dengan sebutan itu sebab yang kukerjakan adalah demi kejayaan Koninkrijk der Nederlanden di dunia ini. Namaku Jan Alberts Soputan dan asalku dari Minahasa, Celebes. Keluargaku termasuk penganut Protestan taat dan juga mempunyai status gelijkgesteld dan hampir semua orang di Minahasa mempunyai status tersebut. Kenapa kami bisa mendapatkan status tersebut? Itu dikarenakan loyalitas kami terhadap Belanda yang memang pada awalnya sempat menghancurkan kampung kami dalam sebuah perang. Tetapi, toh itu tak aku pedulikan sama sekali. Setelah perang itu pun orang-orang di Minahasa malah diberi kesempatan hidup dalam berbagai bidang setelah dibaptis menjadi Protestan terutama dalam pendidikan dan olahraga. Bahkan Belanda yang terkesan dengan daya tempur kami yang pantang menyerah malah memberi kesempatan kepada kami untuk masuk ke dalam satuan tempurnya yang bernama KNIL.

Kami bersama dengan beberapa orang-orang Ambon dan Jawa ditempatkan dalam kesatuan elit KNIL, marsose untuk melawan orang-orang Aceh yang terkenal licin. Namun, toh kelicinan itu bisa diimbangi dengan semangat pantang menyerah orang-orang Minahasa. Mereka bersembunyi di sebuah tempat yang tak bisa dijangkau oleh orang-orang Belanda malah bisa kami jangkau sebab kami tahu medan persis medan tersebut.
Kakekku, Pieter Willem Soputan yang pertamakali menjadi orang dalam keluarga kami masuk dalam KNIL. Semasa menjadi KNIL kehidupan keluarga kami menjadi bahagia apalagi setelah status gelijkgesteld itu kami dapatkan langsung dari pemerintah Belanda bersama dengan yang lainnya. Kami jauh sekali dari kata diskriminasi. Tak ada larangan ini-itu di sekitar kami. Keluarga kami benar-benar seperti orang Belanda. Hampir setiap hari kami ikuti kebiasaan Belanda dan berbicara bahasa Belanda. Selain kakekku, adik dari kakekku juga mendapatkan hal yang sama. Ia malah bisa bersekolah di fakultas hukum Leiden dan kemudian tinggal di Belanda dan menikahi wanita Belanda. Bahkan bibiku juga dinikahi seorang pengusaha swasta Belanda.

Imbasnya juga sampai kepada ayahku. Akan tetapi ia tak mengikuti jejak kakekku. Ia lebih memilih menjadi pedagang yang pro-Belanda. Jadi, aku dibesarkan dalam lingkungan pedagang yang pro-Belanda dan sikap itu memang sudah ditanamkan sejak kecil. Ketika aku sudah berada di dunia dalam usia mendekati 7 tahun aku langsung dimasukkan ke sekolah Belanda dan lihat teman-temanku kebanyakan orang-orang Eropa. Karena warna kulitku yang putih sama dengan mereka serta tingkah lakuku yang sudah seperti orang Eropa, tak pernah mereka menanyakan aku ini dari mana dan apa mempunyai status gelijkgesteld. Begitu juga saat aku mencoba mengikuti jejak kakekku, tak pernah juga si inspektur pendaftar menanyai hal tersebut dan bahkan tak ada keraguan dalam dirinya mengenai aku saat aku menyebut nama.

Karena status itu keluarga kami menjadi sombong dan itu menular pada diriku. Kami merendahkan mereka yang tidak seperti kami. Mereka itu adalah para pribumi yang terlihat nasibnya begitu mengenaskan dan selalu menjadi babu atau jongos. Pernah aku yang sedang berada di sebuah restoran untuk makan bersama teman-temanku terkejut ketika salah seorang jongos menumpahkan air ke bajuku. Dengan bahasa Belanda aku marahi dan aku maki dia dengan beberapa umpatan seperti aap dan zwart. Teman-temanku malah tertawa-tawa dan terkadang mereka berujar, “Bagus, Jan! Pukul saja! Dia itu memang tidak beradab!” Babu itu hanya bisa bilang, “Maaf, Tuan, saya tidak sengaja,” Tetapi, aku tak peduli dan kemudian datang pemilik restoran yang juga ikut meminta maaf dan kemudian membawa babu itu entah kemana. Kata temanku ia akan disiksa karena lalai. Tetapi, apa pedulinya aku.

Saat masuk KNIL tugas kami sebenarnya tak lebih dari menghancurkan para pribumi yang mencoba melawan Belanda. Tetapi, aku ingin tertawa saja dalam hati karena dalam kenyataannya aku melawan mereka para pribumi yang rendah itu yang hanya bersenjatakan pisau dan parang. Senjata macam apa itu? Sudah sejak lama keluargaku meninggalkan yang seperti itu dan hanya berguna ketika di dapur atau memotong tebu. Tentu saja itu tidak efektif dibandingkan pistol serta senapan. Jadi, dengan senjata seperti itu saja mereka pun di lapangan tak mampu melawan kami yang senjatanya boleh dibilang membanggakan. Selain pistol dan senapan ada juga panser untuk membuat mereka kacau-balau. Kalau keadaannya seperti ini terus tentu saja Belanda tak akan bisa dilawan.

Saat di KNIL juga selain bertugas dari pangkat awal opsir kemudian naik hingga menjadi letnan kolonel aku juga merasakan berbagai kenikmatan. Dengan status gelijkgesteld yang kusandang, bukanlah hal yang sulit juga untuk bisa menikmati tubuh putih wanita-wanita Belanda. Mereka ternyata sama kuatnya dengan lelakinya dan kuakui aku terkesan. Mereka sebaliknya juga demikian terhadap diriku bahkan aku karenanya mempunyai seorang terlacur kesukaanku bernama Renata yang kemudian aku jadikan kekasih. Sebenarnya mengenai hal ini aku agak ragu mengingat aku dari keluarga penganut Protestan yang taat. Namun, temanku yang mengajakku terus memaksaku seraya berkata “Cobalah sekali-kali. Nanti, minggu bisa ditebus,” Aku yang awalnya ragu akhirnya mau juga. Selain itu, aku mulai mencoba-coba merokok yang ternyata pada akhirnya begitu nikmat.

Aku menjalin hubungan dengan Renata hanya sampai ketika Jepang datang. Renata mengikuti temannya untuk segera ke Eropa padahal di sana sudah berkobar perang dan bahkan Belanda yang memang negaraku malah berhasil diduduki Nazi Jerman. Katanya ia di sana bersama dengan orang-orang Belanda lainnya bergabung dengan gerakan bawah tanah melawan pendudukan Jerman. Awalnya, aku tak bisa menerima jika ia ingin pergi. Namun, aku harus rela melepasnya sebab ia merasa berhutang ingin membalaskan dendam kepada Jerman yang telah menghabiskan keluarganya. Sedangkan aku harus menghadapi serbuan Jepang bersama tentara KNIL yang lainnya. Kali ini pangkatku sudah kolonel.

Awalnya aku dan beberapa teman-temanku meremehkan kemampuan Jepang. Alasannya, mereka adalah orang-orang Asia yang bertubuh pendek dan pasti berotak kecil. Jika dengan keadaan fisik yang seperti itu tentulah mereka kalah walau sebelum perang mereka berhasil mengalahkan Rusia di Tsushima dan mendapatkan persamaan hak dengan orang-orang Eropa, tetap saja aku tidak yakin. Apalagi peralatan tempur mereka yang terlihat kecil kebanyakan adalah barang bekas yang dimodifikasi dan tentu tak akan mampu bersaing dengan peralatan tempur yang kami punya.

Namun, setelah penyerangan mendadak Pearl Harbour dan beberapa pertempuran di Filipina, Semenanjung Melayu serta Indochina menunjukkan mereka bukan lawan sembarangan. Mereka begitu cekatan dan karena itu pula kami menganggapnya sebagai lawan serius. Lima jam setelah Pearl Harbour diserang, Hindia-Belanda dalam keadaan mencekam seusai pidato mendadak yang singkat dari Gubernur Jenderal Tjarda. Aku yang sedang menikmati liburan di Bandung bersama Renata mendadak esok harinya dipanggil juga ke Batavia untuk mempersiapkan pasukan. Renata terlihat kecewa tetapi ia juga memaklumi. Maka, sebelum meninggalkan dia kutitipkan ia di sana pada temanku. Beberapa hari kemudian dia mendatangiku di Batavia untuk pamitan pulang ke Belanda.

Sehubungan dengan serangan Jepang, beberapa amunisi baru didatangkan seperti pesawat dan tank. Namun, ternyata itu tak ada artinya. Selain terlambat juga tidak cukup karena Jepang mengandalkan kekuatan tempurnya juga dari lautan. Secara mendadak dibentuklah ABDACOM untuk mengimbangi dan pada saat itu aku dan yang lainnya sesaat tersadar betapa selama ini ada kesalahan pada diri kami karena hanya bergantung pada prinsip defentie grondslagen. Namun, bagiku itu sangat terlambat. Semua sudah harus dihadapi.

Ketika Jepang hendak menguasai Hindia-Belanda, ia terlebih dahulu menghadapi kekuatan laut yang memagari Hindia Belanda. Namun, karena kurang kompak dan koordinasi satu per satu hancur dan tenggelam di Laut Jawa. Kemudian Jepang berhasil menguasai beberapa daerah di Jawa. Ketika di Jawa pun yang kemudian dikuasai adalah Banten dan sebelumnya kekuatan udara Jepang berhasil memporak-porandakan pangkalan laut Surabaya. Pergerakan seperti itu yang membuat kami di Batavia terus waspada karena beberapa KNIL di daerah berhasil ditangkap setelah menyerah. Siang-malam aku tak bisa tidur dan terus-terusan mempersipakan dan memobilisasi pasukan begitu juga yang lainnya. Semua meriam, panser, dan senapan mesin di belakang kami yang berjaga di obyek-obyek penting. Gubernur Jenderal tetap berada di kediamannya di Buitenzorg. Jika Batavia jatuh maka habislah juga Buitenzorg.

Jepang pun datang dengan iring-iringan pesawat tempur terlebih dahulu dan mulai menembakkan tembakan ke arah pasukan di bawah dan membom . Hal tersebut dibalas dengan rentetan tembakan dari senapan dan meriam. Semua terdengar di mana-mana. Cucuran darah muncrat dan mengalir. Bahkan ketika pasukan Jepang datang dari arah Tanjung Priok mereka terlihat dengan gagah menenteng senapan plus bayonet di depan. Mereka memang terlihat kecil seperti ayam kate tetapi itu bukan penghalang mereka. Orang-orang Belanda yang berbadan tinggi saja bisa mereka lawan dan mereka habisi. Kami pun terdesak. Aku yang dalam keadaan seperti itu bersama yang lainnya menyingkir ke pinggiran Batavia yang masih berupa hutan lebat. Batavia pun jatuh dan kemudian Gubernur-Jenderal tertangkap. Di hutan kami bertahan beberapa hari lalu mendapatkan kabar bahwa akan ada pemberangkatan ke Australia melalui Sukabumi. Tentu itu bukanlah tempat yang jauh namun sekarang menjadi jauh karena jalur jalan utama dan jalur kereta sudah pasti dikuasai Jepang. Maka, kami putuskan melalui hutan. Setelah berjalan dua hari dua malam sampailah kami di dermaga kecil di Sukabumi yang jauh dari pantauan Jepang. Dengan sebuah kapal sedang kami berangkat ke Australia. Meninggalkan Hindia-Belanda untuk sejenak dan berharap bisa kembali untuk merebutnya lagi.

Selama Perang, KNIL dibubarkan dan digantikan NICA yang berkedudukan di Australia. Selama di Australia untuk menyambung hidupku aku menjadi kuli pelabuhan pada pagi hingga siang dan sore hingga malam administrasi di NICA. Di tempat yang sepi oleh perang inilah aku mendapat kabar bahwa Renata tewas oleh pasukan Nazi Jerman setelah tertangkap dalam sebuah aksi penyerbuan mendadak. Tentu saja aku sedih mendengarnya karena diriku takkan pernah menemuinya lagi. Padahal ketika ia hendak pulang ke Belanda, ia berjanji akan kembali menemuiku dan berkomitmen untuk menjadi istriku. Sayang, semua menjadi berantakan. Aku terus teringat wajahnya yang terakhir kali kulihat saat di Tanjung Priok. Wajah yang begitu sedih, penuh tekad, dan juga tersenyum. Ia bahkan yang menyemangatiku untuk terus berjuang mempertahankan Hindia-Belanda demi kejayaan Koninkrijk der Nederlanden. Akibat kematian Renata aku sempat depresi sebelum akhirnya temanku menyadariku bahwa ada yang lebih penting ketika nanti perang berakhir: merebut kembali Hindia-Belanda.
Perang berakhir setelah tragedi bom atom. Tentu kami sangat senang dan bergembira. Sebuah strategi disiapkan untuk merebut Hindia-Belanda kembali. NICA kemudian dibubarkan namun tetap dipakai ketika pendaratan kembali bersama tentara sekutu yang dipimpin Inggris. Beberapa hari setelah perang di sebuah radio Australia, tiba-tiba kudengar sebuah pidato singkat dalam bahasa Melayu yang menyatakan bahwa ada sebuah negara merdeka yang bernama Indonesia dan itu berada di Hindia-Belanda dan diakhir pidato singkat berjudul “proklamasi” itu dibacakan juga nama: Soekarno-Hatta. Tentu saja aku tak menerima. Itulah yang kurasakan ketika pidato itu selesai dibacakan. Aku marah dan muak. Aku langsung berujar bahwa Hindia-Belanda bukan Indonesia dan Hindia-Belanda masih milik Belanda. Persetan dengan pribumi!
Menjelang keberangkatan kembali ke Hindia-Belanda dengan semangat menggebu oleh pimpinan NICA aku kembali diaktifkan menjadi kolonel dan bersamaan dengan itu KNIL dihidupkan kembali. Dari Sydney kami berangkat dan mendarat di Surabaya yang tetap saja terik. Suasana berbeda kudapatkan di sana. Di sepanjang jalan di kota itu dari pelabuhan menuju markas kami coret-coretan di tembok dalam bahasa Melayu dan Inggris begitu mencolok. Intinya coret-coretan itu meminta merdeka. Selain itu beberapa pemuda juga terus meneriakkan kata-kata tersebut sambil membawa beberapa bendera berwarna merah-putih dan senapan yang sepertinya rampasan Jepang. Dalam hati aku muak melihatnya dan ingin menghabisi saja mereka. Sesampainya di markas kami yang juga dipenuhi beberapa orang gurkha, pimpinan militer Inggris meminta kepada beberapa prajuritnya untuk bertindak hati-hati dalam menginternir beberapa tentara Jepang sebab di sini telah berdiri sebuah negara namun de facto.

Selama di Surabaya beberapa konflik antara pasukan sekutu dan pemuda terjadi. Kedua-duanya saling baku tembak. Tentu saja aku tak mau melewatkan kesempatan ini. Dengan ingin mencari perhatian para pemuda yang sepertinya gampang tersulut emosinya aku tembakkan senapanku ke beberapa tembok rumah warga dan juga ke coretan-coretan merdeka yang kemudian juga kuludahi. Tentu saja mereka panik dan berhamburan. Para pemuda itu dengan beberapa senjata keluar dan kemudian mengarahkan senapan rampasan mereka ke truk patroli tentara sekutu. Konflik pun pecah. Aku yang berada di belakang terlihat begitu senang dengan sesekali menembakkan senapanku ke arah mereka.
Karena sering konflik, pemerintah komando sekutu meminta para pemuda mengumpulkan senjatanya beserta bendera merah putih atau tidak Surabaya akan digempur. Tentu saja mereka ogah. Akibatnya muncullah sebuah pertempuran dahsyat. Surabaya digempur dari berbagai arah. Namun, rupanya membutuhkan 6 minggu untuk menaklukkan Surabaya dan tidak seperti perkiraan awal. Para pemuda yang gampang tersulut emosinya itu rupanya nekat juga menghadang artileri berat sekutu yang lumayan canggih walau akhirnya mereka mati dengan darah bersimbah di Surabaya yang tetap terik. Sayang, aku tak di sana ketika kejadian karena keburu ditarik ke tempat lain di Banyumas.
Di tempat ini kami membangun sebuah markas baru dengan bantuan orang-orang Inggris. Namun, pembangunan ini juga ada hambatannya yaitu serangan membabi-buta para pribumi bersenjata. Walaupun mereka berhasil diatasi namun serangan berikutnya datang kembali. Sekitar tahun 1946-1948 aku akhirnya mendapatkan kesempatan pertama kalinya ke Belanda untuk mendapatkan pendidikan militer di Breda. Negara itu memang dingin dan karenanya pakaian tebal selalu menyelimuti tubuhku. Selama di sana pula aku melihat keadaan Belanda yang hancur akibat perang dan juga munculnya gerakan anti penjajahan dari beberapa mahasiswa. Kulihat beberapa di antara mereka ada terdapat orang-orang pribumi. Dalam hati aku berkata, pasti orang-orang ini yang memotori aksi ini. Sialan!. Lalu aku berkata lagi, memangnya kalian dijajah? Aku saja tidak merasa!

Akhir 1948 bersama dengan beberapa prajurit Belanda lainnya aku berangkat kembali menuju Hindia-Belanda dalam sebuah aksi polisionil yang kedua. Akan tetapi, orang-orang pribumi di Hindia-Belanda tidak mengatakan demikian namun menyebutnya agresi militer. Memang aksi yang kami lakukan adalah untuk mengamankan namun juga untuk memberantas mereka-kaum republik pembangkang. Setibanya di Hindia-Belanda yang masih tegang, aku diperintakan panglimaku untuk menempati sebuah markas di dekat Malang yang kebetulan basis aman dan bukan daerah tentara republik. Namun, walau begitu kewaspadaan tetap harus ada karena kini mereka mengadakan sistem gerilya.

Lima hari kemudian aku mengadakan patroli pertamaku. Dengan dua jip Willis dan beberapa pasukan di dalamnya kami berpatroli sambil ditemani pemandangan yang begitu indah di kiri dan kanan. Pemandangan tersebut berupa bukit dan pohon-pohon rindang. Namun, di balik keindahan itu rasa waspada harus tetap dipegang karena bisa saja tentara republik menyerang.

Entah sudah beberapa kilometer jalan kami lalui dan keadaan aman-aman saja. Maka dari itu aku putuskan untuk kembali ke markas. Namun, belum sempat untuk kembali tiba-tiba di depan kami muncul serombongan tentara republik. Tentu saja kami terkejut. Mereka yang melihat kami segera berkata “Belanda! Serang!” Rentetan senapan pun tak tertahankan. Beberapa yang tidak siap pun terkena peluru dan tewas. Beberapa lagi merunduk di dekat jip dan di balik pepohonan dan tumbuh-tumbuhan membalas serangan. Aku yang berada di depan segera menyingkir dari jip dan mulai menembakkan pistolku. Beberapa tentara republik pun jatuh tertembak. Begitu juga kami. Pertempuran terlihat imbang dan sepertinya kami terdesak. Karena itulah aku dengan cekatan aku ambil radio komunikasi di mobil untuk meminta bantuan udara di antara desingan peluru dan teriakan kematian. Beberapa menit kemudian bantuan datang. Pesawat-pesawat itu menembaki posisi tentara republik. Beberapa tewas dan beberapa membalas.

Kemudian keadaan menjadi sepi kembali ketika iring-iringan pesawat meninggalkan pertempuran. Aku yang sedari tadi merunduk lalu berdiri. Aku lihat semua anakbuahku tewas bergelimpangan di jip dan tanah. Dalam hati aku berujar, brengsek! Tunggu pembalasanku. Setelah menyingkirkan yang tewas di jip aku nyalakan jip. Aku harus kembali ke markas untuk menyiapkan strategi balasan. Namun, belum sempat aku ingin menjalankan roda sebuah todongan pistol berada di belakang tengkukku. Aku terkejut dan sebuah suara berada di belakangku, “Angkat tangan Anda, Meneer,” Kuangkat tanganku perlahan. Lalu ia berseru kepada kawan-kawannya, “Kalian ikat dia!”
Beberapa orang dan rupanya dari tentara republik yang tersisa mengikat tangan dan kakiku lalu menaruh aku di belakang jok. Tadi beberapa dari mereka sempat berkata padaku,

“Ada andjing Belanda rupanya,” ujarnya ketika melihat perawakanku yang walau berwajah putih tetapi fisik seperti pribumi.
“Pasti dari Ambon atau Minahasa. Orang-orang yang seperti ini yang tidak tahu diri. Senang bangsanya dijajah!” ujar temannya menimpali.
“Iya, dan orang-orang ini yang kelakuannya begitu sok karena menjadi andjing Belanda. Seharusnya kita kirim saja dia ke neraka!” ujar temannya yang lain ikut menanggapi lalu yang satu lagi berkata,
“Jangan! Kita lihat saja nanti dia nanti mau kita apakan,”
Kemudian jip tempat mengikat diriku berjalan disusul jip lainnya. Aku sepintas melihat beberapa anakbuahku yang bergelimpangan di jalanan disingkirkan ke pinggir jalan. Selama perjalanan itu aku sempat berteriak-teriak kepada mereka,
“Apa yang kalian inginkan dari aku? Uangkah? Tenang saja. Aku akan beri. Tetapi, lepaskan aku dulu!”
Mereka tak menggubris.
“Kalian para pribumi bajingan! Kalian memang tidak beradab! Cepat lepaskan aku! Ingat tidak ada yang namanya Indonesia! Tetapi Hindia-Belanda! Hidup Belanda!”
Tiba-tiba saja salah seorang tentara republik menoleh sambil menorehkan pistol dengan tatapan tajam,
“Kau juga pribumi kan, bung! Tetapi, kau malah berkhianat! Kau sama bajingannya dengan Belanda!”
Lalu aku balas,
“Aku bukan Pribumi! Aku Belanda!”
“Sekali lagi kau bicara,” Tiba-tiba saja lagi pistol dimasukkan ke mulutku, “Ini akan menghajarmu, andjing Belanda!”
Aku pun terdiam akhirnya.
Di markas tentara republik aku langsung dibawa ke sebuah ruangan dengan iring-iringan cacian dari mereka yang terlihat kesal kepadaku,
“Bakar saja andjing Belanda! Dia sudah membunuh keluargaku!” seru seseorang dengan emosional.
Seorang perwira dengan baju hijau toska duduk di depan meja ketika aku dibawa masuk oleh dua tentara ke ruangan. Ia tampak tersenyum melihatku.
“Lapor, Pak,” kata salah satu tentara yang membawaku, “Ini adalah salah satu tentara musuh yang berhasil kami tangkap saat patroli tadi,”
“Terimakasih, Gus,” kata si perwira memanggilnya Gus, “Sekarang kalian berdua kembali ke pos kalian masing-masing. Buat strategi baru. Ingat, kita tetap harus waspada!”
“Siap, Pak!” kata mereka berdua dengan sigap, “Laksanakan!”
Mereka berdua lalu meninggalkan ruangan. Kini tinggal aku berdua dengan si perwira.
“Anda merokok?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk. Ia lalu menyodorkan rokok beserta koreknya. Aku lalu hisap rokok itu. Begitu nikmat. Begitu juga dia. Ia lalu memperkenalkan dirinya,
“Saya Kolonel Sardjono, komandan di markas ini,”
Ia lalu menyuruhku memperkenalkan namaku. Setelah kuperkenalkan ia tampak sedikit terkejut,
“Oh, Anda dari Celebes rupanya dan sama-sama kolonel kita ini,”

Dan ia kemudian tertawa. Kolonel Sardjono kemudian menceritakan dirinya bahwa ia adalah tentara bekas PETA dan sebelumnya pernah menjadi Seinendan ketika masa pendudukan Jepang. Setelah Jepang tiada, ia bersama mantan PETA yang lain bergabung dengan BKR yang kemudian berubah menjadi TNI. Setelah itu ia menyuruhku menceritakan tentang diriku. Sambil menghembus rokok aku bercerita panjang-lebar dan kemudian…

“Banyak sekali mantan KNIL mau bergabung dengan TNI setelah negara ini terbentuk. Anda pasti tahu Oerip Soemohardjo?”
“Ya, saya tahu,” kataku singkat.
“Kenapa lantas Anda tidak bergabung sama kami?” tanyanya kembali
“Buat apa saya bergabung, Pak? Saya ini orang Belanda bukan Pribumi. Jadi, saya berbeda dengan kalian semua!” ujarku emosional.
“Yang Belanda itu kan cuma identitas Anda saja tetapi kelakuan dan fisik sama seperti Pribumi!”
“Siapa bilang? Kelakuan saya dan juga fisik sama seperti Belanda. Saya orang Minahasa selalu loyal kepada Belanda!”
Ucapanku yang rada emosional itu hanya ditanggapi dengan tenang dan sedikit tertawa. Orang ini membuatku ingin menghabisinya saja. Namun, jika aku habisi selanjutnya nyawaku yang akan melayang. Jadi, kutahan saja.
“Saya punya dua penawaran untuk Anda,” ucapnya kemudian dengan rokok yang kemudian ditaruh di asbak. Ia lalu menggerakkan jari-jarinya untuk menunjukkan sebuah gestur,
“Pertama, bergabunglah dengan kami jika Anda ingin terus hidup,”
“Memang jika tidak bergabung saya mati? Begitu?” tanyaku emosional,
“Ya, Anda akan mati. Itu pilihan kedua. Jika Anda memilih itu saya akan menyiapkan pasukan untuk mengeksekusi Anda di hadapan para prajurit saya sebagai pelajaran bahwa berkhianat bukan jalan terbaik!”

Sialan! Diam-diam orang yang terlihat ramah di depanku ini begitu menekan di belakangnya. Bisa-bisanya ia mengajukan dua hal yang cukup sulit bagiku untuk mengatakan “saya pilih yang pertama atau yang kedua” Sebuah opsi hidup-mati. Aku berpikir jika aku memilih opsi pertama berarti aku telah mengkhianati keluargaku, Renata, Sri Ratu, Pangeran Oranje yang itu semua aku khianati negaraku dan rasanya itu adalah sebuah penghinaan bagi diriku sendiri karena bergabung dengan mereka yang telah menjadi musuhku lalu akan menjadi kawanku. Jika aku pilih opsi kedua tentu aku akan mati. Tetapi, aku belum mau mati. Masih banyak kesenangan dunia yang belum kudapat. Lagipula aku takut mati. Benar-benar sialan!
“Jadi, bagaimana keputusan Anda sekarang?” tanya kolonel Sardjono dan dia terus menterntirku.
Kini aku benar-benar bingung harus memilih yang mana? Aku sungguh tak punya daya lagi untuk memilih.





Selasa, 22 Juni 2010

Paralel

Aku berjalan ke sebuah tempat
Aku ingin mencari suatu hal
Tentang kehidupanku, perasaanku, dan semua dalam realitaku
Aku hanya berpikir untuk bisa lepas dari semua
Terkadang memang apa yang kita harapkan adalah bawah sadar
Terkadang bawah sadar itu hanya menjadi angan-angan
Kecewa mungkin…marah iya…
Suara serapah sering muncul bila semua adalah kontras

Dia berjalan ke sebuah tempat
Dia ingin mencari suatu hal
Tentang kehidupannya, perasaannya, dan semua dalam realitanya
Dia hanya berpikir untuk bisa merangkul semua
Terkadang memang apa yang kita harapkan adalah bawah sadar
Terkadang bawah sadar itu tidak selalu menjadi angan-angan
Bahagia mungkin…senang iya…
Suara pujian sering muncul bila semua bukanlah paradoks

Aku memang heran dengan sifatnya
Sungguh menyenangkan hidupnya
Tak pernah sepertinya ia menyesalinya
Rasa syukur dan puji selalu dikumandangkannya

Dia memang heran dengan sifatku
Seperti tak menyenangkan hidupnya
Selalu baginya aku menyesal tak pernah henti
Sumpah serapah dan umpatan selalu saja keluar deras

Akan tetapi apakah itu aku
Yang tampak bahagia dengan apa yang ada
Senyumannya selalu muncul dari bibirnya

Akan tetapi apakah itu aku
Yang tampak selalu nihil kebahagiaan
Tak pernah ada senyuman yang tergaris

Kami hanya saling pandang
Akukah kau itu dalam panorama yang begitu hijau
Kaukah aku itu dalam pemandangan yang tampak kelam



Senin, 21 Juni 2010

Inikah Jakarta

Katakan wahai kawan
Terdampar dimanakah aku
Begitu banyak tanya menghantuiku
Tak satu pun bisa tahu

Katakan wahai kawan
Jika kau memang tahu
Siapa hendak kirim aku ke sini
Aku sungguh tak bisa mengerti

Inikah Jakarta kawan
Jakarta yang kauagung-agungkan itu
Jakarta yang megah-megahkan itu

Tetapi sungguh aku tak bisa mengerti
Apa yang harus aku lakukan
Dalam diam aku hanya bisa berharap
Mengapa aku ada di sini

Inikah Jakarta kawan
Ibukota dari segala ibukota
Yang kau bilang dia adalah raja
Tapi nyatanya aku malah jadi yang diraja

Minggu, 20 Juni 2010

Ma...keluar!!!

“Ma, kok sempit amat sih?” Tanya Rika pelan kepada ibunya yang berada di sampingnya. Si ibu lalu menoleh ke Rika dan melihat di depannya begitu banyak orang yang berdiri menghadap ke depan jendela sambil berpegangan pada pegangan yang terpasang di atas jendela tersebut. Mereka berdiri tampak berdesak-desakkan.
Ibunya hanya menjawab,


“Bentar ya, nak, sedikit lagi sampai,”


Rika, bocah perempuan umur 10 tahun sungguh tak mengerti kenapa sekarang ia bersama ibunya duduk dengan pemandangan yang sungguh tidak mengenakkan dan menyesakkan. Di samping kiri dan kanan mereka juga duduk orang-orang. Ada yang tampak diam saja sambil memandang pemandangan di depan. Ada yang tidur atau malah membaca koran. Itulah pemandangan yang tersaji dalam sebuah gerbong kereta api.


Hari sudah semakin sore. Tetapi, kepadatan dalam kereta api belum juga menghilang. Malah yang ada semakin padat. Rika tampak cemberut melihat situasi ini sementara ibunya yang mengetahui hal tersebut mencoba membelai rambutnya yang hitam memanjang. Di tengah-tengah kepadatan itu masih saja ada pedagang yang hilir-mudik memaksa masuk ke dalam kerumunan orang-orang. Keadaan pun menjadi semakin padat dan pengap. Bau keringat dan bau ketiak orang-orang yang sehabis pulang kerja atau para lelaki yang sehabis pulang entah dari mana serta bau wangi dari para wanita yang hendak kerja malam bercampur jadi satu dan jadi aroma-aroma penanda. Tak satu pun yang ingin mengeluh apalagi berteriak. Terkadang di tengah-tengah itu juga terdengar suara tangis anak bayi atau balita yang tidak tahan dengan pengapnya ruangan dan suara itu berusaha ditenangkan. Lampu di dalam gerbong sudah menyala dari tadi tetapi tetap saja kepadatan tidak berkurang.


Rika yang masih cemberut lalu bergumam, uh, nggak enak naik keretanya. Penuh. Kok nggak kaya di luar negeri sih. Ibunya terus membelainya.


“Ma, nggak tahan nih mau keluar,” rengek Rika kembali.
“Sabar ya, nak. Bentar lagi sampai,” ibunya hanya bisa menjawab seperti itu.


Kereta yang mereka tumpangi terus melaju melewati jalan dan kampung serta sungai. Satu per satu stasiun disinggahi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Akan tetapi penumpangnya semakin membludak. Dan semakin sempit. Terlihat untuk bergerak saja sudah susah karena banyak manusia yang berdiri di seluruh gerbong.


“Kita mau turun dimana sih?” Tanya Rika lagi, “Kok lama amat?”
Tak ada jawaban dari ibunya yang sepertinya sudah lelah menanggapinya. Ia pun jadi kesal.
Kereta terus saja melaju dan tiba-tiba saja berhenti mendadak. Seluruh penumpang kaget dan hilang keseimbangan. Beberapa di antara mereka ada yang sempat menyinggung Rika.
“Mama, Rika mau keluar!” rengeknya lagi, “Rika mau keluar!”
“Bentar ya, nak pokoknya sedikit lagi sampai,” jawab ibunya seperti itu-itu juga.
“Gak mau, mama,” kata Rika terus merengek, “Pokoknya Rika mau keluar!”
“Ya sudah,” kata ibunya kini bernada kesal, “Keluar saja kamu sendiri! Begini aja kamu ribut! Kaya anak kecil aja!”


Rika terdiam. Beberapa penumpang melihat mereka. Ia pun tambah cemberut lagi tetapi ibunya segera membelainya kembali.


“Anaknya mau keluar, bu?” Tanya seseorang tiba-tiba di sampingnya, “Memang ibu mau turun di mana?”
“Di Sawah Besar, Pak,” jawab si ibu, “Maaf, kalau anak saya mengganggu,”
“Wajar kok, bu, anak kecil,” kata si orang itu, “Masih 4-5 stasiun lagi,”
Kereta lalu berhenti. Si orang itu lalu beranjak dari duduknya,
“Saya duluan, bu,”


Ia lalu menerobos kerumunan dan berhasil keluar. Si ibu lalu melihat ia dan anaknya sekarang di mana. Di luar tergantung papan warna biru bertuliskan MANGGARAI. Si ibu lalu bergumam, oh, sekarang di Manggarai. Kata bapak itu tadi 4-5 stasiun lagi. Tetapi, ia ragu dan kemudian bertanya kepada seseorang di depannya,


“Maaf, pak, abis ini stasiun apa?”
“Cikini, bu,” jawab orang itu.
“Sawah Besar dimana ya?”
“Masih jauh, bu,”


Kereta lalu berangkat kembali untuk meneruskan perjalanan. Sekarang sudah jam 18.15. Sudah melewati senja. Tetapi, kepadatan masih saja ada. Si ibu pun kembali terdiam sambil menghitung beberapa stasiun yang sudah dilewati dan Rika tetap cemberut. Ketika ia merasa sudah mau mencapai tujuannya, ia bertanya kembali ke orang di depannya,


“Maaf, pak, apa ini mau berhenti di Sawah Besar?”
“Kira-kira begitu, bu,” katanya, “Ibu mau turun?”
“Iya,” jawabnya.
“Sebaiknya ibu segera ke pintu. Nanti ibu nggak bisa turun,”
Si ibu lalu bersama Rika bangkit dari tempat duduknya yang kemudian terisi kembali. Di depan mereka begitu banyak badan manusia menghadang dan ini sudah seperti menerobos hutan di malam hari. Mereka tampak kesulitan menerobos dan akhirnya terdiam sampai ada yang melihat mereka,


“Mau turun, bu?”


Ia segera berpindah tempat perlahan dan mempersilahkan si ibu dan Rika turun. Yang di depan mereka juga begitu.


“Bentar, bu, ya,” kata seseorang di depannya.
Beberapa menit kemudian kereta berhenti dan tepat pada saat itu beberapa orang berhamburan keluar termasuk mereka dengan sedikit didorong. Si ibu sedikit kaget begitu juga Rika.


“Mama, pokoknya Rika nggak mau lagi naik kereta api!” rengeknya setelah itu, “Rika maunya naik bis!”
“Iya, iya lain kali naik bis,” kata si ibu mengiyakan. Mereka lalu berjalan dan di depan terpampang papan yang tergantung bertuliskan SAWAH BESAR. Fuh, akhirnya sampai juga, gumam si ibu lega.


Ketika turun ke bawah berjejerlah banyak tukang makanan dan minuman.
“Kamu lapar?” tanyanya pada Rika.


“Iya nih, lapar,” jawab Rika.
“Makan yuk,” ajaknya.
Rika hanya mengangguk.
Mereka berdua kemudian ke sana dan makan di salah satu tukang makanan.
“Nak, maafin mama ya tadi. Pokoknya mama janji deh nggak ngajak kamu naik kereta lagi,”
“Benar ya?”
“Iya, benar? Tapi kamu mau kan maafin mama,”
“Mau,”
“Ya udah sekarang terusin makannya,”
Mereka lalu tertawa-tawa. Suasana pun kembali cair di tengah dinginnya malam dan ramainya suara masakan serta kendaraan yang hilir-mudik.



Sabtu, 19 Juni 2010

SEBULAN

Bagiku sebulan adalah sebuah penghabisan pertama dari sebuah bulan dalam tiap tahun. Ketika mendengar kata sebulan seperti keharusan berpuasa aku rasakan itu begitu lama apalagi jika berlibur dari aktifitas rutin dalam waktu yang seperti itu. Tak ada yang bisa dilakukan seutuhnya dalam waktu sebulan memang kecuali menunggu dan menunggu aktifitas seminggu yang akan dilakukan dalam jangka waktu tersebut.


Bagi orang yang sedang memadu kasih kata sebulan seperti diibaratkan fase pertama dari hubungan mereka dan seringkali dinyatakan bahwa fase ini adalah evaluasi yang terkadang tidak begitu menyenangkan.


Namun pada kenyataannya bagiku sebulan merupakan waktu yang teramat pendek jika ternyata yang menghadapinya adalah orang-orang yang sudah tak boleh berurusan dengan hidup. Dari kata itu kau mengerti kan maksudku?


Seperti biasa di sore yang dingin karena habis turun hujan dari tadi siang aku nikmati diriku di halaman belakang sambil menenggak secangkir teh hangat yang hanya sekedar menemani dan mengusir rasa dingin di seluruh tubuh. Rintikan air bekas hujan masih terlihat di mana dan itu nyata bagiku. Dalam waktu ini aku tak mau melihat televisi apalagi mendengar radio. Berita-berita yang mereka tawarkan terkadang absurd dan dibuat-buat.


Selain teh hangat ada juga handphone yang sengaja aku taruh di meja tempat bersandar mereka berdua. Aku harus menyertakan handphone karena bagaimanapun untuk saat ini dialah sumber informasi pertamaku. Handphone hitam itu terlihat begitu mengkilap terkena siraman lampu teras yang sudah aku nyalakan. Kali ini memang tak ada kabar muncul dari dia.


Bel rumah tiba-tiba berbunyi. Aku sesaat tersentak dan bertanya dalam hati siapa gerangan. Apa itu temanku, saudaraku atau yang lainnya. Lalu buat apa mereka di sore yang seperti ini ke sini. Datang tanpa ada pemberitahuan. Kuteguk teh hangat dan kutinggalkan dia bersama handphone hitam. Kutelusuri beberapa ruangan untuk mencapai ruang tamu dan lalu membuka pintu.


Betapa terkejutnya aku bahwa ternyata apa yang ada di hadapanku memang seorang temanku. Eva namanya.


“Hai, Gus, mengganggu ya?” tanyanya sambil menyebut nama panggilanku.
“O, nggak,” jawabku sedikit berpura-pura karena aku adalah orang yang sebal jika di dalam waktu sendiri diganggu, “Ayo, masuk,” kataku tanpa basa-basi lagi.
Ia masuk sambil melipat payung hijau-kuning yang tadi bersamanya lalu menaruhnya di tempat payung. Aku suruh dia duduk dan kemudian hendak bergegas dan ketika itu ia berkata,
“Jangan repot-repot, Gus,” katanya, “Gue cuma sebentar kok,”
“Lha, emangnya lo nggak kedinginan,” kataku,
“Udah, nggak usah,” ujarnya lagi mendesakku dan terpaksa aku turuti.
Aku lalu duduk di sampingnya. Melihat raut wajahnya yang terlihat pucat. Entah pucat karena sakit atau hal lain dan bajunya yang berwarna putih. Antara wajah dan baju itu kulihat menjadi bentuk persamaan yang menyatakan ia memang sedang tidak begitu ceria.
“Lo sakit?” tanyaku kemudian memulai pembicaraan.
“Nggak kok, Gus,” jawabnya.
“Tapi kenapa lo pucat?” tanyaku tambah penasaran.
“Oh, ini,” jawabnya sambil meraba mukanya, “Ini nggak apa-apa,”
Terlihat seperti ada yang disembunyikan,
“Mengapa sih lo harus berbohong?” tanyaku menyindirnya untuk memaksa ia berkata jujur.


Ia terdiam. Kuperhatikan wajah manisnya yang sawo matang mulus mendominasi gerak wajahnya. Wajahnya kemudian ditundukkan lalu berkata,
“Apa lo mau dengar apa yang gue katakan?”
Mendengar itu aku hanya menjawab,
“Kan lo ke sini pasti ada maksudnya kan. Masa iya gue cuma harus melihat pucatnya wajah lo,”


Kuakui aku jengkel juga dengan wanita yang pernah menjadi pacarku ini. Ketidakterusterangannya.


Ia tiba-tiba berbicara sambil merubah nadanya,
“Ya udah kalo gitu dengerin!”
Aku tentu saja terkejut.
“Gue dikit lagi mau mati!”
Aku tentu tambah terkejut lagi ketika ia bilang seperti itu. Kata-kata yang sungguh menakutkan.
“Lo kenapa sih?” tanyaku pelan.
Ia menjawab seperti tadi,
“Gue dikit lagi mau mati tau!”
Aku hanya terdiam mendengar ia berkata. Aku bingung mau apa. Kulihat ia terdiam, menangis lalu memelukkku.
“Gus, maafin gue yah selama ini,” ujarnya sambil menangis pelan.
“Lo sebenarnya kenapa sih?” tanyaku tambah bingung dan terkejut atas tindakannya.
“Gue mau mati, Gus,” katanya, “Gue divonis dokter bakal mati,”
“Apa?”


Ia lalu lepaskan pelukannya dan mulai bercerita. Kuperhatikan setiap kata dan raut wajahnya. Terlihat ada tanda-tanda tidak rela dalam kesedihan yang dibalut kepucatan tersebut. Kata-katanya begitu pelan bagiku dan ketika ia selesai bicara gantian aku yang memeluknya serta mencium dahinya. Baru aku ketahui bahwa ia terkena sebuah penyakit yang tidak bisa disembuhkan karena belum ditemukan obatnya sama sekali. Penyakit itu ia derita selama setahun dan sejak saat itu ia sudah berobat kemana-mana bahkan ke dukun sekalipun. Namun memang hasilnya nihil. Karena dokter yang berulang kali dikunjunginya bingung akhirnya pasrah dan menyatakan bahwa hidupnya hanya tinggal sebulan.


“Apa menurut lo sebulan adalah waktu yang lama?” tanyanya kemudian.
“Bagi gue iya,” jawabku.
“Mengapa lo berkata seperti itu?” tanyanya malah heran dan sedikit geram.
“Ya…karena…,” belum sempat menjawab seutuhnya ia memotong.
“Dengar ya, Gus,” katanya, “Apa yang lo bilang itu salah. Bagi gue udah nggak ada kata lama lagi apalagi bagi orang yang sudah tidak akan berurusan dengan hidup lagi,”
“Maaf, kalo gue tadi menyinggung lo,” kataku berapologi.
Ia lalu kembali memelukku dan berkata,
“Gue cuma minta satu permintaan dari lo, Gus,”
“Apa?”
Ia berkata pelan,
“Setubuhi gue, Gus,”
Terang saja aku terkejut mendengar kata-kata itu.


“Maksud lo apa?” tanyaku, “Kalo lo mau mati seharusnya mendekatkan diri kepada-Nya,”
“Gue emang mau mendekatkan diri kepada-Nya,” jawabnya dan aku bingung.
“Jangan bingung, Gus,” katanya lagi yang sepertinya bisa membaca rautku, “Bersama dengan lo aja adalah mendekatkan diri kepada-Nya karena lo adalah makluk ciptaannya yang terindah,”
“Jangan melantur, Eva,” kataku tegas, “Gue nggak bakal melakukan hal itu,”
“Kenapa, Gus?” tanyanya sambil menajamkan matanya, “Lo tega? Lo nggak kasihan? Ternyata gue salah menilai lo, Gus!”
“Ma..,” aku hendak menjawab tetapi dia tiba-tiba beranjak dari hadapanku dengan perasaan marah,
“Eva, tunggu,” kataku mencegahnya. Kupegang tangannya tetapi ia berusaha melepaskan. Dan kemudian aku peluk dia dengan erat. Menciumi wangi tubuhnya yang begitu membius dan seketika itu aku berkata,
“Gue mau kok,”


Begitulah. Aku akhirnya menyetubuhi dia pada waktu itu juga di kamarku. Untuk kali pertama aku menikmati tubuhnya. Ia begitu senang ketika aku mau menuruti permintaannya. Dalam hati aku berkata apa yang aku lakukan adalah dosa. Akan tetapi Eva sepertinya bisa membaca pikiranku dalam keremangan itu dan berkata,
“Ini bukan dosa, Gus. Yang lo lakukan adalah pahala karena lo menyenangkan orang lain,”
Ciuman perpisahan menjadi tanda ia mengakhiri kunjungannya ke rumahku. Ia berkata lagi,
“Jika gue udah nggak ada cuma berharap nama gue tetap di hati lo. Jika lo punya anak perempuan tolong namai dia dengan nama gue,”


Aku hanya terdiam tak menjawab karena aku tak begitu yakin jika menjawab. Eva yang melihatku seperti memakluminya. Ia lalu pergi di antara siraman lampu jalanan yang terlihat berpendar cahayanya karena hujan tadi dan menghilang.


Lepas dari itu aku masih memikirkan tindakanku tadi bersama dia. Ia datang untuk meminta perhatianku dengan melakukan itu. Tetapi anehnya kenapa ia memintanya di saat ia sudah mau mendekati ajalnya? Setelah putus sama dia aku sudah jarang berhubungan dan sudah tidak mau tahu lagi tentangnya. Yang aku tahu setelah putus adalah dia bekerja di salah satu perusahaan. Pertanyaan itu terus menggelayut di pikiranku hingga aku tertidur.


Sebulan kemudian aku dapatkan kabar bahwa ucapannya menjadi kenyataan. Ia pun meninggal. Aku yang sedang berada di luar kota karena sebuahn urusan tentu saja terkejut dan tiba-tiba merasakan kesedihan. Aku menangis sesunggukan. Kusadari ia kini telah tiada. Tentu karena di luar kota aku tak sempat menghadiri pemakamannya dan baru bisa datang ke makamnya beberapa hari kemudian.


Kupandangi makam dengan kayu putih yang menjadi penanda di kepalanya. Di situ tertera tulisan nama, tanggal lahir, dan wafatnya. Tanah itu masih merah dan wangi karena ada taburan bunga di atasnya. Aku rasa tadi baru saja ada orang yang datang. Aku bertanya dalam hatiku apakah ia berbahagia atau sebaliknya. Semoga Tuhan mengampuni dosanya.


Angin bertiup kencang setelah itu dan aku merasa melihat sesosok wanita di depanku,
“Apa itu lo, Eva?”





Jumat, 18 Juni 2010

Sang Penakluk Dari Bromo

Nun jauh kudengar sebuah cerita
Sang penakluk
Derap-derap langkah berlari menjejaki padang pasir
Lewat sebuah acuan ringkikan kuda
Di tengah-tengah dinginnya suhu
Serta hembusan angin
Tak peduli
Demi seutas nafkah


Takkan mudah bagi orang awam bertahan


Derap-derap langkah berlari menjejaki padang pasir
Menembus keindahan dan keangkuhan Bromo
Ia coba tawarkan keramahan
Untuk mengantar mereka yang memerlukan
Begitu gagah
Memang seperti sang penakluk
Dari Bromo



Dunia Tanpa Handphone

Sekarang memang zaman global
Tak ada lagi kata jauh
Hanya dekat yang bisa dirasa
Tak peduli berapa jarak yang terbentang
Semua lingkungan sudah menjadi yang terpadu

Ingin mencari sesuatu tinggal lihat koran
Belum puas nonton televisi
Dari yang disarankan hingga yang tidak disarankan
Belum puas lagi setel internet
Dan berselancar bebas di dalamnya tanpa tekanan

Mencari komunikasi pun juga demikian
Tinggal telepon saja langsung tersambung
Jika repot tinggal gunakan handphone
Langsung stand-by dimana saja

Jika bosan menelepon
Setel saja radio
Apa yang terjadi dapat langsung didengar
Tapi jika radionya konstan
Maka ambil saja mp3, mp4, atau handphone
Dan dengarkan sambil berjalan


Belum puas cari handphone multi
Dari communicator hingga blackberry
Bisa menelepon, mendengar musik, bermain game, ataupun menonton televisi
Serta berselancar internet
Terasa ada puas yang membentang
Walau harganya selangit

Hanya dalam satu instrumen saja
Dunia dapat terjangkau
Tak tanggung-tanggung dalam beberapa detik saja
Mata sudah terpuaskan
Tetapi hati belum puas
Dan ingin terus-menerus

Sayang, saat kepuasan ingin diraih lagi
Sesuatu terjadi
Kalau boleh dibilang bencana merasa juga bukan
Dibilang tragedi apalagi

Handphone-nya rusak
Jatuh terbanting tanpa sengaja
Rusaknya cukup parah
Tentu mahal untuk segala servis
Apalagi membeli lagi
Duit sudah bokek

Ya sudah cuma meratapi nasib
Merasa jadi terpinggirkan dalam kehidupan
Jadi seperti katak dalam tempurung

Mau kerja apa juga bingung
Tak tahu lagi harus bagaimana
Nasib, nasib, handphone sayang, handphone malang
Sungguh tak enak bila hidup di dunia tanpa punya handphone

Kamis, 17 Juni 2010

Pintaran Juga Pohon

Matahari terbit. Matahari terbenam. Ah, bagiku itu sudah biasa. Terbit matahari. Terbenam matahari. Ah, bagiku itu sudah biasa juga. Yang tidak biasa adalah matahari terbenam. Matahari terbit. Nah, ini pun juga tidak biasa. Terbenam matahari. Terbit matahari. Ketika ini terjadi pun akhir dari dunia sudah mendekat dan jawaban yang didapat adalah kehancuran. Tetapi, yang kulihat ini hari ini matahari masih saja normal. Terbit dari timur terbenamnya di barat dan bukan sebaliknya. Malah tadi sebelum terbit ia malah menyunggingkan senyum manis padaku. Seperti anak perawan saja. Kalau begitu aku sebagai anak jejakanya. Sudah jelas orang akan mengatakan aku adalah bulan. Ah, siapa bilang? Bulan saja aku tidak kenal. Aku cuma kenal matahari walaupun bisa dibilang sok kenal sok dekat.

Apakah matahari memang setiap hari selalu tersenyum padaku ketika mengeluarkan sinarnya? Mana aku tahu. Aku saja terkadang melihat wajahnya. Wajah yang penuh dengan kekuning-kuningan cerah. Kekuning-kuningan ini kalau ditangkap orang lewat sebuah gambar lukisan atau foto akan terlihat indah. Memang betul dia indah. Tetapi, tak selamanya juga indah. Coba saja telusuri keindahannya sampai mendapatkan kebenarannya. Walhasil, bukanlah indah yang didapat tetapi dengan apa yang disebut hancur. Hancurnya pun tak tanggung-tanggung. Langsung begitu saja alias tanpa kompromi.

Ah, sudahlah jangan terlalu membahas dia. Tak baik. Begitu kata orang tua dulu. Nanti yang ada malah kita kena dosa atau malah dia yang gede rasa karena suka dibahas-bahas. Ya, seperti gosip saja. Selalu dibahas berulang-ulang hanya untuk sesuatu yang ecek-ecek alias tidak penting. Biarlah matahari tetap seperti itu. Seperti adanya dia. Jangan diubah-ubah seperti perangkat mainan rakitan yang bisa dengan gampang dilepas lalu dipasang kembali.

Udara memang cukup segar untuk dinikmati. Cukup halus juga untuk dicumbui. Tetapi tak cukup untuk bisa dimaknai sebab dia dingin. Apa kau tak tahu dia bisa seenaknya saja lewat menghampiri diriku lalu mengubah dirinya seenak perutnya. Bisa saja dia bersahabat tetapi nantinya malah sebaliknya. Bukan hanya aku yang mengalami hal seperti ini tetapi yang lainnya juga. Cuma aku belum tentu tahu apa suara mereka sepertiku. Bisa saja suara mereka berlainan.

“Sepertinya kau senang sekali yah kalau dia lewat?” tanya Sunpi, tetangga sebelahku tiba-tiba.

“Dia siapa?” tanyaku heran.

“Siapa lagi kalau bukan si angin,” kata Sunpi yakin.

“Angin?” tanyaku heran kembali, “Apa maksudmu angin? Aku saja tidak mengerti,”

“Kau ini pakai berpura-pura segala. Ini yang barusan lewat,”

Aku tertawa lalu berkata,

“Kau bilang dia angin,” kataku, “Angin apa? Dia itu udara tau,”

“Udara nenek moyangmu!” kata Sunpi tak terima, “Jelas-jelas itu angin,”

“Apa alasannya kau bilang dia angin?” tanyaku kembali.

“Karena dia menghembus lalu berlalu,” kata Sunpi yakin.

“Apa karena menghembus dia disebutnya angin?” ejekku.

“Kalau kau sendiri kenapa sebut dia udara?” tantang Sunpi.

Lalu kujawab dengan yakin,

“Karena dia menggawangi kita semua sejak dari pagi,”

Kali ini malah Sunpi yang tertawa,

“Menggawangi? Kau pikir sepakbola memangnya? Ada-ada saja kau,”

Kemudian datanglah sebuah suara dari sebelah ketika kami sedang berdebat,

“Aduh apa ini?” tanya Aramce, tetangga di sebelahku juga, “Pagi begini sudah ribut?” kayak ibu-ibu saja,”

“Hei, kau Aramce,” kata Sunpi lalu menunjukku,”Kau tahulah teman kau ini,”

“Kenapa memang Swidele,” kata Aramce menyebut namaku.

“Masa dia bilang yang barusan tadi lewat di depan kita-kita ini disebutnya udara. Padahal itu angin,”
kata Sunpi.

“Lho, memang apa yang tadi barusan lewat?” tanya Aramce heran.

“Ah, kau bodoh juga, kawan,” kata Sunpi sedikit jengkel, “Ya angin tau! Apa kau tidak merasakan?”

“Merasakan apa?” tanya Aramce heran, “Wong tadi aku tidur,”

“Pantas! Kau ini kerjanya tidur melulu. Ah, rugi aku ngomong sama kau…eh, sama kalian berdua,”

“Yang ada aku juga rugi,” kataku.

“Aku juga lho,” kata Aramce ikut-ikutan.

“Kau seperti bebek saja, Aramce,” kata Sunpi.

“Sudah-sudah,” kataku menengahi, “Lebih baik kita perhatikan saja ke di bawah kita daripada ribut-ribut terus. Siapa tau ada yang seru,”

“Maksudmu wanita?” tanya Sunpi, “Sudah pasti itu seru tanpa dibilang,”

“Dasar Sunpi kalau sudah hal begitu nyambung,” sindir Aramce.

“Wajarlah,” kata Sunpi, “Namanya juga hidup,”

“Apa kalian berdua sudah bisa disudahi?” tanyaku.

Mereka berdua lalu diam dan ikut bersamaku melihat keadaan di bawah. Di bawah sana terdapat selintas jalan beraspal abu-abu yang lurus tetapi kemudian berkelok-kelok seperti alur sungai dan kemudian menanjak lalu menurun curam. Di atasnya melintas satu-dua mobil dengan jarak yang berjauhan. Yang satu sepertinya mobil sedan abu-abu yang tampak elegan dan bersih karena sering dicuci dan dibelakangnya yang berjauhan mobil pick-up bak terbuka warna hitam yang belakangnya diberi terpal dan di sisi kiri dan kanan terdapat banyak orang yang menumpang. Mereka berjalan kencang di lintasan lurus tetapi begitu menghadapi tanjakan dipelankan dan ketika menghadapi turunan dilepas begitu saja remnya. Untung tidak ada yang ke jurang.

“Apa ini?” tanya Sunpi, “Ini semua sudah jadi hal biasa buat kita kalau mereka sering lalu-lalang di sekitar kita,”

Aku diam saja. Tak kuhiraukan ucapannya. Perhatianku tetap tertuju pada yang di bawah. Sampai akhirnya aku menemukan sesuatu yang mencolok. Ini bukan biasanya.

“Coba sekarang lihat ke bawah ke serong kanan,” kataku pada Sunpi dan Aramce.

Mereka langsung mengikuti kataku. Lalu terkejutlah mereka. Aku juga demikian.

Di bawah sana terlihat sekitar 4 orang berjalan perlahan menyusuri lintasan. Empat orang yang komposisinya tak seimbang. Yang satu gendut, yang satu setengah gendut, dan yang duanya lagi kurus. Mereka berjalan sambil berbicara lalu teriak-teriakkan. Sepertinya agak menyesali sesuatu. Ketika merasa haus dan lapar karena kecapekan salah satu di antara mereka membuka tas lalu memakan roti dan meminum seteguk air dari botol Aqua besar. Roti itu dimakannya perlahan begitupula Aqua. Jika Aqua jatuh tamatlah riwayatnya. Yang lain juga demikian. Lalu mereka ngos-ngosan dan berhenti sambil menyalahi satu sama lain. Ketika mereka seperti itu beberapa mobil lewat dan tampaknya orang-orang di dalamnya tertawa-tawa geli melihat tingkah konyol mereka.

Kami pun juga demikian,

“Bodoh sekali mereka,” kata Sunpi setelah itu, “Sudah jalan ke atas jauh tetap jalan juga. Tidak mikir apa kan sudah ada mobil,”

“Iya, bodoh sekali,” kata Aramce membeo.

“Aduh, kenapa mereka harus seperti ini?” tanyaku heran kemudian, “Memangnya jalur ini gampang untuk dilewati? Sudah tahu berkelok-kelok. Apa mereka tidak tahu?”

“Ah, mana mungkin,” kata Sunpi, “Mereka pasti sudah tahu. Lagipula penjaga di gerbang sana sudah pasti juga memberitahu,”

“Iya, memberitahu,” kata Aramce tetap membeo, “Weleh-weleh nanti Si Putih bakal tertawa-tawa melihat ini,”

Aramce lalu tertawa. Sunpi mengikuti. Akhirnya aku.

“Memang terkadang tidak selamanya manusia itu pintar,” kataku, “Buktinya ada yang bodoh sekali rela berjalan untuk menemui Si Putih. Pintaran juga pohon,”

Mereka berdua hanya mengiyakan sambil tetap tertawa-tawa sementara yang di bawah tetap saja berjalan sambil berkata yang tidak jelas dan saling menyalahkan. Entah sampai kapan.

Maunya Apa Sih (Kereta)?

Keringat terus bercucuran di tubuh Rino. Padahal baru jam 8 pagi. Begitulah yang tertera di layar handphone-nya saat ia melihatnya. Matahari pagi memang tidak kenal ampun apalagi matahari pagi di Jakarta. Rino berulang kali mengelap keringat dengan lap kecil yang dibawanya sambil terus mondar-mandir duduk-berdiri-jalan dan melihat sesuatu dari arah utara. Belum datang juga dia padahal ini sudah jam 8 lewat 5 menit. Begitulah yang dilihat Rino kembali di handphone-nya. Padahal satu jam lagi ia harus kuliah.

Stasiun Cawang seperti biasanya selalu ramai akan tetapi hari ini lebih ramai daripada biasanya. Karena kereta api yang ditunggu belum kunjung datang maka terjadilah penumpukan penumpang di sepanjang peron Jakarta-Bogor sementara di peron seberang untuk ke arah sebaliknya dalam tiap menit selalu datang kereta-kereta dari Bogor dengan lancar. Pertama-tama Pakuan yang datang tanpa berhenti kemudian kereta ekonomi yang selalu penuh dan sesak hingga ke atas gerbong dan terakhir AC ekonomi yang lumayan padat juga namun teratur.


Rino tak terlalu mau menanggapi. Ia hanya ingin kereta dari arah utara datang sekarang juga atau nanti ia telat kuliah. Sekali lagi dirogoh kantung jins-nya. Dilihat handphone-nya kembali. Ah, tidak sudah jam 8 lewat 15 menit. Rino agak ketar-ketir. Ia tambah berkeringat dan kali ini karena keketar-ketirannya tersebut. Dalam hati ia mengumpat, ngepet! Kakinya bergerak terus-menerus tidak tenang dari duduknya. Ia mencoba menarik napas supaya bisa lega dari keketar-ketirannya. Sayangnya, karena kereta belum datang jadi belum bisa hilang.


Matahari tambah menerik. Menerpa wajahnya. Ia pun kepanasan kembali dan berusaha menunduk saja. Ketika terik matahari menghilang, ia lalu menoleh ke sampingnya. Penumpang-penumpang lain yang seperti dirinya. Beberapa dari mereka ada juga yang seperti dirinya. Panik, kawatir, dan bolak-balik dari tempat duduk. Kebanyakan orang-orang kantoran. Namun ada juga yang santai, masa bodoh, dan acuh tak acuh.
Tiba-tiba datang pengumuman dari pengeras suara oleh petugas stasiun bahwa akan datang kereta dari utara. Rino langsung menyambut antusias dan mengira itu pasti kereta-nya. Namun, semua berubah seketika saat si petugas bilang Pakuan yang melintas langsung. Rautnya langsung menjadi kecewa. Setelah itu Rino merogoh lagi handphone-nya di kantung jins-nya. Sudah jam setengah 9. Gawat, gumamnya, ya udah telat deh gue. Ketika sudah seperti itu ia langsung berpikir apa nanti masuk aja kalau memang telat sementara ia sendiri mengaku malas kalau sudah telat atau yah bolos saja. Toh, absen masih sedikit. Tapi, ia berpikir lagi kalau nggak masuk nggak enak sama dosennya dan teman-temannya.

Kemudian datang lagi pengumuman. Sayangnya, dari arah selatan. Rino kembali mengkerut. Tapi, setelahnya datang lagi. Kali ini dari utara. Rino kembali antusias. Sayangnya, ia kembali kecewa lagi karena yang datang malah AC ekonomi. Waduh, gumamnya, benar-benar sialan nih kereta. Ia tak mungkin naik AC ekonomi sebab kereta ini berbeda dengan kereta ekonomi biasa. Lagipula harga tiketnya mahal dan hanya buang-buang uang demi satu hari. Makanya, ketika AC ekonomi datang ia hanya terdiam lalu berharap kereta ekonomi akan datang setelah ini.
Jam di handphone sudah menunjukkan pukul setengah 9 kurang 10. Itu tandanya ia hanya punya waktu 10 menit ke kampus. Tetapi, rasanya mustahil karena kereta selain datang telat juga lambat jalannya. Ia berangan-angan kapan semua orang di sini bisa tepat waktu kalau kereta yang dianggap tercepat seperti ini terus. Suka menyiksa. Toh, waktu 5-10 menit itu cukup untuk dia ke kampus dengan kereta. Tapi, kenyataan sebaliknya.


Di tengah kekesalannya kembali datang pengumuman. Si petugas bilang dari arah utara. Rino biasa saja menyambutnya karena pasti bukan kereta ekonomi melainkan kereta yang lain. Tetapi, rautnya berubah senang ketika akhirnya diumumkan yang akan datang kereta ekonomi. Ia langsung mempersiapkan diri. Ia lihat dari utara tampak kereta sedang berjalan dan lambat sepertinya. Ia bergumam, udah telat lambat lagi.

Ketika kereta sampai ia langsung masuk. Keadaan di dalam tampak sepi. Tetapi, ia tak duduk dan berdiri di dekat pintu. Ia lalu melihat jam handphone-nya. Sudah jam setengah 9 kurang 20 menit. Ia sudah pasti telat. Rino tak tahu lagi harus berbuat apa. Kereta lalu berjalan meninggalkan stasiun menuju stasiun-stasiun berikutnya. Ketika sampai di stasiun Pasar Minggu, kereta malah mengaso sebentar karena ada Pakuan di belakang. Rino tambah sebal dan ingin marah. Beberapa menit kemudian setelah Pakuan melintas kereta berangkat lagi.

Ketika kereta sampai di tujuannya di stasiun UI, ia langsung turun dan melihat handphone lagi. Sudah jam 9 lewat 15 menit rupanya. Sudah di ambang batas telat. Awalnya ia merasa tak ingin masuk sampai kemudian berubah pikiran. Ia langsung berlari dan sesampainya di kelas ia merasa aneh. Tampak di situ hanya ada teman-temannya.

“Ngapain lo?” tanya salah seorang temannya, “Ngos-ngosan gitu?”
“Nggak ada dosennya?” tanyanya.
“Iya, nggak ada,” jawab temannya, “Barusan ada telpon kalau dia nggak bisa ngajar hari ini karena sakit,”
Rino yang mendengar hal itu segera terkejut dan kesal,
“Ah, sialan! Kalo gitu ngapain gue tadi buru-buru! Brengsek!”
“Ya udahlah,” kata temannya, “Lo duduk aja dulu,”
Ia segera duduk di sebuah bangku kosong. Kemudian memandang ke depan kelas dan bergumam dengan kesal, Sialan! Udah dikerjain sama kereta nggak ada dosen juga lagi! Maunya apa sih?

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran