Pages

Senin, 30 April 2012

TAK KENAL, MAKA TAK SAYANG


Keith namanya. Jika melihat dan mendengarnya, pasti akan menyangka ia bukan orang Indonesia. Itu memang benar. Keith memang bukan orang dari republik ini, tetapi dari Australia. Ya Australia. Negara benua terbesar di dunia yang menjadi tetangga Indonesia di selatan. Ia berasal dari Adelaide tepatnya, suatu kota di Australia yang perbedaan waktunya hanya sejam dengan Indonesia, khususnya Indonesia bagian barat. Berbeda dengan kebanyakan kota-kota lain di Australia, yang kebanyakan berpusat di timur, mempunyai perbedaan waktu 3 jam.
Kenalan + Tukeran Link Yuk
http://andhikawijayakurniawan.com
Aku mengenal Keith sewaktu ia datang ke Indonesia. Ia datang, katanya, untuk liburan sekaligus mencari sesuatu yang berbau-bau Indonesia. Perkenalanku dengan Keith tidak sengaja. Waktu itu aku sedang mencari buku di sebuah toko buku terbesar di Indonesia. Biasanya aku mencari buku yang bertema sosial, politik, dan budaya, tetapi terkadang juga sastra. Jika kebanyakan orang di toko buku, terutama para abege (ABG), senangnya mencari komik dan majalah, aku malah kebalikannya. Atau malah ketika sedang tren ada demam buku si penulis ini atau itu, kemudian difilmkan, aku malah juga berlainan alias tidak ikut-ikutan. Memang begitulah aku.
Ketika sedang mencari dan mendapati sebuah buku bagus, dan temanya tentang Papua, tiba-tiba ada yang menyapaku dari belakang,
Bisa ceritakan kepada saya lebih lengkap tentang Papua,”
Aku mendengar yang berbicara aksennya seperti orang Barat berbicara. Ketika kutoleh ke belakang, terkejutlah aku. Seorang berkulit putih atau bule di belakang sambil tersenyum. Refleks aku berbicara dalam bahasa Inggris,
Sorry, are you interest about this?” tanyaku sambil memegang buku dan menunjukkan padanya.
Bisa kita bicara dalam bahasa Indonesia?” tanyanya balik dengan bahasa Indonesia yang lancar sekali.
Oh, tentu,” jawabku.
Kenalkan, saya Keith,” ujarnya memperkenalkan diri.
Oh, Adi,” jawabku, “ Salam kenal,”
Boleh tahu dari mana asalnya?” tanyaku kembali.
Australia,” ujarnya mengucapkan Australia dengan “estrelie”
Ketika ia menyebut Australia, dalam hati aku berujar, pantas aja kan bahasa Indonesia di sana diajarkan. Ini pasti dari jurusan bahasa Indonesia.
Di sini sedang apa?” tanyaku kembali.
Sedang liburan,” jawabnya.
Kamu pasti dari jurusan bahasa Indonesia ya?” tanyaku.
Iya, betul,” jawabnya, “Kamu kok bisa tahu?”
Karena kebanyakan orang Australia yang bahasa Indonesianya bagus, pasti dari jurusan bahasa Indonesia di sana,”
Ia tertawa.
Belum tentu,” katanya, “ Bagaimana dengan Anthony Reid?”
Ketika ia menyebut Anthony Reid, aku jadi teringat dengan sejarawan Australia yang sering sekali meneliti di Indonesia, khususnya di Sumatera.
Oh, iya ya,” kataku memaklumi sendiri atas penilaian umumku.
Tentu mereka harus belajar dulu bahasa Indonesia,” kata Keith melanjutkan, “Kan bahasa teropong budaya.
Betul,” jawabku.
Ia lalu memperhatikan diriku dan buku yang kupegang,
Ah, iya,” katanya, “Ngomong-ngomong kamu sedang tertarik dengan Papua?”
Aku lalu melihat,
Sebenarnya, tidak,” jawabku, “Saya hanya melihat-lihat saja dan kebetulan sekarang sedang menjadi tren di banyak media massa gara-gara freeport dan OPM,”
Betul,” kata Keith, “Saya juga sering melihat di Australia sana,”
Bicara Papua tentu juga ada kaitannya dengan Australia. Ada beberapa desas-desus bilang bahwa Australia ada di belakang konflik yang terjadi di Papua. Juga soal OPM, Australia seperti bermuka dua. Karena itulah, aku jadi penasaran, dan harus menanyakan ini kepada Keith perihal Indonesia di sana,
Terkadang aku bingung dengan negaramu, Keith,” kataku.
Bingung kenapa?” tanyanya heran.
Negaramu itu terkadang terlihat bersahabat dengan kami, namun kadangkala tidak. Termasuk masalah Papua ini. Apakah kami adalah ancaman?”
Tatapan Keith berubah tajam. Ia sepertinya terkejut mendengar aku berkata demikian,
Saya juga bingung dengan negaramu terutama masalah imigran gelap dan terorisme. Makanya, saya mencoba menyapa kamu supaya tahu Indonesia yang sebenarnya seperti apa?”
Tapi, kamu kan sudah belajar tentang Indonesia sekian lama?”
Iya, tapi saya harus tahu dari sumber yang sebenarnya,”
Aku lalu melihat keadaan di sekitar.
Bagaimana kalau kita ke kafe di bawah,” kataku menawarkan, “Sekalian minum kopi,”
Ah, tawaran bagus!” reaksinya, “I would really love that!”
Kami berdua lalu berjalan, kemudian turun menuju sebuah kafe terkenal yang memang dibangun di bawah toko buku ini. Sesampainya, aku segera memesan capucinno, sedangkan Keith kopi biasa.
Jadi, kalau boleh kubilang kamu liburan, tapi juga mengerjakan tugas kalau aku perhatikan dari ceritamu?” tanyaku sambil menyeruput cappucinno hangat di tengah suasana, yang boleh dibilang cukup dingin.
Iya,” jawabnya juga menyeruput kopi hitamnya, “Untuk tugas semester. Dosen saya menyuruh tiap mahasiswanya untuk menceritakan tentang Indonesia dan juga Australia langsung dari sumbernya,”
Lho, bukankah di Aussie banyak orang Indonesia?”
Betul,” kata Keith, “Tapi, saya rasa lebih baik ke negeri asal langsung biar ada feelingnya,”
Oh, I see,”
Sekarang saya mau bertanya ke Adi dahulu,” ujar Keith kemudian.
Oh, silakan,” jawabku.
Ia seruput kopinya lagi dan mulai memandangku dengan tajam,
Dari pendapat pribadi Adi dahulu tentang negara saya terutama dengan Papua?”
Aku yang mendengar pertanyaan demikian segera menghela nafas,
Australia itu negara yang besar, indah, dan banyak keanehan liarnya,”
kataku yang kemudian membuat ia menyela ucapanku,
Keanehan liar seperti apa maksudnya?”
Seperti alamnya. Ada hiu putih, kadal bermuka payung, dan lainnya,”
Ia pun tersenyum. Aku lalu melanjutkan,
Kalau boleh dibilang selain negara besar, Australia juga indah apalagi promosi pariwisatanya juga mantap!”
Rupanya “There's nothing like Australia” sampai juga ke telinga kamu?”
Betul. Apa “Wonderful Indonesia” juga sampai ke Australia?”
Apa itu?”
Ketika Keith seperti itu, aku menduga pasti slogan ini kurang promosi di sana. Grrr....
Itu branding pariwisata kami, Keith,”
Ah, ya ya,” kata Keith, “Baru tahu saya. Indah kedengarannya,”
Memang, tapi lebih indah lagi kalau dipraktikkan,” kataku setengah kesal, “Apa di jurusanmu tidak diajarkan perihal pariwisata kami?”
Diajarkan, tetapi tidak begitu dalam,”
Oh, I see,”
Dalam hati aku berkata, pantas. Apa ini karena stigma negatif Indonesia di sana?
Baik, saya mau bertanya tentang negara saya dari sudut yang negatif,” kata Keith kemudian, yang sepertinya ia memang ingin tahu sebenar-benarnya Indonesia dari dalam diriku.
Seperti yang saya bilang tadi, negaramu terkadang baik terkadang jahat. Sering mencampuri urusan dalam negeri kami, meski tidak terlihat. Sering memberitakan kami dengan negatif terutama masalah imigran, teroris, dan nelayan. Apalagi, sekarang di Papua. Kelompok Partai Hijau nampaknya gencar untuk membantu OPM. Malah sewaktu pertandingan antara Persipura dan Adelaide United ada bendera OPM berkibar. Ini yang membuat saya bertanya-tanya sebenarnya Australia itu mendukung kedaulatan Indonesia atau tidak sama sekali?”
Kamu panjang sekali bicaranya,” kata Keith, “Tapi, aku suka kejujuranmu,”
Satu lagi dalam pertahanan-keamanan, negaramu merupakan ancaman karena negaramu satpamnya Amerika,”
Memang, seperti yang kamu bilang tadi, negara saya itu suka menyebalkan. Tapi, itu kan pemerintahnya. Orang-orangnya tidak,”
Tetapi, bagaimana dengan media-media di sana yang selalu menyudutkan Indonesia?”
Ah, soal media biarkan saja. Australia kan negara bebas, begitu juga negaramu, right?”
Aku mengangguk.
Itulah mengapa saya masuk jurusan bahasa Indonesia di tempat saya kuliah. Supaya memberikan gambaran Indonesia yang sesungguhnya. Saya suka kok dengan Indonesia. Orang-orangnya, alamnya sebenarnya bersahabat,”
Tapi, bisa bedakan kan antara Indonesia dengan Malaysia?”
Tentu bisa,”
Karena kebanyakan orang tidak bisa membedakan kedua-duanya. Itu yang saya dapatkan di sebuah buku seorang traveler ketika ia menjelajah di negara-negara Asia Tengah,”
Ia tersenyum.
Memang, kami sama-sama Melayu dan bernenek moyang sama, tetapi dalam perkembangannya menjadi sedemikian berbeda,”
Ya, saya mengerti. Itulah mungkin yang membuat Indonesia dan Malaysia sering terlibat konflik paten kebudayaan dan perbatasan, bukan?”
Betul,”
Kami lalu diam. Memandang pada pemandangan di luar yang berhiaskan kesibukan dan kemacetan lalu lintas dalam derasan hujan. Spontan aku berseloroh,
Welcome to Jakarta, Keith!”
Thank you!”
Inilah Jakarta, ibu kota kami, yang selalu terjebak banyak masalah,”
Aku lalu tertawa.
Biasanya, salah satu orangmu, Susan Blackburn, getol sekali berbicara tentang Jakarta, terutama Jakarta tempo doeloe,”
Ah, betul sekali. She is expert, indeed,”
Kembali ke negaramu, bagaimanapun, dalam pendidikan sering sekali Australia bekerja sama dengan banyak perguruan tinggi negeri di sini, dan banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di sana,”
Ya, itu betul sekali,” katanya, “temanku kebanyakan orang Indonesia,”
Apa karena kamu dari jurusan bahasa Indonesia jadi berteman dengan kami?”
Ia tertawa.
Apa harus seperti itu?” tanyanya berbalik, “Tidaklah. Sejak kecil, aku sudah berteman dengan orang Indonesia. Orang itu menjadi tetanggaku dan anaknya sering bermain bersamaku. Dari situlah aku awalnya jadi tahu Indonesia,”
Pantas saja bahasa Indonesiamu lancar,” kataku, “Pasti diajari beberapa kata ya awal-awal ketika bermain?”
Betul,”
Australia, menurutku, Keith,” kataku lagi, “Memang negara besar yang diincar untuk pendidikan dan pariwisata oleh orang-orang kami, terutama yang berduit. Negaranya memang maju. Beda dengan Indonesia,”
Aku akui itu,” kata Keith, “Tapi, aku yakin kalian suatu saat bisa maju, terutama dalam pendidikan,”
Aku tertawa mendengarnya,
Mau maju bagaimana, Keith? Di sini saja hanya beberapa saja yang bisa mengenyam bangku sekolah. Kalau pun ada tidak sampai perguruan tinggi. Eh, pas lulus perguruan tinggi belum tentu dapat pekerjaan sebab jurusannya kurang diminati,”
Maksudmu, pengkotak-kotakkan bidang?” tanyanya.
Iya, seperti itulah. Di sini masyarakat lebih senang jika anaknya masuk ke jurusan kedokteran, teknik, ekonomi, dan hukum, sedangkan untuk jurusan yang berbau sosial-budaya kurang diminati,”
Alasannya?”
Biar gampang cari kerja dan dapat duit,”
Kenapa bisa demikian?”
Ini karena dulu Sukarno, mungkin karena kami kelamaan dijajah Belanda, meminta agar pembangunan fisik diutamakan. Jadi, meminta sesuatu yang praktis dengan kerja fisik,”
Bagiku, itu wajar, karena memang setelah merdeka, banyak yang harus diisi,”
Tetapi, hal demikian masih bertahan, Keith. Bagaimana kami bisa maju,”
Suatu saat pasti maju dan hal itu hilang. Kamu jangan pesimisitis,”
Lalu bagaimana dengan di Australia?”
Di sana semua dianggap sama kok,” kata Keith, “Karena setiap ilmu, bagaimana pun prosesnya, penting untuk dipelajari,”
Berarti tidak ada pengkotak-kotakkan?”
Tidak ada,”
Oh, aku suka yang demikian. Aku juga kurang tahukenapa di sini masih berlaku pengkotak-kotakkan, juga pendidikan masih dianggap kurang penting, apalagi bagi mereka yang kurang mampu. Pemerintah negara ku agak kurang respek terhadap masalah ini. Lihat saja banyak perguruan tinggi negeri dilepas oleh pemerintah dan dijadikan BHMN. Alasannya, PTN harus mandiri lha. Padahal, Indonesia belum jadi negara maju, jika mau disandingkan dengan Amerika dan Eropa,”
Aku pikir kita memang sedang curhat ya?” tanya Keith, yang membuat aku dan dia tertawa-tawa.
Sekarang, aku ingin bertanya balik, kataku, “Apa pendapatmu tentang kekerasan di negara kami dan juga terorisme?”
Kamu pasti mengira bahwa pendapatku akan sama dengan orang kebanyakan,”
Maksudmu?”
Aku ada pandangan lain soal itu. Apa yang terjadi di Indonesia selama ini, itu murni bukan kekerasan atas nama agama. Aku yakin itu ada aktor di belakang,”
Lho, kenapa kamu bisa berkata seperti itu?”
Sebab aku yakin orang Indonesia itu ramah-ramah kok dan toleransinya tinggi. Apa yang terjadi itu hanya akal-akalan saja biar negaramu hancur. Apalagi, selama aku di sini karena negaramu negara bebas, medianya juga bebas dan beritanya malah memperparah keadaan,”
Hebat! Kau malah menganalisis juga,” kataku takjub, “Sudah berapa lama di Indonesia?”
Tiga hari,”
Apa baru Jakarta saja selama tiga hari ini?”
Kemarin aku baru dari Bali setelah sebelumnya ke Lombok,”
Oh, ke dua pulau surga,” kataku yang membuatku teringat sesuatu, “Soal Bali, aku minta maaf,”
Tentang apa?” tanya Keith heran.
Bom Bali,”
Ia tertawa,
That's not problem, dude,” ujarnya, “Memang, awalnya aku sempat kesal kenapa banyak sekali warga negara kami yang meninggal. Aku sempat heran. Tapi, aku yakin itu juga ada aktor dan bukan mengatasnamakan agama,”
Kayanya kamu orang Barat yang berbeda yang kebanyakan orang Barat lainnya,”
Kamu bisa aja. Aku hanya mengambil dari sudut pandang berbeda. Bosan juga mendengar tiap ada kata “Indonesia” selalu dihubungkan dengan maki-maki dan hujatan,”
Yah, aku bosan juga kalau Australia selalu dihubungkan dengan tukang ikut campur masalah dalam negeri Indonesia,”
Yah, itu seperti pepatah “tak kenal maka tak sayang”,”
Ah, hebat kamu bisa mengutip itu. Kayanya ini mahasiswa pintar di jurusannya,”
Dia tidak menjawab dan hanya tersenyum. Tidak terasa sore menjelang. Aku merasa ada urusan lain yang harus diselesaikan.
Wah, nampaknya sudah sore ini, Keith,” kataku hendak menyudahi pembicaraan.
Kamu ada acara?” tanyanya.
Iya,” jawabku hendak mengangkat badan.
Kamu juga?” tanyaku balik.
Iya, sore ini juga,” katanya, “Mau bertemu temanku yang bekerja di sini dan esok ke Palembang. Mau menonton sepak bola di sana,”
Have a nice travel for tommorow, dude,”
Thanks so much,”
Aku berharap jika beruntung, mau main ke negaramu,”
Oh, silakan,”
Kami lalu berpisah. Aku naik busway, sedangkan Keith malah memilih bus kota dengan jurusan berbeda. Melihat itu, aku berujar dalam hati, si bule ini rupanya sudah beradaptasi sekali dengan keadaan di sini. Aku yang melihatnya jadi malu. Masa si bule mau sih naik bus kota yang sesak, padat, dan panas daripada diriku. Aku salut dengannya.
Semenjak pertemuan itu, aku jadi sering melakukan kontak dengan Keith melalui jejaring-jejaring sosial dan email. Aku jadi tertarik ingin ke negaranya sekaligus kuliah di sana dan penasaran dengan apa yang dikatakannya. Dalam hatiku ada keinginan untuk membuat negaraku maju selepas menimba ilmu di sana.




Senin, 02 April 2012

Tembus Batas, Tembus Waktu

Tembus batas
tembus waktu
tak peduli jam
tak peduli pagi
tak peduli siang
tak peduli sore
juga tak peduli malam


Tembus batas
tembus waktu
menunggu naskah-naskah
yang siap disaring
lalu dibuang kata-kata tak penting
Demi sebuah keselarasan dan kesangkilan


Tembus batas
Tembus waktu
kemudian ketemu lagi pada hari berikutnya
Dalam keadaan sudah terhuyung
dan kedap-kedip


Tapi itulah
Tembus batas
tembus waktu
semua demi berita
 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran