Pages

Jumat, 31 Agustus 2012

Kebanggaan yang Memakan Korban


Setiap manusia memiliki kebanggaan. Dan itu merupakan hal yang pasti dan alami. Kebanggaan itu sendiri bisa berupa kebanggaan akan diri sendiri, kebanggaan akan orang lain, atau kebanggaan akan sesuatu yang bisa terwujud dalam benda mati. Dalam KBBI sendiri, kebanggaan itu berarti kebesaran hati, perasaan bangga, kepuasan diri. Setiap manusia boleh memiliki rasa bangga atas apa yang dipunyainya, namun hal tersebut janganlah sampai melebihi batas. Hendaknya kebanggaan yang dipunyai memiliki sesuatu yang positif bagi yang memilikinya, atau setidaknya mempengaruhi bagi mereka yang berhubungan dengannya. Namun bagaimana jika kebanggaan itu sendiri bersifat negatif demi pemuasan ambisi pribadi atas nama tradisi?

Itulah yang terlihat pada Piramid (terjemahan dari La Pyramide), salah satu karya termasyhur dari Ismaїl Kadaré, sastrawan asal Albania yang berulangkali memenangkan penghargaan sastra internasional, seperti Prix Mondial Cino del Duca (1992), Man Booker International Prize (2005), dan Primios Principe de Asturias (2009). Buku yang diterbitkan oleh si penulis dalam pengasingannya di Prancis pada 1992 ini (di Indonesia pada 2011) berkisah mengenai pembangunan piramida di Mesir Kuno. Setting tempatnya sendiri berkisar pada masa 2600 SM, atau tepatnya pada masa berkuasanya Firaun Cheops (Khufu).

Sebagaimana lazimnya, pembangunan piramida di masa Mesir Kuno adalah sebuah tradisi, terutama bagi setiap Firaun yang memerintah, yang diharuskan mempunyai piramidanya sendiri. Pembangunan piramida di masa Mesir Kuno bukan hanya ditujukan sebagai pemujaan dan ibadah kepada Ra, dewa tertinggi dalam mitologi Mesir Kuno, tetapi juga sebagai tempat pemakaman, serta kebanggaan. Karena tradisi, hal demikian tidak bisa tidak ditolak, terutama yang ditunjukkan oleh Cheops, yang pada awal novel ini menyeletuk hendak menghentikan tradisi pembangunan piramid untuk dirinya. Celetukan itu jelas membuat beberapa pendeta, pejabat kerajaan, terutama Pendeta Tinggi Hemiunu berurai air mata, seakan-akan tak percaya kalau seorang Firaun berupaya menghentikan tradisi yang sudah sedemikian berjalan.

Maka, tak ada jalan lain selain membujuk Cheops dengan mengatakan bahwa membangun piramid adalah sebuah keharusan dan sebuah tradisi yang tidak boleh diputus. Ini pun ada hubungannya dengan pilar penyangga kekuasaan. Begitulah yang diucapkan Hemiunu kepada Cheops pada sebuah pertemuan dengan nada mengancam,

“Piramid adalah pilar penyangga kekuasaan. Jika ia terguncang, segalanya rubuh berantakan” (hal.15)

“Jadi jangan berpikir, Firaunku, untuk mengubah tradisi...Paduka bakal jatuh dan menyungkurkan kami bersamamu” (hal.15)

Firaun Cheops yang dibujuk seperti itu akhirnya secara sadar berubah pikiran. Apalagi, oleh beberapa bawahannya dikatakan bahwa pembangunan piramid itu juga untuk mengimbangi pembangunan kanal yang dilakukan bangsa Sumeria, seteru Mesir Kuno di masa itu. Sekaligus sebagai sebuah kebanggaan nasional bahwa Mesir mempunyai sesuatu yang layak dibanggakan.

Lalu pembangunan Piramid dilakukan dan memakan banyak korban jiwa selama berbelas hingga berpuluh tahun. Piramid pun selesai tetapi tiga tahun kemudian, sang Firaun meninggal dan kemudian dimakamkan di piramid yang dibangunnya tersebut.
***
Dengan paparan bab yang bersifat kronikal dalam buku setebal 216 halaman ini (plus duan esai dari Magnus Linklater dan David Bellos), Kadaré memaparkannya secara struktural. Dimulai dari masa rencana pembangunan piramid, masa pembangunan, dan pasca pembangunan. Ketiga masa itu jika ditafsirkan seperti membangun piramid itu sendiri yang memakan banyak korban jiwa, terutama para anak lelaki yang harus direlakan oleh ibunya untuk mati demi menuruti keinginan sang raja. Dalam hal ini Kadaré menuliskannya secara satir,

“Ibu sayang, izinkanku mengakhiri hidup dengan membangun makam” (hal.60)

Yang kemudian pada beberapa halaman terpisah ditanggapi dengan kalimat seperti ini,
“Kukorbankan anak laki-lakiku pada piramid dengan gembira” (hal.98)

Secara psikologis, ini sebenarnya merupakan sebuah sikap yang sebenarnya sangat menolak, apalagi pengerahan para pekerja itu dilakukan dengan cara paksa, dan di tempat kerja dicambuk habis-habisan. Namun, karena ini adalah perintah sang Firaun, maka itu pun tidak bisa ditolak, yang kemudian membuat si ibu dan anak menghibur diri.

Memang, pembangunan piramida itu dilakukan secara paksa. Hal yang demikian membuat rakyat Mesir Kuno gempar seperti mengalami sebuah serangan penyakit menular atau perang. Kadaré menggambarkannya kegemparan itu dengan ungkapan berikut,

“....rasa cemas yang dirasakan manakala kemalangan yang sangat ditakutkan, yang diharapkan takkan pernah terjadi oleh masyarakat, akhirnya benar-benar mewujud di atas cakrawala,” (hal.17)

Ini mengindikasikan bahwa sebenarnya pembangunan piramida tidak diinginkan oleh masyarakat Mesir Kuno karena sifatnya yang memaksa. Mereka bahkan menganggap itu sebuah kesialan yang tidak bisa dilewatkan dalam hidup mereka. Kekhawatiran itu sendiri bukan hanya dirasakan oleh masyarakat, tetapi juga para arsitek piramida, karena mereka yang bertanggungjawab langsung kepada Firaun.

Namun kecemasan yang sebenarnya dalam novel ini justru terletak pada diri sang Cheops. Sifatnya yang inkonsisten membuatnya kemudian tersadar bahwa pembangunan piramid itu pada akhirnya akan memangsa dirinya sendiri. Ini yang kemudian dipaparkan secara dalam oleh Kadaré dalam bab VI “Debu Raja-raja”. Meminjam istilah terkenal dari Sigmund Freud, psikoanalisis, terlihat sekali Kadaré berusaha mempermainkan emosi sang Cheops yang mulai membayangkan dirinya mati dibalsem, terbungkus kain mumi, dan terkubur dalam sarkofagus di sebuah tempat yang sepi, penuh debu, dan jauh dari kehidupan. Apalagi kalau bukan di piramid yang tengah dibangunnya itu. Dan di bab akhir, ia semakin menyadari bahwa piramid itu menginginkannya.

Jika menilik pada teori Freud, maka bisa dipastikan bahwa kejiwaan Cheops memasuki tahap sadar dari tiga tahap yang diajukan Freud dalam psikoanalisisnya, yaitu sadar (conscius), pra sadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious).

Mengapa Kadaré begitu nampak memusatkan perhatiannya pada Cheops? Hal ini dikarenakan Cheops sendiri yang merupakan penggerak massa untuk membangun piramid kebanggaannya dengan berdarah-darah. Tentulah menjadi hak bagi Kadaré untuk memeriksakan kejiwaan tokoh sentralnya ini ketika menghadapi serangkaian kejadian yang berhubungan dengan pembangunan piramida. Mulai dari ketegangan menghadapi para arsitek yang menyiapkan maket pembangunan, ketegangan menghadapi para pendeta dan penyihir, lalu ketegangan menghadapi rakyat yang anti kepada dirinya hingga dirinya sendiri. Dan secara psikologis, dapat disimpulkan bahwa Cheops perlahan-lahan mulai terkucil seperti yang ia bayangkan ketika meninggal nanti.

Apa yang dipaparkan Kadaré mengenai Cheops sendiri sebenarnya seperti sebuah ironi. Kebanyakan orang mengenal Cheops sebagai salah satu Firaun yang berhasil membangun salah satu piramid terbesar dunia, Piramida Giza. Piramida itu kemudian menjadi salah satu tujuh keajaiban dunia kuno versi Herodotus. Tetapi, ia digambarkan sebagai diktator yang terlihat lemah dan tak berdaya dan mudah berubah sikap.

Mengenai kediktatoran itu sendiri, sesungguhnya tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan nyata Kadaré yang secara langsung bersinggungan dengan Enver Hoxha, diktator komunis Albania yang membuat negeri itu menjadi komunis pasca Perang Dunia ke-2 dan kemudian berakhir pasca runtuhnya Uni Soviet. Kehidupan yang diktatoris di Albania membuat Kadaré menyingkirkan diri ke Prancis dan berkarya di sana. Dan Piramid bisa dibilang sejenis dengan karya-karyanya, yang di antaranya sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti Istana Mimpi (Serambi, 2012) dan Elegi untuk Kosovo (Jalasutra, 2004)

Hadirnya Piramid karya Ismail Kadaré ini seperti kata penerbit yang memegang lisensi karyanya, Marjin Kiri, untuk mengisi kekosongan bacaan sastra, terutama sastra dunia yang berkualitas di Indonesia di tengah gempuran bacaan teenlit atau metropop. Apalagi karya ini bukanlah karya sembarangan mengingat isinya yang menyentuh sisi humanis yang tengah tercerabut oleh kesewenangan politis. Jika di Indonesia karya ini pantaslah disandingkan dengan karya-karya dari Pramoedya Ananta Toer yang juga berbicara mengenai perlawananan dan kesewenangan. Apalagi dalam penuturannya, keduanya kerap menampilkan sisi psikologis para karakternya. Sedangkan di tingkat dunia, karya-karya Kadaré kerap disejajarkan dengan Frans Kafka, Vaclav Havel, dan George Orwell.

Dari segi kemasan, terutama dalam penerjemahan, sang penerjemah, Dwi Pranoto nampaknya berhasil menghidupkan roh tulisan Kadaré melalui diksi yang tepat sehingga menjadikan terjemahan itu nampak seperti aslinya. Bahkan ia sendiri menciptakan kosakata seperti termulia, sedua. Meskipun di sana-sini ia juga menyisipkan kosakata bahasa harian, seperti bego dan bloon. Namun itu nampaknya tidak mengganggu keasyikan pembaca dalam menelusuri halaman demi halaman dan malah seperti air yang mengalir. Tujuannya jelas, agar pembaca bisa langsung mengerti dan memahami apa maksud yang akan disampaikan si penulis.
Akhirul kalam, keberadaan Piramid seperti sebuah oasis yang langka di padang pasir dan menjadi relevan dengan keadaan di Tanah Air yang masih dipenuhi oleh kesewenangan dan ketidakdilan.


Kamis, 30 Agustus 2012

Sastra Indonesia: Sastra Multikultural


Tujuh tahun silam, saya mengambil kuliah di sebuah perguruan tinggi terkenal di Indonesia. Nama perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia. Lalu jurusan yang saya ambil adalah Sastra Belanda (sekarang Program Studi Belanda). Kalau melihat dari nama belakangnya, jelas orang sudah tahu bahwa itu adalah sebuah negara yang cukup lama mempunyai kaitan erat secara historis dengan Indonesia. Ketika saya masuk ke jurusan itu, nyatanya bukan hanya bahasanya saja yang saya pelajari, tetapi juga kebudayaan dan sastranya. Khusus mengenai sastranya, Belanda memproklamasikan bahwa sastra mereka sama dengan kondisi masyarakat mereka sekarang ini: majemuk dan pluralis. Hal itu dikarenakan banyaknya para penulis dari luar “negeri kincir angin” tersebut, yang kebanyakan para imigran. Istilah untuk mereka adalah immigrantenliteratuur. Sebut saja Kader Abdollah, Lulu Wang, Abdelkader Benali, dan Mustafa Stitou adalah contoh-contoh para penulis imigran yang berhasil eksis di Belanda. Keberadaan mereka jelas membuat situasi yang berubah dalam dunia sastra Belanda, terutama dalam hal penceritaan, bahasa, dan pembawaan budaya dari negeri asal. Dari penceritaan, tentu saja berpusat pada sesuatu yang berasal dari penulis itu sendiri mengenai keberadaannya di tempat baru. Ini berkorelasi langsung dengan pembawaan budaya yang terkadang malah kontras satu sama lain. Dalam bahasa, bahasa para penulis imigran itu lebih gampang dimengerti, simpel, dan tidak bertele-tele. Berbeda dengan penulis asli Belanda yang gemar berbahasa panjang dan membuat pembacanya mengerutkan dahi tanda tak mengerti.

Nah, kalau Belanda begitu bangga mengatakan adanya unsur multikultularisme dalam sastranya, bagaimana dengan negara bekas jajahannya, Indonesia?
***
Berbicara mengenai sastra Indonesia, sejujurnya pikiran saya tidak bisa dilepaskan dari yang namanya Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, Robohnya Surau Kami, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Yang demikian itu sering dijadikan bacaan wajib bagi para siswa terutama saat pelajaran bahasa Indonesia. Biasanya dalam pelajaran itu para siswa disuruh mengapresiasi karya-karya itu yang kebanyakan dalam bentuk hafalan dan bukan menuliskan suatu kritik mengenai karya-karya tersebut.

Itulah yang masih tertanam dalam pikiran saya dan itu akhirnya berubah ketika saya di bangku kuliah. Bahwa sastra bukanlah hafalan seperti halnya sejarah. Sastra adalah bagian dari kebudayaan yang harus diapresiasi serta mempunyai nilai yang subjektif jika itu bersinggungan langsung dengan penulisnya. Dan akan menjadi objektif jika ia kemudian dimasukkan dalam tataran ilmiah.

Memang antara sastra dan sejarah, seringkali orang merasa rancu di antara keduanya. Tidak juga bisa dihindari bahwa keduanya saling berhubungan. Sebab pada awal kemunculan budaya tulis-menulis, mengisahkan sesuatu yang bersejarah akan dilakukan dengan cara bersastra, seperti berpantun atau berhikayat.

Keterkaitan antara sastra dan sejarah juga berhubungan dengan sifat multikultural dalam sastra Indonesia itu sendiri. Multikultural dalam sastra Indonesia itu sendiri muncul akibat kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk dan pluralis karena terdiri dari banyak suku bangsa, agama, kepercayaan, etnis, dan juga pulau-pulau. Multikultural dalam sastra Indonesia terbilang unik sebab merupakan perpaduan budaya antara Timur dan Barat yang kemudian berasimiliasi membentuk budaya Indonesia. Namun, jauh sebelum munculnya budaya-budaya dari luar seperti dari India, Arab, Cina, juga Eropa, keadaan sastra Indonesia sendiri sudah cukup multikultural. Hal ini karena tiap suku bangsa yang ada mempunyai ciri khas karya sastra masing-masing. Seperti Sure Galigo dalam sastra Bugis dan kakawin dalam sastra Jawa. Lalu budaya-budaya dari luar itu, termasuk yang membawa agama menjadi pelengkap dan memperkaya khazanah sastra Indonesia itu sendiri.

Sifat multikultural sastra Indonesia ketika memasuki awal sastra modern tidaklah nampak dan hanya samar-samar, sebab pada masa, yang dalam terma sejarah sastra Indonesia disebut sebagai zaman pujangga baru, kebanyakan yang ditampilkan hanyalah permasalahan rumah tangga semata yang sifatnya normatif dan hitam putih. Coba simak dalam Sitti Nurbaya atau karya sejenis yang kebanyakan diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit yang berfungsi sebagai corong propaganda Pemerintah Hindia-Belanda ketika itu. Sifat multikultural itu justru ada pada terbitan di luar Balai Pustaka. Sebut saja Loe Fen Koei, Bunga Roos dari Tjikembang, atau Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo. Jika dilihat kebanyakan justru dari etnis Cina atau pribumi, tetapi yang menentang feodalisme.

Barulah pada masa setelah kemerdekaan, multikulturalisme semakin nampak. Balai Pustaka sebagai corong pemerintah kolonial tidak bisa lagi memaksakan kehendaknya untuk membuat karya sastra yang hitam-putih dan manis. Multikulturalisme itu ditandai dengan runtuhnya dominasi penulis dari Sumatera Barat lalu bermunculanlah penulis-penulis dari luar Sumatera Barat, yang pada masa zaman pujangga baru tidak dianggap sama sekali. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Putu Wijaya, dan sebagainya.

Dari mereka-merekalah multikuluralisme itu muncul melalui kegelisahan-kegelisahan yang mereka hadapi yang berkenaan dengan cara pandang mereka terhadap kebudayaan asal mereka sendiri. Hal itu lalu dituangkan dalam bahasa Indonesia, yang sudah disepakati sebagai bahasa nasional, namun dalam bahasa itu tak lupa mereka memasukkan istilah-istilah dari daerahnya yang nyatanya berpengaruh besar dalam kosakata bahasa Indonesia.

Multikulturalisme dalam sastra Indonesia semakin menjadi-menjadi ketika memasuki era reformasi yang berlangsung hingga sekarang. Atas nama kebebasan berekspresi, multikultralisme itu kemudian dituangkan dalam bentuk apresiasi terhadap kelamin, sehingga melahirkan sastra kelamin yang dipelopori Jenar Maesa Ayu dan Ayu Utami. Juga dalam bentuk roman sejarah, mengingat pada masa orde baru banyak yang dipalsukan, dengan cara penulisan yang tidak biasa alias terkesan tidak formal dan meledak-ledak. Hal demikian berpengaruh besar pada situasi sastra Indonesia sekarang ini, terutama pada situasi sosial, yang masyarakatnya tak perlu takut lagi mengutarakan sesuatu. Keadaan demikian ditambah dengan pesatnya teknologi sehingga memudahkan penyampaian informasi mengenai karya sastra sekarang yang akhirnya dapat dibaca, diserap, dan diapresiasi dalam waktu singkat.  Apalagi penerbitan buku tak lagi terpusat di Jakarta, melainkan juga di luar Jakarta, seperti Yogyakarta dan Bandung.

Hanya saja maraknya paham multikultural dalam dunia sastra Indonesia sekarang ini tidak diimbangi dengan semakin membaiknya kuantitas dan kualitas budaya baca di Indonesia yang masih rendah. Paham multikultural dalam sastra Indonesia itu sendiri sebenarnya hendak memberikan sesuatu yang mencerahkan, terutama pada era reformasi ini, yang sarat akan kebebasan informasi. Apalagi selepas reformasi banyak persinggungan negatif terjadi, baik antaretnis, agama, dan golongan. Mengacu pada pendapat Taufik Ismail, bahwa itu disebabkan oleh rendahnya budaya baca di Indonesia, sehingga orang Indonesia sendiri buta akan sejarahnya. Padahal jika mau mengapresiasi, minimal dengan membaca, konflik-konflik yang terjadi sejatinya bisa diminimalisasi, dan mereka tahu bahwa mereka hidup di lingkungan yang multikultural.
***
Sekarang bisa diketahui bahwa sejatinya sastra Indonesia adalah sastra multikultural. Multikulturalnya tercipta secara alamiah, bukan buatan. Multikultural dalam sastra Indonesia itu sendiri terjadi melalui asimilasi dan akulturasi yang sifatnya positif, tidak seperti di negara-negara lain, contohnya Belanda yang mungkin terjadi melalui persinggungan negatif, terutama melalui konflik dengan lingkungan sekitar. Bahkan karena sifatnya itu, sastra Indonesia bisa menjadi acuan sastra dunia. Sayang, apresiasi yang kurang, terutama di lingkungan sekolah, bisa menjadi penyebab utamanya. Apalagi kalau masih menyuruh siswa membaca lagi karya-karya sastra yang sudah tidak lagi relevan. Inilah yang masih harus diperbaiki.

Rabu, 29 Agustus 2012

Bara Pedih di Tanah Umayyah

Aku ingin ajak dirimu serta menyaksikan pemandangan
yang mungkin akan membuatmu takjub
Bukan, ini bukan pemandangan pegunungan, laut, pantai, hutan, atau gedung-gedung pencakar langit
Tapi bagiku ini pemandangan tak biasa

Lihatlah jasad-jasad itu
terbaring kaku tak berdaya
bermandikan darah dan pasir
Dalam raut mereka terbaca ketakutan mendalam
teriakan yang menyayat
cagle.com
tangisan yang memilukan
tentang hari-hari kelam yang dahsyat
seperti tsunami yang tak kunjung henti

Damai telah menjadi langka bagi mereka
apalagi kebersamaan
Dan desing-desing peluru itu masih membabi buta
pada tanah yang dulu sempat menjadi saksi bisu Umayyah

Tuhan, Izinkan Aku Lepas Darinya

Aku ingin teriak. Tapi apakah teriakanku ini didengar? Terutama oleh mereka yang berhubungan dengan diriku? Peduli setan, yang jelas aku ingin teriak. Teriak pada ketidaknyamananku. Dan kenyamanan itu ada di dekatku. Paling dekat. Setiap hari ia bersamaku. Dalam tiap menit, detik, jam, hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Bisa dibilang aku mengenalnya. Ya, bisa dibilang. Walau terkadang dalam beberapa hal aku malah tidak mengenalnya.

Baiklah, ketidaknyamanan ini sudah aku rasakan semenjak aku mengenalnya. Tetapi, secara pastinya aku tidak tahu. Yang jelas ia sudah ada di dekatku dan selalu bersamaku. Bersama melewati hari-hari yang kadang kelam. Kadang terang. Atau malah kadang bukan kedua-duanya. Pada awalnya sih, aku enak-enak saja dengannya. Berkenalan secara perlahan walau mungkin ada penolakan. Entah itu bisa di aku sendiri atau dirinya.

Tak ada ingatan pasti dariku mengenai dirinya. Tapi, sejak awal aku sudah mengenal bahwa ia selalu memberontak. Tidak mau mendengarkan orang yang dekat dengannya dan selalu memaksa diriku untuk melakukan apa yang ia mau. Terutama terhadap hal-hal yang bertentangan, yang Tuhan telah ajarkan padanya. Mengenai itu aku jadi sedikit teringat ketika ada sesosok cahaya besar menyuruhku untuk masuk ke sebuah sosok yang sedang diciptakan dalam sebuah rahim. Sosok cahaya itu berkata kepadaku,

“Kau masuklah ke dalamnya,” perintah sosok cahaya itu kepadaku. Pada saat itu sosok yang ada dalam rahim itu hampir mendekati jadi.

Namun ketika melihat ke sosok itu dengan meneropongnya, aku merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sesuatu yang sepertinya akan menjadi bumerang bagi diriku.

“Maaf, bukan hamba menolak,” kataku menolak karena sosok itu benar-benar akan menjadi sosok yang menyiksa diriku, “Tetapi, hamba tidak mau,”

“Apa kau berani menolak perintahKu, wahai ciptaanKu yang hina?” tanyanya dengan nada yang menggelegar. Mendengar itu aku bergetar dan ketakutan, “Masuklah dan turuti perintah Tuhanmu!”

Aku yang dalam keadaan seperti itu, segera menuruti perintah sesosok cahaya yang rupanya adalah sang penciptaku sendiri. Yang mempunyai segala kuasa atas diriku. Yang mempunyai lebih dari yang kupunya yang mungkin hanya seujung rambut. Dia yang benar-benar membuat semuanya tunduk. Begitu juga iblis.

Lalu masuklah aku. Mendiami sosok itu seperti air yang mengisi suatu ruang. Lalu terciptalah suatu nafas yang amat sangat dibutuhkan, nafas kehidupan. Suatu nafas yang amat sangat vital.



Jepretan kamera itu tiada henti menerpa dirinya. Jepret sana. Jepret sini. Kilatan itu seakan memantul mengenai kulit putih yang mulus itu. Dan itu bagaikan kulit yang tercambuk keras dan berulangkali. Rasanya tentu sakit. Sakit sekali. Aku tentu sudah tidak tahan jika keadaannya seperti itu. Ingin minta itu dihentikan. Tetapi, si pemilik kulit malah kelihatannya asyik. Senyum-senyum saja. Mengikuti arahan sang fotografer di sebuah studio foto itu. Dengan berpakaian semi terbuka, maka semakin menjadilah serbuan kilat itu. Menyilaukan. Membuatku geram dan ingin berteriak.

Kenapa kamu mau kulitmu menjadi santapan kilat itu? Dinodai satu per satu dengan titik-titik cahaya yang lekas tak berbekas? Lalu berpakaian dengan memperlihatkan kulit indahmu yang mulus itu? Bukankan seharusnya itu menjadi privasimu, wahai si pemilik kulit, Rini?

Ya Rini. Engkaulah si pemilik kulit itu. Orang yang selalu bersamaku. Yang satu langkah, satu kata, dan satu hati. Tetapi, sebenarnya bertentangan. Dalam beberapa hal kau selalu menolak mentah-mentah saranku. Padahal, saranku baik. Saran itu adalah titipan dari Sang Pencipta kepadaku sesaat sebelum aku memasuki dirinya.

“Aku cuma meminta kepada dirimu agar kau mengarahkannya baik-baik,” ujar Sang Pencipta kepadaku.
“Tetapi, ia akan melawan, wahai Engkau yang menciptakan diriku,” kataku yang sepertinya ragu bahwa aku akan bisa mengarahkan ia seperti yang diminta, “Ia akan melawanku,”

“Itu sudah sifat alami,” kata Sang Pencipta, “Dan sudah menjadi tugasmu lah untuk bisa setidaknya memberinya saran atau peringatan agar ia tak terjerembab. Kemudian masuk ke nerakaku,”

“Hamba mengerti dan akan melaksanakan,” ujarku yang mau tidak mau harus menuruti karena itu adalah perintah nan sakral.

Tetapi, apa daya dan seperti yang sudah kuperkirakan, Rini melawanku. Selalu aku menyarankannya untuk tampil dengan pakaian sopan dan tidak mengundang nafsu berahi lelaki, terutama lelaki hidung belang.

“Kamu pikir dirimu siapa? Ulama? Ustad? Atau Tuhan? Tuhan aja nggak repot sama diriku. Kok kamu repot? Suka-suka aku dong!”

Ketika aku berikan penjelasan mengapa, ia malah balas menghardikku,

“Tergantung orangnya dong. Sekarang zamannya kebebasan berekspresi. Mau-mau diriku dong! Lagian kamu siapa aku sih? Pergi sana!”

Itulah yang setiap hari aku lakukan. Sebisa dan semampu mungkin mengarahkan Rini menjadi yang baik-baik. Penolakan-penolakan dari dirinya kepadaku sudah seperti menjadi santapan sehari-hari. Seharusnya, aku sudah bisa tahu di mana celahnya. Tetapi, sayang hingga hari ini aku belum dapat menemukannya. Apalagi dalam penolakan-penolakan itu, selalu saja iblis menghalangiku. Ia selalu tertawa-tawa.

“Sudah tak ada gunanya kamu tiap hari mengarahkan dia,” ujarnya sambil berenang di dalam aliran darah dalam tubuh Rini, “Kamu bukan siapa-siapanya dia lagipula,”

“Memang menurutmu aku bukan siapa-siapanya,” kataku seraya membela diri, “Tapi, Sang Pencipta sudah titipkan tugas padaku untuk terus mengarahkannya supaya ia tidak menemanimu,”

Iblis tertawa-tawa mendengar ucapanku.

“Basi!” ujarnya, “Percuma. Lagipula dia lebih senang mendengar diriku daripada kamu!”

Kembali ia tertawa. Jujur, tertawaannya itu membuatku membencinya. Tawa yang mengandung kesombongan dan kesombongan itulah yang menyebabkan ia harus hengkang dari surga karena menolak sujud kepada Adam.

“Kamu sebaiknya diam saja dan mengendap,” ujarnya lagi mengejekku, “Abaikan saja perintahNya. Selesai kan?”

“Selesai kalau memang tugasku sudah seharusnya selesai,” ujarku membalas, “Tapi, ini belum,”

Iblis tertawa-tawa kembali dan kemudian lenyap entah kemana.


Sejujurnya, aku ingin bertanya ini derita atau cobaan? Kalau memang derita, ada baiknya aku pasrah. Tetapi, kalau cobaan sebaiknya tidak. Namun antara kedua-duanya bisa jadi sama dan akan tertukar maknanya. Tapi, sudahlah aku tak mau bermain pada tataran linguistik itu sebab aku tak begitu memahaminya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku saat ini berada di antara keduanya.

Aku merasa sebenarnya sudah lelah menghadapi Rini. Mungkin bukan hanya lelah tetapi juga menangis. Menangis teramat sedih. Menyaksikan tingkah lakunya dalam cahaya yang berburam. Membiarkan dirinya dinodai oleh lawan jenisnya lalu berteriak kesakitan dan mendesah. Ia lakukan itu berulangkali dan itu membuatku merasa harus lepas darinya. Bagiku, mungkin itu yang terbaik. Tetapi, Sang Pencipta menegurku,

“Tetaplah di situ sampai aku putuskan kau sudah tidak bersama dirinya lagi. Janganlah seperti Yunus,”

Dan teguran itu, mau tidak mau, harus aku patuhi. Lalu kisah tentang Yunus. Yah, aku tahu kisah itu. Kisah seorang nabi yang diutus Tuhan kepada suatu kaum. Dengan tujuan agar kaum itu mau taat dan menyembah kepadaNya. Namun kaum itu rupanya ogah dan keras kepala, maka menantang Yunus. Yunus yang kesal dan putus asa lalu meninggalkan kaumnya sebelum datang perintah dariNya. Ia pun hendak menuju ke tempat lain dengan menumpang kapal. Tiba-tiba badai pun datang, dan kapal yang ditumpanginya pun oleng. Yunus pun tenggelam. Seekor ikan besar menelannya hidup-hidup. Ia sendiri tidak mengerti kenapa sebelum akhirnya si ikan menjawab bahwa ia disuruh Tuhan menelannya karena perilaku Yunus yang meninggalkan kaumnya. Yunus pun menyadari kesalahannya. Kemudian Tuhan memerintahkan si ikan besar itu merapat di pantai dan mengeluarkan Yunus dan Yunus akhirnya kembali kepada kaumnya untuk berdakwah.

Aku memang bukan Yunus. Dan aku juga bukan seorang nabi. Tapi, sepertinya Ia memandangku agar jangan berperilaku seperti manusia pilihannya. Kemudian menunggu komandonya kapan aku harus pergi. Sungguh, bagiku itu terasa lama karena itu takkan pasti dan mendadak. Apalagi bagi diriku yang sudah tidak betah bersama Rini yang makin lama mengawang-awang di dalam dunianya dan melupakan diriku.

Rini, wanita itu, yang sepertinya adalah bumerang bagiku. Bukan hanya bagiku. Tetapi juga orangtuanya dan saudara-saudaranya. Orangtuanya berulangkali menasehati, tetapi ia acuh. Saudara-saudaranya ia remehkan. Bahkan ia menantang keras dan kerap terganggu dengan lingkungan keluarganya yang religius. Selalu ia beralibi ini-itu jika disuruh berperilaku religius, yang sebenarnya baik buat dirinya dan ia hanya seperti itu ketika pada saat tertentu saja. Sampai-sampai aku menegurnya sekaligus menyindirnya. Tetapi, selalu ia melawan dengan mengatakan,

“Eh, memang kamu siapa? Nggak ada yang sempurna manusia. Suka-suka aku dong!”

Manusia memang tidak ada yang sempurna, tetapi ia pasti akan selalu berusaha mendekati apa yang dinamakan kesempurnaan.

“Terus? Kamu mau maksa? Udah deh sana pergi!”

Dan begitulah. Aku terdiam tak bisa menjawab. Ia telah begitu keras denganku. Sulit bagiku untuk bisa berkompromi dengannya.

Maka dari itu, aku ingin teriak. Teriak kepadaNya. Mungkin cuma Dia yang bisa mendengar. Aku ingin berteriak kenapa aku harus bersamanya. Bersama dengannya yang sepertinya takkan mau diajak akur dan bekerja sama demi satu tujuan: surga. Haruskah di sini terus. Terus-terusan menasehatinya. Terus-terusan dilawan sampai aku merasa apa yang kulakukan percuma. Iblis kulihat begitu berhasil mendekapnya dengan erat. Rini pun mau saja tergoda. Semakin jauh dariku dan juga dariNya.

Oh, katakanlah Tuhanku, aku sudah tidak betah dan ingin keluar darinya. Biarlah aku, rohMu ini melayang untuk kembali kepadaMu daripada aku harus menderita. Oh, katakanlah wahai Tuhanku. Izinkan aku tak bersamanya lagi. Selamanya.

Selasa, 28 Agustus 2012

Repetisi


Selalu saja itu terjadi. Berulang-ulang kali meski masa sudah lewat dan terbenam. Sebuah pengulangan yang manusia pun, sadar atau tidak akan selalu mengalaminya. Sebuah pengulangan yang memang telah Tuhan ciptakan supaya manusia itu bisa mempelajarinya walau dalam kenyatannya tidak, dan bahkan tidak sama sekali. Sebuah pengulangan yang selalu didengung-dengungkan oleh mereka yang memanfaatkan pengulangan sebagai suatu hal yang menonjol ketika memunculkan dirinya di dalam masyarakat. Sebuah pengulangan yang akan terus beranak-pinak.

Awalnya, aku tidak menyukai hal ini. Bagiku pengulangan atau repetisi adalah sebuah hal yang memboroskan hal. Memboroskan tempat dan juga rasa. Sesuatu yang bagiku buang-buang waktu karena toh apa yang telah diulang adalah semua yang sudah berlalu. Berlalu karena telah terjadi pada masa yang telah lama. Pada masa yang mungkin aku sendiri tidak ada atau ada. Masa yang seharusnya dilupakan karena di depan akan muncul sebuah masa lagi.

Aku berusaha menghindari setiap repetisi itu. Ketika menulis sebuah kalimat, aku hilangkan yang berbau repetisi. Ketika menggambar, aku berusaha untuk tidak menggambar seperti orang kebanyakan, menggambar orang atau pemandangan, dan ketika memotret, aku berusaha untuk tidak memotret yang seperti kebanyakan orang lakukan. Aku berusaha menciptakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu tanpa repetisi. Sesuatu yang menurutku akan istimewa.

Tetapi, setiap kali kucoba melakukan hal itu, selalu aku tak bisa. Terbentur pada kenyataan bahwa repetisi itu perlu. Dan menjadi penegas, tanpa repetisi kehidupan tidak akan ada.

“Matahari ada di siang hari. Bulan ada di malam hari. Bukannya itu sebuah repetisi, kawan?” tanya Aldi, temanku, “Dan bumi berputar berulang-ulang bukannya itu sebuah repetisi. Jadi, kehidupan mana ada kalau tanpa repetisi?”

“Bukannya itu takdir?” tanyaku seakan-akan aku menolak anggapan dari kenyataan bahwa itu adalah sesuatu yang harus diulang-ulang.

“Itu memang takdir,” katanya lagi, “Tetapi, takdir itu selalu datang berulang-ulang dan itu adalah repetisi. Bagaimana kau sendiri bisa menghindari repetisi kalau nyatanya ia ada di sekitar kita?”

Aku lalu berpikir. Sepertinya ada benarnya juga apa yang dikatakan Aldi. Tentang matahari yang bersinar di siang hari dan bulan di malam hari dan keduanya berpindah tempat dan waktu dan terus dilakukan berulang-ulang. Namun aku merasa belum puas dengan jawaban Aldi. Apa harus demikian sebuah repetisi sehingga ia menjadi penting?

Aku tanyakan lagi pada temanku yang lain. Namanya Andini. Mungkin ia bisa membantuku setidaknya mengenai repetisi yang ingin selalu aku hindari.

“Maaf, Galih,” kata Andini menatapku dengan serius, “Kamu tidak akan bisa menghindari repetisi sebab repetisi itu seperti sebuah takdir kuasa dari Sang Pencipta. IA sengaja ciptakan repetisi karena IA tahu pasti manusia ciptaannya akan selalu melakukan hal yang berulang-ulang sampai dunia ini kiamat,”

“Sebegitukah sampai kamu mengatakan bahwa repetisi adalah sesuatu yang menurutku absolut?” tanyaku mencoba menyanggah apa yang ia utarakan.

“Aku tidak mengatakannya absolut, Galih,” kata Andini mencoba membela dirinya, “Yang bilang itu kan kamu. Aku hanya mengatakan bahwa repetisi itu aku ibaratkan sebagai takdir dan padahal dalam takdir saja ada takdir yang pasti dan tidak pasti,”

“Itu berarti repetisi itu tidak absolut kan?” tanyaku lagi seperti meminta kepastian.

“Ini bukan masalah absolut atau tidak absolut, Galih,” kata Andini berusaha mencari kata penengah, “Tetapi, bagaimana dirimu sendiri memahami apa itu repetisi,”

Baiklah, itu yang kudapatkan dari Andini, yang mengatakan bahwa repetisi itu seperti takdir. Sesuatu yang datang dari Tuhan dan sudah menjadi sesuatu yang azali. Sesuatu yang harus manusia menjalankannya. Hanya saja aku masih belum puas dengan jawaban itu karena Andini tidak memberikan secara pasti jawaban yang gamblang bagaimana aku menghindari repetisi.

Kembali kutanyakan hal itu pada temanku yang kuanggap lebih pintar dan semoga saja ia bisa memberikan jawaban. Jawaban yang benar-benar kubutuhkan dari sebuah tanya yang terus menggelayuti diriku: bagaimana caranya aku menghindari repetisi? Aku seperti menganggap repetisi itu adalah gangguan, hantu, atau juga ganjalan ketika aku melakukan sesuatu.

Sebut saja nama temanku itu Iskandar Zulkarnaen. Namanya mengingatkanku pada sosok raja dari Makedonia yang telah menguasai dunia dari Yunani hingga Persia ketika ia masih berumur 30 tahun. Keberhasilan yang kemudian diangkat dalam sejarah kehidupan manusia. Sebuah catatan atas prestasi yang agung.

“Bagaimana pun caranya, kau tetap tidak akan bisa,” kata Iskandar kepadakun saat aku menemuinya di sebuah perpustakaan pribadinya, yang berada di dalam rumahnya. Perpustakaan yang berisikan banyak buku. Sejarah, filsafat, agama, dan sastra mendominasi. Aku agak kagum dengan dirinya. Tetapi, ia selalu ingin biasa-biasa saja dan tanpa harus ada sanjungan karena baginya sanjungan, terutama yang berlebihan, bisa melemahkan dan melenakan orang itu sendiri hingga jatuh ke titik yang terendah.

“Repetisi adalah sebuah garis takdir yang Tuhan telah ciptakan dan garis takdir itu mau tidak mau harus dijalankan. Kalau kau berusaha menghindarinya itu sama saja kau mengingkari nikmatNya sehingga dirimu lupa karena tidak mempelajari adanya repetisi,”

Aku terdiam mendengar ucapannya yang seperti setengah berkhutbah ala para penceramah di tempat-tempat ibadah. Aku ingin menyanggah tetapi aku bingung dan tidak tahu menyanggah dengan cara seperti apa.
“Logikanya adalah seperti seseorang yang menolak sesuatu yang ia tidak suka. Akan tetapi sesuatu yang tidak ia suka itu akan muncul kembali, dan karena mendesak, mau tidak mau ia harus menerimanya,”

“Itu berarti repetisi memaksa?” tanyaku yang akhirnya keluar sanggahan sebuah tanya yang menurutku pantas untuk ditanyakan.

“Bukan memaksa,” kata Iskandar kemudian tertawa kecil, “Coba deh kau benahi pikiranmu sekarang dan coba interpretasikan baik-baik setiap ungkapan yang datang. Aku selalu memperhatikan kalau kau selalu cepat menanggapi tetapi dengan misinterpretasi. Aku rasa itu kelemahanmu,”

Aku terdiam dan mulai menyadari kelemahanku. Apa yang dikatakannya memang benar. Bahwa selama ini aku selalu seperti ini. Salah interpretasi dari setiap apa yang kusanggah.

“Sekali lagi bukan maksudku memaksa,” kata Iskandar kembali, “Hanya itu adalah sesuatu yang pasti kau akan temui. Contohnya, kematian. Setiap manusia di dunia ini pasti akan menemui kematian kan? Dan kematian itu ada setelah adanya kehidupan. Jadi, ada yang hidup dan ada yang mati. Selalu berulang dan berulang tanpa kita sadari bahwa itu adalah repetisi,”

“Jadi intinya aku benar-benar tidak bisa menghindari repetisi?” tanyaku pada sebuah kesimpulan akan jawaban yang ingin aku dapatkan.

“Tidak bisa, Galih,” kata Iskandar, “Kau pasti akan selalu melakukan sesuatu yang bersifat repetisi. Pernah mendengar ungkapan “Sejarah selalu berulang”?”

Aku jawab singkat,

“Iya,”

“Tahu kan makna dari ungkapan itu?” tanya Iskandar lagi sambil berusaha memancing diriku.

“Tahu,” jawabku.

“Coba renungkan,” ujarnya.

Aku lalu merenung mengenai ungkapan itu. Ungkapan yang berasal dari bahasa Perancis “L’histoire se repete”. Ungkapan yang ingin mengungkapkan bahwa segala sesuatunya pasti berulang entah dari zaman apa pun berasal. Ungkapan yang mengungkapkan bahwa manusia seharusnya belajar dengan apa yang terjadi di masa lalu dan sekarang untuk masa ke depannya. Tapi, dalam perjalanannya selalu manusia melupakannya.

“Itu intinya, Galih,” kata Iskandar, “Bahwa segala sesuatu, baik atau buruk, pasti akan berulang dan berulang dan sekali lagi manusia harus terus diingatkan untuk belajar dan ungkapan untuk belajar selalu bergaung dari masa yang sudah silam,”

“Dan namamu Iskandar Zulkarnaen itu berarti juga sebuah pengulangan?” tanyaku kembali padanya akan nama yang sepertinya orang-orang menyukainya.

“Betul,” katanya tersenyum, “Karena nama Iskandar Zulkarnaen bukanlah nama sembarangan. Orangtuaku pun telah memilihnya dengan penuh pertimbangan dengan harapan agar aku bisa menjadi Iskandar Zulkarnaen,”

“Menaklukkan dunia?”

“Iya, tetapi dengan buku, sebab buku itu adalah jendela dunia dan itu adalah pernyataan yang selalu diulang-ulang,”

“Iya, aku mengerti,”

“Kalau kau mengerti baguslah. Berarti kau sudah paham seharusnya bahwa dalam kehidupan selalu ada yang namanya repetisi dan itu tidak bisa dihindari,”

Begitulah. Pembicaraan dengan Iskandar Zulkarnaen akhirnya membuatku paham bahwa hidupku, hidupnya, dan hidup semua orang akan penuh dengan repetisi. Repetisi yang kadang terlihat dan terlihat. Disadari dan tidak disadari. Dirasa dan tidak dirasa. Disukai dan tidak disukai. Disanjung dan juga dicacimaki. Sebab, repetisi, bagaimanapun seperti sebuah jalur lurus yang bersamaan dengan takdir. Seperti teman yang selalu setia menemani.

Dan repetisi itu membuat diriku menjadi menyukainya. Apalagi dalam menuliskan sebuah kalimat. Ada rasa keindahan yang terpancar di dalamnya jikalau itu bisa terangkai dengan apik dan padu seperti sebuah rel kereta api yang memanjang lurus sehingga menjadi sesuatu yang nikmat bagi para pereguk kata ketika melihatnya. Kutegaskan, bahwa aku menyukai repetisi dan repetisi itu indah.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Di Hutan

Kau ajak diriku ke dalam lautan rerimbun pohon di hutan yang menawarkan godaan
bisikmu, inilah saatnya, tiada yang melihat tingkah kita berdua kecuali Tuhan dan para penghuni hutan
aku terpengaruh halusnya bisikanmu
membuatku terbang melayang seakan itu bisikan dari surga
dan saat semua terlucuti, terasa gejolak melantak dalam darahku
bertaring mengarah pada kemulusan dirimu
yang merelakan ternoda di dalam keheningan hutan
yang tak peduli mereka yang tak terlihat
kupastikan rasa tidak suka itu ada
dan juga acuh ketika setan menari-nari puas sambil berseringai jahat
bisiknya, lakukan dan terompet kemenangan itu kutiup, menyoraki malaikat di seberang
desah itu menghangat
berpeluh membuncah
saat aku menyatu denganmu

Selasa, 21 Agustus 2012

Untuk E.F.E Douwes Dekker

Mereka bilang kau inspirator
Mereka bilang kau revolusioner
Mereka bilang kau pengkhianat
dan mereka bilang kau oportunistis

Tapi apalah itu semua bagiku
yang hanya tahu dirimu secuil
Indische Partij
Multatuli
dan juga Danudirdja Setiabudi

Maaf jika ini yang bisa kupersembahkan
Ernest Francois Eugene Douwes Dekker

Bandung (Rindukah Aku?)

Menggiring dua bola mataku. Melihat kembali wujudmu. Kembali terpana. Juga dibumbui pesona. Dalam lirikan itu terkuak rindu. Perlahan Membuncah. Rindu yang juga pernah van Dort rasakan. Perjumpaan terakhir sungguhlah istimewa. Benarkah ini rindu atau belaka saja. Ada bentuk lain pada dirimu. Dan tak mampu memiuhku dari kenyataan.
Bandung.

Minggu, 19 Agustus 2012

Hari lebaran

Dan hari itu tibalah
jabat tangan jadilah kebelakaan
bagi penghapusan khilaf
antumfiqolbi.wordpress.com
rasa baru nampak jelas pada jasmani
demi kembali pada yang fitri
namun adakah fitri dalam diriku
jikalau maaf tiada arti bagiku

Sabtu, 18 Agustus 2012

Malam Takbiran 2

fikri6.blogspot.com
Kegembiraan menyeruak
sesiapa beramai menyambut
petasan berkoar
gelap malam binasalah
sepi menyingkirlah
demi hari baru esok
tapi mengapa Situmorang berkata paradoks

Malam Takbiran 1

Lelantun takbir menggema
tetabuh beduk mengiringi
syukur tertutur
kemenangan telah digapai
tetapi menangkah diriku

Jumat, 17 Agustus 2012

Suatu Hari di Het Snoephuis


Langit terlihat cerah. Membiru. Meski matahari yang tengah menggantung padanya bersinar agak tidak sekencang seperti siang tadi, namun terangnya dirasa masih cukup untuk menyentuh sampai ke tiap titik kehidupan di bawah yang nampak berdenyut kembali usai bersiesta berjamaah demi menikmati indahnya istirahat siang.

Mobil terlihat satu-dua melintas. Juga sepeda dan sepeda motor. Di trotoar orang-orang dengan nyamannya berjalan kaki tanpa perlu takut akan kendaraan-kendaraan tersebut. Sesekali juga melintas mobil truk pengangkut tentara dan juga mobil patroli keamanan. Ini seperti memperlihatkan sebuah keadaan yang cukup darurat. Tetapi itulah yang tergambar di Bragaweg, Bandung pada Agustus 1947. Pada pertengahan bulan tahun itu masih terjadi serangan besar-besaran yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, yang masih mereka sebut Hindia-Belanda. Bagi orang Belanda, serangan ini disebut sebagai aksi polisionil dengan nama Operasi Produk, sedangkan bagi Indonesia ini adalah sebuah agresi militer yang bertujuan memunculkan kembali kedudukan Belanda di Indonesia dan mengancam kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan dua tahun sebelumnya.

Dan di tengah hiruk-pikuk dan ketegangan itu, di Bragaweg yang bercampur antara orang-orang Belanda dan pribumi, dan terlihat acuh tak acuh, terdapatlah dua orang yang tengah berjalan kaki menuju ke sebuah restoran penganan kecil bernama Het Snoephuis. Dua orang itu, Tarman dan Dirk, adalah dua orang beda kebangsaan. Yang satu Indonesia dan satu Belanda. Mereka sepakat ke Het Snoephuis untuk menikmati penganan kecil manis nan nikmat setelah kemarin malam mengadakan janji sekaligus membicarakan sesuatu.
Setelah masuk dan memesan masing-masing menu, kedua-duanya duduk. Di dalam restoran itu mereka merasakan kehangatan karena di luar udara sore Bandung begitu dingin.

“Bagaimana keadaan bangsamu, Tarman?” tanya Dirk memulai pembicaraan sambil mengeluarkan dua batang rokok dengan satu batang ditawarkan kepada Tarman dan Tarman menerimanya. Dua-duanya lalu menyalakan korek dan mulai mengisap. Tarman lalu menjawab dengan tenang setelah mengembus.

“Bangsaku baik-baik saja, Dirk,”

Mendengar itu, Dirk yang tadinya mengisap dan mengembus langsung menanggapi dengan tatapan aneh,

“Baik-baik bagaimana?” tanya Dirk heran, “Lihat! Sudah digempur habis-habisan begitu,”

“Tapi, itu kan bukan berarti kami habis,” kata Tarman, “Begrijp jij?[1]

Dirk tertawa-tawa. Ketika mereka sedang berbicara datanglah pesanan mereka. Satu moorkoppen, satu bokkepootjes, satu tompoesjes, dan satu frambos. Tampak empat hidangan itu begitu istimewa dan menggoda meski hanya penganan kecil. Kedua-duanya segera mengambil dan menikmati penganan-penganan yang telah diantar oleh seorang pelayan yang disebut dengan jongos.

“Kau lihat bangsamu lagi, Tarman,” kata Dirk sambil menunjuk ke mata ke arah jongos yang baru saja mengantar pesanan mereka, “Apa itu pantas untuk menjadi sebuah bangsa?”

“Kenapa kau melihat suatu bangsa dari pekerjaannya, Dirk?” tanya Tarman sedikit tersinggung, “Pikiranmu benar-benar kolonial, jongen[2],”

“Wajar kalau pikiranku pikiran kolonial,” kata Dirk membela diri, “Sebab aku dilahirkan di masa kolonial dan kau juga dan wajar kalau bangsa kami hendak berdiri lagi di sini,”

“Tindakan bangsamu itu sudah mencederai hak asasi manusia di PBB, jongen,”

“O,ya? PBB saja belum mengakui bangsamu,”

“Memang belum. Tapi, negara yang senasib-seperjuangan kami telah mengakui kami. Ya kami tahu Eropa itu kan biangnya penjajah jadi sulit mengakui,”

Mendengar kata itu, Dirk agak tersinggung. Ia potong bokkepootjesnya dengan keras hingga piring berdenting. Beberapa orang melihat karenanya namun mereka kembali seperti sedia kala. Melihat itu, Tarman hanya tersenyum. Ia tahu Jan amat emosian sejak mereka berkenalan ketika sekolah di Technische Hogeschool[3] di Bandung.

“Santai lah, kawan,” kata Tarman, “Tapi itu memang fakta,”

“Zeg verdomme,”[4] kata Dirk marah, “Kami ini bukan penjajah tetapi pemberi harapan terutama untuk kalian, pribumi, yang sangat terbelakang,”

“Kalau kami terbelakang kenapa kami punya kebudayaan yang luhur?” tanya Tarman kembali sambil menikmati moorkoppennya.

“Wat bedoel je?[5]” tanya Dirk sambil meneguk frambos merahnya.

“Coba kau ke Leiden dan tanya para indolog di sana,”

Dirk tertawa-tawa mendengar kata itu,

“Kebudayaan kalian? Itu kan kami yang menemukan bukan kalian. Jadi, kalian tetap terbelakang,”
“Hm...dasar kolot. Itu memang kalian yang menemukan tetapi itu hanyalah sebuah kebetulan dan sebenarnya bisa saja kami yang menemukannya?”

“Lalu kenapa kalian tidak melakukannya?”

“Karena peraturan dari bangsamu yang melarangnya. Lihat saja bangsamu saja melarang kami maju. Tapi, kami bersyukur karena dengan penemuan kebudayaan kami yang luhur makin membuktikkan bahwa kami adalah bangsa yang berperadaban maju dan sejajar dengan bangsa lainnya,”

“Wat een flauwekul!”[6] ujar Dirk geram, “Bukankah bangsa kami sudah memberikan kesempatan kepada kalian lewat idenya Deventer dan kalian hanya maju di masa lalu!”

“Idenya Deventer hanya sebatas pada beberapa golongan saja. Ya aku bersyukur karena aku dari golongan bangsawan bisa mendapatkan tetapi yang bukan itu bagaimana? Itu tandanya kalian takut dan masih takut kalau kami maju. Masa lalu bagiku bukan masalah karena dari masa lalu kami belajar bahwa kami bisa,”

“Benar-benar susah menghadapi orang sepertimu, Tarman,” kata Dirk yang nampak meminum kembali frambosnya lalu mengisap rokok.

“Susah apanya? Memangnya matematika?” tanya Tarman terkekeh, “Aku hanya ingin menunjukkan bahwa bangsaku punya harga diri. Itu saja,”

“Harga diri sebagai bangsa terjajah, kan?”

“Bukan. Harga diri sebagai bangsa yang merdeka,”

“Ingat, Tarman, bangsamu belum merdeka karena kami masih menganggap kalian adalah bagian dari kami,”
“Ya, itu menurut kalian,”

Keduanya lalu terdiam sambil memandang pemandangan di luar tokoh yang nampak mulai ramai sementara beberapa ratusan kilometer jauhnya di belakang gunung tengah terjadi pertempuran fisik.

“Apa kita ini tidak bisa hidup berdampingan, Tarman?” tanya Dirk memecah keheningan.

“Oh, boleh saja asal tidak saling menganggu,” jawab Tarman lugas.

“Nah, kalau begitu mengapa bangsamu dan bangsaku tidak bergabung saja membentuk sebuah uni?”

“Maaf, kawan, aku rasa itu bukan cara yang tepat. Yang kami inginkan adalah merdeka, bevrijden, merdeka secara total,”

“Itu artinya kalian akan mengusir kami?”

“Tentu. Tapi, bangsamu boleh ke sini lagi hanya sebagai diplomat atau turis,”

“Ah, tidak bisa. Aku inginnya tetap di sini dan kalian tetap bagian dari kami,”

“Kalau kau ingin tetap di sini sebaiknya ganti kewarganegaraann saja dan maaf tentang itu kalian bagian dari kami hanyalah sejarah sebentar lagi,”

“Kenapa sih bangsamu ingin sekali merdeka dan lepas dari kami?”
“Ya dan kenapa bangsamu juga getol ingin terus menjajah kami?”

“Sebaiknya tidak perlu dijawab kalau begitu,”

“Baiklah,”

Keduanya lalu memakan kembali hidangan mereka hingga akhirnya habis.

“Apa mungkin ini kita terakhir kalinya bertemu, kawan?” tanya Dirk kemudian.

“Ya mungkin,” jawab Tarman.

“Bagaimana kalau kita suatu saat kembali bertemu tetapi di pertempuran. Apa yang kau lakukan?”
“Aku akan bersikap profesional, kawan. Jikalau itu musuhku ya harus kubunuh kecuali dia menyerah kalah dan minta ampun,”

“Jadi, kau akan tetap membunuhku meski kita ini berteman?”

“Ya, dengan catatan engkau telah berbuat keji,”

Dirk tertawa-tawa.

“Apa bisa?”

“Ya nanti kita lihat,”

Di luar tokoh senja telah berganti dengan malam tanpa terasa. Lampu-lampu mulai bersinar sehingga menjadikan Bragaweg tampak bercahaya.

“Ada baiknya kita sudahi dulu pertemuan kita ini,” kata Dirk.

“Tentu,” kata Tarman, “Semoga tadi menyenangkan debatnya,”

“Ya, memang menyenangkan,”

Mereka berdua segera bangkit dari tempat duduk masing-masing lalu mengarah ke kasir untuk membayar. Setelah itu di luar,

“Aku hanya berharap sebaiknya kau ke Belanda saja dan menjadi warga negara kami,” kata Dirk.

“Terima kasih,” kata Tarman, “Tapi di sinilah tanah tumpah darahku, kawan. Menjadi warga negara kalian itu hanyalah sebuah pengkhianatan kecil tetapi besar dampaknya,”

“Terlalu patrotis dirimu,”

“Wajar. Karena aku sedang membela bangsaku yang tengah berjuang mempertahankan kemerdekaannya,”
“Baiklah, kalau itu maumu. Sampai jumpa di lain waktu. Tot ziens,”[7]

“Tot ziens,”

Mereka berdua lalu berpisah. Berbeda alur. Namun keduanya tetap menerobos keramaian Bragaweg yang begitu mempesona ditambah dengan dinginnya udara malam di Bandung. Dan dua tahun kemudian, dalam sebuah pertempuran di hutan dekat Yogyakarta, seorang prajurit melaporkan kepada atasannya mengenai tertembaknya seorang prajurit Belanda yang terpisah dari rombongannya. Sayangnya, ia sudah tewas. Si atasan segera menyuruh si prajurit mengubur namun hatinya berkata kepadanya untuk ikut dalam penguburan itu. Ketika sampai di lokasi, dilihatnya siapa prajurit Belanda yang tertembak itu. Terkejutlah ia. Tarman mengenalnya. Itu adalah Dirk. Berkatalah Tarman dalam hatinya,

Ternyata benar apa yang kau ucapkan dulu. Tetapi kenapa harus seperti ini. Sungguh aku tak menyangka,
Ia lalu berkata kepada para anak buahnya,

“Kuburkan ia dengan layak,”

“Baik, Pak!” kata para anak buahnya menuruti perintah.

Para anak buahnya segera menguburkan si prajurit itu dengan layak dan kemudian ditandai dengan sebuah batu besar untuk nisannya. Selepas itu, Tarman menyuruh anak buahnya meninggalkannya. Ia lalu berbicara kepada makam,

“Aku harap kau tenang di sana, kawan. Tiada dendam pada diriku,”

Tarman kemudian bangkit dan meninggalkan makam.



[1] Mengerti?
[2] Harfiah: anak muda. Tetapi, di sini konteksnya bisa jadi mengacu pada ucapan akrab “bro, broer”
[3] Sekarang ITB
[4] Kurang ajar!
[5] Maksudnya?
[6] Omong kosong!
[7] Sampai jumpa.
 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran