Pages

Minggu, 30 Desember 2012

Garuda

Garuda di dadaku
Garuda kebangaanku
Kuyakin hari ini pasti menang

Lirik lagu di atas, tentu semua orang tahu dan mengenalnya. Lirik itu berasal dari lagu Garuda Di Dadaku yang dinyanyikan band Netral untuk menyemangati tim nasional olahraga Indonesia yang akan dan sedang bertanding. Sebuah lirik yang nadanya terpengaruh dari Apuse, lagu rakyat di Indonesia Timur.
wikipedia.org


Dalam lirik itu terlihat sekali, kata "Garuda" menjadi begitu penting dan sakral, khususnya di Indonesia. Di negeri ini, Garuda adalah sebuah lambang negara, nama maskapai penerbangan nasional, nama sebuah taman budaya di Bali, nama kontingen pasukan militer Indonesia yang akan bertugas di luar negeri atas mandat PBB, lambang sebuah universitas, julukan untuk timnas sepak bola Indonesia, dan juga identitas pariwisata Indonesia yang ber-tagline: Wonderful Indonesia.

Kata Garuda pun juga menjadi sakral ketika digabungkan dengan kata Pancasila, yang kemudian menjadi sebuah lagu nasional. Bahkan, karena sakralnya, tentu saja penghinaan atau pemakaian tanpa izin lambang oleh orang asing ini bisa menjadi sebuah penghinaan dan juga pencurian identitas nasional. Di masa Konfrontasi dengan Malaysia, Bung Karno marah besar ketika Garuda sebagai lambang negara diinjak-injak  oleh orang-orang Malaysia di depan Tunku Abdul Rahman. Dua tahun yang lalu, semua orang di negeri ini heboh ketika rumah desain kondang, Giorgio Armani, membuat sebuah kaus yang desainnya mirip dengan Garuda.

Garuda, juga karena kesakralannya, pernah diperkarakan David Tobing dua tahun yang lalu. Persoalannya, timnas sepak bola Indonesia, dalam setiap bertanding sejak 1956 selalu memakai lambang garuda di dada. Pemakaian demikian, menurut David, jelas melanggar pasal pemakaian lambang negara tanpa izin. Tentu saja, pelanggaran demikian haruslah diberi hukuman. Perkara yang diajukannya memang benar, sayang ia mengajukannya ketika timnas sedang bermain bagus, sehingga ada yang bilang aji mumpung. Pemakaian lambang itu memang tidak boleh, tetapi Bung Karno, pada waktu sebagai kepala negara, mengiyakan saja, dan terbawa hingga sekarang.

Sejujurnya, Garuda bukanlah makhluk asli Indonesia. Ia hanyalah saduran yang diambil Mitologi Jawa dan Bali dari India. Ingat! Mitologi kedua suku bangsa itu, juga Sunda sangat terpengaruh oleh India yang kental akan Hinduisme (hanya Dewi Sri atau Nyi Pohaci yang bisa dibilang asli). Di negara asalnya, India, dalam bahasa Sansekerta, Garuda disebut Garud (गरुड) yang berarti elang. Memang, dalam perawakannya, wahana Dewa Wisnu ini, berwujud elang, namun separuh manusia. Di dalam mitologi, diceritakan bahwa Garuda adalah raja burung musuh para ular. Keturunan Kasyapa dan Winata. Ia diberi kebebasan oleh orangtuanya untuk memangsa manusia, kecuali kaum Brahmana. Pernah pada suatu ketika, ia memangsa salah satu kaum Brahmana. Akibatnya, tenggorokannya terbakar, dan ia muntahkan kembali.

Dari India, yang kemudian menyebarkan ajaran Hindu, juga Buddha, Garuda pun menjadi populer, dan ada di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Namun perawakannya berbeda-beda. Ada yang berwujud setengah manusia, setengah burung, dan ada juga yang berwujud burung saja. Di Jepang ---Garuda disebut Karura--- dan beberapa negara ASEAN seperti Thailand (di sana Garuda disebut dengan Khrut Pa), Garuda berwujud setengah manusia, setengah burung. Sedangkan di Indonesia benar-benar berwujud burung. Namun, di Jepang, Garuda hanyalah sebatas cerita dalam mitologi. Di India dan negara-negara ASEAN, Garuda dipakai dalam kehidupan nyata. Makhluk mitologi ini pun kemudian juga ditampilkan dalam sebuah kartun dari Jepang, Digimon dengan nama Garudamon.

Nah, Garuda di Indonesia yang berwujud burung itu, bahkan boleh dibilang itu adalah representasi elang jawa, satwa asli Indonesia. Di sinilah terletak kearifan lokal bangsa ini yang hanya menyadur kemudian mengkondisikan dengan lingkungan sekitar. Dalam mitologi Jawa dan Bali, bentuk Garuda memang hampir mirip dengan yang di India, namun ketika hendak dijadikan lambang negara, Sultan Hamid II  dari Pontianak yang mendesain lambang itu masih seperti dalam mitologi, hingga kemudian oleh Bung Karno dirubah tidak antromorfomik.

Perihal mengapa Garuda menjadi lambang negara, bisa dibilang merupakan inspirasi Bung Karno yang memang mengetahui dan menggemari cerita mitologi Jawa. Telah disebutkan di atas, bahwa Garuda adalah musuh para ular. Sebuah relief di Candi Kidal, Malang, Jawa Timur, menggambarkan proses kelahiran Garuda yang kemudian di masa kecilnya diteror para ular besar. Namun, Garuda kecil itu bertumbuh besar, dan bisa melawan ular-ular tersebut. Relief itu, menurut sebagian besar orang, yang menginspirasi Bung Karno memilih Garuda menjadi lambang negara. Menurutnya, Garuda dalam relief itu adalah perlambang rakyat Indonesia yang terjajah melawan para ular yang digambarkan sebagai penjajah. Bung Karno bisa dibilang kagum dengan sosok Garuda yang terlihat gagah dan berwibawa, serta berani melawan siapa pun yang menindas.

Garuda memang sakral. Lambang identitas nasional yang tidak boleh diinjak-injak atau dimain-mainkan. Tentu semua ingat bagaimana kasus almarhum Harry Roesli mengubah lirik lagu Garuda Pancasila? Meskipun, di Aceh, terutama oleh para mantan GAM seperti tercantum dalam buku yang ditulis Indra J. Pilliang, Bouraq-Singa vs Garuda: Pengaruh Lambang Separatisme GAM Terhadap RI, menganggap Garuda (Gereuda) adalah makhluk pemangsa ternak. Juga simbolisme Hindu yang berlawanan dengan kondisi masyarakat Aceh yang islami. Ini seperti yang tercantum dalam cerita rakyat Aceh, dan gambaran pada masa DOM.

Namun, sepertinya, pelambangan Garuda seperti yang diharapkan Bung Karno, tidaklah nampak sebab bangsa ini malah semakin diracunbisakan oleh ular-ular imprealis, musuh yang seharusnya dibinasakan Garuda.










Jumat, 28 Desember 2012

Musi: Saksi Bisu Palembang dari Atas Sungai





Matahari bersinar cukup terik. Awan pun terlihat cerah dengan latar belakang langit yang membiru. Namun teriknya matahari pada sebuah sabtu siang itu tak menyurutkan langkah beberapa orang untuk menaiki perahu dari sekian perahu yang mangkal di tepian Sungai Musi, sebuah sungai besar yang membelah Palembang. Dari dermaga di tepian sungai itu terlihat begitu megahnya Jembatan Ampera, yang menjadi ikon Palembang, mencoba menjembatani Palembang di kanan dan di kiri.
 ***
Suasana Sungai Musi yang terlihat tenang airnya dengan sesekali ada ombak kecil yang menerpa tangga bebatuan di dermaga, memang menjadi pilihan bagi mereka yang hendak menikmati Palembang dengan berwisata di atas air. Sebuah wisata yang rasanya tepat ketika Palembang pada 2008 dicanangkan sebagai kota wisata air oleh presiden sebagai padanan Bangkok di Thailand dan Phnom Penh di Kamboja.
Berbicara Sungai Musi, memang tidak bisa dilepaskan dari Palembang. Sebab dari sungai inilah kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan, dan juga menjadi Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan ini berdiri. Tentu saja ini ada kaitannya dengan Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam.
Palembang belakangan menggeliat, terutama setelah diselenggarakannya SEA Games 2011 lalu dengan dibangun banyaknya infrastruktur olahraga. Hal yang demikian membuat Palembang semakin dikenal di dunia. Terletak di ketinggian 8 meter dari atas permukaan laut, menjadikan Palembang sebagai kota dengan kedudukan geografis yang rendah. Namun kedudukan geografis ini membuat Palembang menjadi lintasan yang cukup strategis untuk bisa dilalui jalan Trans Sumatera, jalan yang menghubungkan Sumatera dari Lampung hingga ke Aceh. Keberadaan Sungai Musi tak pelak juga membuat Palembang menjadi lintasan dan sandaran beberapa kapal tongkang, pengangkut pasir, serta yang hendak ke Bangka dan Belitung. Meskipun demikian, letak yang rendah itu, tidak bisa membuat Palembang terhindar dari genangan air di kala hujan.


Sejarah Palembang sebagai kota sebenarnya sudah tersebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit. Dalam prasasti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya (682-1025), kerajaan maritim terbesar di Sumatera, tersebut menyebutkan pembangunan sebuah kota bertanggal 16 Juni 682 Masehi. Dari prasasti itu pun bisa tersimpulkan bahwa Palembang adalah kota tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya, kota ini pun, bersama dengan Sungai Musi yang membelahnya, menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang pada masa puncak kejayaan menjadi kerajaan maritim yang bisa meluaskan pengaruhnya hingga ke Thailand, serta menjadi pusat studi agama Buddha ketika itu. 

 
Namun kejayaan itu sirna ketika Rajendra Chola dari India pada 1025 menyerang Sriwijaya sehingga menjadikan Palembang sebagai ibu kota pelabuhan di tepian Sungai Musi yang banyak dikunjungi kapal-kapal saudagar mulai kehilangan pamor. Pada masa-masa selanjutnya, kota ini berada di naungan kerajaan besar Nusantara lainnya, Majapahit. Di bawah kekuasaan Majapahit, banyak eksodus dari Jawa yang kemudian menetap di kota ini lalu membentuk adat dan istiadat yang sama seperti di Jawa. Meskipun di masa Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823), adat istiadat Jawa berusaha dihilangkan, namun pengaruh Jawa masih terasa kental hingga saat ini mulai dari nama bangunan, bahasa, dan pakaian. Penggunaan nama lawang, gedang, masayu, dan rumah limas cukup menunjukkan masih kentalnya pengaruh Jawa.

Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, kesultanan yang melepaskan diri kesultanan induk di Jawa, yaitu Kesultanan Demak, Palembang menjadi kota pelabuhan yang ramai kembali dan sangat maju. Keadaan demikian seolah-olah mengisyaratkan bahwa Palembang Darussalam sebagai penerus Sriwijaya. Kemajuan demikian juga ditandai dengan kemajemukan etnis sehingga Palembang menjadi kota yang kaya akan banyak kultur.


Sayang, kedatangan Belanda dan Inggris menghancurkan segalanya. Dimulai dari niat berdagang hingga kemudian muncul perang antara Palembang dengan dua negara Eropa tersebut. Perang itu terjadi dalam beberapa periode. Dimulai pada 1811 hingga 1824. Perang terjadi di Sungai Musi yang ketika itu masih sangat lebar, dan tidak seperti sekarang. Peperangan itu tergambar jelas dalam sebuah diorama di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang berada di tepian Sungai Musi. Dalam peperangan itu, Palembang harus mengakui kekuatan dua negara tersebut, terutama Belanda, yang tidak hanya menjalankan perang dengan fisik, tetapi juga dengan mental mengingat kegigihan yang ditunjukkan Palembang Darussalam. Akhirnya, setelah perang terakhir, pada 1825, Sultan Najamuddin III, sultan terakhir Palembang Darussalam, menyerahkan diri, dan semenjak itu, sejak dalam penguasaan Belanda pada 1823, kesultanan pun dihapuskan. Palembang pun menjadi karesidenan dengan pembagian dua wilayah, hulu dan hilir.

Pada masa Perang Dunia ke-2, Palembang pun tak luput dari sasaran pasukan Jepang yang datang ke kota itu untuk mengincar minyak serta mengusir Belanda yang sudah lama bercokol di sana. Ketika Indonesia memerdekakan diri, 20 tahun setelahnya, dibangunlah Jembatan Ampera yang menghubungkan Palembang Seberang Ulu dan Ilir oleh Sukarno. Awalnya, jembatan ini, setelah jadi dan diresmikan dinamakan Jembatan Sukarno. Namun pergolakan politik pasca 1965 membuat nama jembatan diubah menjadi Ampera yang merupakan singkatan dari amanat penderitaan rakyat. Pembangunan jembatan yang istimewa itu, yang pada awalnya bisa dinaik-turunkan jika ada kapal besar lewat di Sungai Musi, secara tak langsung menjadi ikon kota tersebut hingga kini.
***
Cuaca masih cukup terik meski mereka yang menaiki perahu itu sudah sampai lagi di dermaga di tepian sungai usai berplesir ke Pulau Kemaro di delta sungai yang berdekatan dengan pabrik Pupuk Sriwijaya. Teriknya matahari yang menerpa langsung air Sungai Musi yang tampak coklat kehitaman dan berbau kurang sedap tidak serta-merta menghilangkan kejayaan Palembang di masa silam. Bagaimanapun, sungai terbesar di Sumatera itu tetaplah saksi bisu Palembang dari masa ke masa.


Kamis, 27 Desember 2012

Hiu dan Buaya



Ini ada suatu kisah berharga, Datang dari tempat jauh di sana, Bukan kisah percintaan, kesetiaan, atau pengkhianatan, Tetapi kisah kepahlawanan 
Hiu dan Buaya pelakunya, Dua-duanya penguasa, Setiap hari keduanya hanya suka bertarung, Meski keduanya selalu tidak beruntung
Lelah datang, Hiu pun meminta rehat, alasannya tidak sehat, Buaya menerima karena ia juga demikian, Dan berharap akan ada pertemanan
Sayang Hiu bermuslihat, Buaya pun terperanjat, Tak pelak Buaya dilanda amarah, Hiu harus dibuat berdarah
Kini mereka bertarung kembali, Dengan harapan yang pasti, Buaya demi harga diri, Hiu demi kekuasaan abadi
Sayang keduanya pun habis, Termakan oleh egois, Namun Buaya tetaplah pahlawan, Menghadapi Hiu yang tak mau diajak berkawan
Itulah sepatah kisah tersebut, Selalu ia akan berulang, Tipu daya, muslihat memang akan terus datang, Semua hak orang akan dicabut
Tetapi harga diri tetaplah harga diri, Bagaimanapun perlawanan tetap harus ada, Menghadapi mereka yang suka berpuas diri, Tanpa mau memikirkan di sampingnya



Senin, 24 Desember 2012

Maaf, Ci (ha) Liwung

wartakotalive.com
Maaf, ci (ha) liwung
kalau selama ini kami selalu berbuat jahat padamu
Maaf, ci (ha) liwung yang kemudian kami sebut Ciliwung
Jikalau kami selalu berbuat tidak pantas padamu
Kamu pantas marah, Ciliwung
Sebab itu hakmu
atas perilaku kami yang sering membuang sampah padamu
Yang membuat dirimu awut-awutan tak keruan
di tengah rimba sebuah kota yang dahulu hanya merupakan sebuah vassal

Oh, Ciliwung
Kamu sudah ada sebelum kami lahir
Dan kamu sudah tidak tenang dari dulu 
itu seperti namamu
Kami tahu itu dari sebuah prasasti
Berhulu dari Pangrango lalu bermuara di Sunda Kelapa
Semua yang kamu lewati telah tumbuh menjadi sebuah peradaban
Kamu pun menjadi saksi yang membisu

Oh, Ciliwung
Kami tahu bahwa para leluhur kami telah memperlakukan dirimu dengan bijak
menjadi seperti seharusnya sebuah sungai
untuk dilayari dan untuk bidang kehidupan lainnya
Bahkan para Belanda itu juga mengerti
Maka mereka juga membuat bendungan irigasi

Oh, Ciliwung
Jika kami melihat dirimu yang dulu
sungguh kamu begitu cantik layaknya seorang gadis
Pancaran kecantikan itu begitu terasa
Hingga kini mereka merindukannya

Jadi, maafkan kami Ciliwung
Jika kami selalu khilaf pada dirimu
memperkosamu hingga pada titik abnormal
menyia-nyiakanmu seolah-olah dirimu hanyalah sebuah lintasan tiada arti
coklat, bau, berlumpur, eceng gondok, dan penuh ikan sapu-sapu
Sekarang marahlah
Tetapi, mungkin ada dari kami yang tak mau sadar juga
dan terus berulang

Dari Udang Naik ke Kota

Balai Kota Cirebon
(wikipedia.org)

Sinar matahari menerangi patung-patung berbentuk udang tersebut. Warna keemasan itu pun menjadi terlihat jelas. Patung udang itu, yang berjumlah 4 buah, nampak begitu setia menempel pada 4 sisi bangunan yang di tengah-tengahnya terpasang sebuah lambang bergambar udang, dan bertulisan Gemah Ripah Loh Jinawi. Lalu di bawahnya lagi bertulisan Balai Kota Cirebon.
***
Udang yang tertera pada bangunan dan lambang itu memang ciri khas kota Cirebon, sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai letak cukup strategis. Berada di utara Jawa Barat dan selintasan dengan jalur pantura. Letak yang strategis ini cukup menguntungkan Cirebon. Kota ini, baik dari pelabuhan maupun jalannya menjadi ramai apalagi ketika musim mudik tiba. Ia menjadi sebuah gerbang menuju ke Jawa Tengah.

Di Cirebonlah semua keunikan ada. Meski terletak di Provinsi Jawa Barat, bukan berarti ia kota yang penduduknya berbahasa Sunda. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Cirebonan. Campuran antara bahasa Sunda dan Jawa. Alasan mengapa Cirebon yang kulturnya bukanlah kultur Sunda dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat lebih pada alasan historis dan budaya semata. Begitulah yang saya dapatkan kala dari seorang pemandu wisata di Keraton Kasepuhan, salah satu keraton dari 3 keraton yang ada di Cirebon. Ia juga bilang Cirebon dahulu oleh Belanda dimasukkan ke dalam wilayah Parahyangan Timur.

Sejarah Cirebon sebagai sebuah tempat yang kemudian menjadi kota sejujurnya tidaklah lepas dari udang. Karena dari udanglah, Cirebon akhirnya menjadi ramai dan dikenal. Awal mulanya, Ki Gedeng Alang-Alang, salah seorang penguasa Cirebon yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh, menerima kedatangan seorang pangeran Pajajaran bernama Raden Walasungsang yang kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana. Melihat tempat yang didatanginya cukup strategis, sang pangeran kemudian meminta izin membuka lahan lalu menambak udang. Menurut salah satu cerita, udang yang kemudian ditambak itu kemudian diolah menjadi terasi setelah sebelumnya hanya menjadi makanan biasa. Proses menjadi terasi itu muncul ketika salah seorang pengunjung menyukai air yang digunakan memasak bersama udang begitu harum dan nikmat. Maka, semenjak itulah sang pangeran menggiatkan terasi yang berasal dari udang. Nama Cirebon sendiri pun beretimologi dari air (ci) dan udang (rebon: udang kecil).

Perkembangan selanjutnya, Cirebon yang hanya sebuah wilayah beralang-alang di tepi pantai menjadi ramai. Hal itu membuat Kerajaan Galuh meminta upeti, namun ditolak pihak Cirebon sehingga terjadilah pertempuran yang kemudian dimenangkan Cirebon dengan bantuan dari Banten dan Demak. Semenjak itulah, Cirebon menjadi salah satu kesultanan Islam terkuat di Jawa.

Mengenai penyebaran Islam, Cirebon memang termasuk di dalamnya. Di sinilah karena adanya interaksi dengan dunia luar, Cirebon menjadi pusat penyebaran islam di timur Jawa Barat. Di kota inilah kemudian muncul nama-nama seperti Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah. Cirebon pun menjadi kota yang islami dan mendapat julukan “kota wali”. Ciri khas keislamian Cirebon itu sampai sekarang masih terlihat pada bentuk-bentuk bangunan mulai dari keraton hingga masjid. Yang semuanya berpadu dengan unsur-unsur lokal. Selain itu, kaligrafi berbahasa Arab dengan tulisan asmaul husna bertebaran di tiap papan nama jalan. Menunjukkan bahwa Cirebon benar-benar islami meski mereka juga bertoleransi terhadap pemeluk agama lain, seperti Kristen. Hal itu ditandai dengan adanya gereja di Pelabuhan Cirebon di kawasan kota lama. Nama gereja itu St.Yusuf, dan merupakan salah satu peninggalan kolonial Belanda di Cirebon. Makna toleransi pun juga tercatat pada kereta Kesultanan Cirebon di Keraton Kasepuhan, Singa Barong, yang berbentuk burak, gajah, dan naga serta memegang tiga tombak. Tiap binatang yang digabung satu melambangkan persahabatan dan toleransi. Gajah dengan India yang beragama Hindu. Burak dengan Arab-Mesir yang beragama Islam, dan naga dengan Cina yang beragama Buddha. Toleransi lainnya adalah keramik kisah alkitab yang dipajang di Keraton Kasepuhan.

Letaknya yang strategis tak pelak mengundang bangsa barat, termasuk Belanda untuk datang, dan akhirnya menguasai Cirebon. Kesultanan itu lalu dijadikan protektorat, dan kemudian pada 1906 dinaikkan menjadi gemeente atau kota madya hingga sekarang. Oleh Belanda juga, pada saat pemerintahan  Daendels, Cirebon dimasukkan sebagai salah satu wilayah yang dilalui Jalan Raya Pos sehabis dari Sumedang. Inilah yang kemudian membuat Cirebon tambah ramai.

Cirebon memang kota yang sarat dengan banyak cagar budaya. Sayang, sepertinya tidak semua cagar budaya itu diperhatikan. Salah satunya Taman Gua Sunyaragi yang nampak terbengkalai dan tidak terurus. Taman yang tersusun dari batu karang itu malah menjadi objek vandalisme tidak keruan. Kering kerontang, dan malah dijadikan tempat berduaan. Nampak kemalasan yang begitu hebat kala menyambanginya akibat kurangnya dana. Begitu juga Keraton Kasepuhan. Orang pun bisa lalu-lalang keluar-masuk keraton yang nampaknya malah menjadi kurang sakral.

Meski begitu, Cirebon merupakan kota yang relatif tenang. Kendaraannya sedikit. Tidak ada kemacetan. Jalan cukup lebar meski berdebu dan cuacanya cukup panas karena letak begitu dekat dengan laut. Panasnya malah melebihi Jakarta.
***
Udang-udang itu nampak masih terus setia menempel meskipun matahari sudah hendak melewati batas senja. Warna keemasan itu perlahan memudar. Sinar matahari kini pun berganti dengan sinar lampu, yang meskipun terang tetapi tetap tidak mampu menyandinginya. Andaikata udang-udang yang kini menjadi lambang dari Cirebon tidak ada, mungkin Cirebon tidak akan pernah lahir.

Minggu, 23 Desember 2012

Tanah Tumpah Darahku, Marilah Kita Bersatu, Berseru, dan Maju


Tanggal 28 Oktober 1928, suara alunan merdu biola mengalun memasuki telinga mereka yang berada dekat dengan biola tersebut. Alunan merdu namun juga patriotik itu nampak begitu mengena bagi mereka yang mendengarkannya. Aroma kebangsaan pun terpancar, dan sejalan dengan keinginan mereka, para pemuda, yang menginginkan Indonesia merdeka dalam banyak suku namun dalam satu payung. Meski Pemerintah Kolonial Belanda melarang yang dibiolakan dinyanyikan, tetapi gesekan itu tetap membuat mereka bersemangat, dan yakin suatu saat apa yang sesuai dengan isi lagu itu, Indonesia Raya, terwujud.

Tujuh belas tahun kemudian, bertepatan pada tanggal yang sama, dan juga saat sebagian besar muslim menjalankan ibadah puasa, kembali Indonesia Raya dinyanyikan, menjadi pelengkap proklamasi yang dibacakan Sukarno. Lagu itu menjadi saksi bagaimana Indonesia merdeka. Lepas dari penjajahan ratusan tahun, seperti yang dikatakan Sukarno sebelumnya ketika hendak membacakan proklamasi.

Semenjak itulah Indonesia Raya terus dikumandangkan. Menjadi lagu kebangsaan dari Sabang hingga Merauke. Menjadi lagu yang tidak hanya dinyanyikan ketika pada acara kenegaraan semata, tetapi pada acara yang membawa nama bangsa, terutama di bidang olahraga. Lihat saja, ketika ada pertandingan sepak bola melibatkan tim nasional Indonesia, semua sontak bernyanyi. Bersemangat. Meresapi, bahkan hingga menangis. Indonesia Raya menjadi sebuah sihir bagi mereka yang menyanyikan. Di dalamnya seperti ada sebuah lirik yang sungguh patriotik. Apalagi jika berhadapan dengan negara jiran yang sering menjadi lawan dalam segala hal, Malaysia.

Berbicara Malaysia, yang selalu bercirikan hate-love relationship dengan Indonesia, memang tidak akan ada habisnya. Konflik sering terjadi. Bukan hanya dalam bentuk fisik tetapi juga mental. Tetapi, rasanya bosan juga membicarakan konflik dengan negara serumpun ini. Saya toh menulis ini bukan untuk membahas konflik, tetapi membahas adanya persamaan lirik antara Indonesia Raya dan Negaraku, lagu kebangsaan Malaysia.

Soal Negaraku sempat mencuat hangat 3 tahun lalu kala Malaysia dituduh mencontek lagu Terang Boelan yang sempat populer pada 1950-an. Ini dikarenakan adanya kemiripan antara dua lagu, terutama dari nadanya. Padahal, jika ditelusuri lagi, Terang Boelan juga merupakan contekan dari Malayan Moon.

Pada lirik Negaraku, saya menangkap sesuatu yang menurut saya sama dengan Indonesia Raya, terutama pada bait ke-2. Di situ terdapat lirik “Tanahnya tumpah darahku” yang menurut saya identik dengan “Tanah tumpah darahku”. Apakah Malaysia menjiplak lirik itu? Menurut saya pribadi, tidak. Pencipta lagu Negaraku yang yang multi pasti terinsiprasi oleh lirik dalam Indonesia Raya.

Bukan hanya Malaysia, negeri jiran lainnya yang serumpun, Singapura juga demikian. Lagu Majulah Singapura memiliki kemiripan lirik dengan Indonesia Raya. Hanya saja sedikit berbeda liriknya. Lirik “Marilah kita bersatu” hampir pasti mirip dengan “Marilah kita berseru”. Singapura menjiplak? Menurut saya, juga tidak. Pencipta lagu ini, Zubir Said –yang punya hubungan darah dengan artis Nirina Zubir--- adalah orang Minangkabau yang sebelumnya berwarga negara Indonesia, yang kemudian pindah ke Singapura. Sudah pasti ia terinspirasi Indonesia Raya.

Ingat! Di kawasan Nusantara ---jika merunut pada kekuasaan Majapahit--- Indonesia merupakan negara yang pertama kali merdeka dari penjajahan. Tentu lagu Indonesia Raya yang disertakannya juga didengar orang-orang Melayu di luar Indonesia. Mereka pun mengerti, dan seperti saya bilang tadi, terinspirasi ketika hendak menciptakan saat negaranya merdeka.  Namun ada yang perlu dicatat juga. Baik Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga menggunakan kata “maju”. Hanya tersusun dari 4 kata tetapi sepertinya ampuh. Entah karena kata “maju” dalama Indonesia Raya tersembunyi sebab berada pada stanza 3, sehingga semua orang tidak mengetahui, atau karena rakyat di negeri ini tidak memahami apa itu kata “maju", kenyataannya malah dua negara jiran itu yang maju. Hm...

Jumat, 21 Desember 2012

Politologi*

*singkatan dari poli-mitologi

Seringkali kita mendengar kata Mitologi Yunani. Kisah-kisahnya, tokoh-tokohnya, sampai nama-nama yang kadung populer dalam jagat ilmu pengetahuan dan kehidupan. Sebut saja Apollo, Venus, Jupiter, Argo, hingga Daphne. Bahkan, karena Mitologi Yunani berasal dari sebuah negara di Eropa yang berbahasa Yunani, otomatis mitologi, meski memang tidak rasional, wajib dipelajari di sekolah-sekolah Eropa. Karena dari situlah sastra di Eropa berkembang atau nama-nama itu kemudian digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti Hercules (Herakles), salah satu nama pahlawan Yunani, setengah manusia, setengah dewa yang digunakan untuk nama pesawat penumpang militer berbadan besar.

Lalu kita juga mendengar Mitologi Cina. Siapa tak kenal kisah mengenai Sun Go-Kong, Delapan Dewa, Dewi Chang'e, serta si ular naga? Nama-nama itu begitu populer karena sering muncul dalam kehidupan sehari-hari melalui tayangan televisi. Tentulah kita masih ingat beberapa tahun yang lalu, salah satu stasiun televisi di republik ini menyiarkan serial Sun Go-Kong setiap harinya. Serial ini begitu populer sampai-sampai versi terbarunya juga ditayangkan hingga sekarang. Tentunya kepopuleran Sun Go-Kong juga berbarengan dengan kehadiran serial lain dari "negeri tirai bambu" semisal Na Cha dan Siluman Ular Putih.

Kemudian ada mitologi dari India. Atau disebut juga Mitologi Hindu. Ini karena mitologi itu secara tidak langsung merupakan bagian dari ajaran Hindu. Di dalamnya ada kisah-kisah para dewa dan dewi di khayangan seperti kisah tiga dewa utama dalam Hindu, Brahma, dan Siwa, lalu Mahabharata, dan Ramayana. Kisah-kisah ini begitu populer juga di Indonesia, baik melalui cerita asli, terutama bagi pemeluk Hindu, atau melalui saduran dengan pengadaptasian ke cerita-cerita lokal.

suciptoardi.wordpress.com

Jika melihat keadaan di atas, tentu ada pertanyaan apakah negara kita, Indonesia, juga mempunyai mitologi? Jawabannya: iya. Mitologi yang merupakan bagian dari sastra dengan lebih banyak menceritakan cerita fiktif yang irasional, tumbuh amat subur di Nusantara. Hanya saja, ada keunikan dalam Mitologi Indonesia. Tidak seperti mitologi-mitologi lainnya di dunia, di Asia, juga di Asia Tenggara yang mempunyai mitologi tunggal, Mitologi Indonesia justru beragam alias bervariasi. Ini dikarenakan Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang tersebar di pulau-pulau yang membentuk rangkaian dari Sabang hingga Merauke. Itu berarti setiap suku bangsa mempunyai mitologinya sendiri-sendiri.

Misal, suku Jawa mempunyai Mitologi Jawa, suku Sunda mempunyai Mitologi Sunda, suku Batak mempunyai Mitologi Batak. Antara satu dengan yang lainnya tentu mempunyai konsepsi penceritaan yang berbeda-beda. Misal, Mitologi Jawa juga Sunda, serta Bali, amat erat kaitannya kisah-kisah dari masa Hindu-Budha yang kemudian diakulturasikan dengan cerita lokal. Tentu dari kita begitu familiar dengan wayang, cerita dengan menggunakan media lakon manusia dari kulit atau kertas kemudian dimainkan dengan bayangan. Wayang ini kebanyakan bercerita mengenai kisah-kisah yang diadaptasi dari negeri pembawa kisah Ramayana dan Mahabharata, India. Dalam kisah-kisah itu ditambahkan unsur-unsur lokal seperti Punakawan, Gunung Semeru,  dan Alas Roban.

Di seberang Pulau Jawa, ada Pulau Sumatera yang tentunya tidak lepas dari unsur-unsur kebudayaan Melayu dan Islam. Hal ini karena dalam sejarahnya, Pulau Sumatera adalah pulau di Indonesia yang pertama kali menerima ajaran Islam yang kemudian dimelayukan melalui tata nama dan tempat. Dari kebudayaan Melayu ini muncullah mitos mengenai Hang Tuah, sosok sang laksamana legendaris seantero Melayu, dan juga populer di Singapura dan Malaysia.

Kemudian di Pulau Kalimantan, jauh sebelum Islam masuk, telah hidup mitologi Dayak yang berkaitan erat dengan Kaharingan sampai akhirnya mengarah ke mitologi di tempat lain seperti Maluku dan Papua yang mitologinya erat dengan mitologi di Samudera Pasifik.

Keberagaman itu jelas agak susah mendefinisikan secara jelas Mitologi Indonesia sebab tidak mempunyai ciri yang pasti seperti mitologi-mitologi lainnya. Namun, supaya biar lebih terciri, akhirnya dipilihlah Mitologi Jawa sebagai ciri khas Mitologi Indonesia. Lihat saja pemahlawanan Gatot Kaca dan konco-konconya saat digunakan sebagai promo membendung pahlawan hasil produk globalisasi (Superman). Keadaan demikian, sebenarnya, meminggirkan tokoh-tokoh mitologi daerah lainnya. Seolah-olah Mitologi Indonesia memang Mitologi Jawa. Keadaan ini pun sebenarnya bisa menimbulkan rasa iri dari suku-suku non Jawa karena tak semua mau menerima. Ingat! Mitologi yang berbeda-beda dalam satu kepulauan ini juga menggambarkan sikap berbeda suku-suku tersebut, terutama dari perilaku. Sebab mitologi itu sendiri yang mendasari konsepsi tingkah laku dan cara pandang hidup suku-suku tersebut yang tentunya dibalut dengan agama atau kepercayaan masing-masing.

Meski demikian, harus diakui, keberagaman mitologi di Indonesia sebenarnya menghasilkan banyak ragam cerita dan bentuk. Bisa dibilang berwarna-warni. Sesuatu yang harus tetap dijaga meskipun ada banyak tantangannya.

Kamis, 20 Desember 2012

Pohon Pisang dan Folklor Mistis di Asean

Pohon pisang. Sekilas jika kita memperhatikan, sejujurnya, tidak ada yang istimewa dari bentuknya. Hanya sebuah pohon berdaun lebar dengan tinggi batang tak lebih dari 3 meter. Di situ warna hijau muda mendominasi. Sekilas juga daun lebar itu bisa nampak seperti kincir angin. Pohon pisang akan menjadi istimewa kala orang-orang mencarinya untuk kemudian dimanfaatkan. Dari buah hingga bonggol semua bermanfaat. Buahnya bisa dimakan, baik dalam keadaan langsung dipetik alias tidak diolah atau diolah, daunnya bisa dijadikan alas makanan atau pelindung kepala seperti payung, bonggolnya bisa dijadikan obat. Begitu juga batangnya.

Nang Tani, hantu perempuan penunggu pohon pisang. Populer dalam folklor Thailand
(wikipedia.org)



Selain untuk kegunaan yang bersifat medis dan materiil, pohon pisang juga mempunyai keistimewaan dalam folklor, terutama folklor di Asia Tenggara atau Asean. Kita ketahui sebagian besar wilayah Asean yang tropis memungkinkan bisa tumbuh subur pohon yang diperkirakan berasal dari Afrika ini. Masyarakat Asean pun tak lepas tiap kehidupannya dengan pohon pisang. Karena itu, wajar jika folklor yang ada di masyarakatya pun mempunyai kemiripan.

Folklor di dalam masyarakat Asean yang berhubungan dengan pohon pisang lebih bersifat pada sesuatu yang mistis dan gaib. Mengapa? Mari kita lihat satu per satu. 

Di negara-negara melayu (Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) berkembang sebuah folklor mistis tentang pohon pisang yang dihuni setan perempuan berambut panjang, Pontianak atau Kuntilanak. Konon, hantu ini menempati pohon ini sepanjang siang sebelum malamnya berkelana untuk menganggu orang dengan suara khasnya. Dalam sebuah dongeng terkenal, dikisahkan, Syarif Abdurrahman Al-Kadrie, seorang sultan dari Kalimantan hendak membangun sebuah kesultanan baru di sebuah tempat yang strategis. Ketika hendak mencapai tempat yang dituju itu, ia dan rombongannya diganggu oleh pontianak. Sang sultan lalu memerintahkan menyerang hantu tersebut dengan meriam. Bola-bola meriam yang dipakai untuk menembak hantu perempuan itu, titik pendaratannnya dijadikan tempat sang sultan mendirikan kesultanannya kemudian, dan menggunakan nama pontianak sebagai nama kesultanannya. 

Keluar dari dunia folklor melayu, di negara-negara Indocina (Thailand, Kamboja, dan Laos) juga mempunyai folklor mistis yang sama. Masyarakat di sana percaya mengenai Nang Tani. Ia adalah setan perempuan yang juga menghuni pohon pisang. Perawakannya memakai kostum tradisional Thailand (aslinya folklor ini berasal dari Thailand, namun menyebar ke Kamboja dan Laos sehingga mempunyai cerita yang sama), berambut panjang, dan sering memegang batang pohon pisang dengan kaki tidak menyentuh bumi. Masyarakat di sana percaya jika di pohon pisang itu ada Nang Tani, maka mereka akan mengikat batang pisang dengan dengan seikat kain sutra.

Memang agak aneh menghubungkan pohon pisang dengan folklor mistis dalam kacamata rasional. Tetapi, itulah yang terjadi di masyarakat Asean. Hanya ada pertanyaan kenapa harus pohon pisang? Apalagi yang menghuni setan perempuan? Apakah ini ada hubungannya dengan pohon pisang itu sendiri, terutama buahnya, yang selalu dihubungkan dengan laki-laki?

Hm......

Selasa, 18 Desember 2012

Dag, Njai, Dag, Baboe

Dag, njai, dag, baboe
Soedahlah kalian orang loepa sama kita orang
Kita soedahlah itu berpisah berpoeloeh-poeloeh lampau
wikipedia.org
Antara samoedra dan tempoh


Dag, njai, dag, baboe
Kita orang sunggoeh verlang sama jullie
tiap hari jullie mandikan kami, mengasoeh kami, lalu maakte een verhaal over
koentilanak, njai loro kidoel, genderoewo, djoega sangkoeriang
ketika kami hendak slapen
lalu bernjanjilah kalian orang "slaap kindje slaap"

Dag, njai, dag, baboe
apa kabar jullie sekarang
we verlangen zeer
oh, sawa, oh, goenoeng, oh, sungai, oh tee planten, oh bloementuin
Batavia, Bandoeng, Soerabaia
Sunggoehlah kami geniet tiap plezier itoe

We maakten foto's toch
Dag, njai, dag, baboe
Kalian orang jang benar-benar mendjaga kami
Bukan mereka,
ouders
jang bezig sekali sama mereka poenja beroep

Dag, njai, dag, baboe
djikelau kami luister naar kerontjong
oh, kami verlangen zeer
kami ingin bertatap moeka kalian kembali
maar
waar zijn jullie nu

Dag, njai, dag, baboe
hanjalah dalam papier kami menoempahkan rindoe kami
oentoek kalian,
jang ada di boemi Hindia yang indah

Sejarah itu...

Sejarah itu bukan hanya bambu runcing
Sejarah itu bukan hanya heroisme
Sejarah itu bukan hanya yang berkuasa
Sejarah itu bukanlah epos
Juga bukanlah hafalan
Tetapi sejarah itu keteladanan
Sejarah itu perenungan
Sejarah itu mengajarkan bahwa masa sekarang tak bisa lepas dari masa lalu


Senin, 17 Desember 2012

Bulan: Antara Keromantisan dan Kesuksesan.

Tanggal 20 Juli 1969 akan selalu diingat oleh masyarakat dunia sebagai tanggal pendaratan manusia pertama di bulan. Mereka, Neil Armstrong dan Buzz Aldrin, melalui Apollo 11 berhasil mewujudkan mimpi semua umat manusia untuk bisa menggapai bulan. Sebuah perwujudan yang juga sejalan dengan ramalan Jules Verne dalam novelnya, From The Earth to The Moon, 104 tahun sebelumnya. 
Full moon in the darkness of the night sky. It is patterned with a mix of light-tone regions and darker, irregular blotches, and scattered with varying sizes of impact craters, circles surrounded by out-thrown rays of bright ejecta.
wikipedia.org


Bulan, nama lain dari Planet Venus, memang sejak dahulu selalu menjadi objek bagi manusia. Satelit bumi ini muncul dalam banyak karya fiksi, termasuk di dalamnya mitos dan legenda. Keanggunan bulan yang selalu diinterpretasikan sebagai keanggunan wanita, membuatnya mempunyai daya tarik yang luar biasa bagi mereka yang memandang bulan sebagai lambang romantisasi cinta. Dalam banyak mitos dan legenda, bulan memang selalu diibaratkan sebagai wanita atau malah menjadi tempat tinggal wanita. Sebut saja legenda putri Chang'e, putri Kaguya, dan nyai Anteh. Maka, dari situlah sering muncul istilah "wajahmu bagai rembulan" atau "bulan madu". Atau seperti novel dari Tere-Liye, Rembulan Tenggelam di Wajahmu.

Bulan, yang sering terlihat pada senja, sehingga sering disebut sebagai bintang kejora, juga mempunyai makna untuk mereka yang menginginkan kesuksesan dan kemajuan. Kesuksesan pendaratan Apollo 11 di bulan, tak pelak melahirkan ungkapan sehari-hari di masyarakat, "Orang udah pada pergi ke bulan, dia masih di bumi". Sesuatu yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan sudah mencapai kesuksesan atau sudah melangkah jauh. Tetapi, untuk mencapainya tentu butuh proses melalui sebuah kerja keras. Ini sejalan juga dengan idiom dalam bahasa Inggris, reach for the moon. Contoh kalimatnya seperti ini,
If you want success, you have to reach for the moon.
Artinya: Kalau Anda ingin berhasil, maka bekerja keraslah. 

Itulah bulan. Tetangga bumi, yang karena selalu diibaratkan sebagai wanita, maka akhirnya menjadi penamaan untuk kaum hawa dalam berbagai bahasa. Sebenarnya, ada banyak hal mengenai bulan, namun saya membahasnya pada dua hal saja: Keromantisan dan kesuksesan. Ibaratnya, pria yang romantis tentunya sukses menggaet wanita.
 


Minggu, 16 Desember 2012

Hm...Vulgar

Di sebuah meja di sebuah kafe terdapat empat anak muda. Keempat-empatnya, 3 laki-laki, 1 perempuan, tampak begitu asyik duduk sambil tertawa-tawa. Makanan dan minuman yang tadi terhidang, dan sudah habis senantiasa setia menjadi saksi bisu gelak tawa mereka. Empat anak muda itu bercerita-cerita tentang kehidupan sehari-hari sampai-sampai yang bersifat pribadi. Perempuan yang cuma satu-satunya itu lalu mengomentari ketika salah satu teman laki-lakinya bercerita tentang kehidupan pribadinya yang mendetail,
"Wah, vulgar banget lo ya?" 
Si temannya itu cuma tertawa-tawa menanggapi, tetapi tidak dengan yang satunya,
"Emang dia ngomong vulgar? Vulgar dimananya?"
"Tuh ngomong tentang imajinasi liar di kamar mandi," kata si perempuan.
"Ah, itu mah nggak vulgar," kata si lelaki ini.
"Maksud lo?"
"Hm...boleh gue nyerocos tentang vulgar?"
"Boleh aja," sahut lelaki yang satunya lagi, "Kan ini forum bebas,"
Kemudian si lelaki yang nampaknya kurang setuju dengan kata vulgar itu mulailah bercerocos. Teman-temannya mendengarkan dengan seketika.
***
Vulgar. Vulgar. Vulgar. Apa sih yang kita interpretasikan dari dalam otak kita ketika mendengar kata vulgar? Jelas pikiran kita akan mengarah pada sesuatu yang kasar, tidak sopan, blak-blakan, dan malah cenderung berorientasi ke seks. Itu memang betul. Dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika kita membaca atau menonton jika melihat dan mendengar kata vulgar pasti mengarah secara tak terbantahkan ke situ. Dalam KBBI memang disebutkan vulgar adalah kata sifat yang mengarah ke: kasar (tt perilaku, perbuatan, dsb); tidak sopan
Pun halnya dengan definisi vulgar dalam bahasa Inggris. Baik Oxford dan Longman pun sepakat menyatakan:

adjective

  • 1lacking sophistication or good taste:a vulgar check suit
  • 2making explicit and offensive reference to sex or bodily functions; coarse and rude:a vulgar joke
  • 3 dated characteristic of or belonging to ordinary people.

    1 remarks, jokes etc that are vulgar deal with sex in a very rude and offensive way
    2 not behaving politely in social situations [= uncouth]:
    vulgar behaviour
    3 not showing good judgment about what is beautiful or suitable:
    a vulgar check suit

    Meskipun begitu, dalam definisi nomor 3, Oxford mendefinisikannya secara positif karena bertalian dengan karakteristik atau sifat-sifat orang-orang secara umum. Tentun sajan definisi nomor 3 itu masih berkaitan dengan makna asli vulgar yang mengacu pada orang-orang, massa, atau umum. Namun, entah mengapa, dalam perkembangannya malah menjadi kata yang mengacu pada definisi yang sekarang berlaku. Kata vulgar sendiri berasal dari bahasa Latin, vulgaris yang kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris kuno yang berarti mobilisasi, orang-orang/umum. Dari situlah kata vulgar kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain dengan pengertian yang sekarang populer. Hanya saja di Portugis dan Romania, vulgar malah diartikan juga populer dan umum.

    ***
    "Oh, jadi begitu ya?" ujar si perempuan setelah teman lelakinya itu bercerocos panjang lebar, "Jadi, gue apa yang gue katakan tadi nggak vulgar dong?"
    "Emang nggak," jawab si lelaki.
    "Nah, kalo nggak vulgar apa dong?" tanya si lelaki yang satunya.
    "Ya, bilang aja nggak senonoh atau nggak sopan,"
    "Hm...tapi kayanya nggak populer deh kaya vulgar,"
    "Ya, terserah lo. Gue sih cuma mau kasih tau aja. Kan bahasa itu tergantung si pemakainya, kalau memang cocok dengan suasana hati akan kata-kata yang ia anggap "wow" pasti ia akan memakainya, meskipun suka banyak kesalahannya karena ia nggak mengerti apa maksud dari kata itu. Bahasa itu kan dinamis. Sesuai perkembangan zaman. Kaya kata tegar aja. Yang maksudnya untuk menyatakan orang yang nggak sabaran dan keras hati, malah menjadi sabaran. Menyimpang kan?"
    "Iya deh, pak guru,"
    Mereka berempat lalu tertawa-tawa. Pembicaraan dilanjutkan kembali meski sekarang mendekati larut malam, dan  si pemilik kafe nampaknya sudah mulai sewot melihat mereka: ia berniat mengusir mereka. Kafenya mau tutup.


Sabtu, 15 Desember 2012

Anjing oh Anjing

Sering kita mendengar kata-kata ini, anjing lo!, dasar anjing!, Bukan begitu, Jing!. Hampir semuanya mengarah ke anjing, salah satu spesies mamalia yang sudah ada di muka bumi, bahkan jauh sebelum manusia menjejakkan kakinya. Dalam sejarah ilmu pengetahuan mengenai spesies yang sering digambarkan bertikai dengan kucing ini, anjing merupakan domestikasi yang dilakukan manusia terhadap serigala. Hal itu dibuktikan melalui fosil serigala yang terkubur bersama dengan famili hominidae yang diperkirakan berasal dari 400.000 tahun yang lalu.
Seekor Labrador Retriever.
wikipedia.or.id

Baiklah, saya tak ingin berpanjang lebar mengenai asal-usul anjing yang kemudian menjadi binatang peliharaan banyak orang. Saya cuma ingin menuliskan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Anjing, si spesies yang memang terlihat garang, suka mengonggong terhadap orang lain bahkan tuannya sendiri, dan mengejar-ngejar jika diganggu, sering muncul dalam percakapan individu atau kelompok. Namun dalam bentuk yang negatif seperti yang terlihat di awal tulisan. Pada awalnya kata anjing disematkan untuk mengata-ngatai seseorang kemudian meluas ke kelompok/organisasi masyarakat. Tetapi juga, anjing, digunakan sebagai cara keakraban orang memanggil kawannya. Dan untuk yang satu ini, malah yang bersangkutan, tidak tersinggung. Mengapa harus anjing?

Menurut Ajip Rosidi, hal demikian terjadi karena anjing ----juga babi--- dipandang sebagai binatang yang tidak lepas dari najis. Mayoritas masyarakat Indonesia yang muslim akan selalu mengaitkan anjing dengan kata "haram". Memang, dalam sebuah kitab suci ada ayat yang mengatakan bahwa anjing ---juga babi---binatang-binatang yang lekat dengan najis. Namun, dalam penafsirannya, menjadi berbeda. Nah, akibatnya bisa ditebak, anjing menjadi sematan negatif untuk mengata-ngatai orang yang ia anggap menjengkelkan, menyebalkan, dan membuat frustrasi. Kemudian kata anjing itu bervariasi menjadi anjrit, anjiss, dan anjir.

Padahal, sebenarnya, si anjing tak berharap dirinya menjadi sematan seperti itu. Apalagi Tuhan pun tahu bahwa anjing itu mulia sama dengan makhluk hidup lainnya. Bahkan dalam kisah nabi-nabi, bukankah anjing yang menemani para pemuda Ashabul Kahfi di gua sampai beratus tahun lamanya? Bukankah itu termasuk mulia. Namun, entah kenapa, di Indonesia malah kebalikannya? Kasihan si anjing.

Jumat, 14 Desember 2012

Antara Tuhan dan Dewa

Tuhan, dewa, Tuhan, dewa, Tuhan, dewa. Sering kita menganggap keduanya berbeda. Padahal, kedua-duanya sama, yaitu suatu zat yang mengatur, menciptakan alam semesta,dan memerintah manusia. Keduanya juga dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat gaib dan supranatural. Namun, KBBI pun berbeda dalam definisi keduanya.

Tuhan: sesuatu yg diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sbg yg Mahakuasa, Mahaperkasa, dsb: -- Yang Maha Esa
Dewa: roh yg dianggap atau dipercayai sbg manusia halus yg berkuasa atas alam dan manusia: Batara Surya ialah -- matahari;
godtalkstoyou.com

Dalam masyarakat Indonesia atau yang berpenutur Melayu, perbedaan keduanya, walaupun secara konsep sama lebih disebabkan bagaimana masyarakat secara maknawi memandang keduanya dalam bingkai yang pantas, atau lebih tepatnya menciptakan mereka. Apalagi dalam definisi itu terdapat kata "Mahakuasa, Mahaperkasa, dan Maha Esa" untuk Tuhan. Dewa sebaliknya. Sebagian besar masyarakat Indonesia yang monoteistik jelas akan menolak kesamaan antara Tuhan dan dewa. Sehingga, meskipun ada sebagian kecil masyarakat Indonesia yang politeistik, toh dalam prakteknya, mereka juga akan menggunakan kata Tuhan. Dalam anggapan dasar juga dikatakan bahwa Tuhan itu tunggal, sedangkan dewa ganda atau lebih, bahkan berkelamin (dewi).

Lalu bagaimana jika itu di luar Indonesia?

Di Barat, baik Tuhan ataupun dewa, hanya mempunyai satu kata yang mewakili, God. Longman Dictionary mendefinisikannnya sebagai berikut:

God: he spirit or being who Christians, Jews, Muslims etc pray to, and who they believe created the universe

Dalam definisi itu pun tercantum kata etc yang berarti Tuhan itu tak hanya untuk agama monoteis, tapi juga politeis. Pun halnya dengan yang berkelamin. Cukup diwakili oleh Goddess sebagai pembeda dengan God. Konsep ini ada karena sebelum agama monoteis masuk, agama/kepercayaan politeis sudah ada dan berkembang. Hal itu terlihat dari Mitologi Yunani dan Nordik. Konsep ini pun tetap dipertahankan meskipun agama monoteis (Kristen) masuk, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sedangkan konsep monoteis awalnya berawal dari Timur Tengah ketika pada zaman Mesir Kuno dan Babilonia, Musa dan Ibrahim diutus Tuhan untuk memperkenalkan konsep agama monoteis kepada para pengikut politeis.

Indonesia memang pengecualian. Mengakui dua nama tersebut, meskipun Tuhan lebih menonjol. Makna dewa dalam kehidupan sehari-hari menjadi kurang sakral karena banyak dipakai sebagai nama orang. Lihat saja. Ada yang namanya Dewa. Ada yang namanya Dewi. Atau percakapan seperti ini: Wah, dia mah udah tingkat dewa tuh. Percakapan yang mengindikasikan memuji, atau malah dalam kesempatan lain, lelucon.







Kamis, 13 Desember 2012

Berindu Bersempadan

Dua sisi berlainan, kaki-kaki menjejak, termegahkan tembok, terbuai dan terlupa,
Terpasung pusaran konflik, bias dalam kisaran ideologi, nasionalisme jadi harga mati
Darah dalam tubuh sekandung tiadalah arti, kelindan persaudaraan ternoda, ambisi kekuasaan pun bereksekusi

Namun harapan itu masih membentang luas, tersekat-sekat keabsurdan, saling meratapi dan bersimpati, merindu, mengkronikkan sekandung dalam tubuh, berharmoni, tak boleh terpecah-pecah, meski tak elok bersempadan

Rabu, 12 Desember 2012

Em-Ar-Ti atau Em-Er-Te?

Sebagai Ibu Kota negara, Jakarta memang tak bisa lepas dari berbagai macam masalah. Terutama kemacetan. Berbagai cara ditempuh supaya kemacetan bisa terurai. Mulai dari pelebaran jalan, pembangunan jembatan layang hingga TransJakarta. Namun, ternyata, semua belum ampuh. Kemudian ditempuh dengan cara yang lain lagi, dan mungkin akan menjadi obat yang mujarab. MRT. Atau mass rapid transportation. Bahasa Indonesianya transportasi cepat massal. Namun untuk mewujudkan Jakarta yang bebas macet itu saja sudah menemui banyak kendala. Mulai dari pembebasan lahan, anggaran sampai tetek-bengek segala macam. Gara-gara itu, Jokowi, sang gubernur, pusing.

brianramadhian.blogspot.com
Tapi, saya di sini tak hendak mau membuat pusing beliau karena saya tak mau ikut-ikutan mempersoalkan tetek-bengek tersebut. Biarlah mereka, para pemangku kebijakan atau yang ahlinya yang mengurusi. Saya cuma mau mengurusi kata MRT itu sendiri. Karena MRT berasal dari bahasa Inggris, wajar kalau diucapkan em-ar-ti. Wajar karena memang begitu pronounciation-nya. Cuma, agaknya saya agak kurang setuju saja mengapa harus disebut demikian. Saya terbiasa mengucap MRT itu em-er-te. Sesuai dengan konsonan. Dan itu sesuai juga dengan ejaan Indonesia.

Ini yang tadi saya temui sewaktu menonton Metro TV tentang MRT menjelang magrib. Si penyiar berita mengucap MRT berdasarkan cara baca bahasa Inggris. Ya, dia, menurut saya, tidak salah, hanya saja terkesan itu tidak pas sebab ini di Indonesia. Tidak sesuai dengan sistem bahasa kita yang fonologinya sesuai dengan ejaan dan kata. Coba deh tanyakan masyarakat umum: Lebih enak mana menyebutnya: em-ar-ti atau em-er-te? Lebih nyaman mana? Kalau saya sih secara pribadi ya em-er-te.

Sistem fonologi kita yang seperti itu, sejujurnya, secara logika tepat. Pengucapan sesuai dengan apa yang dituliskan. Tidak mengingkari bentuk dari kata tersebut. Perlu diberitahu, sistem fonologi ini juga bawaan dari sistem fonologi bahasa Belanda, terutama dalam pengucapan abjad. Coba saja sekarang, Anda sebut a-b-c-d-e-f-g sampai h dalam lidah Indonesia Anda kemudian Anda dengarkan dalam bahasa Belanda pengucapan itu, Anda akan temui kesamaan. Dan memang sistem fonologi bawaan dari Belanda ini cocok dengan sistem fonologi bahasa Melayu yang kemudian di Indonesia berkembang menjadi bahasa Indonesia.

Berkenaan dengan sistem pengucapan ini, saya jadi teringat teman saya sewaktu saya masih kuliah. Dia bersama teman-temannya pergi ke Malaysia untuk mengikuti kejuaraan sepakbola mahasiswa di sana. Kemudian menemukan cara ucap suatu kata yang berbeda dengan di Indonesia. Misal, kata UI diucapkan menjadi yu-ai, atau SBY menjadi es-bi-wai. Mereka seperti itu karena mengikuti sistem fonologi bahasa Inggris, bahasa dari negeri yang menjajah mereka. Namun ketika diucapkan singkatan itu malah berbeda. Huruf U yang dibaca yu malah menjadi u seperti bentuk katanya begitu juga i. Nah, untuk SBY silakan tebak sendiri.

Seorang indonesianis asal Swedia, saya lupa namanya, pernah ditertawai oleh mahasiswa UII sebab menyebut nama kampus itu sesuai dengan bentuk katanya. Mereka maunya disebut yu-i-i. Lantas dia heran kenapa seperti itu sebelum dia bisa menyimpulkan itu karena efek dari globalisasi kata.

Namun itu semua memang tergantung pada rasa atau nuansa bahasa yang tertanam dalam benak orang itu sendiri. Saya sih tidak memaksa semua orang harus berucap em-er-te seperti saya. Hanya saja, saya berpikir dengan logika, bahwa em-er-te itu tepat dan logis. Tidak mengingkari bentuk kata. Apa yang ditulis dan disebut kedua-keduanya sesuai. Apalagi dalam etimologi huruf. 

Namun, saya beranggapan, kalau saja semua kompak menyebut em-er-te bukan em-ar-ti, pasti segala persoalan yang sekarang menghadang pembangunan MRT bisa diselesaikan. Lagipula, memangnya ada masyarakat menengah ke bawah sekali yang mengerti em-ar-ti?

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran