Pages

Selasa, 30 April 2013

Turki: Yang (Terus) Berada di Persimpangan Jalan

Semasa kecil, saya dibelikan sebuah buku oleh bapak saya. Buku yang berjudul Buku Pintar karya Iwan Gayo itu nyatanya berguna sekali untuk diri saya, yang ketika kecil, tepatnya duduk di sekolah dasar, membutuhkan pengetahuan tentang negara-negara di dunia selain Indonesia. Dari Buku Pintar itu saya tahu tentang letak negara ini di benua itu, letak negara itu di benua ini. Suatu dasar pengetahuan yang nantinya membimbing saya ketika berhadapan dengan hal-hal bersifat geografis. Dan dari buku itulah, dari beberapa negara, saya melihat sebuah negara berbentuk Turki. Negara yang menurut saya namanya cukup unik. Berbendera merah dengan dibubuhi bintang dan bulan sabit di atasnya. Saya baca data negara itu. Letak di Asia Barat. Ibukota: Ankara. Hal-hal yang terus saya ingat hingga akhirnya saya menemukan keheranan.
http://media.worldbulletin.net/250x190/2013/02/07/turkey-ab.jpg
worldbulletin.net


1999, tepatnya ketika saya duduk di kelas 6 SD, saya menyaksikan sebuah acara ringkasan hasil pertandingan sepak bola di salah satu stasiun televisi bernama Planet Football. Di situ saya menyaksikan ringkasan pertandingan UEFA Champions League musim 1998/1999 antara Juventus dan Galatasaray. Hasil pertandingannya imbang: 2-2. Oke, nama pertama dari yang bertanding saya tahu. Klub sepak bola asal Italia yang ketenarannya sudah sampai pelosok Tanah Air. Apalagi, ketika itu, "si nyonya tua"---- julukan Juventus---- masih diperkuat sang megabintang, Alessandro Del Piero. Tapi, untuk nama yang kedua, jujur sebaliknya. Nama itu begitu asing. Kesannya juga seperti nama istilah anak gaul karena ada "ray"-nya. Namun, saat tahu bahwa itu adalah sebuah klubsepak bola asal Turki, heranlah saya. Mendengar nama Turki, saya jadi teringat pada Buku Pintar yang menyatakan Turki adalah sebuah negara di Asia Barat. Itu berarti ia adalah negara Asia. Tapi, ketika ada salah satu klub Turki bermain di Eropa, saya malah jadi bingung Turki itu Asia atau Eropa.

Pertanyaan itu yang kemudian membuat saya ingin lebih tahu soal Turki. Rupanya tak hanya klub sepak bolanya yang bermain di Eropa, tetapi juga tim nasionalnya. Dan sekali lagi pertanyaan klasik bergaung: Turki itu Asia atau Eropa?

Yang kemudian saya lakukan untuk menjawab pertanyaan itu adalah membaca buku-buku tentang Turki. Di sinilah kemudian saya tahu mengapa Turki itu Eropa tetapi sebenarnya Asia. Penyebabnya: Istanbul. Kota metropolis terbesar di negara tersebutlah yang membuat Turki menjadi bagian dua benua: Asia dan Eropa. Di kota itulah terbentang Selat Bosporus yang memisahkan Turki bagian Asia dan Eropa. Dan sejarah penaklukkan Istanbul yang dahulu bernama Konstantinopel pada 1453 dari Byzantium, serta sebelumnya Edirne, yang menjadi basis kekuatan Turki yang ketika itu bernaung di bawah Kesultanan Usmaniyah, menyebabkan Turki juga harus menjadi Eropa. Apalagi setelah penaklukan itu, beberapa negara Eropa Timur seperti Yunani, Rumania, Bulgaria, negara-negara Balkan menjadi bagian dari Turki. Setelah itu muncullah ungkapan negatif mengenai Turki yang disebut "pesakitan dari Eropa pada akhir abad ke-19. Hal-hal itu pun juga sudah menguatkan Turki memang Eropa tetapi berakar Asia, dalam hal ini, Timur Tengah.

Memang unik jika melihat negara yang satu ini. Meski sekarang hanya berbentuk republik yang coba melepas masa lalunya sebagai kesultanan Islam superpower dengan menerapkan kehidupan sekuler dan hanya berada di Anatolia dan Istanbul semata, Turki tetaplah ingin disebut sebagai Eropa. Bukan Asia, bukan juga Timur Tengah. Sekuler dimunculkan. Keagamaan disingkirkan. Tulisan Arab dihilangkan. Tulisan Latin disebarkan dan diwajibkan. Gaya ke-Eropa-eropa-an pun diadopsi semenjak pembentukan Republik Turki pada 1923.

Hal yang demikian juga membuat orang melihat Turki dengan dua pandangan dan dua benua. Pandangan Eropa dan Timur Tengah. Pandangan yang kemudian bercampur seperti bercampurnya lautan Turki Asia dan Eropa. Seperti juga bercampurnya orang-orang Turki itu sendiri yang bisa terdiri dari beberapa bangsa dan bukan hanya Turki. Sebuah bangsa yang awalnya hanya bangsa pengembara di Asia Tengah lalu berasimiliasi dengan orang-orang Arab, Persia, dan Eropa sehingga membentuk wajah-wajah Turki yang sekarang.

Wajar bila kehidupan yang agak ke-Eropa-eropa-an dan sekuler membuat Turki berkeinginan bergabung dengan Uni Eropa meskipun, nyatanya, banyak yang menentang. Kebanyakan yang menentang adalah negara-negara yang dahulu memang mempunyai urusan masa lalu dengan Turki seperti Yunani, Austria, Armenia, dan Siprus. Urusan yang didalamnya juga bercampur dengan urusan keagamaan. Representasi bendera Turki, bintang-bulan sabit, yang selalu dikonstruksi bahwa itu lekat dengan Islam menjadi penghalang masuk ke Uni Eropa yang mayoritas negara anggotanya Kristen. Lagipula, Turki sejujurnya tidak mempunyai akar kultur ke-Eropa-an yang kuat sebab nuansa Timur Tengah masih kerap mendominasi. Dalam sejarahnya pun jika dibandingkan dengan beberapa negara di Eropa, Turki tidak mempunyai hubungan persaudaraan antar sesama kerajaan di benua biru seperti yang terjadi di masa-masa abad pertengahan. Akibatnya, terjadilah penundaan hingga sekarang.

Di Uni Eropa, nampaknya Turki memang kesulitan masuk. Tidak demikian halnya di sepak bola. Turki sudah menjadi bermain di Eropa sejak 1950-an dan tidak mendapat keputusan yang kontra. Yang demikian melancarkan Turki saat berada di lapangan hijau. Prestasi timnas dan klubnya pun juga bisa dibilang lumayan. 

Sekali lagi, jika saya menyebut dalam pikiran saya atau mendengar kata Turki, maka yang saya ingin katakan bahwa itu adalah negara yang unik. Sayang, keunikan itu juga membuat Turki menjadi bingung menentukan identitas sebenarnya. Akhirnya, tetap di persimpangan jalan.



Kamis, 25 April 2013

Piramida

Bicara tentang Mesir, pasti semua tertuju ke piramida. Ya, piramida. Semua tentu sudah tahu. Benda berbentuk segitiga berukuran raksasa yang berdiri megah di tengah-tengah gurun pasir yang menyengat. Jika bicara piramida, maka tempat lain di muka bumi juga tidak mau kalah. Sebut saja itu Amerika Tengah dan Latin yang termashyur dengan kebudayaan-kebudayaan sebelum datangnya conquistadores, Aztek, Maya, dan Inka. Salah satu dari kebudayaan itu mempunyai piramida, yang untuk membedakannya dengan piramida Mesir disebut dengan piramida Maya. Tak hanya nama akhir yang dibedakan, tetapi juga bentuk bangunan dan fungsinya. Piramida Mesir disebut-sebut sebagai bangunan untuk makam sang Firaun, sedangkan Maya untuk pemujaan dan persembahan korban kepada dewa matahari dalam mitologi Maya.

Kedua-duanya dipandang sebagai hasil karya manusia yang mengagumkan. Penggabungan ilmu pengetahuan yang kala itu termasuk canggih dan terbatas, dan hanya segelintir pihak, termasuk raja dan arsitek yang mengetahui. Namun kekaguman itu tentu harus dibayar mahal ketika pembangunannya menyerap banyak darah dan pengorbanan. Piramid karya Ismail Kadare bisa menjadi contoh bagaimana piramida yang di kemudian hari dijadikan kebanggaan nasional Mesir rupa-rupanya menyerap banyak darah yang menjadi kulinya.

Lepas dari itu, standar piramida yang harus berbentuk segitiga rupanya telah mengaum di mana-mana. Sampai-sampai piramida modern seperti Museum Nasional Louvre di Paris, Prancis dan Hotel Luxor di Las Vegas, Amerika Serikat harus mengadopsi bentuk standar tersebut, yang kebanyakan mengacu pada piramida Mesir. Maka, tak mengherankan jika di Indonesia tersebar berita ada piramida di Cianjur yang dinamakan Gunung Padang atau Sadahurip di Garut. Bayangan orang yang sudah teracu pada piramida Mesir seketika mengharapkan bahwa piramida itu mirip piramida Mesir. Kenyataannya, tidak. Piramida yang ditemukan itu berpunden berundak, suatu ciri khas bangunan megalitikum khas Indonesia. Ciri khas demikian pun juga ada pada bangunan-bangunan yang disebut dengan candi, di antaranya, Candi Borobudur. 

Tak semua orang tahu Candi Borobudur digolongkan sebagai piramida. Jika ditarik garis lurus dari atas ke bawah maka akan terlihat bentuk dasar bangunan yang menyerupai piramida. Tepatnya piramida punden-berundak atau step pyramid. Maka, bisa disimpulkan jauh sebelumnya, Indonesia sudah mempunyai piramida berupa candi-candi yang tersebar di sebagian besar Nusantara. Hanya saja, karena pengaruh piramida Mesir yang mengglobal, jadilah candi-candi itu bukan disebut sebagai piramida.

Nah, masih mengenai piramida, yang katanya bisa dijadikan ukuran tertinggi peradaban suatu bangsa. Yang menjadi puncak investasi pemikiran akan sebuah bangunan yang mengarah langsung kepada Sang Pencipta. Yang juga menjadi kebanggaan nasional. Semua terasa percuma jika piramida-piramida yang ada dalam suatu bangsa, terutama Indonesia, hanya menjadi perlambang sebuah strata sosial, seperti dalam istilah sosiologi. Yang dalam strata itu, pada tingkat atas, tingkat penguasa atau katakanlah pejabat, makin berkuasa kepada tingkat di bawahnya, terutama yang paling bawah, orang-orang tak berpunya. Bisa dibilang, yang berada di atas menikmati banyak hasil tetapi sedikit bekerja. Sedangkan yang di bawah kebalikannya dan menderita. Kemudian tak terlihat dan hilang.

Dan memang jika melihat kembali kepada Piramid-nya Ismail Kadare, bahwa yang dinamakan kebanggaan haruslah dimulai dari pengorbanan yang kemudian hilang dimakan zaman.

Senin, 22 April 2013

Serakan Penyemai Keagungan

Teringat suatu kisah kakek dan nenek
juga teringat nyanyian Gombloh
Kisah lama kejayaan Nusantara
Yang termahsyur sebagai peradaban mahaagung

Teringat pula akan cerita di belakang gunung itu
serakan bebatuan berharga
di dalamnya tersimpan kisah-kisah dan rahasia
siapakah para persona di Nusantara ini

Konon dia peninggalan sang Baduga Maharaja Siliwangi
Istana yang tak lekas semalam
namun ada yang bersua ini peninggalan luhur nenek moyang
berkatalah lebih tua dari Mesir

Serakan itu menunggu untuk bisa dijawab
rasa penasaran menyelimuti
seperti apakah rupa
semoga saja bisa menerangkan untuk yang tercari
dan di Gunung Padang keagungan kita tersemai

Minggu, 14 April 2013

C'est la Vie

etsy.com
Semarak warna, sependar harapan,
kilaunya rasa tak bisalah ditangguhkan, meski kecewa menggelantung berjuntai,
bendera kemenangan gagal berkibar,
ah, asa masih terus terpendam,
mungkin hanya perlu diburai pada suatu ketika
bilamana pada jiwa pusaran keinginannya masihlah terbingkai
sembari bersembah rasa
untukNya
C'est la vie

Minggu, 07 April 2013

Sejuk-Kental Toleransi di Cangkuang


Hujan turun begitu deras. Seketika juga semuanya bubar mencoba mencari tempat berlindung meski terlihat 1-2 orang tidak beranjak. Mungkin menganggap hujan itu berkah. Ada baiknya harus dinikmati. Di depan mereka yang nampak menikmati hujan, bangunan itu tetap berdiri tegak. Pasrah menerima hujan dari Sang Pencipta.

Hujan itu bisa dibilang, bagi bangunan itu, mungkin sudah ribuan kali. Hujan itu bisa dibilang juga sudah menjadi teman akrab. Tetapi tidak bagi para pengunjung yang senantiasa datang untuk melihatnya. Bangunan itu, Candi Cangkuang, terlihat begitu tabah dan gagah ketika hujan datang menerpa dia dan sekitarnya. Air langit merambah setiap celah-celah bangunannya yang berbatu kemudian menetes ke tanah. Batu-batu nampak begitu mengilap terterpa hujan yang masih disertai sedikit sinar matahari. Batu-batu mengilap itu juga terlihat di makam seseorang yang dipercaya oleh warga sekitar candi dan juga si penjaga candi sebagai penyebar Islam di Cangkuang.

Cangkuang merupakan sebuah candi yang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Leles, Garut, Jawa Barat. Berada di atas sebuah bukit dan dikelilingi sebuah situ yang juga diberi nama sesuai tempat, membuat Cangkuang menjadi sebuah candi yang letaknya begitu unik. Dahulu, menurut Jiji, sang juru kunci, wilayah sekitar candi merupakan pulau. Situ yang berada di dekat candi mengelilingi sampai wilayah belakang candi yang di situ terdapat kompleks pemakaman umum. Namun seiring berjalannya waktu, situ bagian belakang itu banyak ditumbuhi tanaman air, dan akhirnya mendangkal. Maka, tak salah jika kampung di sekitar candi yang dipercaya sebagai tempat tinggal penduduknya disebut sebagai Kampung Pulo.

Berbicara mengenai Candi Cangkuang, tentu berbicara mengenai keunikannya. Bagaimana tidak ternyata di samping candi Hindu ini ada sebuah makam penyebar Islam.  Embah Dalem Arief Muhammad, nama penyebar Islam itu. Asalnya dari Mataram Islam. Datang ke Cangkuang karena malu pulang ke Mataram setelah gagal mengusir VOC di Batavia. Begitu kata Jiji lagi pada saya. Memang pada masa ketika sang penyebar Islam ke Batavia, Mataram Islam diperintah oleh Sultan Agung Hanyarakusuma yang kadung terkenal dan diangkat menjadi salah satu pahlawan nasional di republik ini. Pada masanya ia begitu berang ketika tahu ada VOC di Batavia. Kehadiran VOC sama saja menggangu kekuasaannya sebagai penguasa Pulau Jawa ketika itu, dan juga maskapai dagang multinasional asal Belanda ini pasti akan menguasai Jawa dalam waktu dekat. Maka, diseranglah VOC dalam dua kali penyerangan. Sayang, semua gagal. Apalagi ada perintah dari sultan bahwa kegagalan sama saja malu dan pantas mendapatkan hukuman mati. Akibat titah itu, banyak punggawa Mataram yang ogah kembali ke Mataram dan malah menetap di wilayah-wilayah yang aman. Nah, Cangkuang salah satunya.

Sejarahnya, ketika sang penyebar Islam datang, warga di Cangkuang masih menganut agama Hindu. Melihat itu, Embah Arief Muhammad berniat mengislamkan penduduk, namun dengan cara-cara yang halus. Maka, diikutilah kebiasaan-kebiasaan penduduk di situ dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam hingga kemudian penduduk di Cangkuang memeluk Islam. Naskah-naskah nahwu-shorof yang berada di museum dekat candi bisa menjadi bukti penyebaran Islam itu selain makam. Naskah-naskah itu berasal dari abad ke-17. Awalnya berada di rumah-rumah penduduk yang merupakan rumah-rumah adat. Di rumah-rumah adat itu, karena sakralnya, naskah-naskah itu disimpan di atas genteng.

Toleransi memang begitu kental di Cangkuang. Saya sempat tanyakan lagi pada Jiji mengenai hal itu. Di Cangkuang memang semuanya Islam, namun tetap ada yang memegang adat lama yang berasal dari masa pra-Islam. Hal yang demikian ini masih terlihat ketika ada ritual pemandian benda pusaka saat tanggal 14 Maulud. Ritual ini sebelumnya diawali dengan zikir di makam Embah Arief Muhammad. Jiji menyatakan, amat sulit bagi penduduk setempat melepaskan hal-hal tersebut meskipun hal yang demikian dilarang dalam Islam. Ia mengibaratkannya seperti seorang anak yang berpisah dari orangtuanya lalu membawa kepribadian dalam keluarganya. Ketika di dalam keluarga lain, otomatis ia juga harus menyesuaikan dengan kepribadian keluarga tersebut supaya tujuannya tercapai.

Konon, menurut cerita, candi yang berada di lokasi itu jumlahnya tidak hanya satu, tetapi delapan. Kata Jiji lagi kepada saya bahwa yang tujuh itu entah kemana. Apa secara legenda dilenyapkan oleh sang Embah ke dalam tanah atau malah hilang karena pengaruh alam. Memang, ada legenda yang mengatakan ketika candi dibangun, tepatnya abad ke-8, oleh seorang pemuka Pajajaran, salah seorang abdinya menyatakan tidak setuju sebab candi-candi itu akan runtuh oleh agama baru. Ya, candi Cangkuang ini dibangun pada abad ke-8, dan oleh para arkeolog yang menemukannya disebut sebagai candi pengisi kekosongan sejarah antara Tarumanegara dan Pajajaran.

Yang pertama kali menemukan dan meneliti candi ialah Uka Tjandrasasmita dari UI. Penemuan itu berdasarkan laporan dari Vorderman dalam Notulent Bataviaasch Genootschap bertahun 1893. Laporan itu menyebutkan adanya arca Syiwa dan sebuah makam kuno. Ketika diketemukan, arca syiwa dan makam memang ada, namun ditemukan juga reruntuhan bangunan. Atas dasar tersebut muncul asumsi bahwa reruntuhan bangunan itu pastilah merupakan bangunan candi. Maka dilakukalah penelitian dan pemugaran pada 1960-an hingga 1970-an. Candi Cangkuang pun menjadi candi pertama yang ada di Jawa Barat. Namun mengenai bentuk bangunan, ketika dilakukan penelitian dan pemugaran hanya 40% yang berasal dari batuan asli candi sehingga dilakukanlah pemugaran dengan batuan-batuan lain dan adukan semen. Ini menyebabkan struktur bangunan di Cangkuang ini tidak sepenuhnya asli. Menanggapi hal itu, Jiji sembari menunjuk kepada makam yang berada di belakang museum mengatakan, “Ya batu-batu itu kebanyakan dipakai oleh penduduk untuk dijadikan nisan. Kan penduduk nggak tahu itu batu candi atau bukan.”

Meskipun ada unsur rekayasanya, tetaplah Candi Cangkuang menjadi bangunan yang enak dan elok dipandang. Bersanding dengan hijaunya pepohonan di sekitarnya. Membuat yang melihatnya merasakan kesejukan dan kedamaian hati. Suara-suara burung makin menambah kesyahduan itu. Angin yang berembus dari gunung-gunung sekitar candi seperti Haruman, Guntur, Kaledong, dan Mandalawangi membuat suasana menjadi ayem dan tenang. Penat pun seakan lepas. Meskipun, dalam keadaan itu, saya tidak melihat sama sekali pohon cangkuang (Pandanus furcatus) yang menjadi asal muasal penamaan tempat.



Hujan pun reda. Keadaan seperti sediakala. Angin tetaplah berembus. Di bawah bukit terlihatlah 1-2 rakit menepi di pinggiran situ sementara beberapa orang sedang menikmati memancing ikan. Di bawah bukit itu juga tampak anak-anak kecil bermain pedang-pedangan di pasar yang menjual oleh-oleh. Senyum polos begitu terpancar di wajah mereka. Begitu indah. Seindah toleransi di Candi Cangkuang.


Rabu, 03 April 2013

Api Dendam

Yang membara dalam sekam
yang mengganjal kala ucapan pedas terumbar
yang sungguh membunuh jika dilepaskan
Binasalah semua

Pada hati yang terbakar dendam
Dia sesungguhnya tak menganggapnya elok
plesetan bisikan setan
Malaikat cuma pasrah
tetapi padaku yang teracun dendam
padaku yang mendendam abadi
semua menjadi santapan kosong

Jikalau saja api dendam ini bisalah padam
hatiku lepas bebas
maka berikanlah aku api cinta

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran