Pages

Selasa, 26 Februari 2013

Kala

Terlahir tak terberkati
cairan itu jatuhnya sungguh tak terestui
nafsu meraja pada sang Guru
terlihat keanggunan betis si Uma
Andini cumalah saksi ketidakpantasan itu
tiada malu yang terpancang
Di saat lautan membara
memaksakan sosok
merunut kepastian

http://hermawayne.blogspot.com


Dan semua gempar
takut
kehadirannya mengancam
dia benar-benar memangsa
Surya sekelebatan lenyap

Dan dalang menyandiwarakan lakon
sinden berayu lagu
tertakjublah dia
hilang
mendendam
meminta kehancuran pada kayangan
yang sesungguhnya tak ingin terembus
tetapi terpaksa ditiup
Semesta hanya mengiyakan

Kamis, 21 Februari 2013

Garis Batas

http://ekonomisyariat.com/gambar/garis-batas.jpg
ekonomisyariat.com
Sebagian dari Anda pasti sudah membaca Garis Batas, sebuah sastra perjalanan karya dari seorang traveler, Agustinus Wibowo. Di dalam buku itu. dengan menggunakan subjek "saya", sang penulis menceritakan kisah perjalanannya menjelalajah negara-negara berakhiran "stan" di Asia Tengah. Sebuah perjalanan lintas batas yang mempunyai banyak cerita. Berhadapan dengan sisi sosiologis, antropologis masyarakat setempat. Sebuah perjalanan yang membuat kita di Tanah Air, jika membandingkan keadaan di sana, lalu berujar: oh, ternyata masih lebih enak di Indonesia ya.


Dalam Garis Batas itu kita diajak oleh sang penulis menelusuri negara-negara "stan" seperti Kyrgiztan, Turkmenistan, Kazahkstan, Uzbekistan, dan Tajikistan. Semua negara "stan" itu mempunyai kesamaan, sama-sama bekas wilayah Uni Soviet, dan sama-sama berbahasa Rusia. Namun ada yang unik pada perjalanan itu. Sang traveler menceritakan tentang garis batas antara negara-negara "stan" tersebut. Sebuah garis batas yang tidak biasa. Sebuah garis batas yang dibentuk, bukan hanya tujuan geografis, tetapi juga tujuan politis. Dalam buku itu, kita bisa melihat bagaimana garis batas antara satu negara "stan" dengan "stan" lainnya ada di belakang rumah, atau malah di dalam rumah. Garis batas yang tentu saja sudah memisahkan keluarga yang berada di dalamnya dalam tanda kutip.

Garis batas, dalam kehidupan ini, memang "patut" ada. Ia memang diciptakan untuk membatasi segala sesuatu yang bisa saja keluar dari koridor yang ditetapkan. Kita perandaikan saja kereta api. Tentulah ia harus melewati rel sebagai landasan perjalanannya berdasarkan koridor-koridor penetapannya. Batas-batas pun juga sudah ditetapkan. Mulai dari bentuk rel, bentuk gerbong, kapasitas gerbong, jurusan, hingga jam keberangkatan. Batas-batas itu harus dipatuhi supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti kecelakaan. Batas juga diciptakan supaya manusia menyadari sampai sejauh mana kemampuannya seperti jangan bekerja terlalu berlebihan yang pada akhirnya bisa sakit.

Garis batas, pun bisa diciptakan siapa saja. Manusia, hewan, bahkan Tuhan. Hanya saja garis batas yang diciptakan manusia terkesan mengada-ngada daripada yang menciptakannya. Jika Tuhan sudah menetapkan batasan yang tegas dalam kitab suci, manusia malah sebaliknya. Garis batas di negara-negara "stan" hanyalah satu contoh garis batas geopolitik di dunia yang terkesan aneh. Di Tanah Air, hal demikian cukup banyak. Garis batas itu cukup membuat banyak pihak kesusahan terutama mereka yang sangat membutuhkannya. Anda tentu ingat dalam belakangan terakhir ada kasus meninggalnya salah satu bayi kembar akibat ditolak rumah sakit karena alasan-alasan yang terkesan klasik, tidak ada dana, birokrasi, hingga kurang fasilitas. Hal itu terjadi sebab garis batas yang sudah ditetapkan rumah sakit. Garis batas yang sesungguhnya bisa ditembus melalui tuntasnya urusan administratif. Tapi, apa lacur, apakah semua itu bisa dituntaskan begitu saja jika ternyata mereka yang membutuhkan dan terbentur garis batas itu adalah yang tidak mampu?

Garis batas juga menjadi makna yang kabur. Bisa dipermainkan ke sana kemari demi satu tujuan kelompok. Kita tentu ingat bagaimana Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, malah ikut kampanye salah satu pasangan pilgub Jabar, Rieke-Teten. Padahal, dalam kapasitas politis, Jokowi mempunyai batasan bahwa ia adalah gubernur bukan simpatisan, bukan juga sebagai magnet kampanye. Garis batas yang sudah ditetapkan oleh semua pihak bahwa tidak boleh salah satu pejabat ikut kampanye menjadi sesuatu yang nikmat dilanggar sebab garis batas bernama peraturan tidaklah bersifat tegas. Tegas itu ya hanya pada kertas atau pada orang-orang, yang katakanlah, tidak mempunyai kekuatan. Sedangkan pada orang yang mempunyai kekuatan, semua menjadi tiada arti.

Pada akhirnya, garis batas bisa jadi hanyalah sebuah imajiner dalam alam pikiran manusia yang selalu tidak puas, dan menginginkan segala-galanya. Garis batas hanya berlaku bagi yang harus mengikuti peraturan, sedangkan yang membuat tidak. Tidak ada keadilan dalam garis batas.

Senin, 18 Februari 2013

New!

Juni 1665. Sebuah nama baru dipancangkan besar-besar untuk menggantikan nama yang telah lama eksis di wilayah yang berada di muara Sungai Hudson dan berlanjut ke Teluk Manhattan, New Amsterdam. Nama baru itu merupakan hasil dari peperangan antara Belanda dan Inggris dalam Perang Inggris-Belanda ke-2 (1665-1667), sebuah perang antara dua negara penjelajah akibat rute pelayaran dan perdagangan mencari dunia baru. Adanya nama baru itu pun mengakhiri kekuasaan Belanda atas koloninya di Amerika Utara, dan selanjutnya dengan menyandang New York, nama tempat di Inggris, York tempat itu menjadi kota megapolitan terbesar di AS dan dunia.
***
Gambaran di atas sebenarnya merupakan sebuah peristiwa bersejarah mengenai sesuatu yang baru. Dalam hal ini adalah tempat. Memang, pada masa awal pencarian dunia baru, para penjelajah dari Eropa seringkali menandai tempat yang ditemukan dengan sebutan "baru". Baru di sini juga untuk menandakan bahwa segala sesuatunya haruslah baru, dan lepas dari hal-hal yang berbau lama. Meskipun, hal yang lama itu tetap dicantumkan setelah new. Contohnya New (Nieuw) Amsterdam, New England, atau New Sweden.
younggov.org
Nama penamaan nama dengan kata "new" lalu diikuti tempat yang berbau lama, tempat asal juga karena para penjelajah itu merasakan kerinduan akan kampung halaman yang sangat atau semangat kedaerahan. Contoh, Batavia, nama dahulu Jakarta, aslinya bernama Nieuw Hoorn, tempat asal sang penemu, J.P.Coen. Namun, nama itu ditolak oleh Heeren Zeventien, Dewan Kehormatan VOC.  Belanda memang mempunyai semangat kedaerahan tempat asal ketika menemukan tempat baru. Maklum, VOC dibentuk sebagai kongsi dagang yang berfungsi menyatukan para pedagang asal Belanda yang berlainan provinsi di "negeri kincir angin" tersebut. Tak hanya Batavia, beberapa nama tempat di dunia juga demikian. Sebut saja New Zealand atau dalam bahasa Indonesia disebut Selandia Baru. Nama ini berasal dari kata Belanda, Nieuw Zeeland. Zeeland sendiri adalah salah satu provinsi di negeri tersebut.
Namun, baru bisa berarti juga untuk identifikasi dengan tempat asal bermula. Nieuw Guinea, merupakan contoh bagaimana Belanda menamakan tempat itu hanya karena para penduduk aslinya memiliki kesamaan dengan penduduk Guinea yang terletak di Afrika Barat, rambut keriting, mulut tebal, dan kulit hitam, meskipun para penduduk yang sekarang menjadi Provinsi Papua di Indonesia termasuk ke dalam ras melanesia yang berasal dari Pasifik. Di Afrika Barat, Belanda memang mempunyai koloni dengan nama Guinea, yaitu Dutch Guinea (Guinea Belanda), untuk menandai bahwa Guinea itu punya Belanda. Ini karena negara-negara Eropa lain juga punya koloni di sana. Penamaan itu juga karena Belanda harus menyerahkan koloninya yang sekarang bernama Ghana ke tangan Inggris.
Penamaan nama tempat dengan "baru" di belakang hanya berlaku di dunia bahasa yang mengutamakan diterangkan-menerangkan (DM). Dalam hal ini bahasa-bahasa yang termasuk rumpun bahasa Austronesia, Indonesia dan Malaysia, yang berakar dari bahasa Melayu. Di dunia bahasa itu, utamanya di Malaysia, ada sebuah tempat bernama Johor Bahru. Kota yang termasuk kota metropolitan kedua di Malaysia setelah Kuala Lumpur itu merupakan Ibu Kota dari Negara Bagian Johor. Penamaan itu jelas untuk membedakan dengan Johor sebagai ibu kota negara bagian. Penamaan itu merupakan penamaan ulang dari kota yang sebelumnya bernama Tanjung Puteri.

Di Indonesia, hal itu nampak pada Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. Pekanbaru yang berasal dari kata pekan yang berarti pasar atau kota dan baru, sebenarnya merupakan sebuah tempat perdagangan yang ramai di pinggiran Sungai Siak, Senapelan. Perdagangan ramai yang berada di tempat yang baru ini, kemudian atas usul dewan adat dinamakan ulang, demi kepentingan komersial, menjadi Pekanbaru setelah Sultan Siak, Sultan Muhammad Ali berusaha menjadikannya sebagai pasar besar yang baru pada awal 1780-an. Hal ini merupakan jawaban atas kegagalan ayah sang sultan, Sultan Abdul Jalil Shah Alamuddin, mendirikan pasar besar di tempat yang sama.
Baru tak hanya harus dimaknai sebagai tempat yang baru ditemukan, tetapi juga harus dimaknai bahwa segala sesuatu yang bersifat fisik dan mental haruslah baru tanpa harus mengubah nama kota itu. Contoh, konsep Jakarta Baru yang dicanangkan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau Jokowi. Jakarta yang bebas kemacetan, banjir, urbanisasi, dan tetek-bengek lainnya. Hanya saja kebaruan itu baru terlihat sebagian dari orang baru di provinsi sekaligus Ibu Kota Indonesia itu.



Minggu, 17 Februari 2013

Masa Kanak-Kanak (Tak) Selalu Indah


Masa kanak-kanak itu masa yang indah, katanya. Ungkapan yang begitu populer dan terdengar dalam kehidupan sehari-hari memang menjadi legitimasi bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang dipenuhi dengan kebahagiaan, canda tawa, dan juga tanpa beban. Sebuah masa yang dipenuhi juga dengan kepolosan-kepolosan dan rengekan-rengekan. Akan tetapi, bagaimana jika masa-masa itu, yang katanya indah, malah sebaliknya? Menjadi sesuatu yang sesungguhnya pahit jika diingat?

Itulah yang terungkap dalam Pengharapan karya seorang penulis asal Belanda, Jona Oberski. Novel yang diterjemahkan dari judul aslinya Kinderjaren ini sejujurnya merupakan cerita atau pengalaman sang penulis ketika menghadapi masa kanak-kanak yang harus dilalui di dalam kamp konsentrasi. Di dalam novel, sang penulis menamai dirinya dengan “aku”, seorang anak berumur 8 tahun yang tinggal di Amsterdam, Ibu Kota Belanda. “Aku” adalah anak dari pasangan Yahudi yang “aku” sebutkan dengan nama “ayahku” dan “ibuku”.

Dibagi dalam 5 bab dengan 21 tema, cerita dimulai dari pemberitahuan “ibuku” kepada “aku” bahwa mereka akan meninggalkan mereka menuju ke sebuah kamp yang dibilang merupakan jalan menuju ke Palestina. Padahal, kamp itu sendiri merupakan kamp penyiksaan buatan Nazi Jerman. Sebuah kebohongan yang diskenariokan agar komunitas Yahudi di Belanda mau dimobilisasi supaya dimusnahkan. Dan, parahnya, yang memobilisasi itu adalah orang Yahudi itu sendiri sebab ketakutan disiksa dengan pasukan SS, pasukan elite Nazi. Hal demikian tergambar dalam pengantar buku ini oleh Lilie Suratminto, staf pengajar di Program Studi Belanda FIB-UI.

Mengambil latar di Perang Dunia ke-2, memang menjadi masa-masa yang kurang menyenangkan, bahkan tragis bagi hampir seluruh rakyat di Eropa, terutama komunitas Yahudi. Perang yang dimulai pada 1939 hingga 1945 tentu masih menyisakan trauma mendalam bagi mereka yang mengalaminya, terutama anak-anak yang menyaksikan langsung kepedihan akibat perang, dan kemudian itu terbawa meski perang itu telah usai. Di Pengharapan pun terlihat bagaimana “aku” yang masih polos itu harus mengalami tindakan pasukan Jerman yang mengusir mereka dari tempat tinggalnya pada suatu malam, ketika “aku” sedang terlelap. Tindakan pasukan Jerman itu jelas mengagetkan dirinya, dan membuat  “aku” menangis, dan membuat “ibuku” memarahi si serdadu yang “aku” panggil itu “laki-laki hijau”. Hal itu yang terlihat pada tema berjudul Muiderpoort. Si pasukan Jerman datang mengusir “aku” beserta kedua orangtuanya untuk segera dimobilisasi ke sebuah kamp di Westerbork, sebuah kamp transit yang terletak di timur Belanda, dan pernah menjadi kamp persinggahan dari Anne Frank. Bahkan, kamp Anne Frank itu letaknya berdekatan dengan kamp si “aku”.

Di kamp itulah, “aku” mulai mengalami kesulitan dan penderitaan. “Aku” dan “ibuku” harus berpisah dengan “ayahku” yang ditaruh di bagian lain di kamp. Mengalami dinginnya cuaca dan makanan ala kadarnya, sehingga “aku” bersama penghuni kamp lain merasakan kelaparan. Lalu menghadapi para serdadu Jerman yang mereka sebut Mof, sebuah umpatan orang Belanda terhadap Jerman, yang selalu menenteng bedil, membunyikan senapan ketika ada kerumunan, dan menatap “aku” dan anak-anak penghuni kamp dengan tatapan kejam dan tidak suka. Bahkan, suatu hari pernah “aku” meledek Mof dengan gestur hidung dinaikkan dan lidah dijulur. Salah seorang temannya memperingatkan bahwa tindakan yang ia lakukan terlalu berani (hal.50).

Di kamp ini jugalah, “aku” harus merasakan kepedihan karena ditinggal “ayahku” akibat sakit. “Aku” awalnya tidak sedih, namun saat melihat jenazah ayahnya dimasukkan ke dalam rumah knekel (knekelhuis) dengan keadaan telanjang, tanpa selimut, “aku” mengadu ke ibunya, yang justu mengelak, lalu menangis.
Lalu dari Westerbork, “aku” dan “ibuku” dipindahkan ke Bergen-Belsen, sebuah kamp konsentrasi lain yang berada di Negara Bagian Lower Saxony, Jerman. Namun karena peperangan di Perang Dunia ke-2 yang semakin mendekati babak akhir, para tawanan itu  yang dimasukkan ke dalam kereta itu tidak menentu nasibnya, sebab jalur-jalur kereta yang berubah-ubah, dan kemudian berhenti di Troebitz. Di sinilah para tawanan itu dibebaskan tentara-tentara Rusia. Namun di Troebitz pula, “aku” harus mengalami kepedihan lagi sebab ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang sangat dekat dengan “aku”, “ibuku”. Kepergian “ibuku” itu membuat “aku” menjadi histeris, lalu meracau-racau kepada Trude, tetangganya, yang ia anggap berbohong karena mengatakan “semua jalan ke sana sudah tertutup”, sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “ibuku” sudah meninggal, tetapi karena “aku” masih polos, jadi ia mengerti secara harfiah saja. Jadilah “aku” yatim-piatu.

Pengharapan yang pertama kali terbit pada 1978 di Belanda, dan sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa termasuk Indonesia pada 2012 oleh Pionir Books, merupakan sebuah karya yang diciptakan Oberski setelah mengikuti workshop kesusasteraan, yang kemudian mendapatkan ide tentang pengalamannya di kamp konsentrasi. Sebuah karya yang secara detail menggambarkan bagaimana pahitnya mempunyai masa kanak-kanak yang harus dilalui di dalam sebuah kamp yang penuh tekanan dan tidak bebas. Tentu saja hal demikian akan menjadi sebuah trauma masa kecil. Secara psikologis, trauma demikian akan terus membekas, dan mengubah cara pandang hidup seseorang sampai ia meninggal.

Pengharapan merupakan karya Oberski paling terkenal dibandingkan dua karya lainnya, Ongenode Gast (1995) dan De Eigenaar van Niemandsland (1997). Maka, wajar jika Roberto Faenza pernah memfilmkannya dengan judul Look to The Sky. Mengenai terjemahan, kualitas terjemahan buku ini cukup bagus, mudah dimengerti, serta mendekati kosakata sehari-hari di Indonesia, seperti adanya kata “ngapain” ketika “aku” sedang berusaha menyeberangi kapal dengan dipandu kapten kapal tersebut. (Hal. 25). Selain itu, Laurens Sipahelut, sang penerjemah juga memasukkan beberapa kata lain yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti “menggelenyar” (hal.25) dan “menyompoh” (hal.26). Hal ini membuat terjemahannya, selain berkualitas, juga memilik variasi kata.

Sepintas juga, kita bisa menyamakan karya ini dengan karya-karya seputar kamp konsentrasi pada masa PD II seperti karya Anne Frank, Het Achterhuis (The Diary of a Young Girl), meskipun di dalamnya tidaklah setragis dan mencekam yang dialami Anne Frank. Tetapi, setidaknya, Pengharapan memberikan semacam gambaran bahwa di daerah konflik pun akan melahirkan sebuah karya yang berkualitas, dan dipenuhi dengan cerita mengharukan. Akhirul kalam, masa kanak-kanak itu tak selalu indah.



Sabtu, 16 Februari 2013

Akhirnya, Tanah Leluhur

Paul terlihat berdiri sementara di depannya beberapa mobil nampak lalu-lalang. Taksi, bis Damri, mobil pribadi. Terkadang salah satu dari mereka berhenti lalu menurunkan atau menaikkan penumpang. Salah satu sopir taksi menghampirinya. Mencoba menawarkannya naik taksi dengan berbahasa Inggris, tetapi Paul menolaknya. Supir taksi itu berbahasa Inggris karena melihat raut Paul yang nampak seperti bule. Ia sadari pasti karena hal itu, tetapi ia menyadari juga ia tak sepenuhnya bule. Ia perhatikan kulit di tangannya yang tidak putih terang tetapi putih agak kecoklatan.

Paul memang tampak seperti turis bagi mereka yang melihatnya. Ada sebuah koper besar yang ia dorong sendiri semenjak turun dari pesawat KLM yang membawanya dari Schipol, Belanda. Dan kini ia memang berada di terminal kedatangan internasional di Bandara Soekarno-Hatta. Menunggu seseorang yang katanya tengah menjemputnya. Yang akan coba membantunya selama di Jakarta nanti.

Cuaca terik dan panas disertai angin kencang yang kering menyambutnya kala ia sampai di gerbang Indonesia ini. Sebuah negara yang ia kenal dari cerita-cerita sewaktu di Belanda. Ia sendiri memang berasal dari "negeri kincir angin" itu, tepatnya di Rotterdam. Ia sendiri tinggal di sebuah flat 7 tingkat yang bisa dibilang dekat dengan Stadion Feyenoord, kandang dari klub sepak bola terkenal di kota itu, Feyenoord. Dan Paul mengakui dirinya adalah pendukung klub tersebut, yang selalu berivalitas dengan Ajax Amsterdam di Eredivisie.

Mengenai Indonesia, Paul sudah sering mendengar cerita-cerita itu dari keluarga dan juga teman-temannya. Sebuah negara, yang kata mereka yang bercerita, adalah negeri yang indah, orang-orangnya ramah, penuh pohon kelapa, dan candi. Dan memang benar apa yang mereka katakan, Indonesia itu negara yang indah, tanah subur, berbeda dengan Belanda, yang hanya dipenuhi dengan kanal-kanal. Ia sendiri terpesona melihat itu dari televisi, juga dari pasar malam Indonesia yang saban tahun diadakan di Den Haag. Di sanalah dia berkenalan dengan seorang teman dari Indonesia. Namanya Rani. Seorang wanita Jawa yang terlihat manis dan eksotis. Paul benar-benar jatuh cinta kepadanya sejak pertemuan pertama. Rani adalah seorang mahasiswi Indonesia yang sedang belajar di Leiden. Ia belajar mengenai Kebudayaan Jawa di universitas terkenal di Belanda itu. Ketika mendengar itu, Paul cukup heran, dan bertanya,

"Mengapa kamu yang memang orang Jawa harus belajar kebudayaanmu sendiri di sini, di negeriku?"

"Pertanyaan tadi dijawab Rani dengan halus namun seperti mendendam,

"Itu karena negaramu membawa semua kebudayaan kami, bukan hanya Kebudayaan Jawa, ke sini, dan terkadang tidak mau mengembalikan dengan alasan ini-itu. Bahkan untuk mengembalikan harus memakai ongkos yang mahal. Ongkos itu sama mahalnya dengan angka untuk memberantas kemiskinan di negara kami. Sejujurnya, kalau semua kebudayaan kami ada di tanah kami sendiri, tak perlu aku capek-capek ke sini. Belajar sambil menghadapi cuaca dingin yang tidak bersahabat,"

Jujur, ketika mendengar itu, Paul baru tahu, lalu bertanya lagi mengapa. Rani pun menjelaskan dengan pelan. Ia bilang itu karena Belanda datang dan menjajah Indonesia selama ratusan tahun. Saat mendengar itu, Paul pun tersadar Indonesia adalah bekas jajahan Belanda. Sebuah jajahan yang dahulunya bernama Nederland-Indie atau Hindia Belanda. Sebuah jajahan terbesar untuk kerajaan sekecil Belanda yang kemudian merdeka pada 17 Agustus 1945, tetapi Belanda baru mengakui pada 27 Desember 1949. Mengenai ini, ia jadi teringat di sebuah pelajaran sejarah mengenai negerinya, gurunya mengatakan bahwa Indonesia merdeka karena pemberian Jepang. Gurunya itu cukup tua, dan terlihat kesal ketika menyebut nama "Indonesia". Tapi, pandangan itu berubah ketika guru tua itu diganti seorang guru muda yang menyatakan Indonesia merdeka karena perjuangan mereka sendiri. Bukan hadiah dari Jepang. Sebuah cara pandang politis yang sejujurnya benar-benar Paul ingin lupakan sebab ia adalah generasi muda yang menginginkan semua itu setara, dan Indonesia tak lebih hanyalah sebuah negara dunia ketiga yang menyimpan sejuta pesona.

Tetapi, mengenai kata "negaramu" dari Rani yang sempat ia pacari selama 2 tahun, ia jadi sangsi juga pada dirinya apakah Belanda ini benar-benar negaranya, sebab ia sadari bahwa ia sendiri merupakan keturunan Indonesia. Ya, Paul memang salah satu diasopra Indonesia di Belanda. Ia akui bahwa ia bernenek moyang di Maluku. Marganya Manuputty. Kakeknya mantan prajurit KNIL yang kemudian memacari seorang wanita Jawa bernama Minah ketika sedang tugas ketentaraan di Semarang. Lalu kakeknya yang bernama Reynold itu menikahi Minah setelah 3 tahun memadu kasih. Sayang, pernikahan itu tidak disetujui keluarga Minah yang tidak menginginkan Minah menikahi orang di luar suku Jawa. Keluarga Minah beranggapan bahwa Reynold itu antek Belanda, dan tidak pantas rasanya Minah menikah dengan seorang penjajah. Lagipula Reynold berlainan agama. Namun, karena cinta yang sudah sangat telanjur tumbuh di kedua hati mereka, maka halangan-halangan itu mereka singkirkan. Mereka berdua pun memutuskan kawin lari. Minah diam-diam lari dari orangtuanya lalu menemui Reynold untuk minta dinikahi. Meski awalnya Reynold menolak karena menganggap bahwa doa dan restu orangtua itu perlu, tetapi Minah memaksa. Reynold pun mengalah. Semenjak itu Minah tinggal bersama Reynold di barak lalu mereka mempunyai anak-anak yang berjumlah 4 sehingga kamarnya menjadi sesak. Anak-anak itu lalu menjadi anak kolong. Anak-anak itu yang kemudian dibawa pergi ke Belanda ketika terjadi peristiwa RMS pada dekade 50-an.

Ayah Paul sendiri merupakan anak ketiga dari kakeknya. Ayahnya itu yang saban hari ketika ia kecil menceritakan tentang Indonesia juga pengalaman ketika ke Belanda yang dipenuhi dengan kisah yang pilu dan haru akibat peristiwa politis di Indonesia.

"Waktu itu ayahmu masih kecil, Nak," kata ayahnya suatu hari bercerita, "Keadaan di kapal sungguh sesak. Saling berhimpitan. Ayahmu tidak mengerti mengapa, dan kenapa kami harus meninggalkan Maluku. Kami makan hanya seadanya. Ketika di Belanda ayahmu ini merasakan dingin lalu nenekmu itu membekap kami dengan kasih sayangnya sehingga kami merasakan kehangatan meski kehangatan itu tidak bisa mengalahkan dingin. Ayahmu hanya ingat bahwa kami sekeluarga dibawa ke sebuah kamp,"

Cerita ayahnya itu yang menggugah dirinya untuk ke Indonesia, tanah leluhur di timur jauh. Ia benar-benar penasaran seperti apakah negara itu jika dilihat dengan mata dan kepala sendiri. Yah, memang ayahnya mengatakan itu Indah, meskipun televisi di Belanda sering menayangkan Indonesia negara yang penuh dengan kekerasan, kemiskinan, dan korupsi. Tetapi, itu tidak menghilangkan kepenasaranannya sama sekali.
Bahkan, suatu hari Paul berseloroh kepada ayahnya,

"Ayah, aku ingin ke sana, dan kalau perlu menjadi warga negara di sana,"

Ayahnya yang mendengarnya agak heran,

"Maksudmu?"

"Ya, ayah aku ingin menjadi warga negara Indonesia. Aku ingin benar-benar dekat dengan tanah leluhur di sana,"

Ayahnya hanya tersenyum,

"Tentu saja boleh. Ayah tidak keberatan. Ayah malah berharap demikian. Di sana masih banyak keluargamu, terutama di Jakarta, Semarang, dan Ambon,"

Kemudian ayahnya berhenti berbicara, rautnya berubah.

"Tetapi, kalau kakekmu aku tidak tahu,"

"Kenapa memangnya, ayah?"

Reynold, ketika meninggalkan Indonesia pada dekade 50-an, bersumpah tidak akan pernah ke negara itu lagi, menginjakkan kaki, selama Maluku masih dijawanisasi. Reynold memang seorang perwira KNIL yang setia kepada Belanda, lalu ke Belanda dengan harapan Den Haag membantu kemerdekaan Maluku Selatan. Ia memang, bersama dengan perwira KNIL asal Maluku lainnya dan juga para advokat, tidak setuju adanya pengiriman tentara dari Jawa oleh Soekarno, usai pembubaran Negara Indonesia Timur. Kehadiran tentara dari Jawa itu cukup menganggu. Cukup ironis, meskipun ia beristrikan Minah.

Ketika mendengar bahwa cucunya hendak ke Indonesia lalu ada keinginan menjadi warga negara di sana, ia langsung mencak-mencak,

"Godverdomme! Ngapain kamu ke sana? Di sana itu miskin tidak seperti di sini. Kotor, tidak beradab! Lihat saja negara sebesar itu pemerintahnya nggak becus mengurus. Apa yang kamu harapkan dari sana, heh? Sungguh kamu akan merugi!"

"Tapi, opa, aku hanya ingin dekat dengan leluhurku saja, tidak lebih,"

"Soal leluhur sebaiknya lupakan. Simpan saja di dalam hati. Kita sudah menjadi warga negara Belanda. Yang agung, kaya, dan makmur,"

Paul hanya terdiam sementara neneknya mencoba menenangkan suaminya,

"Jangan marah-marah. Ingat, darah tinggimu,"

"Oh, maaf," ujar kakeknya kemudian menurun tensinya.

Neneknya lalu memberi isyarat agar Paul segera menyingkir dari hadapan kakeknya. Kemarahan kakeknya yang terjadi selepas ia lulus dari Havo, tetap tidak menyurutkan niatnya untuk ke sana. Membuktikan apa yang telah diucapkan dengan mata kepala sendiri. Sampai kakeknya meninggal karena darah tinggi, itu pun tidak berubah. Rasa kepenasaranan tetap menauginya.

Suatu malam, neneknya, Minah, bertanya padanya tentang keinginan itu,

"Kamu sudah pertimbangkan baik-baik?"

"Sudah kok, oma," jawab Paul yakin, "Aku sudah bertekat. Ayah dan ibu juga mengiyakan,"

"Oh, ya sudah," kata neneknya, "Oma cuma bilang hati-hat lah di sana. Ladang orang itu berbeda dengan ladang sendiri,"

"Iya, oma,"

Paul, yang selepas Havo, tidak bekerja dan kuliah, tetapi bermain sepak bola di Feyenoord junior pun, terus mematangkan niatnya. Ia ke sana juga ingin bermain sepak bola. Hal demikian ditertawakan teman-temannya,

"Apa kau yakin?" tanya salah seorang temannya, Kurt.

"Ya, aku yakin," jawab Paul yakin.

"Sadarlah, kawan, apa yang kau tahu dari sepak bola Indonesia? Aku saja hampir-hampir tidak tahu. Malah yang kutahu dari Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam. Ini sama saja kau bermain di negeri antah-berantah,"

"Kurt benar, kawan," ujar salah satu temannya lagi, Ruud, "Aku saja tidak tahu sama sekali. Sudahlah, berjuanglah bersama kita menembus tim senior. Nanti dari situ kita bisa bermain di lnggris, Jerman, Prancis, Spanyol, juga Italia,"

"Justru karena tidak tahu aku ingin tahu," kata Paul.

"Ah, ya aku baru ingat," kata Kurt tiba-tiba, "Sepak bola Indonesia itu katanya tidak profesional dan selalu rusuh. Liganya seperti liga divisi 4,"

Ia lalu tertawa-tawa,

"Kau kata siapa?"

"Temanku, salah seorang traveler. Ia bilang stadion di sana seperti bangunan tua tak terurus apalagi lapangannya. Cuma ada satu stadion bagus di sana. Itu pun di Jakarta,"

"Lalu?"

"Ya, kuharap kau tidak ke sana, kawan. Buang-buang waktu,"

"Terima kasih. Tetapi, aku akan tetap ke sana. Aku ingin dekat juga dengan leluhurku,"

Dan hal-hal itulah yang terus mengiringi kepergian Paul dari Belanda ke Indonesia. Gambaran-gambaran negatif selalu tergiang di benaknya. Hanya sedikit gambaran positif. Tetapi, apalah arti itu semua jika tak dibuktikkan dengan mata kepala sendiri, hanya melalui mulut ke mulut? Bukankah Andi Tielman juga masih mengakui Indonesia tanah yang elok, subur, dan tumbuh banyak pohon kelapa ketika menyanyikan "Rayuan Pulau Kelapa"? Itu berarti masih ada secercah positif di balik negatif.

Ia ke Indonesia, terutama ke Jakarta, karena salah satu klub sepak bola di Ibu Kota Indonesia itu, Persija ingin melihatnya dalam training, dan jika bagus ingin mengontraknya untuk menghadapi musim kompetisi Liga Indonesia mendatang. Tentulah ini sebuah kesempatan yang tak ingin ia sia-siakan. Menjadi warga negara Indonesia lewat sepak bola, lalu berharap bisa membela Timnas Indonesia suatu hari nanti. Meskipun, di depan masih terlihat kabut.

Seseorang tiba-tiba menyapanya. Perawakannya pendek, berkulit sawo matang, tapi mempunyai tampang Maluku seperti dirinya. Ia menyapa dalam bahasa Belanda,

"Paul? uit Nederland?"

Ia lantas menjawab,

"Ja, ik ben Paul,

Orang itu lalu memperkenalkan dirinya. Rendi namanya. Mengaku masih mempunyai darah dengan dirinya, dan sama-sama berfam Manuputty. Rendi akan mengantarkan dirinya ke rumahnya yang berada di Cawang untuk bertemu keluarga besarnya. Barulah setelah itu ia akan mengantar Paul ke Ragunan, tempat Persija berada. Sebuah petualangan di tanah leluhur dimulai.

Rabu, 13 Februari 2013

Sori, Valentino (Pulanglah, Cupido)

Sori padamu, Valentino,
Sori juga untukmu, Cupido
dalam rentang 14 Gregorian selalu terdengung
tergema, terhanyut lalu latah
Aku pikir ini ladangku bukan ladangmu
ini ranahku bukan ranahmu
tak harus pada kisahmu cinta diburai-burai
bilakah untuk kedangkalan semata
Tak perlu itu terkait pada Prambanan
atau jelita si Mendut
atau juga pada Laila Majnun
Nah, kau memang seperti Dante, Valentino
Sengaja memartirkan diri demi menjadi puja-puji populer
alasan yang keluar dari pertahanan terhadap Baphomet
Racun pun membius mereka yang dipenuhi khayalan dewa-dewi
Maaf juga, Cupido
Kendurkan tegangan panahmu
Pulanglah temui Zeus di Olympus
katakan padanya bahwa kau tiada urusan dengan Valentino
bermainlah dengan Hercules
biar cinta datang dan tumbuh sendiri

Minggu, 10 Februari 2013

Superhero Bukanlah Imaji, Fantasi Anak-Anak, dan Omong Kosong

Judul: Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture
Penulis: Paul Heru Wibowo
Penerbit: LP3ES, 2012
Tebal Halaman: 541 halaman+indeks

Superhero. Jika menyebut kata itu, sudah pasti pikiran kita akan langsung mengarah kepada persona yang mempunyai kekuatan super, berotot seperti binaraga, berparas tampan atau cantik, mengenakan baju ketat spandex, serta bertopeng. Dan dari kekuatan super itu yang bisa berupa kekuatan untuk terbang, memanjat gedung-gedung bertingkat, dan mempunyai senjata super, selalu kita akan mengaitkan itu dengan imaji dan fantasi anak-anak yang bisa dibilang tidak rasional. Bahasa kasarnya, omong kosong.

Namun apa yang ditunjukkan oleh Paul Heru Wibowo dalam buku ini mencoba menyadarkan kita bahwa superhero bukanlah fantasi, imaji anak-anak yang penuh keomongkosongan. Tetapi, superhero merupakan potret sebuah kemanusiaan dalam lingkungan suatu masyarakat. Si penulis menyebutkan kemunculan superhero sejujurnya dikarenakan kebutuhan mendesak masyarakat kapitalis atas perubahan sosial yang ada di sekitarnya. Perubahan itu terutama berkaitan dengan rasa aman. Dalam sejarah kemunculan superhero di Amerika pada awal abad ke-20 memang dikarenakan tingkat kejahatan yang meningkat. Kejahatan yang meningkat tersebut bukan hanya dilakukan oleh penjahat kelas kecil tetapi kelas atas seperti mafia dan gangster. Kejahatan demikian cukup meresahkan bahkan polisi sendiri tidak bisa sepenuhnya memberantas kejahatan tersebut. Keadaan seperti itu yang memunculkan harapan pada masyarakat bahwa mereka ingin rasa aman meski rasa aman itu rasa-rasanya bisa mustahil. Maka, muncullah kemudian superhero-superhero awal Superman dan Batman yang dilahirkan oleh salah satu penerbit komik kelas dunia, DC Comics.

Kehadiran para superhero itu yang tujuan sebenarnya membantu memberantas kejahatan dengan nilai teladan yang dipunyainya, tanpa disadari tidak lepas dari unsur-unsur kekerasan yang otomatis akan mengimitasi para pembacanya, termasuk anak-anak dan remaja. Keadaan demikian membuat maraknya delikuensi moral akibat perilaku dalam komik-komik superhero. Hal demikian membuat pelarangan dan pembakaran komik besar-besaran pasca Perang Dunia ke-2 seperti yang diusulkan oleh ahli pendidikan, Wertham.

Superhero sendiri adalah produk kapitalis yang kemudian menjadi budaya populer. Dia sendiri bentuk modern dari mitos yang telah lama ada dalam masyarakat, yaitu mitos manusia super, seperti Hercules atau Prometheus dalam Mitologi Yunani. Maka, tak salah jika unsur maskulinitas, berupa paras tampan dan badan berotot menjadi nampak dominan dalam sejarah kemunculan superhero. Hal demikian kemudian dikritik oleh gerakan feminisme yang menginginkan munculnya superheroine atau superhero perempuan untuk mengimbangi dominasi laki-laki. Maka, muncullah Wonder Woman. Meski dalam sejarah kemunculan superheroine, peran mereka nyatanya belum sepenuhnya mandiri, dan masih membutuhkan bantuan laki-laki.

Di dalam buku ini, sang penulis juga menuliskan persaingan antara DC Comics dan Marvel yang dikenal sebagai leviathan komik superhero internasional. Persaingan yang terus berlangsung hingga sekarang. DC Comics sebagai penerbit komik superhero pertama sebelum Perang Dunia ke-2 selalu menampilkan superhero yang kelihatannya tidak lekat dengan kehidupan manusia. Kekuatan super yang diperolehnya bukanlah karena keahlian yang dilatih terus-menerus tetapi merupakan turunan. Hal itulah yang tergambar dari Superman, superhero asal Planet Krypton. Sebaliknya, Marvel, yang baru muncul pasca Perang Dunia ke-2, mencoba membuat superhero yang mempunyai kekuatan bukan karena keturunan atau karena berasal dari planet lain, tetapi suatu eksperimen teknologi yang berakibat kecelakaan. Dan Fantastic Four atau X-Men menjadi contoh dari  perusahaan komik milik Stan Lee tersebut. Namun ciri tersebut menghilang seiring kedua perusahaan komik itu berusaha membuat superhero yang bukan lagi  menjadi ciri khasnya.

Ketenaran para superhero yang dimiliki DC Comics dan Marvel juga terngiang ke Indonesia yang kemudian juga membuat superhero lokal. Sri Asih menjadi superhero pertama Indonesia. Tokoh yang diciptakan oleh RA Kosasih pada dekade 1950-an itu merupakan gabungan dari Superman, Wonder Woman, dan The Flash. Perawakannya yang memakai selendang dan kemben menjadi ciri khas superhero asli Indonesia. Setelah Sri Asih pada dekade 70-an muncullah superhero-superhero lokal seperti Gundala, Godam, Aquanus, Herbintang, Laba-Laba Merah, dan Maza. Kemunculan superhero ini nampak modern karena berusaha mengikuti pakem DC dan Marvel seperti Godam, Gundala, dan Laba-Laba Merah yang nampak terimitasi oleh The Flash, Superman, dan Spiderman. Namun, harus diakui, meski modern, kehadiran superhero nampak belum bisa dari kondisi kultural masyarakat Indonesia. Para superhero itu nyatanya masih dihadirkan dalam percampuran antara klenik dan ilmu dan teknologi. Salah satu contoh saja adalah Godam yang mendapat kekuatannya melalui cincin sakti yang kemudian melawan musuh abadinya, Dr. Setan, dukun sekaligus ilmuwan. Gambaran itu sejujurnya tidak jauh beda dengan jagoan-jagoan Indonesia yang juga dianggap hero dan superhero pra-industrial seperti Si Buta Dari Goa Hantu, Wiro Sableng, dan juga Si Pitung yang mendapat kekuatannya dari jimat, bertapa, atau pertemuan dengan sesuatu yang gaib. Ini tentu beda dengan superhero Amerika yang lekat dengan ilmu dan teknologi.

Dalam buku ini, penulisnya juga menyatakan bahwa superhero adalah gambaran psikologis manusia itu sendiri ketika menghadapi lingkungannya. Satu contoh saja, Batman.Superhero yang identik dengan kelelawar ini dan alter ego dari Bruce Wayne adalah tipe penyendiri dan selalu curiga terhadap orang lain. Hal demikian tentu berpengaruh pada aksi Batman yang selalu individualis, misterius, dan terkadang tidak mempercayai rekannya sendiri, Robin.

Selain sebagai bagian dari industri budaya populer, film, superhero juga sering dimasukkan sebagai unsur penarik dalam iklan. Tujuannya tentu menarik para konsumen. Dalam buku ini bagaimana salah satu produk iklan ternama, Lux, memajang para model wanita seperti Dian Sastrowardoyo dan Mariana Renata menjadi ikon wanita super atau superheroine dengan tag beauty gives you superpowers. Hal ini supaya para wanita yang memakai produk sabun tersebut diharapkan seperti para model itu yang tak hanya cantik tetapi juga berperilaku superheroine.

Buku ini juga membahas tentang superhero dari "negeri sakura" Jepang yang terkenal dengan super sentai, kyodai hero, kamen rider, dan metal heroes. Sama seperti AS, superhero dari Jepang juga lekat dengan ilmu dan teknologi namun dengan tampilan kostum warna-warni yang begitu enak dipandang mata. Maka, tak salah kalau produk dari Jepang itu juga sama populernya dengan produk superhero dari AS.

Di balik kemunculannya, superhero tak hanya pemuas hiburan semata, tetapi dia juga mengusung nilai-nilai tertentu, mulai dari ideologi hingga kritik sosial dalam masyarakat itu sendiri. Meski superhero itu bentuk modern dari mitos-mitos kuno, namun bukan berarti mereka dewa yang abadi alias tidak bisa mati. Para superhero itu juga manusia yang suatu saat menua dan harus mati. Itu terlilhat dari kematian Superman pada 1992 saat melawan Doomsday.

Melalui bahasa yang sederhana, dengan menampilkan teks-teks superhero yang lekat dalam kehidupan sehari-hari, buku ini setidaknya menjadi satu-satunya kajian mengenai superhero di Indonesia. Ini dikarenakan superhero belum menjadi kajian yang serius seperti di AS atau Jepang. Superhero hanyalah sebuah pelengkap yang lebih dilihat unsur khayalinya daripada unsur industri dan humanis yang dipunyainya. Maka, tak salah jika superhero di Indonesia selalu mengalami kembang-kempis. Semoga saja dengan kehadiran buku ini bisa menjadi perintis kajian superhero selanjutnya, dan juga sebagai kebangkitan superhero lokal.




Jumat, 08 Februari 2013

Timnas Belanda, Diaspora, dan Naturalisasi: Pascakolonial di Lapangan Hijau

Piala Dunia 1974. Mata pecinta sepak bola dikejutkan oleh sebuah kesebelasan yang mengandalkan permainan cepat menyerang total. Sebuah kesebelasan yang bermaterikan nama-nama seperti Johan Cruyff, Ruud Krol, Arie Haan, Johan Neeskens, dan Kerkhof bersaudara. Kesebelasan yang semula tidak diperhitungkan itu tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan karena berhasil menggulung dua raksasa sepak bola Amerika Latin, Brasil dan Argentina. Penampilan yang impresit itu yang mengantarkan kesebelasan ini, kesebelasan Belanda, ke final kejuaraan dunia empat tahunan tersebut.

Meski di partai puncak kalah oleh tuan rumah Jerman dengan skor tipis 2-1 setelah terlebih dahulu unggul, Belanda berhasil menjadi tim yang memukau publik sepak bola dunia lewat permainan menyerang total yang disebut sebagai totalvoetbal. Sebuah sistem permainan yang memungkinkan para pemain, baik itu pemain belakang atau tengah bisa mencetak gol, dan tidak terpengaruh oleh pakem bahwa pemain depan yang harus mencetak gol. Sebuah sistem permainan yang lama-kelamaan menjadi ciri khas Belanda, kesebelasan yang selalu bercirikan kostum oranye.

Penampilan mengagumkan Belanda itu juga membuat kagum publik sepak bola di Indonesia. Karena penampilan yang seperti itu, tak salah jika banyak publik sepak bola menjadi pendukung kesebelasan Belanda. Tentu saja hal demikian sangat unik mengingat Belanda adalah negara yang amat lekat dalam sejarah Indonesia, terutama sejarah kolonialisme negara tersebut di Tanah Air.

Disadari atau tidak, tertariknya orang-orang Indonesia pada permainan kesebelasan Belanda ketika itu menjadi semacam jembatan penghubung pascakolonial antara kedua negara. Memang, di satu sisi Belanda adalah representasi negara Eropa yang menguasai Tanah Air dalam waktu yang lama, dan telah menancapkan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia pada zaman kolonial. Tentu yang paling diingat adalah perlakuan diskriminasi, rasialis, dan superioritas orang-orang kulit putih terhadap pribumi. Hal-hal demikian sangat dibenci oleh masyarakat di Tanah Air jikalau mereka mengingatnya dalam pelajaran sejarah atau cerita dari orangtua.

Akan tetapi, di sisi lain, Belanda juga dirindukan dan malah diagungkan. Sadar atau tidak, negara kecil di Eropa tersebut membawa begitu banyak hal-hal yang teramat baru dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pribumi seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, juga olahraga seperti sepak bola. Sepak bola di Indonesia memang dikenalkan oleh Belanda pada akhir 1920-an. Cara memainkannya yang gampang dan mudah, serta tidak membutuhkan banyak peralatan menjadikannya sebagai olahraga terpopuler, dan bisa dimainkan siapa saja. Hanya saja, dalam olahraga pun Belanda melakukan diskriminasi. Hanya membatasi pada pribumi-pribumi tertentu. Hal demikian menimbulkan perlawanan. Dan melalui sepak bolalah, bangsa ini melawan.

Pascakolonial di lapangan hijau antara kedua negara bukan hanya berkisar dukungan orang-orang di Tanah Air terhadap tim olahraganya, tetapi juga adanya representasi orang-orang kulit berwarna di tubuh kesebelasan Belanda. Orang-orang kulit berwarna itu berasal dari berbagai macam etnik dan imigran yang ada di Belanda. Ada yang dari Suriname, ada yang dari Hindia Barat, dan ada juga yang dari Hindia-Timur atau Indonesia. Dalam yang terakhir, kebanyakan diwakili oleh orang-orang Maluku. Giovanni van Bronckhorst, Patrick Kluivert, Danny Landzaat, dan Roy Makaay adalah contoh-contoh representasi Maluku yang menjadi jembatan pascakolonial kedua negara. Tentu saja, representasi seperti ini, pada awalnya tidak diterima masyarakat Belanda yang konservatif, yang masih memandang bahwa Indonesia adalah milik mereka yang berharga kemudian lepas, lalu melihat bahwa banyak awak dari bekas jajahannya menjadi bagian dari mereka. Apalagi para awak bekas jajahan itu ternyata mempunyai sesuatu yang berbeda daripada yang menjajah.

Namun semua itu menjadi terterima ketika anak-anak muda Belanda yang berpikiran lebih terbuka memandang bahwa hal demikian perlu jika dihubungkan dengan kesetaraan ras dan multikulturalisme. Hal demikian terjadi  akibat pemikiran hippies yang begitu menggejala di seluruh dunia.

Pascakolonial kedua negara di lapangan hijau pun berlanjut ketika Belanda dengan senang hati menyuruh para insan sepak bolanya melatih kesebelasan Indonesia. Mulai dari Wiel Coerver hingga Wim Rijsbergen menjadi nama-nama yang pernah menukangi tim Garuda. Meski hanya segelintir prestasi yang ditorehkan. Belanda pun juga, melalui KNVB, dengan senang hati membantu Indonesia melalui training camp di negara itu pada 2006 yang dilakoni timnas U-23 demi menghadapi Asean Games, lalu dengan senang hati juga membantu Indonesia mencarikan pemain keturunan Indonesia yang bermain di Belanda supaya dinaturalisasi demi kepentingan prestasi instan. Tercatat nama Irfan Bachdim, Diego Michels, Raphael Maitimo, Tonny Cussel, hingga Jhonny van Beukering menjadi bagian dari tim Garuda. Melepaskan kebelandaan mereka lalu kembali kepada leluhur mereka sendiri yang telah dirindukan melalui cerita para orangtua. Sayang, sejauh ini belum ada prestasi yang bisa ditorehkan jika dibandingkan dengan diaspora Indonesia di Belanda yang menjadi bagian dari kesebelasan Belanda, namun telah mempunyai prestasi. Bahkan, salah satu representasi itu, Giovanni van Bronckhorst, dijadikan kapten tim sewaktu di Piala Dunia 2010. Bukankah itu semacam pengakuan terhadap para diaspora Indonesia?

Pascakolonial di lapangan hijau hanyalah salah satu bentuk hubungan kedua negara yang masih terikat jelas masa lalunya. Namun, sejauh yang terlihat, hubungan pascakolonial di lapangan hijau ini masih terbilang relatif baik jika dibandingkan dengan hubungan pascakolonial di bidang politik, sejarah, pendidikan, dan hukum. Terlihat sekali benturan-benturan beraromakan sentimen dan dendam masih terasa. Memang, dalam pascakolonial sesuatu yang ambivalen pasti akan selalu muncul. Tinggal bagaimana kita sendiri yang menyikapinya.

Kamis, 07 Februari 2013

Ambivalensi

Dalam lintasan perjalanan waktu
Bilamana kusuka pada hitam
Tapi kubenci pada putih
Lalu kuantipati sang hitam
Namun kusenangi si putih

Dalam kilasan pengembaraan kala
Rasa itu menjadi kekacaubalauan
Terombang-ambing di perantauan pikiran
Lalu terbujur dalam ketidakmestian

Angin bersepoi
Halimun menyelimuti
Dan sabda-sabda alam terngiang
Sudah saatnya hidup tetap diarungi

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran