Pages

Sabtu, 30 Maret 2013

Alih Hati

Hati....
sudut pandang Sang Pencipta
pergumulan multihasrat
peraduan elok teruk


Hati...
memanglah tak elok bermain-main hati
sebablah rasa bisalah risau
tapi pada hati itu aku terpagut
hati yang telah terangkuli

Hati...
Hanya Dia Sang Penguasa hati
yang pangus memainkan hati hambanya
dan selalu bersangkil tanpa keraguan
padaNya alih hati kuharapkan
sebab tak pantaslah ku yang hina bermain hati
karena hati itu jugalah milikNya


Kamis, 28 Maret 2013

Penari Bulan

Selendang mengilap tersampir pada liukan tubuhmu
lalu kau main-elokkan
pada bayang-bayang gelap
bulan purnama menyorotmu tajam

Baiklah aku sebut dirimu penari bulan
kau menari di bawah sinarnya
bersemai dalam padang ekstase
lupa akan sekitarnya
mungkin juga lupa akan diriku

Liukan aduhai merancak
Meloncat-loncat
mengikuti irama angin
tenggelam bersyahdu

Wahai penari bulan
yang mungkin garis wajahnya tersamar
berkembar dengan liukan
berasa dengan bayangan
sadarilah jikalau kala telah menyeretmu
candra taklah seronok menengok
jikalau di balikmu tetesan liur dan sorot tajam telahlah mengintai

Selasa, 26 Maret 2013

Bendera

Dalam beberapa jam ini Aceh sedang menjadi bahan pembicaraan. Kali ini pembicaraan bukan berkisar pada hukum syariah yang berlaku di salah satu provinsi di republik ini atau memori-memori pasca-tsunami yang masih begitu menghangat di benak seluruh warganya. Pembicaraan itu tertuju pada bendera yang ada pada provinsi berjuluk "serambi Mekkah" tersebut. Sejujurnya, lazim kalau tiap provinsi punya bendera juga lambang provinsi. Namun menjadi persoalan serius ketika bendera yang dijadikan bendera provinsi terkait dengan akar masa lalu separatisme di tanah rencong itu. Ini karena desain bendera Aceh mirip dengan desain bendera GAM. Sesuatu yang katakanlah sensitif, tidak bisa ditoleransi. Alasan pemilihan desain itu sendiri karena berdasarkan mayoritas rakyat Aceh yang menginginkan bendera itu haruslah mengandung "keacehan" yang kental dengan unsur-unsur islami. Meskipun ada yang mengatakan bahwa itu demi kepentingan politis  Partai Aceh yang tersirat dalam Qanun Wali Nanggroe. Ini seperti yang diungkapkan masyarakat Gayo yang menolak bendera tersebut karena diskriminatif. Mereka berunjuk rasa sambil membentangkan bendera Kerajaan Linge, bendera Gayo, sebagai simbol perlawanan.

Berita di atas tadi menjadi sebuah pengesahan bahwa bendera, kain berbentuk persegi panjang lalu diikatkan pada sebuah tiang hingga berkibar-kibar, nampak menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Bendera memang sebuah kain. Namun kain itu bukanlah kain yang polos, tetapi kain yang telah diberi warna dan corak tertentu yang sesuai dengan amanat dan pesan yang ingin disampaikannya. Dari benderalah terbentuk suatu konstruksi visual yang menunjukkan bahwa suatu tempat, daerah, atau negara itu benar-benar ada. Maka, ketika di dalamnya termuat pesan-pesan yang tersirat itu lalu bendera itu diperlakukan tidak baik, amarah akan segera muncul sebab hal itu sama tidak menghormati alias melakukan penghinaan.

Kita tahu sewaktu masa-masa perang kemerdekaan, bendera Merah-Putih menjadi sesuatu yang sakral, tidak boleh dinodai. Sekali dinodai itu sama saja dengan melecehkan harga diri. Maka, ketika Inggris mengultimatum para pejuang dan pemuda Indonesia untuk meletakkan senjata yang dibarengi dengan meletakkan bendera Merah-Putih di tanah, seketika mereka marah, tidak menerima, dan langsung mengajak Inggris berperang yang dianggap melakukan pelecehan. Singkat kata, beberapa hari kemudian, terjadilah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Sebaliknya, bendera bisa menjadi sasaran kemarahan karena dianggap merepresentasikan negara yang mempunyai bendera tersebut. Ketika Amerika Serikat, si negara adidaya melakukan tindakan sewenang-wenang dengan menghakimi negara yang dianggap bersalah melalui invasi, Israel melakukan penyerangan ke Palestina, atau Malaysia mengklaim budaya Indonesia, maka yang pertama-tama menjadi sasaran adalah bendera. Bendera itu diinjak-injak, dirobek, ditimpuki, dan dibakar. Padahal, sekali lagi, jika melihat bentuk fisik, itu hanyalah sebuah kain.

Itulah bendera. Sebuah kain yang menyimpan sejuta pesan dan makna. Menjadi sebuah simbol hidup untuk menandai wilayah yang bersangkutan. Juga simbol perlawanan, terutama untuk gerakan kemerdekaan. Simbol yang sensitif, tetapi juga bisa menjadi simbol yang agung dan memancarkan kejayaan.  Namun apa yang terjadi di Aceh belakangan jam ini, dengan dalih menyampaikan "keacehan",  bisa dibilang tidak mengindahkan kesan sensitif yang ditimbulkan sehingga menjadi pembicaraan.






Senin, 25 Maret 2013

Apa? Uang?


Eh, apa ini? Apa ini nggak salah? Kenapa uang itu diberikan saja secara cuma-cuma kepada para anak-anak itu yang lantas langsung menerima. 

Uangnya jumlahnya besar lagi. Ada sekitar ratusan ribu. Uang sejumlah itu, mungkin, bagi masyarakat perkotaan yang sudah mapan tiada arti. Tetapi bagi mereka itu sungguh berarti. Mungkin juga diriku. Aku sejujurnya juga mau jika diberi uang itu namun, untuk sekarang, ini sungguh sesuatu yang tidak bisa ditoleransi.


Langit cukup cerah. Berawan. Angin sepoi-sepoi berembus. Membuat nyiur melambai-lambai seolah-olah hendak melepas kepergian orang-orang yang sedang ingin melaut. Pemandangan itu sudah cukup bagiku untuk bisa kuabadikan dalam lensa kameraku. Apalagi ada pasir putih perawan memanjang dan cukup menggoda.

Satu-dua-tiga jepretan, aku tangkap pemandangan surgawi itu. Ini seperti di film-film yang berlatarkan pantai yang eksotis. Aku bayangkan diriku di sana. Bermain selancar, lalu ditemani para gadis cantik. Hm...memang benar-benar surgawi. Sayang, mereka tidak ada sekarang. Yang ada hanyalah pantai kosong dengan satu-dua orang hendak melaut. Kecewa sih. Tapi itu tak masalah. Toh, pasti di pantai lain akan ada. Kalau saja ada bidadari-bidadari itu pasti objek fotoku akan bagus.

Aku sekarang berada di sebuah pulau di gugusan kepulauan di Maluku. Sebut saja itu Pulau Merpati meski itu bukan nama sebenarnya. Aku bukannya tidak tahu nama asli pulau ini, tetapi aku hanya tidak hafal namanya yang disebut dalam bahasa lokal. Pokoknya kalau kata si pemanduku di pulau ini kalau dibahasaindonesiakan ya menjadi merpati. Jadi, aku tak salah kan. Kata si pemandu di pulau ini dulunya memang banyak merpati. Namun, entah mengapa, merpati-merpati itu hilang entah ke mana. Aku tanya penyebabnya apa? Dia bilang karena banyak ditangkap untuk dijual. Lantas aku berpendapat, itu sih bukan hilang, pak, tetapi dihilangkan.

Di pulau ini aku sejujurnya tak sendiri. Selain bersama si pemandu, juga bersama rekan-rekan yang lain, terutama dari media massa. Aku sendiri juga termasuk dari media massa, tepatnya dari sebuah majalah pariwisata. Posisinya ya sebagai fotografer atau juru foto. Berbicara posisiku ini, hm...awalnya sih dari hobi sewaktu SMA. Waktu itu aku, entah mengapa, saat melihat foto-foto dalam sebuah majalah berita ternama begitu terkesima. Foto-foto dalam majalah itu begitu realistis dan memukau. Dari situ aku melihat bahwa foto itu bukan sekedar foto, tetapi sebagai sesuatu yang bercerita melalui gambar yang tertangkap. Mulai sejak itu, aku pun jadi tertarik menggeluti fotografi bersama dengan salah satu karibku, Erman, yang sekarang bekerja di majalah berita yang foto-fotonya aku lihat tadi. Objek pertama tentu objek yang sederhana seperti buku, gelas, dan korek api. Kami berdua belajar secara otodidak lewat sebuah buku. Dan kameranya ya berdua menabung. Saat kuliah, aku dan Erman berpisah, aku tetap melanjutkan minatku ini. Bak gayung bersambut di kampusku rupanya membuka ekstrakurikuler fotografi. Tanpa panjang lebar aku segera ikut. Di sinilah kemampuan fotografiku diasah walaupun dari awal lagi. Sering ekskulku ini mengundang para fotografer terkenal yang membuat aku menjadi semangat belajar fotografi. Apalagi di ekskul ini ada seorang wanita cantik. Namanya Vira. Sekarang dia bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan. Aku sempat menjalin hubungan cinta dengannya.

Lepas kuliah, aku akhirnya mantap untuk masuk menjadi fotografer dan tidak peduli dengan jurusanku, ekonomi. Aku berpendapat toh untuk mendapat pekerjaan tidak harus dilihat dari latar belakang pendidikan, tetapi hobi. Dan itu terbukti. Aku diterima di sebuah majalah pariwisata. Sudah sekitar mau dua tahun aku di majalah ini.

Aku bersama dengan rekan-rekan media massa lain, kebanyakan dari televisi, datang ke Pulau Merpati sebenarnya, selain ingin mengekspos keindahan alam pulau ini yang bisa dijadikan potensi pariwisata atas undangan dari pihak pemerintah kabupaten di sana, juga ingin menceritakan sebuah mitos tentang merpati-merpati yang hilang tersebut. Si pemandu tadi kan bilang merpati-merpati hilang karena ditangkap untuk dijual. Namun ada yang menyanggah dan bilang, mana mungkin. Masa iya burung seperti itu harus dijual jika secara ekonomis, penduduk Pulau Merpati yang kebanyakan adalah nelayan bisa menghidupi dirinya dari menjala ikan di lautan. Ini pasti karena perubahan cuaca atau faktor alam lain, begitu kata salah satu rekanku yang berasal dari sebuah majalah keilmuan populer.

Ke pulau itu kami semua menaiki speed boat. Mengarungi lautan yang berirama cukup datar alias minim gelombang. Aku jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk sebisa mungkin menangkap pemandangan hidup itu. Apalagi awan yang cukup cerah menghadirkan guratan yang begitu jelas. Guratan yang berpetak-petak. Bila kupotret tentu aku lebih menonjolkan guratan-guratan di awan tersebut. Bagiku itu indah.
Agak sejam untuk mencapai daratan sejak berangkat dari Ternate. Saat sampai, kami disambut secara sederhana oleh penduduk lokal di sana yang diwakili si kepala adat. Aku lihat beberapa kru televisi tampak sibuk mengangkat peralatan-peralatan mereka untuk siaran off air dalam salah satu program mereka.

“Lihat itu, seperti kuli saja mereka,” ujar Andri, salah satu temanku yang ikut dalam rombongan itu. Ia juga berasal dari sebuah majalah pariwisata yang dimiliki salah satu kelompok usaha media terkenal. Sebuah rokok ia isap dengan nikmat hingga membentuk gumpalan asap yang menari-nari lalu menghilang.

“Ah, memangnya lo bukan kuli? Kuli foto!” sanggahku. Ia lalu tertawa-tawa.

Kami berdua bersama rombongan itu lalu masuk ke dalam desa nelayan di sana. Merapat ke dalam sebuah bangunan seperti pendopo. Berbincang sebentar dengan si kepala adat, terutama yang berasal dari televisi bahwa mereka, para kru, mau membuat sebuah dokumenter. Si kepala adat dengan bahasa Indonesia khas Indonesia Timur tampak setuju sebaab bagi dia itu sama saja mempromosikan daerahnya. Aku ketika hendak berangkat, beberapa hari sebelumnya, sudah dipesan oleh redakturku untuk memotret yang indah-indah saja dan merepresentasikan majalah. Itu berarti sesuatu yang sifatnya ironis dan berlawanan tidak boleh dimasukkan. Satu contoh kecil saja: sampah. Jadi, jika ada sampah sekecil apapun jangan dipotret. Apalagi jika wilayah yang dituju diproyeksikan menjadi potensi wisata dan masuk majalah, sedangkan situasi yang didapat tidak mendukung, harus dimanipulasi sebagus mungkin dan meyakinkan.

Jujur, aku agak tidak suka dengan cara demikian. Cara yang sebenarnya melawan hati nuraniku. Membohongi keadaan demi kepentingan di atas. Cara yang membuat yang  melihat jadi begitu yakin, dan ketika ke sana malah kecewa dan kesal. Ini yang kudapati pertama kali sewaktu bekerja jadi fotografer di sini. Awalnya aku iya aja. Senang. Bisa keliling Indonesia, bahkan ke luar negeri. Sesuatu yang aku impi-impikan dari dulu. Tetapi, lama-kelamaan, kusadari buat apa melanglang buana kemana-mana namun hanya kebohongan yang harus kutangkap dalam lensaku. Rasa-rasanya mengkhianati diriku sendiri yang sebenarnya mau masuk majalah berita tetapi malah ditolak. Ya kusadari waktu itu aku masih hijau alias awam apalagi majalah berita membutuhkan foto-foto yang menurutku tidak asal, tidak sembarangan, dan sesuai fakta. Aku tidak lolos sewaktu seleksi pengambilan foto gambar demonstrasi. Alasannya, foto yang kuambil terlalu umum gambarnya, murahan, apalah. Benar-benar seperti sebuah hinaan. Ya aku sadari aku sewaktu memotret agak ketakutan. Apalagi itu sewaktu demonstrasi yang bisa saja berubah menjadi ajang pukul-pukulan antara si pendemo dan polisi. Memang juga itu bukan rezekiku sampai akhirnya aku masuk ke dalam majalah pariwisata ini.

Kalau melihat keadaanku sekarang, rasanya ingin pindah saja ke majalah berita. Toh, aku sudah punya modal yang cukup, dan tahu banyak teknik-teknik pengambilan foto yang benar. Ya, aku merasa percaya diri saja. Tetapi, memang, keinginanku ini aku singkirkan dulu. Tugas ada di depan mata meskipun itu harus dimanipulasi.

Setelah si kepala adat setuju, mulailah para kru televisi memasang alat dan menentukan setting cerita. Dalam setting itu mereka menginginkan ada anak-anak di dalamnya. Supaya anak-anak itu mau mereka memberi uang. Dan inilah yang aku tidak suka. Apa-apaan ini, gumamku tak percaya, kok malah diberi uang. Anak-anak lagi. Kenapa bukan permen saja?

“Lho, mbak kok mereka diberi uang?” tanyaku pada si presenter televisi. Aku tak perlu sebut namanya. Dia presenter televisi terkenal.

“Memang kenapa?” tanyanya sewot padaku, “Nggak salah kan? Supaya mereka mau,”

“Tapi, cara mbak salah,” kataku berargumen, “Itu sama saja mengajari mereka menjadi konsumtif dan menghambakan uang,”

“Jangan sok tau deh lo!” si presenter malah menghardikku, “Mending lo foto aja deh. Ga usah ribet!”

“Saya tetap nggak setuju,” kataku ngotot, “Kalau suatu saat mbak ke sini lagi dan mereka sudah besar mereka akan minta uang ke mbak lagi,”

“Terserah!”

Ketika kami berargumen itu, datanglah salah satu kru televisi mencoba melerai kami. Aku jelaskan permasalahannya mengapa, eh dia malah menyuruhku bungkam. Aku jelas kesal. Apa-apaan ini. Katanya memberitakan kebenaran tetapi kok prakteknya malah membusukkan kebenaran itu. Sesuatu yang ironis. Rancu. Aku memang kurang suka anak-anak itu diberi uang. Berapa lembar pun. Sebab nanti pikiran mereka akan merekam lalu diturunkan ke anak-anak cucunya bahwa kalau ada orang ke tempat mereka harus dimintai uang. Dan uang menjadi sesuatu yang harus diharapkan bak dewa penolong. Kalau begini terus ya bisa dipastikan, terutama para pelancong pas-pasan bisa miskin karena dimintai uang dengan cara diperas yang kemudian membudaya. Kenapa sih tidak memberi permen saja atau coklat asal jangan uang? Bagiku makanan kecil itu perlu dan penting dan tidak akan menimbulkan kesan untuk mengharapkan uang.
Aku yang jelas kesal tetap memotret. Bagaimanapun, aku harus profesional. Seusai acara, Andri berkata padaku,

“Makanya, lo jangan sok idealis segala. Udah tau mereka orang TV. Tentulah yang dicari kualitas tayangan,”

“Ya gue tau,” kataku berargumen, “Tetapi, caranya salah. Pantas aja pariwisata kita jalan di tempat,”

Semenjak kejadian itu, aku malah punya keinginan kuat untuk pindah. Aku harus menjadi fotografer majalah berita. Sesuatu yang aku impi-impikan semenjak SMA melalui gambar-gambar di majalah itu. Aku ingin menjadi bagian dari majalah itu. Aku ingin sekali. Aku ingin memotret sesuai fakta. Memotret sesuai nurani dan bukan pesanan. Oh, semoga saja mereka membuka lowongan. Batinku merasa tersiksa di sini. Semoga.

Selasa, 19 Maret 2013

Ekstase Eksotika

Pendar-pendar berlarut
mencair merasuk keheningan
terlarut dalam waktu
terpuas batin
keindahan dunia hanyalah fana

Minggu, 17 Maret 2013

Candi Batujaya: Yang Terpencil di Tengah-Tengah Hamparan Lautan Sawah


Tiga perempuan tua itu tampak duduk melepas lelah di teras sebuah bangunan kecil. Sesekali, meski sinar mentari cukup terik menerpa sebagian wajah mereka, berbicara dalam  bahasa Sunda. Tak jelas apa yang dibicarakan ketiganya yang terlihat duduk di bangunan yang nampaknya merupakan sebuah tempat penelitian. Yang jelas mereka ada di situ sehabis memetik tanaman di dekat bangunan tersebut.

Dari tempat mereka melepas lelah, tepatnya di depan mereka dan berjarak sekitar 7 meter berdiri megah sebuah bangunan. Bangunan itu sendiri berbentuk persegi panjang dan berpunden berundak. Di empat bagian bangunan itu terpasang semacam undakan berupa tangga sebagai gerbang masuk ke bangunan. Dan di empat sisi membentang membujur lantai yang nampak sebagai pembingkai bangunan jika dilihat dari kejauhan. Tentu ketiga perempuan itu pastilah tahu bahwa bangunan yang ada di depan mereka adalah bangunan berupa candi yang dinamakan sebagai Candi Blandongan.

Candi Blandongan sendiri merupakan salah satu candi yang berada di kompleks situs Candi Batujaya, Karawang, Jawa Barat. Selain Blandongan, di situs yang dikelilingi persawahan hijau menghampar, juga terdapat Candi Jiwa. Jarak keduanya pun cukup berdekatan jika ditarik garis lurus. Sekitar 10 meter. Keduanya terpisahkan oleh hamparan sawah dan dihubungkan melalui sebuah jalan penghubung yang dipasang untuk memudahkan akses bagi mereka yang berkunjung ke kompleks candi ini.
Berbicara mengenai keduanya, juga berbicara mengenai candi-candi yang berada di Jawa Barat. Jamak diketahui, di Indonesia kebanyakan orang hanya mengetahui bahwa candi itu ada di wilayah Jawa Tengah atau Jawa Timur. Sebagian kecil lagi di Sumatera. Memang anggapan itu tidak salah mengingat di wilayah-wilayah di Pulau Jawa tersebut, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta, terdapat dua candi besar, Borobudur dan Prambanan yang keduanya sudah masuk warisan dunia Unesco. Selain kedua candi raksasa itu bertebaranlah candi-candi kecil sampai ke timur Pulau Jawa. Maka, jika berbicara mengenai Jawa Tengah dan Jawa Timur, sudah pasti orang akan melayangkan pikiran kepada candi-candi. Beda halnya jika berbicara Jawa Barat, yang kebanyakan orang akan melayangkannya pada wisata kuliner dan belanja.

Sebelum ditemukannya candi-candi di Jawa Barat, yang dimulai dari Ciamis, banyak yang mempertanyakan apakah di Jawa Barat terdapat candi seperti di Jawa Tengah dan Timur mengingat di kawasan ini pernah berdiri dua kerajaan Buddha dan Hindhu, Tarumanegara dan Pajajaran. Banyak yang meragukan bahwa di Jawa Barat ada candi mengingat kultur buddhisme dan hinduismenya tidaklah sekuat yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Apalagi kedua kerajaan yang pernah ada di Jawa Barat, Tarumanegara dan Pajajaran, juga tidak jelas runutan sejarahnya. Keduanya hanya bisa dibilang meninggalkan peninggalan seperti prasasati. 

Namun penggalian yang dilakukan oleh Profesor Hassan Djafar pada 1984 mematahkan anggapan tersebut. Berasal dari laporan warga sekitar mengenai adanya temuan benda-benda purbakala ----benda-benda itu tersimpan rapi di museum dekat candi--- di sekitar gundukan di tengah-tengah hamparan sawah, maka dimulailah penelitian dan penggalian terhadap gundukan tersebut yang berlangsung selama 14 tahun. Hasilnya ditemukan 31 situs berupa 11 candi dengan dua situs candi yang sekarang nampak, Jiwa dan Blandongan. Keduanya merupakan candi peninggalan Kerajaan Tarumanegara dan diperkirakan berasal dari abad ke-2 masehi.

Di masa lampau, kedua candi yang berbahan batu bata merah itu diperkirakan letaknya berdekatan dengan danau. Danau ini sendiri terbentuk akibat beralihnya aliran Sungai Citarum dari utara ke barat. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa kedua candi itu harus terkubur begitu lama dan menjadi gundukan. Ada dua versi. Menurut Narto, salah seorang penjaga di museum dekat candi, candi-candi itu terkubur akibat luapan banjir dari Sungai Citarum pada sekitar 1600-an. Itu menurut versi dari badan arkeologi nasional. Sedangkan menurut tim presiden yang diketuai Andi Arief, keduanya tenggelam dikarenakan tsunami purba yang melanda kawasan tersebut. Masih menurut Narto, jika ditarik lurus dari lokasi candi 7 kilometer di depan merupakan kawasan pantai dan logis jika penyebabnya tsunami purba.

Sayangnya, belum banyak khalayak yang mengetahui perihal kawasan candi di Batujaya ini. Seperti yang sudah disebutkan di atas, orang pasti akan mengaitkan candi dengan Yogyakarta. Ini terjadi ketika teman saya mengirimkan gambar hasil potretannya ke Blackberry Messenger. Reaksi bermunculan dan mengira ia sedang di Yogyakarta. Atau malah teman saya juga kaget ketika saya di Batujaya melihat candi. Hal demikian dikarenakan publikasi yang kurang mengenai kawasan ini. Hanya orang-orang tertentu dan yang berminat yang mau mengetahui serpihan masa lalu Indonesia ini. Bukankah dengan adanya candi di Batujaya kita bisa mengetahui bahwa di kawasan ini dahulunya merupakan kawasan yang amat dekat dengan laut jika melihat nama-nama tempat seperti Segaran dan Telagajaya di sekitarnya. Apalagi melalui candi itu pun sejarah Kerajaan Tarumanegara bisa diketahui dengan jelas bahwa kerajaan Buddha pertama di Indonesia rupanya terpecah menjadi Galuh dan Sunda. Keduanya hanya dipisahkan oleh aliran Sungai Citarum.

Keadaan demikian juga ditambah dengan keadaan sekitar candi yang polos dan hanya ada sedikit pohon untuk berteduh. Bisa dipastikan cuaca Karawang yang cukup terik karena dekat dengan laut merajah di seluruh tubuh. Ketika ditanyakan mengenai hal ini, Narto, si penjaga museum beralasan tidak bangunnya tempat berteduh dikarenakan jika dibangun fasilitas tersebut tanpa sengaja akan ditemukan situs baru lainnya yang mungkin masih tersembunyi di balik hamparan sawah. Apalagi di kedua candi itu ada larangan tidak boleh menaiki candi karena alasan penurunan tanah. Yang agak cukup menganggu, kawasan tersebut sengaja dimanfaatkan anak-anak muda cabut dari sekolah untuk berpacaran. Meskipun begitu, kawasan ini bisa dibilang sebagai kawasan wisata alternatif mengingat letak Karawang sendiri yang tidak jauh dari Jakarta. Namun letak keduanya agak jauh dari Kota Karawang sendiri, 42 kilometer.

Mentari masih bersinar terik tetapi ketiga perempuan tua itu memutuskan meninggalkan tempat teduh mereka. Sementara di belakang mereka, terlihat dua wisatawan sedang menikmati candi dengan memotret-motret. Panas pun tak dipedulikan. Dari kejauhan dua candi itu terlihat seperti pulau terpencil di tengah-tengah hamparan lautan sawah.
 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran