Pages

Jumat, 31 Januari 2014

Nostalgia


“Kamu tidak bercanda kan?”
Sekali lagi tanya itu terulang mengarah kepadaku. Sebuah tanya yang meluncur dari seorang lelaki tua beruban, berkulit putih, dan berbadan tinggi tegap sekitar 1 meter lebih. Ia bertanya dengan nada penasaran yang menginginkan aku harus mengeluarkan jawaban dengan segera. Tampak dari sorot mata dan bahasa tubuhnya ada semacam rasa tidak percaya.
Pertanyaan itu, jelas sudah berapa kali. Aku tidak tahu pasti dan rasanya malas untuk menghitungnya. Ia muncul pertama kali ketika aku menjemput dia, si lelaki tua itu, di Bandara Soekarno-Hatta. Lelaki tua itu bernama Maarten, berasal dari Belanda, tepatnya Amsterdam. Datang ke Indonesia sejujurnya hanya untuk liburan sekaligus nostalgia. Maklum, ia lahir dan besar di Indonesia lalu meninggalkan negeri ketika berumur 30 tahun pada 1950-an. Penyebabnya, konflik Indonesia dan Belanda akibat sengketa Irian Barat (Papua) yang berujung nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia dan pengusiran.
Maarten bercerita tentang masa lalunya di Indonesia, yang ia sebut sebagai Hindia, sebuah nama yang disandang Indonesia pada masa Belanda masih bercokol di Indonesia. Ia mengatakan bahwa ia lahir di sebuah desa yang tenang di Jawa, tepatnya di Magelang, dekat dengan sebuah akademi militer. Masa kecilnya di Magelang begitu sempurna untuk anak-anak penjajah yang begitu lekat dengan sesuatu yang berbau indisch. Ia bercerita tentang para njai lalu baboe dan cerita-cerita horor yang kerap diceritakan para njai di rumahnya jika menjelang tidur. Masa kecil yang sehari-hari lekat dengan bermain dan berlibur ke daerah-daerah sejuk.
Ketika berumur 8 tahun, Maarten pindah ke Jakarta, yang ia sebut Batavia mengikuti ayahnya, seorang birokrat yang dipindahtugaskan. Di Batavia, Maarten yang terbiasa dengan kondisi sejuk menjadi terkejut ketika tahu Batavia panas. Pada awalnya, ia sempat rewel dan tidak betah. Namun, lama-kelamaan, ia sudah terbiasa, ketika setiap akhir pekan sang ayah mengajaknya ke sebuah daerah sejuk di Meester Cornelis atau Djatinegara. Udara sejuk Gunung Salak masih menghampiri.
Di Batavia inilah, Maarten banyak merekam masa-masa menjelang besarnya sebelum dan sesudah kedatangan Jepang.
“Kamu tidak bercanda kan kalau Jakarta punya bandara baru? Lalu di mana Kemayoran?”
Begitulah tanya yang kudapat ketika aku menjemputnya di terminal kedatangan. Sebuah tanya yang mengindikasikan bahwa ia sepertinya tidak begitu mengetahui situasi yang terjadi di Indonesia pasca ia meninggalkan negeri ini. Ya, pada 1950-an, Indonesia, terutama Jakarta, masih menjadikan Kemayoran sebagai bandara internasional sebelum dialihfungsikan menjadi tempat penyelenggaraan Jakarta Fair. Aku rasa memori itu masih tertanam kuat dalam pikiran Maarten.
Ketika Maarten bertanya seperti itu aku berkata,
“Saya tidak bercanda, meneer,” jawabku dalam bahasa Belanda sebagaimana ia bertanya padaku dalam bahasa itu, bahasa yang kupelajari dari bangku universitas. Aku lalu menjelaskan sejarah bergantinya Bandara Kemayoran ke Soekarno-Hatta.
“Ja, ja ik begrijp het wel,” jawabnya dalam bahasa Belanda yang mengindikasikan ia sudah jelas paham apa yang aku utarakan.
Maarten, jujur aku tidak tahu mengapa harus mendampingi orang ini. Dua hari yang lalu sebuah email menghampiriku melalui smartphone-ku. Datangnya dari Ronny, teman semasa kuliah yang sekarang menjadi dosen di almamater jurusanku di sebuah kampus di Depok. Ia meminta tolong kepadaku supaya menjemput dan menemani seorang lelaki tua bernama Maarten van den Brug yang tinggal di Amsterdam sebelum nanti memberikannya ke Ronny. Ronny mengatakan, bahwa ia tidak bisa menjemput dan mendampingi lelaki tua yang ia kenal ketika sedang berada di sebuah bar di Amsterdam karena harus mengurusi masalah-masalah pengajaran di jurusan apalagi menjelang taaldag 6 Desember. Karena sebagai teman, aku jelas mengiyakan. Untungnya, aku sedang day-off sehari. Rupanya, lelaki tua kenalan Ronny itu nampak antusias ingin ke Indonesia setelah Ronny berbicara tentang Indonesia yang membuat Maarten ingin menuntaskan kangennya.
Dalam hatiku, jujur aku ragu juga mengingat aku sudah lama tidak menggunakan bahasa Belandaku semenjak lulus. Aku takut ada beberapa kata yang terlupa dan mungkin saja malah gagap bicara. Tetapi, rupanya, aku masih bisa lancar berbicara terhadap Maarten yang bahasa Belanda-nya khas Amsterdam.
Aku jemput Maarten dengan mobilku lalu aku ajak dia keluar bandara. Kebetulan bandara sedang tidak ramai sebab hari biasa sehingga lancarlah aku berkendara menuju Jakarta. Ketika kami memasuki Jakarta, ia mulai bertanya dengan tanya dan nada yang sama,
“Kamu tidak bercanda kan? Inikah Batavia?”
Ia nampak heran dengan Jakarta yang masih ia sebut Batavia berdiri gedung-gedung pencakar langit nan modern yang nampak angkuh, lalu lintas macet dan semrawut serta udara panas. Aku lalu menjawab dengan mengiyakan sambil memberikan penjelasan kepadanya. Ia nampak mengerti sambil memanggut-manggut kemudian mengambil beberapa foto dari dalam tasnya. Sepertinya foto-foto dirinya dalam bentuk hitam putih dengan latar beberapa gedung. Gedung-gedung itu, setelah kuperhatikan, berada di Kota Tua dan Harmoni.
Maarten kulihat sedang membandingkan foto-foto itu dengan apa yang ia lihat sekarang. Raut bingung terpancar dari wajahnya. Aku yang melihat itu segera sadar bahwa apa yang sedang ia bandingkan tidak pada tempatnya. Aku sadar bahwa aku dan Maarten sedang berada di kawasan bisnis Jakarta, Sudirman-Thamrin. Dalam hati aku berkata, ya nggak akan nyambung.
Menyadari itu, aku lantas berujar,
Meneer, bagaimana kalau sebaiknya kita ke kawasan seperti yang ada di foto-foto ini?”
“Wat bedoel je?” tanya Maarten yang tidak paham maksudku.
“Ya, meneer akan menemukan apa yang sekiranya sama dengan yang ada foto-foto milik meneer. Sebab kita sekarang berada bukan di kawasan yang sama dengan foto-foto itu. Kalo saya lihat di foto-foto itu kebanyakan berada di Kota Tua dan Harmoni,”
“Kota Tua? Wat is dat? Is dat nieuwe plaats op Batavia?” tanyanya yang malah tampak bingung.
“Nee, meneer,” ujarku mencoba memberi penjelasan, “Itu sebutan untuk sebuah kawasan peninggalan kolonial di utara Jakarta,”
Aku yang sepertinya agak bingung menjelaskan kemudian melihat foto diri dia bersama dengan beberapa kawannya yang nampaknya berada di depan Museum Sejarah Jakarta atau Fatahillah. Spontan aku berucap,
“Nah, meneer. Di kawasan itu kita akan menemukan gedung seperti yang berada di foto ini,”
“Ah, itu gedung Pemerintah Provinsi Jawa Barat,” ia langsung menyambung dengan semangat.
Dat klopt, meneer. Setelah itu kita akan ke Harmoni,”
“Harmonie?” tanya Maarten seketika, “Ah, ja ik herrineer me nog dat. Molenvliet dan rumah bola,”
“Ya, seperti itu, meneer,” kataku mengiyakan lalu dalam hati berkata, kalo sekarang bernama Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk tapi sayang rumah bola itu sudah hancur. Sayang, memang.
Segera aku arahkan mobil ke arah Kota Tua sambil bercerita-cerita tentang tempat-tempat yang kami lewati. Aku lihat rona muka Maarten seketika berubah ketika kami memasuki kawasan yang masih dibilang lekat dengan banyak bangunan tuanya. Meski di sana sini banyak berubah.
“Kamu tidak bercanda, kan?” sekali lagi ia bertanya seperti itu.
“Ini Molenvliet,” ia lalu mengarahkan kepalanya ke tempatku mengemudi sambil mengamati, “Ya, ini Molenvliet,”
Itulah ungkapan yang aku dapatkan ketika kami melintasi Jalan Gajah Mada. Nama dahulu jalan itu Molenvliet West yang artinya Molenvliet Barat. Aku cukup tahu sejarah jalan ini yang dibangun oleh seorang Kapitan Cina bernama Phoa Beng Gan pada abad ke-17. Dinamakan Molenvliet sebab di sepanjang jalan ini, baik timur dan barat berdiri banyak industri penggilingan gula, arak, dan pembuatan mesiu menggunakan kincir air. Ya, jadilah kemudian kawasan ini dinamakan Molenvliet yang artinya “aliran kincir”.
Zeg, kenapa tidak ada orang yang mandi di sungai?” Maarten mulai heran, “Kenapa juga sungainya kecil sekali?”
Pertanyaan Maarten itu mengingatkanku akan sejarah Jalan Hayam Wuruk-Gajah Mada yang dahulu bisa dibuat untuk mandi, mencuci pakaian, dan bahkan buang hajat. Dan jika melihat foto-foto lama nampak sebenarnya kali di sepanjang jalan ini begitu besar. Aku segera menjawab pertanyaan sambil menjelaskan keadaan di sepanjang jalan terutama pada 1960 hingga 1970-an ketika kali dipendekkan permukaannya sehingga sekarang jalan yang menjadi lebar.
Mendengar penjelasanku itu, Maarten mengangguk paham. Untung saja aku belajar bahasa Belanda bukan bahasanya saja tetapi juga sejarah. Menurutku, penting. Toh, akhirnya terpakai juga: sebagai pemandu dadakan.
Maarten kuperhatikan kembali membandingkan dan mencocokkan keadaan di foto dengan yang ia lihat sekarang. Ia lalu menaruh fotonya dan berkata,
“Sepertinya semua sudah berubah,” ujarnya, kemudian sedih, “Bangunan-bangunan tempat dulu aku bersama teman-temanku sering berjalan-jalan dan berfoto-foto di depannya lenyap. Apalagi sungai itu, sungai Ciliwung, bukan?”
“Betul sekali, meneer,” jawabku mengiyakan.
“Jammer genoeg,” ungkapnya kecewa, “Sungai itu dulu masih bersih. Rupanya sekarang kotor dan hitam. Kukira wujudnya masih seperti yang dulu,”
Tentang ini, aku juga sedih. Ya, tapi inilah yang terjadi di negeriku. Segala sesuatu yang bersejarah dihancurleburkan. Hanya karena peninggalan penjajah. Jujur, tak habis pikir dengan pikiran semacam itu. Pikiran yang pragmatis demi kepentingan ekonomi semata. Lagi, aku jadi ingat rumah bola. Kalau saja Maarten tahu pasti ia  akan sedih.
Kami lalu lanjut ke Kota Tua mengikuti Sungai Ciliwung yang membawa bangsanya Maarten datang ke Indonesia ratusan tahun silam. Ya, dari muara Sungai Ciliwunglah, para londo ini datang ke utara Jakarta lalu membangun permukiman baru di atas permukiman lama yang dihancurkan. Sungai Ciliwung yang berada di tengah jalan ini sejujurnya adalah sebuah modifikasi para londo dengan kapitan Cina.
Sepanjang perjalanan menuju Kota Tua, Maarten kembali bertanya dengan nada yang sama. Ia agak heran ketika melihat ada bus TransJakarta melintas dan bukannya trem. Aku mengatakan trem sudah tidak ada lagi sejak 1960-an ketika kabel-kabel trem dianggap menganggu dan Bung Karno menyatakan trem tidak cocok dengan Jakarta.
“Bedoel je, Soekarno?” tanya Maarten setelah itu.
“Ja, eerste onze president,” jawabku singkat, “Weet je over hem?”
“Absoluut, ja,” ujarnya kemudian geram, “Gara-gara dialah aku harus menyingkir ke Belanda. Hidup di sana selamanya. Padahal, aku sudah benar-benar mencintai tanah Hindia ini. Sewaktu Jepang datang, aku tak sekalipun kabur dari tanah Hindia ini,”
“Saya mengerti kekesalan Anda terhadap beliau,” kataku membalas, “Namun, itu karena politik waktu sedang tidak menentu kan?”
“Ah, politiek is onzin!” ujarnya keras, “Ik scheelt me niet met de politiek,”
“Okee, okee, meneer,”
Wajar kalau kebencian itu ada. Dari sudut pandang Maarten Bung Karno memang sosok yang bisa jadi paling dibenci. Tapi, dari sudut pandangku tidak. Apa yang dilakukan Bung Karno waktu itu jelas karena Belanda yang sepertinya ogah memberikan Papua seusai KMB tahun 1949 dengan alasan ini-itu. Wajar, jika Bung Karno bereaksi keras. Tetapi, dalam pandangan Maarten yang tidak tahu apa-apa bisa jadi sesuatu yang menjengkelkan hingga akhirnya ia diusir bersama-sama ribuan orang Belanda lainnya.
***
Kali coklat itu mengalirkan airnya dengan tenang. Cuaca nampak sedikit mendung. Pertanda hujan akan datang. Di tengah tenangnya air itu mengalirlah sampah. Suatu pemandangan yang cukup merusak. Tetapi inilah yahg aku lihat di depan Kali Besar di Kota Tua. Di sampingku Maarten yang lagi-lagi mengerucutkan muka,
“Kamu tidak bercanda kan?”
Lagi, lagi tanya itu mengemuka. Jujur, aku heran juga dengan pertanyaan itu. Dalam hati, aku berpikir apakah selama ini yang tersaji itu hanyalah bercandaan.
“Nee, meneer,” jawabku sabar, “Deze is Kali Besar of Grote Rivier. Dat Noem je dan,”
“Maar, waar is de prau’s?” tanyanya, “Ik zie hem niet,”
“Kenapa juga sungainya seperti ini, coklat, ada sampah, dan sempit?”
Orang ini benar-benar mengingat semua dengan detail. Masa lalunya rupanya masih berlaku ketika ia berada di sini. Masa lalu yang begitu kuat dan membentuk kepribadiannya. Ia seperti orang-orang zaman dulu yang mengatakan bahwa Kali Besar adalah kali yang bersih, jernih, dan bisa dialiri perahu. Tidak ada sampah. Aku lalu menjelaskan dengan pelan kepada Maarten. Ia, sekali lagi, nampak mengangguk.
“Aku tidak habis pikir mengapa kalian tidak bisa menjaga peninggalan kami?” tanyanya kritis, “Apa karena kami dulu jahat sama kalian lantas kalian tidak mau memelihara?”
“Itu salah satunya, Maarten,” kataku pelan menjawab, “Tetapi, sekarang kami sudah berupaya merawat peninggalan bangsamu yang sejujurnya juga warisan sejarah kami. Meski pahit jika mengingat,”
Maarten hanya terdiam. Ia lalu mengarahkan pandangan ke Kali Besar yang sebenarnya juga merupakan Sungai Ciliwung yang hendak mengarah ke laut.
“Di Kali Besar inilah aku bertemu dengan almarhumah istriku, Frederika, pada 1942 beberapa hari sebelum Jepang datang. Aku ingat aku berperahu dengannya sampai ke Sunda Kelapa,”
Ia lalu menunjuk ke arah tempat Sunda Kelapa berada. Ah, rupanya, ia masih ingat. Ingat sekali.
“Di sanalah aku menyatakan cintaku dan berniat menikah beberapa bulan kemudian. Sayang, Jepang keburu datang. Kami pun baru bisa menikah setelah itu di sebuah tempat di Weltevreden,”
“Jadi, Kali Besar ini sungguh istimewa untukmu, meneer?”
“Iya,” jawabnya kemudian mengeluarkan dari kantung celana sebuah foto wanita berwajah kauskasus, berambut pirang, dan bermata besar, “Aku ke sini sejujurnya ingin juga mengabarkan kepadanya yang sudah di alam lain tentang muasal cinta kami bersemi. Sayang,....”
Lelaki tua itu lalu menangis. Tampak ada penyesalan di dalam dirinya. Ia lalu berkata kepada foto itu.
“Maafkan aku, Schaat. Rupanya semua sudah berubah dan tinggal kenangan,”
Ia kemudian menaruh foto itu kembali ke dalam kantung celana lalu berkata kepadaku,
“Maaf, kalo tadi aku selalu merepotkanmu dengan banyak pertanyaan. Jujur, aku selama itu buta tentang Hindia atau Indonesia bagimu. Selama di Amsterdam aku berusaha melupakan Hindia tetapi nyatanya tidak bisa. Sampai kemudian istriku meninggal, aku berjanji akan datang ke Hindia kembali. Aku lalu bertemu temanmu, Ronny dan kepadanya aku bilang aku ingin ke Hindia,”
“Dat geeft niet, meneer,” kataku, “Maaf, kalo saya juga mengecewakan Anda soal nostalgia di sini. Ya, untuk sejarah, masyarakat kami belum mempunyai kesadaran sama sekali,”
“Ja, ik begrijp het wel,”
Bangunan-bangunan di sepanjang Kali Besar nampak gagah meskipun abad dan tahun sudah berganti. Terutama si toko merah. Pemandangan ini benar-benar seperti Amsterdam. Kanal, rumah bertingkat namun dengan rasa tropis. Angin berembus kencang dari laut dan angin itu seperti membawaku ke masa lalu saat kulihat di Kali Besar di depanku dua pasang muda-mudi sedang berperahu bersama. Aku perhatikan bukankah itu Maarten dan wanita itu, Frederika? Saat aku melihat ke sampingku, Maarten malah tidak ada. Aku perhatikan ke sekeliling. Orang-orang Belanda berjalan, trem melintas depan Museum Sejarah Jakarta, dan mobil-mobil kuno. Lalu pakaianku? Kenapa seperti pakaian era 1930-an?
Di manakah aku sebenarnya?

Kamis, 30 Januari 2014

Jernih



Hamparan perkebunan teh itu terlihat begitu menyegarkan mata yang memandang. Berpadu dengan sejuknya udara yang berembus dari Gunung Gede Pangrango yang tampak gagah kebiruan meskipun beberapa awan hendak menutupi. Di samping hamparan perkebunan itu nampak jalan untuk kendaraan yang sepi dan berkelok-kelok. Benar-benar sebuah lanskap yang indah. Pantas saja Daendels mengaguminya ketika membangun Jalan Raya Pos, ratusan tahun silam.

Baiklah, itu mungkin kesanku atas wilayah Puncak. Sebuah wilayah yang sejujurnya bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Mengapa? Sebab ia merupakan wilayah yang sedari dulu lekat dengan tempat peristirahatan dan objek wisata. Sebut saja Taman Safari, Kebun Raya Cibodas, Taman Bunga Cipanas,  Telaga Warna yang membuat Hella Hasse, si wanita penulis dari Belanda terpesona sampai-sampai diabadikan dalam salah satu karyanya, Oeroeg, dan lain-lain. Bahkan, Puncak merupakan wilayah yang lekat dengan Bandung. Jauh sebelum Tol Cipularang dibangun, Puncak merupakan primadona jalur Jakarta-Bandung.

Tapi bukan itu yang sebenarnya tak ingin aku ceritakan. Lha, untuk apa juga? Toh, semua juga sudah tahu dan hafal dengan tempat-tempat wisata yang kusebut di atas. Apalagi villa-villa yang bercokol angkuh di sana. Aku hanya ingin bercerita tentang suatu hal di Puncak. Suatu hal yang semua orang melewatkan dan bahkan tak peduli. Ia hanya dipedulikan ketika musim penghujan tiba.

“Jernih bukan?” tanya seorang wanita kepadaku sambil memasukkan tangannya ke dalam sebuah air dari sebuah sungai kecil yang berukuran tubuh orang dewasa. Sungai kecil itu berada di antara hamparan perkebunan teh. Widya nama wanita itu.
Aku lantas ikut menunduk seperti dia lalu memasukkan tanganku ke dalam air itu yang mengalir deras. Merasakan derasan air yang menghantam tanganku sekaligus membuat diriku seperti orang yang baru pertama kali melihat air jernih mengalir dengan deras namun tenang dan seperti bernyanyi.
“Iya,” jawabku mengiyakan Widya.
Saking suka dengan air jernih itu kumasukkan lagi satu tanganku. Kurasakan benar-benar seperti di surga meskipun surga itu hanyalah imaji yang muncul tiba-tiba dalam pikiranku. Aku menutup mata. Mencoba ingin bersyahdu. Rasanya benar-benar tenang. Ingin rasanya aku mandi di sungai kecil ini.

“Kenapa? Kamu tampaknya suka sekali?” tanya Widya yang memperhatikanku dengan sedikit heran. Mungkin di pikirannya mengatakan bahwa aku seperti orang yang baru pertama kali melihat sungai jernih sehingga nampak “kampungan”.
“Eh, iya, “ jawabku mengiyakan kembali, “Aku suka dengan air jernih soalnya. Jarang lho aku bisa melihat sungai yang jernih lalu memasukkan tangan ke dalam,”
“Lho, kenapa memangnya?” Widya mulai penasaran dan rasa penasaran itu aku jawab dengan sejujurnya,
“Ya, karena aku sering lihatnya sungai-sungai berwarna coklat, keruh, banyak sampah, dan bau. Apalagi sungai di dekat rumahku. Ah, pasti kamu tahu kan Sungai Ciliwung?”
“Tentu saja aku tahu,” kata Widya yakin, “Itu kan yang sering menyebabkan banjir di Jakarta kalo musim hujan datang?”
“100 persen buat kamu,” kataku lagi dengan senyum lebar, “Ya, gara-gara itu juga rumahku malah kena banjir. Bener-bener deh tuh sungai,”
“Lho, kok sungai yang disalahkan?” tanya Widya yang sepertinya tidak menerima pernyataanku, “Itu kan juga karena ulah manusianya yang berperilaku seenak perutnya. Buang sampah di sungai, buang hajat juga di sungai. Tinggal di dekat sungai yang jelas-jelas nggak boleh didiami,”
“Ya, maksudku bukan begitu,” kataku hendak membela diri dari argumentasinya, “Ciliwung itu benar-benar ganas jika musim hujan tiba,”
“Sebenarnya sih nggak ganas kalo manusianya tahu aturan,” kata Widya kembali mengajak berargumen, “Semua itu kan karena perilaku manusianya. Semua ada di manusianya,”
Ya, argumennya itu memang benar. Jujur, aku tak bisa membalas argumennya itu. Jadinya, aku hanya mengiyakan seperti anak kelas 1 SD yang sedang diajari oleh gurunya tentang perilaku hidup sehat.
“Kamu sepertinya memang benar-benar suka ya dengan air dari sungai yang jernih ini?” tanya Widya kembali mengulang seperti pertanyaan awal.
“Iya, dan aku ingin mandi,” jawabku sambil terkekeh.
“Lho kenapa ingin mandi?” tanya Widya kembali.
“Ya, karena segar,” jawabku yang nampak tidak sabaran ingin membuka baju dan berendam.
“Bagaimana kalau tidak segar?”
“Ya, aku tidak akan mandi,”
Jawabanku yang nampak simpel itu langsung ditanggapi Widya dengan sebuah senyuman yang nampak ambisius. Ah, ia pasti akan bertanya kembali.
“Aku suka jawabanmu,” ujarnya kembali, “Tapi, memangnya kamu tidak sadar kalau sungai jernih yang sekarang berada di depan kita ini sungai yang membanjiri tempatmu?”
Mendengar dia berkata seperti itu, bola mataku membesar seperti melihat sesuatu yang menggemparkan.
“Maksudmu?” tanyaku tak percaya. Aku paham maksudnya.
“Kamu ini,” Widya lalu tertawa-tawa. Ia lalu menepuk bahuku. Tepukan yang diselingi dengan wangi rambutnya yang hitam memanjang.
“Ya, sungai kecil yang berada di depan kita ini ya Sungai Ciliwung,”
Ia tersenyum simpul setelah itu.
Aku jujur seperti dihantam sebuah godam. Godam itu seperti membuatku harus mengetahui sesuatu yang baru dan itu mengejutkanku. Air jernih ini? Sungai kecil ini? Ia yang mengalir deras, Ciliwung? Jujur, aku tak percaya. Benar-benar percaya. Bagaimana mungkin Sungai Ciliwung yang aku tahu coklat, kotor, bau, dan banyak bermuatan polusi ternyata....
“Aku tahu kamu pasti tidak percaya,” kata Widya yang bisa membaca raut mukaku.
“Memang,” jawabku kini serius.
“Ya, kamu boleh tidak percaya,” kata Widya mulai bangkit lalu berdiri. Aku perhatikan ia mengarahkan pandangannya ke Gunung Gede-Pangrango,
“Seandainya kamu suka membaca geografi, kamu pasti tahu kalau Sungai Ciliwung itu asalnya dari sana,”
Ia menunjuk ke arah Gunung Gede-Pangrango yang nampak biru terang dan diliputi awan puncaknya.
“Lembah Mandalawangi asal Ciliwung, “ujarnya menjelaskan, “Di lembah itulah sungai ini berhulu dalam bentuk yang lebih kecil dari ini. Ia lalu mengalir turun ke Puncak kemudian ke Bogor lalu Depok, dan terakhir Jakarta, tempat kamu itu,”
Widya yang menjelaskan itu kemudian memalingkan pandangannya ke arah sungai kecil ini mengalir,
“Dari Mandalawangi hingga Bogor Ciliwung masih jernih tetapi ketika sudah memasuki Depok dan Jakarta keruh bahkan hingga ke laut,”
Ketika ia berkata seperti itu, aku jadi tersadar akan suatu hal. Ya, banjir yang terjadi di Jakarta itu karena dari Bogor asalnya. Banjir kiriman istilahnya.
“Ya, karena Bogor yang mengirim banjir ini kan?” tanyaku sejalan dengan pikiranku.
Mendengar pertanyaanku seperti itu, Widya langsung berubah tatapan dan wajahnya. Nampak ia tidak terima tanyaku.
“Apa apa Bogor,” katanya ketus, “Apa apa Bogor. Kamu ini kok jadi manusia tidak bisa berpikir bijaksana sekali?”
“Tapi, memang benar kan kenyataannya?” tanyaku sembari membela diri.
“Oh, jadi kamu sudah termakan dengan banyak ucapan orang kalau Bogor mengirim banjir. Sekarang aku mau tanya siapa yang banyak membangun villa di Puncak ini?”
Ia kembali menunjuk ke beberapa rumah mewah yang nampak berdiri megah di atas sebuah bukit. Rumah-rumah itu, yang lebih sering disebut villa, nampak kelihatan nyaman untuk ditinggali. Apalagi pemandangannya pasti mengarah langsung ke lanskap Puncak. Sungguh seperti di surga. Nyaman.
Tetapi, tiba-tiba aku tersadar. Aku sekarang sedang ditanyai oleh dia, Widya. Ia nampak benar-benar tersinggung atas ucapanku. Tatapannya seperti ingin membunuh tatapanku. Aku jadi takut. Aku terdiam sejenak. Lalu tersadar kembali siapa yang membangun villa-villa itu.
“Kenapa kamu diam?” tanyanya, “Kamu nggak tahu atau pura-pura nggak tahu,”
Aku bingung menjawabnya.
“Kamu ini memang....dasar!”
Aku, jujur, masih bingung menjawab.
Ia lalu menarik nafas sebentar dan berkata,
“Ini semua kerjaan orang Jakarta, bukan?”
Aku masih diam. Ia lalu menyerocos,
“Orang Jakarta sendiri yang menyebabkan banjir di Jakarta. Tanah di Puncak habis dibabat cuma untuk villa. Akhirnya, ketika hujan datang tidak ada resapan, dan air langsung begitu saja mengalir turun dengan deras sampai ke tempatmu. Jadi, jangan salahkan Bogor kalau banjir datang sebab yang menyebabkan banjir itu orang Jakarta sendiri dari hulu hingga ke hilir,”
Oke, oke, ujarku dalam hati, aku memang salah.
“Iya, ini memang salah orang Jakarta semua,” kataku menyalahkan diri sendiri.
“Baguslah kalau kamu mengaku salah,” kata Widya, “Tapi, kalo kamu doang sepertinya tidak berpengaruh seharusnya yang membangun villa-villa itu juga meminta maaf,”
“Oke, oke, “kataku setelah itu, “Bisakah kita berbicara hal yang lain lagi selain Ciliwung?”
“Kenapa? Kamu nggak suka? Takut disalahin lagi?”
“Bukan...bukan itu,” kataku mengelak, “Ya, maksudku untuk penyegaran aja,”
“Penyegaran? Bukannya kamu udah segar tuh merendam tangan di air jernih?”
“Eh, itu belom kok,” ujarku mengelak lagi, “Sepertinya aku lebih segar jika melihat kamu,”
Aku tertawa. Widya merasa risih tetapi kemudian menabok bahuku sambil mencubit,
“Kamu ya...bisa aja,”
Aku jelas kesakitan tetapi aku biarkan saja daripada ia terus cerocos soal Ciliwung.
Setelah itu kami berdua duduk di tepian sungai sambil memandang langit Puncak yang cerah,
“Seandainya orang-orang masa sekarang mencontoh apa yang dilakukan para raja Pajajaran mengenai Sungai Ciliwung, ya Ciliwung itu akan ramah,”

Aku hanya mengiyakan.

Angin berembus. Menerbangkan sedikit rambutnya. Harum tercium. Kubelai halus rambutnya. Kulihat wajahnya. Oh, Widya, kamu memang begitu manis. Dan....

Selasa, 28 Januari 2014

Ciliwung Tempo Doeloe (Kurindu)

lagak.blogspot.com


Wahai sinyo, wahai noni
wahai tuan, wahai mester
wahai nyai, wahai mepro

tersungging senyum kalian
santai sungguh gaya kalian
di atas rakit berdiri dan duduk
sementara para jongos mengayuh
dan para bek mengawal di depan dan belakang

Air itu nampak kecoklatan
namun ia tenang seperti samudera
terdengar suara kicauan burung
disertai embusan angin sejuk

Pohon-pohon yang menjadi latar berlambai-lambai
di seberang nampak beberapa memancing
juga mencuci
seperti sebuah paduan suara yang alami

beberapa perahu dan rakit terparkir
nampak menunggu mereka yang hendak memakainya

wajah kalian
wajah mereka
nampak begitu bahagia
apalagi buaya-buaya yang hendak parkir di kejauhan
menunggu mangsa datang

wajah kalian
wajah mereka
memang begitu bahagia
begitu juga ikan-ikan yang menyembul perlahan

beruntunglah kalian
beruntunglah mereka
sebab ini hanya cerita di masa lalu
cerita keindahan
tentang Ciliwung tempo doeloe
 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran