Pages

Rabu, 20 Agustus 2014

Telepon Genggam: Revolusi Komunikasi Bergerak yang (Terlalu) Cepat

Komunikasi memang merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang membutuhkan komunikasi untuk bisa menyampaikan sesuatu yang ingin disampaikannya. Namun dalam penyampaian pesan itu, tentu dibutuhkan sebuah medium. Medium inilah yang nanti akan menjadi sebuah pesan penting sepertin yang pernah diungkapkan McLuhan “medium is the message”. Pendapat McLuhan ini didasarkan pada anggapan bahwa bukan suara atau penerimaan gelombang yang berpengaruh penting seperti yang pernah diungkapkan oleh Shannon dan Weaver, tetapi medium atau perantara yang dipakai dalam penyampaian dan penerimaan pesan.

Medium atau perantara inilah yang di kemudian hari menjadi unsur penting komunikasi antar-manusia, baik individu maupun kelompok. Dalam sejarahnya, komunikasi manusia dimulai dengan komunikasi berupa tanda-tanda visual dan isyarat seperti asap, api, coret-coretan di gua dan gerakan anggota tubuh. Komunikasi-komunikasi semacam itu membutuhkan medium seperti batu dan kayu untuk menyalakan api serta dinding gua untuk mencorat-coret dan gerakan tangan atau suara mulut untuk membuat isyarat. Dalam perkembangan selanjutnya, medium dalam berkomunikasi berkembang menjadi sebuah medium dalam bentuk fisik seperti manuskrip, buku, perkamen, dan surat. Semua medium itu mengembangkan komunikasi tertulis. Sedangkan untuk komunikasi lisan mediumnya berupa maklumat atau pengumuman di depan publik. Seiring berjalannya waktu, berkembanglah medium komunikasi yang hendak menggantikan surat. Medium komunikasi itu berupa alat yang dihubungkan oleh kabel dalam jarak sekitar beberapa meter. Melalui kabel itulah terjadi semacam gelombang penyampaian suara dari si pengirim dan penerima sehingga dalam jarak jauh pun pesan akan terterima. Konsep medium komunikasi ini hendak menggantikan medium komunikasi berupa mulut yang harus digunakan untuk berteriak dari jarak jauh.

Konsep medium komunikasi inilah yang akan mengilhami pembuatan telepon oleh Alexander Graham Bell pada abad ke-19. Pada perkembangan selanjutnya telepon akan menjadi alat komunikasi paling penting dalam kehidupan manusia sebab kemampuannya untuk bisa berinteraksi dalam jarak sejauh apa pun, baik dalam hitungan ribuan atau milyaran kilometer. Dengan telepon pun, peran penyampaian informasi secara lisan yang dilakukan dengan mengumpulkan orang-orang di alun-alun atau berteriak keras-keras supaya bisa didengar mulai ditinggalkan. Telepon pun dianggap paling efektif karena bisa berbicara tanpa harus keluar dari rumah terlebih dahulu. Pada abad ke-20, penggunaan teknologi medium komunikasi ini semakin meningkat meskipun beberapa medium lain seperti surat dan telegram masih dibutuhkan. Ini karena sifat telepon yang ekslusif dan terbatas dan hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu saja. Belum lagi ditambah dengan biaya pemasangan telepon itu sendiri yang membutuhkan teknisi dan segala macam tetek-bengek.

Seiring berjalannya waktu, manusia mulai memikirkan sebuah medium komunikasi yang bisa bergerak alias mobile. Konsep mobile amat diperlukan manusia sebab sifat dari manusia itu sendiri yang suka melakukan pergerakan ke manapun tanpa bisa dilarang, terutama ke tempat-tempat publik. Konsep ini menjadi amat sangat penting ketika telepon sebagai sebuah medium komunikasi modern dirasa tidak bisa mewakili keinginan manusia tersebut. Telepon terhalang oleh tempat dan kabel yang hanya terpasang pada area telepon tersebut. Sungguh suatu hal yang mustahil untuk bisa membawanya keluar dari area tersebut. Pada gilirannya, lahirlah sebuah konsep mobile berupa telepon genggam, yaitu sebuah medium komunikasi yang bisa dibawa kemana saja alias tanpa kabel atau wireless. Medium komunikasi ini hanya membutuhkan sinyal sebagai unsur penghidup komunikasi.

Mengenai medium komunikasi bergerak sebenarnya sudah muncul pada abad ke-19 . Dan ini lagi-lagi oleh Alexander Graham Bell. Ia bersama rekannya menciptakan fotofon, yaitu sebuah alat untuk melakukan percakapan melalui berkas cahaya yang menghasilkan gelombang elektromagnetis. Selain Bell, ahli fisika Jerman, Heinrich Hertz menciptakan gelombang dari dua titik yang berbeda. Kemudian Guglielmo Marconi dianggap sebagai tonggak sukses komunikasi tanpa kabel atau bergerak ketika menciptakan sebuah alat komunikasi bernama radio yang mampu mengirimkan pesan ke Samudera Atlantik.

Sifat radio yang wireless dan bisa bergerak kemudian mulai memunculkan konsep telepon seluler, yaitu penggabungan antara radio dan telepon yang kemudian dipasang ke dalam kendaraan bergerak seperti mobil dan motor. Tercatat Kepolisian Chicago di Amerika Serikat melakukannya pada 1921. Komunikasinya bersifat satu arah. Pada 1940, Motorola, sebuah perusahaan telekomunikasi di Amerika Serikat mengembangkan dan menciptakan alat komunikasi seluler yang disebut dengan handy-talkie. Komunikasi yang dimuat di dalamnya mulai bersifat dua arah. Penemuan alat komunikasi ini menandai generasi komunikasi yang disebut dengan generasi 0. Pecahnya Perang Dunia Kedua (1939-1945) berpengaruh terhadap penggunaan alat ini terutama ketika di lapangan. Dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya, militerlah yang menjadi pihak yang pertama kali menggunakan medium komunikasi seperti ini di saat terjadinya pertempuran. Militer jugalah yang pertama kali menggunakan salah satu teknologi dalam komunikasi seluler, yaitu CDMA, yang awalnya digunakan untuk mengganggu transmisi musuh.

Pasca-Perang Dunia Kedua, tepatnya pada 1970-an, berkembang dan ditemukanlah telepon seluler generasi 1 oleh Motorola dan Nordic Mobile Telephone. Dinamakan generasi 1 karena masih menggunakan teknologi 1G yang masih bersifat analog dan menggunakan frekuensi AMPS antara 825 Mhz-894 Mhz. Sifatnya yang analog hanya memungkinkan komunikasi yang bersifat regional belum lagi dengan ukuran yang cukup besar. Hal-hal yang demikian menjadi penghalang bagi pengguna untuk bisa berkomunikasi dengan cara bergerak. 
 
Pada era 90-an muncullah teknologi telepon seluler 2G atau generasi kedua yang sudah menggunakan teknologi CDMA dan GSM. Frekuensi yang digunakan berkisar pada 900 Mhz-1800 Mhz. Pada masa ini teknologi 2G memungkinkan dimasukkannya fitur mengirim pesan singkat atau SMS. Sinyal yang digunakan bukan lagi sinyal analog, melainkan digital. Penggunaan chip pada telepon seluler memungkinkan bentuknya bisa menjadi kecil dan benar-benar seukuran kantung. Teknologi 2G inilah yang memungkinkan tidak terbatasnya pergerakan komunikasi bergerak.

Kemudian pada era 2000-an muncullah teknologi 3G atau generasi ketiga. Di sinilah telepon seluler mulai dicangkokkan program internet yang memungkinkannya menjadi internet bergerak atau mobile internet. Dalam teknologi generasi ketiga ini terdapat 3 standar yaitu, EDGE, Wideband-CDMA, dan CDMA 2000. Pada masa teknologi ini fungsi telepon seluler mulai mendekati fungsi komputer.
Terakhir, adalah generasi keempat atau 4G. Sistem 4G ialah sistem yang mencoba menawarkan beberapa infrastruktur dalam bertelekomunikasi seluler. Infrastruktur seperti wireless, broadband, Wireless LAN, dan Bluetooth digabung menjadi satu dan memungkinkan heterogenitas IP pengguna untuk menggunakan sistem di manapun dan kapanpun. Teknologi 4G memungkinkan juga pengiriman data secara cepat dan tak terbatas.

Tentu saja lahirnya generasi teknologi telepon seluler yang begitu cepat ini sejalan dengan teori difusi inovasi yang pernah dipancangkan oleh Rogers Everett. Teori ini mengatakan bahwa teknologi itu dapat diterima oleh masyarakat. Penerimaan masyarakat akan teknologi sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju. Hal ini juga berdampak pada telepon seluler itu sendiri. Sebagai bagian penting dari komunikasi bergerak, pada kenyataannya, telepon seluler yang kini berubah menjadi telepon cerdas menjadi unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Teknologi yang pada awalnya hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan mengikuti pergerakan manusia berubah menjadi teknologi yang bisa berkirim pesan singkat, menjelajalah internet, dan bermain game. Hal inilah yang nanti merubah perilaku manusia sebagai pengguna telepon genggam. James Katz dalam Handbook of Mobile Communication Studies menyatakan adanya apparatgeist, yaitu budaya dan teknologi sebagai faktor penentu perilaku individu yang cukup kolektif. Perilaku individu ketika berhadapan dengan telepon genggam telah membuat individu itu tidak menyadari ruang dan waktu dan tidak menyadari realita di sekelilngnya.  Telepon genggam pun menjadi ajang korporasi sosial yang memungkinkan perusahaan-perusahaan pembuat telepon genggam terus membuat dan menyediakan telepon genggam lalu bersaing satu sama lain demi kepuasan dan usaha mencari konsumen.

Revolusi telepon genggam cukup berpengaruh di negara manapun, termasuk di Indonesia. Negeri berpenduduk 240 juta jiwa ini 80% penduduknya menggunakan telepon genggam dengan kisaran satu orang mempunyai satu atau lebih telepon genggam. Di Indonesia, revolusi telepon genggam juga dimanfaatkan untuk, kebanyakan, berselancar di internet, instant messeging. Selain itu, sms dan terakhir, menelepon. Tampak fungsi telepon genggam telah menyimpang dari fungsi aslinya. Banyak kasus yang terjadi dalam penyalahgunaan telepon genggam di Indonesia seperti merekam video mesum atau kekerasan untuk kemudian diunggah ke YouTube.

Jumat, 15 Agustus 2014

"Ya, Seharusnya Seperti itu"

Layar itu menyala terang. Di dalamnya menampilkan tulisan: Tarif: Rp.2000, Sisa Saldo: Rp 75.000. Seorang petugas segera berkata pada dirinya:
“Ayo, pak, silakan,” ujar si petugas ramah.
Ia lantas membalas keramahan si petugas dengan senyuman sembari melewati gerbang elektronik atau e-gate. Ketika keluar, sebuah raut puas terpancar sekaligus juga raut tidak percaya dan takjub. Di depannya berjejer 5-6 gerbang elektronik sebagai pintu keluar masuk bagi orang-orang yang hendak naik dan turun dari kereta api. Gerbang-gerbang elektronik itu begitu ramai dihilir-mudik dan tak pernah lelah menyalakan lampu penanda masuk dan keluar ketika orang-orang itu, para penumpang kereta api, menempelkan kartu elektronik di gerbang itu. Terlihat simpel dan praktis.
beritakereta.wordpress.com
Ia yang memperhatikan langsung bergumam dalam hatinya,
“Oh, ini sudah seperti di Eropa,”. Matanya lalu mengarah kepada stasiun tempat ia sekarang berada. Stasiun begitu modern. Berwarna abu-abu minimalis. Ada jasa keamanan dan kebersihan. Tak nampak sekalipun pedagang kaki lima, kios, dan gelandang-pengemis. Benar-benar steril.
“Ya, ini seperti di Eropa. Menakjubkan,” gumamnya lagi.
Pikirannya lantas melayang ke salah satu negara di Eropa, Jerman. Negara itu tempat ia dulu belajar dan bekerja hingga akhirnya tinggal selama 20 tahun lebih. Selama di Jerman itu, dirinya merasakan menjadi bagian dari kemajuan Jerman dalam berbagai bidang. Apalagi transportasinya. Jamaknya negara maju, sudah pasti transportasi yang diandalkan ialah transportasi publik, bukan pribadi. Karena itu, banyak yang menjadikan transportasi publik sebagai primadona. Bus, kereta api, trem sudah pasti diserbu.

Kemajuan itu juga terlihat dari fasilitas yang ada. Ia yang sering ke kantor naik kereta api benar-benar merasakan. Naik kereta pun menggunakan tiket elektronik. Sesuatu yang jarang ia dapatkan. Stasiun yang modern dan bersih. Benar-benar membuatnya takjub dan merasakan dirinya ada di sebuah negara di dalam negeri dongeng. Ketika itu juga ia teringat tentang Indonesia, terutama kereta api Indonesia. Benar-benar berbeda jauh dengan apa yang dilihat sekarang. Apabila ia melihat kereta yang di hadapannya sekarang dan bertulisan DB, perusahaan kereta api Jerman, begitu bersih dan kinclong, berkebalikan jika ia membandingkan dengan kereta api Indonesia yang nampak kumuh, kotor, banyak PKL dan gepeng berkeliaran, serta mereka yang dinamakan atapers atau penumpang yang berada di atap kereta. Belum lagi stasiun yang nampak padat karena kios-kios. Stasiun pun sudah seperti pasar rakyat.

Ia jadi teringat suasana itu kala setiap hari berangkat kuliah menggunakan kereta. Kereta menjadi transportasi andalan untuk menuju kampusnya di Depok. Dalam tiap hari itu ia mengalami kereta yang begitu padat penumpang namun juga PKL dan gepeng. Para PKL tak henti-hentinya meneriakkan barang dagangan kepada setiap penumpang meskipun dibeli atau tidak. Kemudian ada para gepeng yang hendak mengais rezeki dengan cara meminta dan merengek. Ada yang bermodalkan sapu, agama, dan lapar. Pernah ia dimintai gepeng dengan cara merengek-rengek meminta uang untuk makan. Lantas ia tolak dengan sopan tetapi si gepeng tetap merengek-rengek. Ia kemudian diamkan si gepeng dan si si gepeng pun berlalu mencari mangsa yang lain. Esok-esoknya si gepeng segan meminta kepada dirinya.

Ia juga teringat kejadian pencopetan dan penjambretan yang terjadi di depan mata kepala sendiri. Sudah menjadi hal lumrah pencopetan dan penjambretan marak terjadi di transportasi publik. Apalagi di kereta api. Ia ingat kereta api selalu terbuka pintunya sebab sudah rusak kemudian panas karena pendinginnya juga rusak. Keadaan yang demikian jelas memudahkan para penumpang keluar dari kereta tanpa harus menunggu pintu buka-tutup otomatis. Keadaan yang demikian juga memudahkan para penjambret dan pencopet mudah melarikan diri. Itulah yang ia lihat ketika seorang wanita dijambret kalung yang melingkar di leher. Wanita itu berteriak histeris mengundang penumpang lain. Sayang, itu percuma. Salah satu penumpang bilang kalau memakai perhiasan jangan berada di depan pintu kereta sebaiknya berada jauh dari pintu dan juga jendela. Tetapi sepertinya si penumpang ini memang tidak tahu tentang perihal kehidupan di kereta api.

Melihat keadaan-keadaan seperti itu, ia jadi berpikir lalu berkomentar kereta api Tanah Air tidak aman dinaiki dan tidak pantas menjadi transportasi publik yang diandalkan meski murah. Ia ingin kereta api Indonesia seperti di negara-negara lain, terutama negara jiran Malaysia yang nampak maju dalam fasilitas terutama tiket yang dipindai dengan komputer. Berbeda dengan kereta api Indonesia yang masih mengandalkan karcis. Gara-gara karcis pembohongan identitas bisa terjadi.

Usai lulus kuliah, ia lalu bekerja dan kemudian mendapatkan tawaran beasiswa kuliah magister sembari bekerja di Jerman. Perusahaannya merekomendasikan dirinya agar ke Jerman. Dan di Jermanlah ia mengalami keterkejutan. Keterkejutan yang awalnya sulit beradaptasi. Mulai dari cuaca, makanan, masyarakat, sampai bahasa. Padahal, ia sebelumnya sudah belajar bahasa Jerman. Tetapi memang beda teori dan praktek. Lama-kelamaan ia pun terbiasa dan nyaman dengan segala kemajuan yang diperlihatkan Jerman. Segalanya menjadi mudah dan efektif. Ia merasakan di stasiun kereta api. Tak perlu lama-lama mengantre. Cukup tap pada mesin dan masuk. Begitu juga ketika keluar. Ia merasa beruntung.

Namun di dalam kemajuan itu ia tetap merindukan Tanah Air. Ia merasa Tanah Air sesungguhnya tempat yang paling tepat di hati. Ketika libur datang, sesekali ia sempatkan diri pulang. Menjamah kampung halaman di Jakarta dan berlibur ke berbagai tempat di Indonesia. Ia merasakan Indonesia memang begitu indah. Jerman yang maju itu tidak ada apa-apanya. Sayang, keindahan itu sirna kala sifat orang-orangnya yang menyebalkan, terutama di birokrasi. Indonesia memang indah tetapi orang-orangnya jauh dari bersih dan beradab. Berbeda dengan di Eropa.

Selanjutnya, ia pada liburan selanjutnya berkeliling Eropa. Di sini ia merasa kagum dan takjub. Namun, tetap saja Indonesia tetaplah yang terindah. Rasa ingin kembali dan menetap di Indonesia di hari tua ia canangkan. Ia lalu menikah dengan gadis Indonesia yang juga bekerja di Jerman kemudian mempunyai anak. Barulah ketika anak-anaknya sudah mahasiswa dan dirasa mandiri, ia putuskan pulang kembali sebagai seorang pensiunan yang hendak membuka usaha bengkel mobil berbekal uang pensiun yang jumlahnya lumayan.

Dua puluh tahun lebih di Jerman, membuatnya hanya tahu sedikit berita dari Indonesia. Apalagi untuk transportasi. Ia masih berpikiran transportasi Indonesia, terutama kereta api, pasti masih seperti dulu. Namun, semua berubah tatkala ia mencoba kembali kereta api Indonesia. Ia terkejut dan terheran-heran sampai-sampai berkata kepada salah seorang teman dekatnya. Temannya hanya berkata,
“Ya udah belakangan ini kereta api berubah. Nggak kaya dulu lagi. Sekarang bersih dan steril karena pake AC...hehehe,”
“Jadi, kereta yang terbuka itu udah nggak ada lagi?”
“Iya, udah dipensiunkan,”

Dua kereta melintas berlawanan di dua jalur yang berbeda. Satu melintas di peron Bogor. Satu di peron Jakarta. Pemandangan itu membuat ia terkesima.
“Seperti inilah seharusnya,” gumamnya senang.

Ketika seperti itu, seseorang menepuknya dari belakang.
“Rendi, jangan bengong. Setan masuk lho,” ujarnya sambil tertawa.
Ia menoleh ke belakang. Tersenyumlah ia. Teman dekatnya, Ardi.
“Udah lama nunggu?” tanya Ardi
“Ah, bentar aja gue,” jawab Rendi.
“Yuk dah kita naik kereta,”
“Oke,”
Keduanya lalu bergegas ke peron Bogor. Ketika sampai peron, kereta jurusan Bogor sudah tiba. Keduanya masuk. Rendi tetap tersenyum sambil bergumam,
“Ya, seharusnya seperti ini,”

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran