Pages

Rabu, 14 Mei 2014

Jalur-Jalur KRL Jabodetabek

Kereta rel listrik atau KRL merupakan pemandangan jamak bagi mereka yang tinggal di Jabodetabek. Di wilayah megapolitan inilah, KRL menjadi transportasi utama sebagai akses ke tempat bekerja, kawasan bisnis, perbelanjaan, pendidikan, dan juga hiburan. Di Indonesia, Jabodetabek menjadi satu-satunya wilayah yang jalur kereta apinya terelektrifikasi. Dari Maja di paling barat elektrifikasi sampai Bogor di selatan, KRL Jabotabek yang telah tersistem sepanjang 235 kilometer, telah memberangkatkan 500.000 penumpang per harinya. Kebanyakan penumpang itu ialah para pekerja yang bekerja di pusat kota tetapi tinggal di daerah-daerah penyangga yang dilalui jalur dan dekat dengan stasiun KRL. Kedekatan itulah yang membuat para pekerja itu memilih KRL sebagai transportasi utama untuk perjalanan pergi pulang ke dan dari tempat kerja. Alasan lainnya, sifat KRL yang cepat tanpa hambatan serta ekonomis.

http://www.krl.co.id/images/stories/Peta%20Rute%20Loopline.jpg
krl.co.id

Hal inilah yang sering menyebabkan kepadatan penumpang dari tempat asal ke tempat bekerja di pusat kota dan begitu juga sebaliknya. Namun, hal yang berlawanan akan ditemukan jika menggunakan kereta berlawanan arah. Salah satu contoh ialah kereta ke arah Depok atau Bogor pada pagi hari yang nampak lengang dan ramai oleh sekumpulan mahasiswa yang kuliah di pinggiran Jakarta seperti di IISIP, Universitas Pancasila, Universitas Indonesia, dan Universitas Gunadarma.

Namun, apabila kereta mengalami gangguan seperti aliran listrik yang mati dan tersendat atau gerbong kereta yang tiba-tiba berhenti di lintasan, akan muncul hal-hal menjengkelkan yang membuat penumpang resah, kesal, marah, keki, dan mau tidak mau memilih moda transportasi lain ke tempat tujuan. Gangguan bukan sebatas itu saja. Ada gangguan yang bersifat force majeur seperti banjir yang biasa terjadi pada di lintasan-lintasan atau stasiun-stasiun yang bersebelahan dengan Sungai Ciliwung. Sebut saja Sudirman, Tanah Abang, dan Kampung Bandan. Tetapi, tetap saja KRL merupakan transportasi yang masih dianggap terbaik sebab tanpa hambatan dan berjalan di jalur yang sudah ditetapkan tanpa harus diganggu oleh kendaraan lain. Hal yang demikian biasanya terlihat pada TransJakarta.

KRL Jabodetabek atau KA Commuter Jabodetabek mempunyai enam jalur atau lintasan. Enam lintasan itu tersebar di lima kota administratif di Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Tangerang Selatan. Total tiga provinsi dilintasi KRL, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Dari enam lintasan, hanya lima yang aktif, yaitu jalur merah untuk jurusan Jakarta Kota-Bogor, Jakarta Kota-Depok, jalur kuning Jatinegara-Bogor, Jatinegara-Depok, jalur biru Jakarta Kota-Bekasi, jalur coklat Duri-Tangerang, dan jalur hijau Tanah Abang-Maja. Sedangkan jalur yang tidak aktif, jalur merah jambu yang diperuntukkan untuk jurusan Tanjung Priok-Jakarta Kota. Tidak aktifnya jalur ini disebabkan beberapa hal, terutama masalah penertiban kawasan di sekitar jalur. Penertiban diperlukan untuk keselamatan perjalanan kereta api di sepanjang kawasan yang akan dilalui.
irfan-rhinoarashi.blogspot.com


Setiap jalur mempunyai karakteristik tersendiri. Jalur merah dan jalur biru mempunyai lintasan dan stasiun melayang, yaitu Jayakarta, Mangga Besar, Sawah Besar, Juanda, Gondangdia, dan Cikini. Awalnya, lintasan dan stasiun ini berada di bawah dan bersisian dengan jalan raya. Namun, karena dirasa padat lalu lintas yang dekat dengan lintasan-lintasan dan stasiun-stasiun tersebut dan akan sangat membahayakan pengguna moda transportasi lainnya, lintasan-lintasan dan stasiun-stasiun itu dinaikkan dan dibuat megah. Sebenarnya, ada satu lagi lintasan dan stasiun melayang, yaitu Stasiun Gambir. Sayang, stasiun yang juga termasuk stasiun tertua di Jakarta ini hanya dijadikan stasiun lintasan dan diperuntukkan bagi kereta-kereta Jawa. Pada jalur merah yang nampak lurus ke arah Bogor terdapat satu kotamadya yang berbatasan langsung dengan Jakarta, Depok. Keberadaan Depok di jalur merah tidak bisa dilepaskan dari sejarah keberadaan kota tersebut dan dibangunnya jalur yang menghubungkan Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor) via Depok pada abad ke-19. Depok juga merupakan kota tempat dipo KRL yang berjarak 1 kilometer dari Stasiun Depok. Selain itu, di jalur ini terdapat dua perguruan tinggi yang dijadikan nama stasiun karena letak keduanya yang dekat dengan lintasan KRL, Universitas Pancasila dan Universitas Indonesia. Karakteristrik lain, terdapat jalur dan Stasiun Cawang yang jalurnya berada di bawah jalan raya MT Haryono. Di jalur merah terdapat salah satu stasiun yang renovasinya dikerjakan oleh Antam dan dijadikan stasiun percontohan, Tanjung Barat. Jalur merah merupakan jalur tertua KRL sebab mulai beroperasi pada 1930.

curhatkrl.blogspot.com

Di jalur biru, karakteristik yang sebentar lagi muncul ialah jalur ganda-ganda yang menghubungkan Manggarai hingga ke Cikarang. Jalur itu dibangun sebagai jawaban atas padatnya jalur timur ke Bekasi yang juga merupakan jalur kereta api ke Bandung dan Jawa. Kepadatan itu yang membuat perjalanan kereta di jalur ini harus mengantre dan mengalah. Karena itu, perlu dibuat jalur khusus KRL dan kereta Jawa. Di jalur ini terdapat Stasiun Cakung yang di atasnya melintas flyover bus ke Terminal Pulo Gebang dan melintasi Kanal Banjir Timur. Pada jalur ini ada dua stasiun tidak aktif dan hanya dijadikan perlintasan, Cipinang dan Rawa Bebek. Bekasi menjadi titik akhir dari jalur ini. Kabarnya, elektrifikasi jalur hendak diperpanjang sampai Cikarang.

krl-jabodetabek.cocolog-nifty.com
Jalur lainnya, jalur kuning, atau tepatnya Jakarta Loopline merupakan jalur yang melingkari kota Jakarta. Lingkaran itu dimulai dari Stasiun Manggarai lalu berakhir di Jatinegara. Antara jalur kuning dan jalur merah mempunyai jalur yang sama mengarah ke Depok dan Bogor namun berlainan ketika berada di Manggarai. Jalur ini mempunyai 30 stasiun dan merupakan jalur terpanjang di Jabodetabek. Stasiun-stasiun di jalur ini beberapa bersebelahan dengan Sungai Ciliwung seperti Sudirman, Tanah Abang, dan Kampung Bandan. Apabila musim hujan datang dan banjir, dipastikan stasiun-stasiun itu akan berhenti beroperasi. Salah satu stasiun di jalur ini, Kampung Bandan merupakan stasiun yang cukup unik karena mempunyai satu jalur di atas dan di bawah. Di atas jalur mengarah ke Ancol. Di bawah ke Jakarta Kota. Stasiun Kampung Bandan merupakan salah satu stasiun tertua di Indonesia. Di stasiun ini tersedia kereta pengumpan ke Jakarta Kota, KRLI Prajayana atau Djoko Lelono 3. Kampung Bandan, selain Stasiun Sudirman, juga merupakan stasiun favorit para penglaju karena letaknya yang berada di belakang pusat-pusat bisnis dan perbelanjaan di Mangga Dua. Di seberang stasiun ini terdapat Jakarta Inner Ring Road. Pada jalur kuning yang berawal dari Jatinegara, salah satu stasiun dari masa kolonial serta titik akhir pertama elektrifikasi jalur Jabodetabek pada 1925, terdapat beberapa stasiun tidak aktif. Di antaranya, Mampang, Angke, dan Pasar Senen. Untuk Angke dan Pasar Senen, kedua stasiun ini hanya diperuntukkan bagi kereta ke arah barat (Banten) dan timur (Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur). Jalur kuning juga merupakan jalur dengan deretan perumahan kumuh di pinggir lintasan. Dimulai dari Tanah Abang hingga Kampung Bandan. Puncaknya di Duri yang berada di wilayah Tambora, salah satu wilayah di Jakarta yang kerap ditimpa kebakaran.

Jalur selanjutnya ialah jalur coklat. Jalur ini menghubungkan Duri dengan Tangerang. Jalur coklat bisa dibilang merupakan jalur terpendek daripada jalur-jalur lain KA Commuter Jabodetabek. Jalur ini hanya mempunyai 8 stasiun aktif dan 3 stasiun non-aktif, yaitu Grogol, Taman Kota, dan Tanah Tinggi. Jalur coklat awalnya hanya mempunyai satu jalur namun kemudian dibuat dua sehubungan dengan proyek kereta Bandara Soekarno-Hatta yang akan dimulai dari Duri lalu ke Tanah Tinggi, Batu Ceper hingga ke bandara. Pada jalur baru itu ada yang melintasi Cengkareng Drain. Jalur ini mempunyai bentuk-bentuk stasiun yang agak berbeda dengan stasiun kebanyakan di Jabodetabek. Dimulai dari Pesing hingga Batu Ceper, stasiun-stasiun ini di jalur ini mempunyai peron dengan turunan dan naikan tidak berundak dan mulus seperti perosotan. Lainnya, stasiun-stasiun di jalur ini mempunyai pagar melengkung yang dibatasi tembok coklat di antara pagar-pagar itu. Jalur coklat nampaknya merupakan jalur yang teramat khusus sebab kereta yang ada di dalam jalur ini juga kereta khusus, yaitu kereta buatan INKA dan BN Holec. Aslinya, kereta ini bukanlah barang lama dalam sejarah KRL di Indonesia. Memulai debut pada 1994, kereta ini awalnya merupakan kereta ekonomi yang bisa dibilang tercanggih pada zamannya. Sayangnya, seiring berjalannya waktu kereta ini pun menjadi kereta kumuh. Kereta juga sering mengalami kerusakan. Belum lagi kesulitan suku cadang sehingga kereta ini dipensiunkan dan dibuang ke Purwakarta. Mengingat usianya yang masih layak dan dapat dipertahankan, PT KCJ, operator KRL, memutuskan meretrofit kereta ini dengan mengirim kembali ke INKA dan mesinnya diganti dengan mesin Woojin dari Korea Selatan. Stasiun terminus jalur ini, Stasiun Tangerang merupakan stasiun besar dan tua yang cukup sepi. Sama seperti Stasiun Jakartakota, stasiun ini merupakan stasiun ujung. Dan sama seperti Stasiun Bogor, di depan stasiun terdapat pasar.

kaskus.co.id
Jalur terakhir ialah jalur hijau. Jalur ini dibuka pada 2013 dan mengarah ke Tangerang Selatan dan Kabupaten Bogor. Titik keberangkatan jalur ini dimulai dari Stasiun Tanah Abang yang juga merupakan salah satu stasiun besar, tua, dan ramai karena banyak penglaju yang ke stasiun ini untuk berbelanja pakaian di Pasar Tanah Abang. Dari Tanah Abang jalur hijau akan terhubung ke Stasiun Serpong, Parung Panjang, dan Maja. Jalur hijau merupakan jalur yang unik karena beberapa stasiunnya berada di Banten dan Jawa Barat dan silih berganti berputar seolah-olah beberapa kali memasuki dan keluar dari tapal batas. Titik terakhir jalur ini ialah Maja yang sebenarnya sudah berada di luar wilayah Jabodetabek karena berada di Lebak, Banten. Bisa dibilang Maja merupakan stasiun terjauh KRL dan merupakan stasiun kereta api terakhir dari perpanjangan elektrifikasi yang dimulai dari Serpong lalu berlanjut ke Parung Panjang. Dibandingkan jalur-jalur KRL lainnya, jalur hijau merupakan jalur yang masih hijau dan perawan serta menawarkan banyak pemandangan asri mengingat belum padatnya orang-orang yang tinggal di sekitar jalur ini, kecuali di Serpong. Jalur ini melintasi jurang dan sungai serta bersisian dengan jalan tol Jakarta-Serpong. Jalur ini, sebagaimana halnya jalur KRL, mempunyai jalur ganda. Namun jadwal pemberangkatan lebih banyak ke Serpong daripada ke Parung Panjang atau Maja yang hanya beberapa jam sekali. Ini dikarenakan jalur ini juga digunakan bagi kereta diesel ekonomi ac yang hendak ke Serang dan Merak sehingga selalu terjadi antrean setelah Stasiun Serpong. Di jalur hijau terdapat 1 stasiun tidak aktif, yaitu Ciater dan 1 stasiun baru, Jurangmangu yang merupakan akses ke kampus STAN. Melihat potensi perkembangan penduduk di jalur ini, PT KCJ berencana memperpanjang elektrifikasi sampai Stasiun Rangkasbitung, yang merupakan salah satu stasiun tertua di jalur ini selain Tanah Abang.

lintasanpelangi.blogspot.com
Itulah karakteristik-karakteristik jalur KRL Jabodetabek. Awalnya, jalur-jalur yang masuk dalam lingkungan Daerah Operasi 1 Jakarta mempunyai 37 jalur yang kemudian disederhanakan menjadi 6 dengan pemberian banyak warna. Beberapa stasiun menjadi tumpuan transit semua jalur. Sebut saja Manggarai (merah, kuning, dan biru), Duri (coklat dan kuning), Tanah Abang (hijau dan kuning). Sedangkan Stasiun Jakartakota menjadi stasiun pemberangkatan beberapa jalur, yaitu jalur merah dan biru. Beberapa jalur dan stasiun juga terintegrasi dengan shelter bus TransJakarta. Yaitu Juanda (merah, biru), Cawang (merah, kuning), Manggarai (merah, kuning, dan biru), Jakarta Kota (merah, biru), Jatinegara (kuning, biru), Sudirman (kuning, merah), Kampung Bandan (kuning, merah jambu), Gang Sentiong (kuning, merah), Pondok Jati (kuning, merah), Kebayoran (hijau), Buaran, Klender Baru (merah, biru), dan Palmerah (hijau). Bahkan ada jalur dan stasiun yang rencananya terintegrasi dengan MRT Jakarta yang sedang dibangun, yaitu Kampung Bandan dan Sudirman. Sedangkan Stasiun Manggarai akan dijadikan jalur yang terintegrasi dengan kereta komuter bandara dan beberapa stasiun di dekat Halim Perdanakusumah juga akan diintegrasikan dengan kereta bandara ekspres. Selain terintegrasi dengan moda transportasi lain, khususnya yang berada di DKI Jakarta, beberapa jalur atau stasiun di luar DKI Jakarta juga terintegrasi, seperti dengan terminal bus. Yaitu, Stasiun Depok Baru. Selain terintegrasi, beberapa stasiun di luar Jakarta juga dekat dengan perumahan. Ini mengingat luar Jakarta merupakan tempat tinggal sedangkan Jakarta tempat bekerja. Selain perumahan, beberapa dekat dengan kantor-kantor pemerintahan dan pusat-pusat perbelanjaan. Serpong, Cilebut, Citayam, Bojong Gede merupakan contoh beberapa stasiun yang dekat dengan perumahan sedangkan Depok Baru, Pondok Cina merupakan stasiun-stasiun yang dekat pusat perbelanjaan, ITC Depok dan Depok Town Square. Stasiun lainnya, Bogor dan Tangerang dekat dengan pusat perbelanjaan seperti pasar tradisional dan modern, yaitu Pasar Anyar serta Taman Topi Square dan Superindo. Kebanyakan stasiun terminus atau pemberhentian akhir dekat dengan kantor pemerintahan. Bogor, Bekasi, Tangerang merupakan contoh-contoh.
bismania.com
Jalur dan stasiun KRL Jabodetabek yang telah dimulai pada 1924 lalu bertahap pada 1927 hingga 1930 dan berlanjut pada 2013 telah membantu mobilitas manusia yang tinggal di Jabodetabek dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya, perombakan yang dilakukan PT KCJ secara besar-besaran sejak 2011 dan terus berlanjut hingga sekarang telah mempengaruhi banyak orang untuk pergi berkereta api ke tempat kerja daripada menggunakan kendaraan pribadi. Hal itu sebagai bagian dari upaya mengurangi kemacetan di ibu kota. Namun, tetap masih ada yang harus diperbaiki seperti pelayanan dan aliran listrik yang kerap ngadat jika hujan datang.

Kamis, 08 Mei 2014

Warisan Belanda dalam Kereta Api Indonesia: Tulisan Singkat

Kereta api Indonesia memang tidak bisa lepas dari Belanda. Hal ini dikarenakan Belandalah yang memulai pembangunan jalur kereta api di Indonesia pada masa negara ini masih bernama Hindia-Belanda. Tepatnya pada 1864 ketika jalur Kemijen-Tanggung dibangun dan dibuka pada 1867. Selanjutnya dibangunlah jalur-jalur dan stasiun di Pulau Jawa lalu ke Sumatera dan sempat ke Sulawesi.

Tidak bisa lepasnya kereta api Indonesia dari Belanda juga terlihat dari warisan-warisan fisik Belanda berupa bangunan stasiun, rel, jembatan, dan kereta-kereta api yang sudah dimuseumkan atau dijadikan kereta pariwisata seperti di Ambarawa dan Sawahlunto. Beberapa warisan itu masih terlihat di beberapa stasiun di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Padang. Begitu juga jalur-jalur yang ada serta perangkat-perangkat perkeretaapian lainnya.

Selain warisan fisik, Belanda juga mewariskan dalam bidang bahasa. Terutama yang berhubungan dengan perkeretapian. Istilah-istilah kereta api Indonesia yang populer dan jamak terdengar di telinga kebanyakan berasal dari Belanda. Sebut saja peron yang berasal dari kata perron, stasiun (station), karcis (kaartjes), kondektur (condecteur), masinis (machinist), sepur (spoor), wesel (wissel), dipo (deponeren), emplasemen (emplacement), dan langsir (lanceren). Beberapa kata itu masih hidup meskipun Belanda sudah lama pergi dari Indonesia. Namun ada satu kata dari Belanda yang sebenarnya tidak populer tetapi populer di orang-orang yang tinggal di pelosok dan dekat dengan kereta api. Kata itu ialah pak sep yang artinya kepala stasiun. Kata sep berasal dari chef.

Itulah warisan-warisan Belanda untuk perkeretaapian Indonesia. Meskipun sekarang Belanda sepertinya jauh sekali dari kereta api Indonesia karena kebanyakan armada kereta api Indonesia memakai buatan  Jepang dan Amerika Serikat, atau buatan dalam negeri yang diproduksi INKA, warisan-warisan itu tetap hidup. Namun itu semua tergantung dari yang mewariskan. Hanya satu yang tidak diwarisi Belanda: pemeliharaan dan perawatan warisan-warisan itu.

Selasa, 06 Mei 2014

Kecewa

Aku telah menunggumu begitu lama. Selama waktu yang kurasakan berjalan meski tidak setanding dengan datangnya komuter dari arah Angkasapuri yang terasa begitu cepat. Juga tidak setanding dengan cepatnya pintu komuter yang terbuka ke depan. Memuntahkan manusia di dalamnya lalu menelan lagi manusia yang berada di luar. Dalam tiap muntahan itu aku berharap kamu muncul lalu menyapaku. Tapi, ternyata tidak. Yang kudapat hanyalah teguran seorang Tamil yang merasa aku mengganggu dirinya karena berdiri di depan pintu kereta atau seorang petugas komuter yang menegurku dengan melayu medok. 
skycrappercity.com


Baiklah, aku memang salah. Semua karena hanya ingin menunggumu. Kamu datang padaku lalu kita berbicara seperti saat-saat dulu kita bertemu di Batu Caves. Di suasana yang terik membakar kulit itu, pertemuan itu menurutku bukanlah seperti sebuah skenario dalam kisah-kisah layar perak. Tetapi, pertemuan itu, ya aku mengatakannya pertemuan, meski kamu bilang sebaliknya. Kamu meminta tolong kepadaku untuk memotret dirimu dengan teman-temanmu di belakang patung Lord Murugan yang megah dan nampak terus-menerus berkilau dihajar terik matahari yang tidak bertoleransi.

Kupotret dirimu yang nampak begitu sopan berpakaian tanpa sekalipun memperlihatkan kulitmu. Kamu memang tidak berjilbab tetapi aku merasa senang dengan penampilanmu. Senyum yang merekah meski harus menentang panas ketika ku hendak memotretmu telah kurekam otomatis dalam memoriku. Dan senyum itu terus menempel pada hasil foto yang kemudian kuperlihatkan padamu dan juga teman-temanmu.

Kamu bilang hasilnya bagus walau aku tidak yakin dengan ucapanmu yang bagiku sekadar menghibur. Mungkin dirimu tak ingin menolak hasilku. Kamu merasa tak enak jadi kamu iyakan saja hasil itu. Baiklah, aku terima. Aku sendiri tak masalah.

Setelah memotret kamu berlalu dengan teman-temanmu. Meninggalkan jejak harum dan kesan yang membuatku bertanya-tanya. Membayangkanmu dan mencari-cari dirimu. Dan kamu pun hilang ditelan panas dan angin. Dari Batu Caves aku berusaha mencari tentang dirimu. Membayangkan kamu seutuhnya. Wajah, senyum, dan perilaku sopan. Aku berusaha mereka-reka asal dirimu. Tentu kamu dari Indonesia juga. Sama seperti diriku. Hanya saja aku merasa kamu dari Pulau Sumatera. Aku mengatakan begitu karena aku merasa aksen Sumatera-mu begitu kental. Awalnya aku mengira kamu dari Malaysia. Tetapi, setelah kupikir-kupikir tidak.

Bayanganmu yang terus menari-nari membuatku tidak bisa tenang. Aku yang seharusnya menikmati perjalanan pulang dari Batu Caves ke KL Sentral seperti gelisah. Heh, pertanda apakah ini? Apakah aku suka padamu? Jatuh cinta padamu? Pada pandangan pertama? Tidak, tidak, aku tidak suka padamu, tidak jatuh cinta padamu. Apalagi pada pandangan pertama. Cukup! Aku sering seperti itu dan semua hanyalah sesaat. Tetapi kamu....

Komuter melaju cepat. Bergerak seirama dengan lintasan rel. Datang dan berhenti di tiap stasiun. Dan begitu sepi. Sesepi mereka yang malas menyahut iklan-iklan propaganda Najib, sang perdana menteri keturunan Bugis. Propaganda yang bagiku tidak penting. Propaganda yang hanya bersifat sepihak dan searah. Cuaca terik yang terlihat dari jendela aku harap membakar saja propaganda itu. Menganggu bagiku.

Pada teman yang aku tinggal di kontrakannya di Kuala Lumpur aku bercerita. Ia mengatakan aku telah suka dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tetapi aku menolak anggapan itu. Temanku hanya tertawa lalu berkata kalau aku menolak, berarti aku mengakui rasa yang ada dalam diriku. Ah, sudahlah aku tak mau membicarakan itu lagi.


Beberapa hari kemudian, aku coba ke KL Sentral. Menunggu dirimu di depan gate tiket. Di antara lautan keramaian manusia-manusia yang sibuk lalu-lalang mencari tunggangan bepergian atau yang sibuk mencari makan di beberapa restoran. Beberapa polisi berpakaian hitam berdiri menunggu, mengawasi sembari mencari momen-momen mencurigakan yang harus ditindak.

Dan itu aku. Seorang polisi menghampiriku dan bertanya dengan nada melayu medok kepadaku mengapa aku berdiri di depan gate tiket. Aku bilang dengan jawaban hati-hati. Hati-hati bukan karena takut menyinggung tetapi hati-hati memilih kata yang tidak dimengerti. Padahal, kami sama-sama serumpun tetapi secara kebangsaan kami berbeda. Aku menjawab dengan mengatakan aku hendak menunggu seseorang. Ia bertanya apa orang itu punya hubungan kekeluargaan denganku. Aku bilang tidak. Aku berkata ia orang yang spesial bagiku. Si polisi hanya mengangguk mengerti namun menyuruhku menunggu agak jauh dari gate. Kalau bisa di depan sebuah gerai hape. Aku bertanya kenapa harus di depan gerai hape. Ia menjawab dengan tertawa mungkin aku akan membutuhkan hape baru atau isi pulsa jika ternyata habis pulsa atau rusak hapeku. Ya, logis juga jawabannya meski sepertinya terlalu dipaksa. Aku merasa hapeku tidak apa-apa. Apalagi pulsaku. Masih banyak. Dan aku masih pakai nomor Indonesia, bukan Malaysia. Tetapi, aku turuti saja keinginannya. Jadilah aku menunggu di depan gerai hape.

Dan dari gerai hapelah aku menunggu lalu menyaksikan lautan manusia keluar gate. Lantas aku berharap ada dirimu. Aku coba mengingat-ngingat saat aku bertemu denganmu. Ingatan yang tidak sepenuhnya terekat tetapi terpecah-pecah seperti puzzle. Tetapi, tetap aku coba mengingat dirimu. Banyak kepala yang kuperhatikan. Dan aku seperti intel di kejauhan. Namun, mana dirimu? Aku sama sekali tidak melihat. Banyak kepala membuat konsentrasiku pecah. Aku tak bisa mengingat. Dan kamu pun hilang. Aku kecewa. Sungguh kecewa. Aku pulang dengan tangan hampa. Berjalan keluar KL Sentral. Berjalan di pinggiran jalan yang sepi. Membiarkan kepala dan tubuh dihujani terik matahari.

Lalu aku menyadari kini diriku telah berada di Indonesia. Aku pulang ke Tanah Air yang sepertinya akrab bagiku meski menyebalkan. Rumput tetangga lebih segar dan menjanjikan. Sayang, aku merasa tidak nyaman. Berdiri di peron Stasiun Gondangdia, bayanganmu terus-menerus berkibar dan melambai kepadaku. Kamu seperti mengajakku kembali ke Malaysia. Seperti mengajakku harus berpantun Melayu: Abang nak pulang demi cik adik. Ah, cik adik. Cik abang. Kata-kata itu, itu aku dapatkan dari film-film P.Ramlee yang sungguh terkenal di seantero Malaysia. Baiklah, hatiku berkata, abang nak pulang demi cik adik, yang sepertinya tidak mau sakit, abang nak pulang meski dengan rakit, lalu bertemulah kita sikit-sikit. Tetapi kamu bukan orang Malaysia. Kamu Indonesia. Seharusnya aku bisa menemuimu di sini. Tetapi....kamu tidak ada malah.

Baiklah, baiklah demi kamu aku kembali lagi ke Malaysia. Datang lagi ke KL Sentral dan kali ini mencoba ke Batu Caves. Harapan supaya bisa bertemu kamu lagi. Tetapi, dalam hatiku terasa emoh. Aku tak sekalipun ingin menaiki komuter yang melintas. Aku tak mau lagi ke Batu Caves. Aku hanya ingin kamu datang di depanku dari dalam komuter. Dan...aku ternyata berhasil melihat dirimu kembali. Masih berpakaian sopan, berambut panjang, dan bersenyum berseri kepada teman-temanmu. Aku merasa senang. Bisa bertemu dirimu lagi. Ternyata aku masih ingat. Tetapi kenapa aku malah menjadi kaku untuk sekadar menyapamu. Aku mematung. Aku mengeras. Kamu lewat begitu saja di depanku tanpa menyadari orang yang kemarin memotretmu. Kecewa.

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran