Pages

Senin, 27 Juli 2015

Pengakuan

“Puas?” tanya suara itu yang kembali berbisik di telingaku. Aku menyebutnya “suara itu” sebab ia sudah berulang kali muncul di dekat dan sekitarku. Aku tak tahu kapan ia pertama kali muncul, tetapi aku merasakannya ketika sedang kesal terhadap suatu hal. Aku yang sedang mengamati kemegahan sebuah bangunan peninggalan masa lampau di Kamboja, Angkor Wat, lantas menjawab yakin,
“Iya, aku puas,” jawabku disertai senyuman seperti halnya senyuman-senyuman relief di bangunan itu.
“Benar?” ia bertanya kembali untuk meminta kepastian.
“Iya, benar,” jawabku tetap yakin.
“Masa?” ia kembali bertanya tetapi ini dengan kata dan nada mengejek dan meremehkan. Jujur, itu membuatku kesal. Emosiku hampir naik. Tetapi aku tahan. Aku tidak mau merusak pemandangan indah di depanku hanya karena aku emosi, dan akhirnya marah-marah. Rusak sudah perjalananku.
“Iya, betul,” jawabku lagi kini sembari menantang dia, “Seperti yang kamu lihat. Aku puas, aku bahagia karena akhirnya bisa menjejakkan kaki di salah satu candi terbesar di Asia Tenggara,”
“Hei, saya tidak menanyakan kamu bahagia hanya bertanya apa kamu puas. Kenapa kamu sertakan bahagia?” tanyanya kembali yang kali ini membuatku dongkol.
“Lho memangnya kenapa?” aku kini merasa emosiku naik, “Suka-suka aku dong. Lagian puas dan bahagia itu berhubungan,”
“Kata siapa?”
Suara itu benar-benar membuatku jengkel. Rasa-rasanya aku ingin menghajarnya apabila ia berbentuk fisik. Habis-habisan. Kalau bisa sampai babak belur. Ah, sayang, ia tak berbentuk seperti angin yang berembus dan hilang. Kemunculannya bagiku seperti misteri.
“Jangan pernah bermimpi untuk bisa menghajarku,” ujarnya yang kemudian membuatku tersadar bahwa ia tahu apa yang aku katakan dalam hatiku, “Kamu tidak akan bisa. Aku ini ada di mana-mana. Bahkan di kemaluanmu sekalipun,”
“Lalu maumu apa?” tanyaku yang sepertinya benar-benar ingin menghajar tetapi tidak bisa.
“Lho, aku kan cuma bertanya apa kamu puas,”
“Dan sudah kujawab,”
“Aku malah melihat kamu tidak menjawab pertanyaanku,”
“Maksudmu?”
“Iya, kamu tidak menjawab pertanyaanku. Aku rasa kamu tidak puas,”
“Hei, jangan sok tau!”
Seperti angin yang berembus ia tiba-tiba menghilang. Entah ke mana. Meninggalkan aku yang sedang terpana akan kemegahan Angkor Wat. Suatu hal yang akhirnya bisa kulakukan terwujud. Melihat candi itu dari dekat. Menyentuhnya. Sebab, selama ini hanya sering melihatnya dari televisi. Ya, aku merasa aku puas. Aku bahagia. Aku senang.
“Jangan bohong,” suara itu tetiba muncul. Membuatku terkejut. Ia sepertinya memang benar bisa mendengar isi hatiku.
“Bohong apanya?” tanyaku heran.
“Kamu berbohong kalau kamu puas,” katanya dengan nada yang tegas, “Kamu sebenarnya tidak puas...juga tidak bahagia dan senang. Apa yang kamu lakukan adalah keterpaksaan,”
“Hei, maksud kamu apa?”
Aku menjadi bertanya-tanya atas ucapannya.
Lalu kudengar suara tawa di telingaku.
“Jangan tertawa, keparat!”
Ia terus tertawa-tawa. Lagi-lagi aku ingin menghajarnya jika ia berbentuk fisik. Sayang, batu pun tidak akan bisa menciumnya.
“Sabar, jangan marah,” ujarnya setelah itu, “Kamu memang gampang ya emosinya dipancing. Pantas saja orang-orang di sekitarmu senang menggembosi kamu,”
“Bisakah kamu diam sebab aku ingin menikmati Angkor Wat,”
“Kamu tidak akan menikmati sebab kamu berbohong pada dirimu sendiri,”
“Maksudmu apa? Heh?”
Ia tetiba menghilang lagi. Entah ke mana. Cuaca di Angkor Wat terlihat mendung. Sepertinya hendak turun hujan. Ada baiknya aku segera ke dalam kuil untuk berteduh.
“Kenapa bergegas?” suara itu muncul lagi.
“Mau hujan,” jawabku seadanya dan rasanya aku sudah malas menanggapi.
“Terus kenapa kalau hujan? Menghindar? Dasar ya kamu tidak tahu terima kasih. Sudah tidak puas sekarang malah ke dalam?”
“Suka-suka aku dong!”
Ia malah terkekeh.
“Ya suka-suka aku juga dong. Dasar manusia tidak puas,”
Sialan! Gerutuku dalam hati. Benar-benar ingin aku hajar dia. Tapi, sekali lagi, ia tak berwujud. Percuma saja tanganku kukepal kencang.
“Sebenarnya mau kamu apa sih?” tanyaku lagi ke ia, “Sedari tadi menggangguku terus. Kamu sepertinya tidak senang ya saya bahagia,”
“Kamu berbohong kalau kamu bahagia,” jawabnya. “Kamu tidak bahagia. Sama sekali,”
“Kok kamu sok tau banget sih?”
“Ya memang aku sok tau,”
“Kalau begitu diamlah dan jangan seperti burung-burung gereja di depan rumahku,”
“Apa hubungannya dengan burung gereja? Mereka menurutku tidak sok tau. Mereka bercerocos karena puas dan bersyukur atas anugerahNya,”
“Oke, oke, aku tidak mau berdebat perihal itu. Tetapi sebaiknya kamu menyingkir dan biarkan aku menikmati kuil ini sejenak,”
“Tidak bisa. Sebelum kamu tidak lagi berbohong kepadaku,”
“Lho kamu ini memangnya siapa? Ayah-ibuku saja tidak seperti itu. Apalagi saudara-saudaraku,”
“Kamu tidak perlu tahu aku siapa. Aku cuma ingin melihat saja bahwa kamu benar-benar puas dan tidak berbohong,”
Lama-kelamaan aku bisa gila terus-terusan meladeni suara misterius itu. Suara itu benar-benar seperti minta dihajar. Menjengkelkan dan dongkol. Seperti orang-orang di kantorku yang kerjanya sebagai kuli tinta.
“Tidak apa-apa kalau kamu mengatakan aku seperti teman-temanmu,” ujarnya. Lagi-lagi ini membuatku tersadar bahwa ia bisa mendengar suara dalam hatiku. Oh, tidak!
“Ya, mereka memang menyebalkan. Dan aku akan seperti mereka,”
“Iya mereka memang menyebalkan. Aku kurang suka dengan mereka, mentang-mentang wartawan, tetapi lagaknya seperti orang benar. Seperti profesor. Profesor saja tidak begitu. Mereka norak. Mereka suka mengada-ngada. Bahkan hal sepele pun digosipkan,”
“Tetapi, toh ada yang kamu sukai di antara mereka? Ya kan?”
“Iya, sayang dia sudah punya pacar dan pacarnya belagu. Aku janji tidak akan datang ke pernikahan mereka,”
“Seperti di sinetron saja,”
“So what?”
“Tidak kenapa-kenapa. Hanya saja aku melihat kamu orang yang memang mudah panas dan terbakar bahkan oleh cemburu sekalipun. Kamu kesal lantas kamu cemburu terutama kepada orang yang kamu suka. Kamu kesal karena kamu merasa diremehkan dan ingin membalas perbuatan mereka dengan perjalanan ini, bukan?”
“Maksudmu?” tanyaku kemudian.
“Jangan berbohong. Kamu melakukan perjalanan ke luar negeri sebenarnya karena kamu kesal dengan mereka yang kamu rasa meremehkan kamu untuk menunjukkan kamu bisa. Oke, aku salut dengan caramu membalas dendam. Tapi akibatnya kamu sebenarnya tidak puas...juga bahagia dan senang. Ya kan?”

Tiba-tiba saja aku terdiam. Seperti menghadapi binatang buas di depan muka, aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya kemudian merenung lalu bertanya-tanya pada diri sendiri. Sebenarnya yang aku lakukan ini apa? Untuk siapa? Aku bertanya-tanya apakah aku melakukan memang demi diriku yang menyukai perjalanan atau hanya pelarian untuk pelampiasan atas kekesalan diriku pada mereka-mereka yang meremehkanku kemudian akan menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa. Iya, aku bisa. Lantas aku disanjung dan dihargai. Ah, sialan! Perjalanan ini seperti tiada makna bagiku. Nafsuku telah mengendaraiku. Iya aku memang sebenarnya belum puas atau malah tidak puas. Angkor Wat yang sekarang aku ada di dalamnya hanyalah pelampiasan asal-asalan bahwa aku ingin dianggap dan pernah ke luar negeri. Aku sebenarnya tidak menginginkan Angkor Wat. Aku hanya mengatakan bahwa aku pernah ke luar negeri. Tepatnya di Kamboja. Ya, yang penting aku pernah ke luar negeri. Pernah. Ini seperti halnya aku pernah berpacaran, dan nafsu memilih wanita mana saja asal pacaran dan dianggap pacaran. Ah, sialan!

Aku, jujur, tidak bahagia atau senang. Ya semua karena keterpaksaan. Semua karena aku seperti cacing kepanasan yang tidak mau kalah dan ikut-ikutan. Aku jadi teringat ucapan temanku kala kuliah dulu. Ia meremehkanku seperti katak dalam tempurung. Hanya bisa membaca buku bukan buku di luar buku. Aku kesal. Aku ingin membalas ucapannya. Aku yang tadinya tidak pernah melakukan perjalanan menjadi pernah dan bahkan sering. Aku yang tidak suka menjadi suka. Tetapi setelah kupikir-pikir buat apa kalau kenyataannya itu hanyalah pelampiasan semu. Ujung-ujungnya aku benar-benar tidak menikmati seperti Angkor Wat ini. Aku jadi teringat ucapan ibuku,

“Buat apa sih kamu pake beginian segala?”
Perjalanan ini hanyalah sekian pelampiasan. 
Dan suara itu benar-benar menghilang.



 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran