Pages

Jumat, 04 November 2016

Benang Merah Konflik-Konflik Timur Tengah


Judul: The Fall of Khilafah: Perang Besar yang Meruntuhkan Khilafah Ustmaniyah dan Mengubah Selamanya Wajah Timur Tengah
Penulis: Eugene Rogan
Jumlah Halaman: 589 halaman
Terbit: Agustus 2016

--------------------------------------
Tanggal 2 Agustus 1990, sebuah invasi secara cepat dilancarkan oleh Irak ke Kuwait. Irak yang kala itu dipimpin Saddam Hussein tanpa kesulitan menguasai Kuwait yang kemudian dijadikan bagian dari Negeri 1.001 malam tersebut. Alasan penyerangan bersifat ekonomis, yaitu jatah minyak Irak yang diserobot Kuwait, yang menyebabkan anjloknya perekenomian di negara itu. Apalagi, dua tahun sebelumnya Irak berperang dengan negara tetangganya, Iran, selama delapan tahun. Selain alasan ekonomis, Irak juga mengklaim bahwa Kuwait secara historis masuk wilayah Irak di zaman Kekhalifahan Ustmaniyah. Ketika itu, Kuwait merupakan bagian dari Basrah, salah satu kota penting di Irak selain Baghdad. Akibat perjanjian antara Kekhalifahan Ustmaniyah dan Inggris pada 1913, Kuwait kemudian lepas dan menjadi bagian dari Inggris. Invasi itu menyebabkan pemimpin Kuwait, Syekh Jaber Al Ahmed Al Sabah, melarikan diri. Banyak negara termasuk Amerika Serikat kemudian mengecam dan segera melancarkan serangan berkoalisi atas Irak sehingga pecahlah Perang Teluk.

Perang Teluk yang terjadi di masa awal dekade 90-an merupakan salah satu rangkaian konflik yang terjadi di Timur Tengah pasca Perang Dunia Kedua atau masa ketika kolonialisme Eropa berakhir secara fisik di Asia dan Afrika. Di Timur Tengah, kolonialisme Eropa masuk ketika penguasa wilayah itu selama ratusan tahun sebelumnya, Kekhalifahan Ustmaniyah, didepak. Terdepaknya Ustmaniyah ini tak lepas dari keikutsertaan negara itu dalam Perang Dunia Pertama. Bergabung dengan Jerman dan Austria dalam Blok Sentral, keputusan Ustmaniyah untuk mengikuti perang sebenarnya dibayang-bayangi ketidakpastian situasi, baik dalam negeri maupun luar negeri. Ustmaniyah adalah sebuah kekhalifahan dengan beragam etnis dan agama yang tersebar dari Eropa Timur, Afrika Utara, hingga Asia Barat. Kekhalifahan dari Asia Tengah yang didirikan oleh Usman pada 1280 adalah salah satu kekhalifahan yang cukup disegani, baik di dunia Islam maupun oleh Barat, terutama dari segi kemiliteran. Apalagi setelah Konstantinopel berhasil direbut dari Byzantium, dan diubah nama menjadi Istanbul, Barat bertambah waspada. Akan tetapi akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Ustmaniyah mulai tidak menunjukkan taringnya lagi dan lemah setelah beberapa wilayahnya di Balkan memberontak dan melepaskan diri. Sampai-sampai kekhalifahan ini pun diberi julukan pesakitan dari Eropa.

Dengan keragaman yang dimiliki, praktis membuat Kekhalifahan Ustmaniyah mengalami banyak permasalahan, seperti memberontaknya orang-orang Armenia dan Arab. Belum lagi Ustmaniyah juga rentan akan serangan Rusia dan negara-negara Barat yang menginginkan wilayah Kekhalifahan ini di Laut Hitam, Kauskasus, Anatolia, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Keadaan ini mau tidak mau melahirkan reformasi di Ustmaniyah pada 1908, dengan dipimpin oleh Turki Muda yang membatasi kekuasaan sultan. Turki Mudalah yang membawa Ustmaniyah memasuki peperangan yang pada akhirnya malah membawa kesengsaraan. Selepas Perang Dunia I, Ustmaniyah yang kalah harus merelakan wilayahnya lepas dan dibagi-bagi oleh pihak pemenang, Inggris dan Prancis. Hal inilah yang terjadi di wilayah Ustmaniyah di Timur Tengah, yang membentang dari Suriah hingga Yaman. Berawal dari Revolusi Arab yang digelorakan oleh pemimpin Mekkah, Sharif Husain, terhadap pemerintahan Ustmaniyah akibat Turkifikasi, Arab pun akhirnya berhasil merdeka dari Ustmaniyah dengan bantuan persenjataan dari Inggris. Akan tetapi selepas kemerdekaan itu melalui perjanjian damai di Versailles pada 1919, kontradiksi mulai terlihat. Beberapa wilayah yang disepakati murni untuk Arab diserobot Inggris dan Prancis. Dua negara ini pun melanggar perjanjian yang dibuat dengan Faisal sebagai perwakilan Arab. Akibatnya, Timur Tengah pun ibarat keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya.

Timur Tengah pasca Perang Dunia I juga harus menyaksikan ketika Palestina yang sebelumnya damai mulai terusik dengan kedatangan imigran Yahudi dari AS dan Eropa yang hendak menegakkan zionisme. Ini berawal dari Deklarasi Balfour pada 1917 yang salah satu poinnya mengizinkan pendirian negara Yahudi di Palestina oleh Inggris. Akibatnya, bisa ditebak. Selepas Inggris hengkang dari Palestina pasca Perang Dunia Kedua, timbullah konflik antara negara-negara Arab (Palestina) dan Israel, negara Yahudi yang didirikan pada 1948. Konflik itu berlanjut hingga sekarang meskipun sudah beberapa kali dihasilkan resolusi untuk kedua pihak. Selain konflik Palestina-Israel, konflik-konflik lain bermunculan di wilayah Timur Tengah lainnya seperti Perang Sipil Lebanon, Perang Irak, Perang Suriah, Perang Yaman, Perang Teluk, dan Arab Spring, dan belakangan ISIS.

Konflik-konflik yang lahir itu ditengarai beberapa pihak akibat sukuisme yang masih kuat dalam orang-orang Arab, ditambah dengan pragmatisme orang-orang Arab, terutama Badui dalam melihat kekuatan yang pantas didukung kala terjadi konflik, serta perbedaan sektarian. Inilah yang menyebabkan mengapa konflik-konflik di Timur Tengah tidak pernah bisa terselesaikan meskipun yang berkonflik itu satu iman. Adapun selepas Ustmaniyah tidak lagi menguasai wilayah itu, belum terlihat lagi kekuatan yang bisa meredakan konflik. Memang pernah muncul beberapa pemimpin yang ingin mempersatukan Arab seperti Gamal Abdul Nasser Saddam Hussein, dan Muammar Ghadaffi. Tetapi kemunculan mereka malah ditanggapi dengan keegoisan suku sehingga Arab tidak bisa bersatu. Bahkan pendirian Liga Arab pada 1945 juga tidak bisa mempersatukan orang-orang Arab hingga sekarang. Di masa Ustmaniyah boleh dibilang Timur Tengah dalam keadaan aman. Konflik yang ada bisa diredam dengan cepat seperti pemberontakan kaum Wahhabi yang ingin mendirikan negara Saudi.

Inilah yang sepertinya menjadi benang merah dalam buku yang ditulis oleh Eugene Rogan ini. Dengan gaya bertutur naratif, sejarawan kontemporer Inggris ini berhasil mengungkapkan peristiwa yang terjadi di masa lalu dan masa sekarang di Timur Tengah. Tanah kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Islam itu memang selalu bergejolak. Gejolak itu diperparah dengan masuknya pihak-pihak luar seperti AS, Eropa, dan Rusia, yang hanya mengincar sumber daya yang dimiliki kawasan itu, minyak, demi kelangsungan hidup mereka. Karena itu, tak mengherankan apabila AS begitu bernafsu menguasai Irak hanya karena minyak lantas menyebar isu senjata pemusnah massal atau Rusia yang begitu getol membela Bashar Al-Assad demi kepentingan strategis semata. Jadilah Timur Tengah kawasan yang dikoyak-koyak tak beraturan. Belum lagi konflik itu sekali lagi karena sukuisme dan sektarianisme malah membuat orang-orang di dalamnya saling berperang.

Rogan sepertinya dalam buku ini ingin mengatakan bahwa Revolusi Arab adalah revolusi yang terburu-buru dikobarkan untuk melepaskan diri dari Ustmaniyah. Apalagi, revolusi itu disusupi pihak asing yang memberikan janji politis namun akhirnya malah diingkari setelah semua tercapai sehingga memunculkan penderitaan baru yang harus dialami oleh para penerus yang mengobarkan revolusi itu. Padahal, pihak Ustmaniyah sudah akan memberikan otonomi penuh kepada bangsa Arab jika terus berada dalam lingkungan Kekhalifahan. Apalagi pihak Ustmaniyah mati-matian mempertahankan wilayah Arab seperti dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah, agar tidak jatuh ke pihak asing yang tidak seiman. Tetapi seperti sifat bangsa Arab yang pragmatis, hal itu tidak berlaku meskipun yang memberikan adalah saudara seiman.

Minggu, 07 Februari 2016

Perlawanan Terakhir Sang Maestro


Siapa yang tidak mengenal Marah Rusli? Sastrawan Indonesia asal Minangkabau yang tersohor melalui sebuah roman percintaan Sitti Nurbaya. Sebuah roman yang menjadi peletak dasar kesusasteraan Indonesia modern sekaligus melahirkan roman-roman Balai Pustaka atau Pujangga Baru di masa-masa setelahnya. Juga roman yang menggegerkan karena berupaya melawan adat suatu suku yang dianggap ketinggalan zaman, dan tidak memberi kebebasan serta tidak memihak kepada manusia di dalamnya. Sitti Nurbaya pun menjadi bacaan wajib di sekolah hingga sekarang. Ia juga digunakan untuk melihat konteks emansipasi di masa lalu, kini, dan yang akan datang.
Kini, berpuluh-puluh tahun setelah kematiannya, Marah Rusli telah kembali. Bukan melalui karya-karya yang direproduksi semacam Sitti Nurbaya atau Anak dan Kemenakan. Melainkan melalui sebuah karya yang baru diterbitkan pada 2013 oleh Qanita Mizan setelah lebih dari lima puluh tahun disimpan rapat-rapat, Memang Jodoh. Ya, karya anyar Marah Rusli ini merupakan karya terakhir sang sastrawan. Namun tidak diterbitkan karena situasi dan kondisi yang dihadapi sang penulis. Memang Jodoh yang ditulis pada medio 1950-an, berpuluh tahun setelah Sitti Nurbaya yang dianggap fenomenal sesungguhnya adalah sebuah karya berbentuk semi autobiografi. Di dalam karya ini tersirat kehidupan sang penulis dalam menghadapi cobaan dan rintangan hidup hanya karena lebih memilih pernikahan beda suku, bukan dengan sesama suku, karena alasan adat yang dianggap membelenggu.

Memang Jodoh berkisah mengenai seorang pemuda asal Bukittinggi bernama Hamli. Ia adalah anak seorang bangsawan terkemuka di daerahnya. Gelar bangsawannya adalah Marah. Seperti kebiasaan orang-orang Minangkabau yang suka merantau mencari penghidupan, dan itu karena tuntutan adat, Hamli pun disekolahkan oleh ayahnya, Sultan Bendahara, ke Bogor, tepatnya di sebuah sekolah pertanian. Ayahnya berharap ketika lulus Hamli dapat pulang ke Minangkabau kemudian menikah dengan gadis Minangkabau yang sudah ditentukan oleh kalangan adatnya. Hal inilah yang tidak disukai Hamli. Ia pun lebih suka merenung, menyendiri, dan berceracau. Hal yang demikian membuat neneknya, Khatijah, yang ikut dengannya, risau dan khawatir. Ia lantas mengungkapkan semua hal itu kepada kerabatnya di Bandung. Disarankan agar Hamli mencari pasangan yang berasal dari Tanah Parahyangan atau atas keinginannya sendiri. Ketika dalam proses seperti itu, tanpa sengaja bertemulah Hamli dengan Din Wati, seorang gadis Sunda berdarah bangsawan. Hamli pun terpikat oleh gadis itu. Begitu juga Din Wati. Keduanya lantas menjalin hubungan percintaan. Namun di sinilah masalah muncul. Baik orangtua Hamli maupun orangtua Din Wati tidak menyetujui. Alasannya, darah biru dan masalah kesukuan. Baik pihak Hamli maupun Din Wati lebih menyukai perkawinan sesama suku dan kasta dengan alasan untuk melestarikan warisan nenek moyang.

Hamli yang berpendidikan Barat jelas tidak menyetujui cara pandang bahwa pernikahan harus ditentukan oleh adat, tetapi harus oleh yang bersangkutan. Dari sinilah Hamli banyak mendapat pertentangan yang berakibat ia putus hubungan dengan sukunya lantas dibuang, dan tidak dianggap sebagai bagian dari klan. Namun ia sendiri, walau sedih, tidak merasa pusing sebab ia merasa bahwa apa yang diputuskannya harus dipertahankan bulat-bulat, dan ia bisa mempertanggungjawabkan keputusannya itu.
Memang Jodoh sebagai sebuah semi autobiografi Marah Rusli terlihat ingin menunjukkan, kalau dipandang dalam eksitensialisme, bahwa manusia harus bisa menentukan dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, baik dalam tingkah laku maupun perbuatan. Hamli sebagai tokoh utama yang menentang pemikiran kolot sebenarnya juga ingin mengatakan bahwa pernikahan yang diatur oleh adat tidak akan membawa kebahagiaan di dalamnya sebab ada campur tangan dari luar. Akibatnya, pernikahan itu hanyalah sesuatu yang semu, yang diadakan karena keinginan kelompok-kelompok tertentu atas nama adat. Kelompok-kelompok ini, atas nama adat, bertindak pragmatis dan lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri. Di dalamnya ada orang-orang yang mengincar harta, uang, dan tahta. Namun untuk implementasinya harus mengorbankan generasi di bawah mereka. Dan selanjutnya seperti itu sehingga terjadi “balas dendam”.

Jika dikaitkan dengan Sitti Nurbaya, secara historis Memang Jodoh adalah semacam prekuel tidak langsung. Sitti Nurbaya yang melambungkan nama Marah Rusli merupakan roman yang sebenarnya berdasarkan pengalaman hidup Marah Rusli ketika hendak dinikahkan paksa oleh kaumnya dengan sesama suku Minangkabau. Namun pernikahan itu bukan karena dasar cinta, melainkan demi prestis yang ingin dicapai kaumnya. Dari Sitti Nurbaya-lah, Marah Rusli terbesit ingin menuliskan pengalaman hidupnya dalam Memang Jodoh. Hal ini supaya diketahui generasi selanjutnya bahwa pernikahan paksa itu tidak baik. Semua peristiwa, tokoh, dan tempat kejadian sebenarnya sama dengan dialami penulis. Namun, disamarkan. Semata-mata si penulis tetap ingin menjaga kehormatan kaumnya. Memang Jodoh diterbitkan terlambat setelah kematiannya juga karena ingin menjaga perasaan kaumnya yang masih tidak menerima tindakan Marah Rusli melawan adat. Ketika dituliskan, perasaan kuat kesukuan masih terasa sehingga Memang Jodoh urung diterbitkan.

Meskipun begitu, dalam konteks Republik Indonesia, perasaan kesukuan masih kuat terasa terutama dalam pernikahan. Masih banyak yang ingin pernikahan sesama suku, bukan beda suku. Alasan utama, jelas, prasangka negatif atas suku-suku tertentu sehingga menimbulkan kesan subjektif yang mengakar ke generasi-generasi berikutnya. Kesan subjektif seperti itu memang suatu hal yang tidak bisa dihindari dalam lingkup heteregonisme Indonesia. Ya, bisa disimpulkan Memang Jodoh, walaupun ditulis pada dekade 50-an, tetap menjadi sesuatu yang relevan dalam konteks kekinian. Apalagi jika dikaitkan dalam konteks kebhninekaan dan agama. Selain prasangka negatif, juga suksesi atau kelangsungan hidup dalam dunia bisnis juga berperan.

Seperti halnya novel-novel Marah Rusli yang lain atau novel-novel Pujangga Baru, akan ditemukan gaya bahasa yang kaku namun masih dapat dimengerti. Selain itu, ciri khas Marah Rusli ialah selalu menyisipkan pantun dan gaya tutur yang panjang, yang bisa mencapai 3-4 halaman. Ditengarai gaya tutur itu berasal dari gaya bahasa lisan tradisional Minangkabau yang kerap didengar sang penulis di masa kecilnya. Bagi pembaca yang lebih menyukai gaya tutur pendek dan to the point, bernapas pendek, atau kekinian, bersiaplah merasakan kebosanan dalam membaca novel setebal 536 halaman ini.

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran