Pages

Rabu, 04 Januari 2017

Letnan Kolonel Safaruddin

Semua berawal dari pedalaman dekat Timika, Papua. Belantara yang tadinya hening dan senyap seketika berubah menjadi ramai oleh riuh desang-desing peluru. Menyasar tubuh-tubuh yang berlindung di balik pepohonan besar dan semak-semak belukar lebat. Tak kena. Hanya satu berhasil menembus. Itu pun cuma di bagian lengan. Dan dia yang terkena diselamatkan rekan-rekannya, bermuka hitam, berwajah Melanesia. Khas orang Papua. Selagi diselamatkan, salah satu rekannya menembak untuk memberikan perlindungan ke arah lawan, para tentara yang dilengkapi helm, kacamata tempur, rompi anti-peluru, serta senapan serbu buatan dalam negeri yang cukup menjanjikan, dan bahkan bisa mengalahkan M-16 dan Uzi, SS1. Tentu keadaan ini berbeda dari lawan mereka di hadapan yang melepaskan timah-timah panas dari balik pepohonan dan tanaman-tanaman hutan. Mereka yang oleh para tentara itu diidentifikasi sebagai kelompok separatis pengacau keamanan hanya bermodalkan AK-47, senjata legendaris dari Uni Soviet untuk membalas.
Hasil gambar untuk prajurit bayangan
pixabay
Ya, tembak-menembak antara separatis dan tentara terjadi akibat kelompok separatis yang dipimpin Josef Maower, tiba-tiba meneror dan memburu para pekerja Freeport di Timika. Mereka membunuh para pekerja itu yang dianggap bekerja untuk kepentingan penjajah, Indonesia dan Amerika Serikat. Bahkan, para pekerja yang asli Papua pun mereka bantai karena dianggap sebagai pengkhianat. Tentu saja kejadian di Timika ini membuat gempar semua orang, termasuk Presiden Imran Salampessy, Presiden kedua dalam sejarah Indonesia yang berasal dari Indonesia Timur setelah B.J. Habibie. Sama seperti Habibie, ia juga punya darah Jawa dari sang ibu. Suatu hal yang tetap dapat membuatnya terpilih sebagai Presiden.

Sang Presiden, yang sebelumnya merupakan perwira di Angkatan Udara dengan pangkat marsekal madya, dan penerbang Sukhoi-30 ketika menjabat kapten, segera memerintahkan TNI-Polri melancarkan operasi militer gabungan memburu dan kalau bisa menghabisi kelompok separatis itu sampai ke akar-akarnya. Lagi pula Josef Maower memang buronan nomor satu pemerintah. Aksi-aksinya kerap meresahkan warga, terutama di Timika. Presiden Imran sepertinya geram dengan tingkah laku orang ini yang licin bak belut kala akan ditangkap. Ia meminta setiap angkatan di TNI dan Polri menerjunkan pasukan-pasukan khusus yang dilatih untuk membasmi dan menangkap separatis dan teroris.

Dan, beberapa jam setelahnya, setelah teror terjadi, dengan cepat pasukan-pasukan khusus yang terdiri dari Kopassus, Kopaska, Paskhas, dan Brimob, diterjunkan ke belantara Papua yang terlihat perawan dari atas Hercules. Sedangkan pasukan yang lain diterjunkan ke Timika untuk bergerak dan bergabung dengan rekan-rekan mereka yang telah mendarat di hutan. Situasi ini mengingatkan akan Operasi Trikora pada dekade awal 1960-an. Para tentara dan polisi itu diterjunkan sebagai unit lintas udara ke hutan-hutan Papua untuk penyusupan demi membebaskan Papua dari Belanda. Hanya saja musuh yang dihadapi bukan lagi Belanda, melainkan kelompok separatis yang menginginkan Papua merdeka dari Indonesia.

Pertempuran sengit kedua kubu berlangsung sengit. Kelompok separatis, meski hanya berjumlah 20 orang, ternyata amat sulit ditaklukkan oleh para tentara yang berjumlah 5 peleton alias ratusan personel. Keadaan alam memang cukup membantu kelompok separatis itu. Mereka mengenal lebih dalam seluk-beluk. Padahal dalam peleton itu ada anak asli Papua, Prajurit Dua Robertus Wanggai. Ia ini yang sering dimintai saran oleh komandannya, Letnan Dua Andri Syuhada. Bahkan ia diminta untuk memimpin 5-10 rekan-rekannya maju ke pusat gerakan separatis yang konon, melalui pengamatan drone, berada di tengah-tengah bukit lapang, yang di semua sisi dibatasi oleh hutan-hutan lebat. Markas itu berupa rumah rumbai, rumah khas Papua, dengan tanah lapang untuk melatih para anggota.


Akan tetapi, bukan tentara namanya, apalagi tentara Indonesia kalau tidak bisa menaklukkan belantara. Bukannya dahulu tentara Indonesia adalah para gerilyawan yang melawan kekuatan-kekuatan asing seperti Inggris dan Belanda? Seharusnya sikap dasar itu tetap melekat. Apalagi tentara Indonesia punya sosok bernama Abdul Haris Nasution yang menulis tentang perang gerilya dan dijadikan rujukan tentara di seluruh dunia, termasuk di Amerika. Namun, yang sukses mengejawantahkan itu adalah Vietnam dalam perang melawan Amerika. Jikalau begitu, mengapa untuk kelompok separatis yang mengandalkan taktik gerilya saja tidak bisa?

"Ingat, kita semua dahulu adalah gerilyawan," kata kepala pimpinan operasi gabungan, Jenderal Musa Heryawan kepada para pimpinan pasukan khusus saat briefing sebelum keberangkatan di Jakarta. Jenderal Musa adalah lulusan terbaik Akmil di Magelang. Seorang yang cukup ambisius dan selalu mengingatkan pentingnya akar sejarah TNI sebagai tentara rakyat yang siap bergerilya dan menyusup ke dalam masyarakat jikalau ada peperangan. Ada yang mengatakan ia ambisius karena berupaya ingin menjadi Presiden dalam pemilu mendatang. Namun, ia menepis itu bahwa sifatnya itu karena sudah turunan.
"Sebab, kita dahulu adalah gerilyawan. Buat musuh seolah-olah mereka sedang menghadapi gerilyawan. Tanamkan ruh Jenderal Soedirman di diri kalian masing-masing. Ini bukan operasi biasa. Ini operasi untuk menghancurkan musuh negara yang berupaya merusak NKRI. Paham!" begitulah Jenderal Musa selalu berkata dengan nada tegas dan ambisius di tiap mengadakan briefing. Ada yang menyukainya. Ada juga yang tidak. Seperti Kolonel Laut Ivan Guntur dari Kopaska. Ia jujur tidak menyukai keambisiusan Jenderal Musa. Ia mencium gelagat politik jenderal kepala botak ini yang sepertinya mengincar kursi RI-1. Makanya, ada semacam kebanggaan untuk bisa menyukseskan operasi sebagai langkah awal ke Istana.
"Ini sudah tidak murni lagi untuk NKRI," ujarnya berkomentar dalam hati sambil memandang tajam si jenderal, "Mirip MacArthur saja," Ya, Kolonel Ivan membayangkan bahwa Jenderal Musa mirip dengan Douglas MacArthur, Jenderal Amerika yang populer pada masa Perang Dunia Kedua dan Perang Korea. Kepopuleran itu ternyata sebagai bahan kampanye sang jenderal untuk menuju Gedung Putih. Namun, kenyataannya tidak berhasil.

Memang, tentara Indonesia berembrio dari gerilyawan. Dan, semangat itulah yang dibawa-bawa kala menghadapi separatis. Perlahan tapi pasti perlawanan separatis berhasil dipadamkan. Mendekati malam, para tentara dan polisi berhasil mendekati pusat gerakan. Disinyalir di markas itu 50 orang lebih bersiaga menunggu kehadiran para aparat. Jenderal Musa sebagai pimpinan dari balik meja menginginkan pengepungan dari segala arah supaya para separatis terisolasi. Permintaan yang sulit mengingat rimba Papua lebih ganas daripada Aceh dan Kalimantan. Ini yang dikeluhkan salah satu perwira lapangan dari Kopassus, Kolonel Bintang Timur.
"Pak, untuk pengepungan saya rasa sulit, Pak," kata Kolonel Bintang mengungkapkan rasa tidak setujunya terhadap permintaan Jenderal Musa, "Medan di sini berbukit curam tajam. Bahkan, anak buah saya melaporkan melalui pengamatan dari drone, ada jurang di depan. Tentunya ini berbahaya bagi semua pasukan,"
"Sulit? Kamu bilang itu sulit?" Jenderal Musa dengan nada tidak terima mulai berkata pedas kepada anak buahnya itu, "Heh, kamu itu tentara, Bintang! Segitu saja kamu bilang sulit! Rasanya kamu tidak pantas mengenakan baret merah. Baret merah itu untuk jiwa liar dan pemberani. Bukan penakut seperti kamu!"
Kolonel Bintang jelas saja terkejut dengan pernyataan Jenderal Musa yang seperti menusuk hati. Ia dalam hati benar-benar tidak terima apalagi ia berasal dari keluarga prajurit. Kakeknya seorang bekas Peta yang kemudian menjadi tentara di Divisi Siliwangi. Ayahnya seorang perwira menengah di Angkatan Laut berpangkat mayor, dan sudah pensiun. Kakak dan adiknya perwira polisi dan Angkatan Udara. Ia benar-benar tidak terima kala dikatakan penakut oleh seorang jenderal yang hanya berlatar belakang keluarga petani miskin.

"Maaf, Pak," kata Kolonel Bintang berupaya membalas dengan nada sabar dan tidak emosi, "Bukannya saya penakut. Tapi, situasi di medan tidak memungkinkan untuk kita melakukan pengepungan dari segala penjuru. Saya sudah diskusikan dengan para perwira dari angkatan lain dan kepolisian. Mereka juga mengatakan hal yang sama, Pak. Bahkan lihat polisi saja yang sering berurusan dengan separatis berkata seperti itu,"

"Saya tidak peduli, Bintang!" kata Jenderal Musa menaik emosinya, "Saya inginkan pengepungan. Kamu itu kan anak buah saya? Harusnya kamu patuh! Kamu mau melawan? Kamu mau saya copot jabatan kamu, heh? Keluar dari Baret Merah dan cuma menjadi instruktur saja, hah?"

Mendengar ancaman yang demikian, Kolonel Bintang terdiam dan bingung. Ia terjebak dalam dilema. Di satu sisi ia tak mau kebanggaannya posisinya sebagai perwira Kopassus dicopot begitu saja hanya karena tidak mematuhi perintah. Namun, di sisi lain ia harus mengorbankan banyak anak buahnya. Pada akhirnya ia menuruti keinginan atasannya dengan berat hati. Ia lalu mengutarakan hasil pembicaraan dengan Jenderal Musa kepada para perwira lapangan lainnya. Ya, mereka mau tidak mau menyetujui. Kemudian mengumumkannya ke anak buah masing-masing.

Dan pengepungan pun dimulai.


Sebuah pengepungan yang tidak biasa. Harus berhati-hati. Apalagi keadaan sudah gelap. Lampu dan kacamata riben anti-gelap serta inframerah digunakan untuk membantu penglihatan plus bantuan satelit melalui laptop untuk memindai posisi musuh. Semua harus senyap dan bergerak bagai hantu.

Dar-der-dor

Tembak-menembak kembali terjadi. Mereka yang berada di pusat gerakan terkejut kala dihujani tembakan beruntun dan roboh satu per satu. Yang selamat segera mengokang senapannya dan membalas. Bahkan ada yang berlari mencari perlindungan lalu menembakkan peluru dari situ. Salah satu tentara kemudian melempar granat. Dan teranglah suasana markas oleh ledakan. Josef Maower yang tertidur segera terbangun. Mendapati markasnya setengah hancur dan dalam suasana tempur. Ia segera mengambil senapannya lalu menembakkan ke para penyerbu. Satu tentara terkena bahunya dan meringis kesakitan. Teman di sampingnya segera menolong sembari mengambil obat-obatan penenang dan pengoles luka. Sedangkan yang lain melindungi sambil menembak.

Kini posisi musuh benar-benar terkepung. Dari 50 lebih hanya tersisa Maower dan 10 pengikutnya. Mereka tetap mengadakan perlawanan dengan membabi buta. Menembakkan peluru ke sana-sini. Mengenai para tentara walau tak sampai tewas. Para komandan peleton menyuruh anak buahnya tetap tenang dan jangan terpancing emosi sembari perlahan mendekati Maower. Para perwira lapangan meminta perlunya negosiasi dengan musuh sebagai soft power. Namun sepertinya itu hal yang sulit. Maower dan para pengikutnya tetap mengadakan perlawanan. Sepertinya peluru mereka tidak ada habis-habisnya. Menjelang larut malam keadaan masih tegang. Sepertinya jika dibiarkan bisa sampai pagi. Padahal, permintaan Jenderal Musa adalah sebelum fajar. Melihat kondisi demikian sepertinya tidak mungkin.

Namun, dalam kondisi seperti itu tiba-tiba muncullah seseorang yang menawarkan diri untuk menghabisi pemberontak satu per satu.
"Kamu siapa?" tanya Letnan Dua Andri Syuhada terhadap sosok itu. Ia lalu mengarah ke depan. Membuat semua heran termasuk juga Kolonel Bintang,
"Hei, kamu siapa? Jangan gegabah!" begitu Kolonel Bintang bertanya dan memperingatkan.
"Anda tidak perlu tahu saya siapa," jawab sosok itu tegas yang membuat Kolonel Bintang terkejut dan terdiam tetapi tak sengaja matanya melihat bunga dua di lencananya beserta nama di rompi anti-peluru: Safaruddin.
"Letnan Kolonel. Safaruddin," ujar Kolonel Bintang dalam hati. Ia lantas bertanya-tanya dari mana asal orang ini. Ia merasa tak punya anak buah bernama Safaruddin dengan pangkat kolonel. Apa dari angkatan lain?

Letnan Kolonel Safaruddin segera bergerak laju dan cepat ke arah tembakan tanpa kenal takut. Ia serbu para pemberontak dengan senapan. Satu per satu pun tersungkur. Begitu juga Maower yang terkejut ditusuk dengan pisau setelah senjatanya berhasil dirampas. Suasana pun berubah sepi. Kolonel Bintang yang melihat situasi itu segera meminta anak buahnya bergerak perlahan. Melalui radio ia juga meminta para perwira lapangan lainnya menggerakkan anak buahnya ke markas pemberontak. Mereka semua mendekat dan mendapati Maower beserta pengikutnya telah tewas. Tetapi di manakah sosok itu yang diingat Kolonel Bintang sebagai Letnan Kolonel Safaruddin? Ia mencari-cari sosok itu dan bertanya kepada perwira lapangan lain dari AL, AU, dan Polri. Tetapi mereka malah heran dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan Kolonel Bintang.
"Sudahlah, Kolonel," Kata Kolonel Udara Rudi Frans, "Sepertinya Kolonel sudah capek. Bisa jadi itu fatamorgana,"
"Ah, iya kau benar juga Kolonel Rudi," kata Kolonel Bintang mengiyakan.
"Mari kita istirahat habis ini, Kolonel," kata Ivan Guntur menimpali, "Melepaskan lelah dari keinginan ambisius si botak,"
"Ya, benar, Kolonel Ivan," kata Kolonel Bintang menjawab, "Jujur, saya sudah muak dengan tingkahnya. Benar-benar keras kepala,"
"Itu benar, Kolonel," kata Ajun Komisaris Besar Ridwan Samosir, "Miriplah dia dengan Jenderal Wawan, atasan saya yang dulu. Sepertinya mereka cocok disandingkan bak Romeo dan Juliet,"
Keempat perwira menengah itu tertawa-tawa. Anak buah mereka mengikuti. Tawa untuk melepas ketegangan karena akhirnya bisa menyelesaikan operasi dengan Maower tewas.


Beberapa hari setelah operasi, kegemparan pun terjadi lagi. Kali ini bukan karena aksi separatis merajalela kembali. Melainkan karena sosok Letnan Kolonel Safaruddin yang terungkap dari bibir Kolonel Bintang ketika diwawancarai awak media massa. Sosok itu juga yang mengherankan Presiden Imran dan Jenderal Musa. Apalagi sosok yang bersangkutan itu tidak ada di dalam angkatan mana pun. Bahkan di kepolisian. Sebab, sosok inilah yang membunuh Josef Maower. Segera kegemparan itu merebak. Berupaya mencari sosok Letnan Kolonel Safaruddin. Pusat Sejarah TNI pun segera dimintai tolong untuk melacak sosok itu. Media-media massa menjadikannya berita untuk mengerek keuntungan belaka. Mereka pun juga bereferensi dari Pusat Sejarah TNI. Kolonel Bintang pun sekejap menjadi bintang karena beberapa kali diundang oleh televisi dan radio karena keberhasilannya membunuh Josep Maower sehingga dipastikan separatisme di Papua usai. Josef Maower adalah pimpinan terakhir kelompok itu. Jenderal Musa pun cemburu. Ia yang ingin diundang dan diwawancarai demi ambisi menjadi RI-1.

Setelah menelisik dan menelusuri, Pusat Sejarah TNI akhirnya dalam konferensi pers mengumumkan bahwa Letnan Kolonel Safaruddin yang bernama panjang Safaruddin Basari adalah seorang tentara yang pernah berjuang di Pertempuran 10 November melawan Inggris dan melawan Belanda dalam Agresi Militer Pertama tahun 1947. Dan di Agresi Militer itulah, ia diketahui tewas terkena meriam Belanda saat memimpin pasukannya bertempur menyerbu tangsi Belanda di Purworejo. Untuk meyakinkan diperlihatkan foto sang letnan kolonel. Pertama, foto tahun 1945, tanpa kumis. Kemudian, foto tahun 1947, dengan kumis. Foto itu merupakan hasil pindaian dan bantuan grafis komputer. Ketika melihat foto itu, Kolonel Bintang terkejut. Sebab, foto itu mirip dengan sosok yang ia lihat ketika operasi di Papua. Hanya saja, sosok yang ia lihat memakai helm berkacamata. Sedangkan, di foto hanya memakai topi. Kembalilah ia bertanya-tanya siapakah sosok ini yang sepertinya misterius, muncul sekejap, dan menghilang bagai hantu? Apakah ini malaikat atau sosok lintas waktu? Bingung juga Kolonel Bintang memikirkannya. Ia kemudian bergumam, ah sudahlah yang penting Maower sudah tewas. Capek juga saya meladeni separatis satu itu.

Ketika Pusat Sejarah TNI telah mengumumkan hasilnya ke publik, dan disiarkan ke media massa, muncul beberapa klaim yang menyatakan pernah melihat sosok Letnan Kolonel Safaruddin. Ada yang pernah melihat ia pada saat operasi menumpas DI/TII, PRRI/Permesta, Andi Azis, terjun di Operasi Trikora dan Dwikora, menghabisi kaum komunis pada 1965, bertempur di Operasi Seroja, dan terakhir di Aceh pada 2003. Tentu saja yang berkata demikian adalah para veteran. Mereka mengatakan bahwa sosok yang mereka lihat sama seperti foto dan yang dilihat Kolonel Bintang. Muncul tiba-tiba dan menghilang sekejap begitu tembak-menembak usai. Klaim-klaim itu jelas ada yang menyangsikan. Namun ada juga yang tidak. Malah menambah kesemarakan sekaligus kunci untuk mengetahui sosok misterius ini.

Berita tentang Letnan Kolonel Safaruddin pada akhirnya menjadi konsumsi publik selama berminggu-minggu. Berita ini bahkan mengalahkan berita-berita artis dan politik. Sampai-sampai rakyat kalangan bawah bergumam,
"Heran ya memang siapa sih itu Letnan Kolonel Safaruddin? Kok orang jadi rame begini?" begitu pertanyaan salah satu warga yang suka mangkal di pangkalan ojek.
"Iya, gue juga nggak ngerti. Nggak tau juga siapa dia. Bukan urusan gue lah. Yang penting kita mah dapat makan," sahut warga yang lain.
"Dia itu ya manusia lintas sejarah soalnya muncul di banyak pertempuran," kata warga lainnya lagi sembari melihat hape.
"Ah, peduli amat dah. Yang penting gue bisa makan. Kasih uang ke bini. Biayain anak,"
"Ya, iya lo bisa makan. Tapi jangan masa bodoh gitu dong. Negara lo diserang, keluarga lo kena, lo juga gitu,"
"Ya, itu mah beda,"
"Nah, makanya sesekali tahulah beginian. Nih, kan lumayan jadi berita. Daripada berita korupsi sama wakil rakyat mulu. Bosan,"

Begitulah sosok sang prajurit misterius itu yang jadi buah bibir selama berminggu-minggu itu. Akan tetapi setelah itu pemberitaannya memudar lalu menghilang. Jalur pemberitaan kembali ke sediakala. Sampai akhirnya sosok itu kembali menjadi pemberitaan ketika seorang perwira lapangan dari Brimob melihatnya dan berkata kepadanya,
"Kamu tidak perlu tahu siapa saya. Yang jelas saya akan menyertai kalian yang berkorban demi NKRI,"
Itu terjadi pada saat operasi penyergapan teroris di hutan-hutan Poso. Dan, kata perwira kepolisian itu, para teroris dihabisi oleh sosok itu dengan sekejap. Kembali pemerintah segera harus membuat penelusuran dan penelitian mengenai Letnan Kolonel Safaruddin, si prajurit misterius.



 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran