"Bagaimana kabarnya di sana? Katanya dingin ya?" Begitulah tanya seseorang kepadaku dengan akrab dan hangat. Aku pandang dia yang bertanya padaku itu. Seorang perempuan muda sepertinya berumur 20-an. Wajahnya sedikit bundar dengan mata lebar, dan bola mata hitam. Hidungnya mancung dan bibir tipis. Semua terangkum dalam kulit sawo matang yang tampak selaras dengan rambut hitam panjang kemilau serta pakaiannya yang berwarna krem pada bagian atas dengan lengan panjang bermotif kembang dan celana chino putih gradasi krem serta sepatu kets putih pada kedua kakinya.
Aku yang ditanya oleh si wanita ini yang aku merasa antara kenal atau tidak, antara pernah bertemu atau tidak, tak langsung menjawab pertanyaan yang bagiku merupakan pertanyaan yang standar dan normatif terhadap seseorang yang sudah lama pergi jauh dari tempat tinggalnya tetapi kemudian kembali lagi untuk sekadar bernostalgia, bercengkrama dengan masa lalu.
Aku alihkan pandanganku ke yang ada di sekitarku. Aku pandangi langit-langit tinggi besar yang berwarna putih akan tetapi ada gradasi abu-abu yang kemudian gradasi itu berubah jadi abu-abu tulen ketika menurun ke bawah, dan terlihat di pinggiran jendela serta pintu. Perasaan dulu ini berwarna putih murni. Tidak ada gradasi. Kesannya sangat elegan. Aku merasa ada yang hilang saat melihatnya. Merasa itu bukanlah aku. Tercium bau cat yang sangat khas dari balik warna itu. Jangan-jangan ini baru dikuas.
Setelah memandang semua di sekitar, aku kembalikan pandanganku kepada perempuan muda yang aku masih samar akan dirinya. Aku berupaya menjawab dengan akrab meskipun aku merasa terpaksa sebab aku masih ragu siapa dia. Apa dia pernah ada dalam kehidupanku?
"Kabar saya baik," Aku menjawab agak segan dengan tatapan mata masih penasaran bahkan juga curiga tentang sosok di depanku ini. Aku jujur, antara kenal dan tidak sosok ini. Aku berupaya juga menyisipkan senyum sehingga tidak terkesan natural.
"Iya, memang dingin di sana," kataku melanjutkan jawabanku yang bernada keseganan itu, "Di sini saya masih merasakan kehangatan, angin masih berembus kencang dari lubang-lubang angin," kataku sembari mengarahkan kepala ke lubang-lubang angin besar berbentuk bulat. Kala melihatnya aku jadi teringat di masa silam, ada seekor laba-laba besar yang tiba-tiba muncul lalu turun. Aku dan adikku yang melihatnya lantas coba menangkap lalu memasukkannya ke toples.
"Ya, aku berupaya menjaga lubang angin itu tetap ada," kata si perempuan muda itu kemudian dengan mengarahkan pandangan ke lubang angin itu juga, "Sebab, aku melihat lubang angin itu yang dulu buat kamu dan keluarga menjadi keluarga yang selalu penuh kehangatan, yang selalu betah meskipun berulang kali banjir datang,"
Ucapannya itu lantas membuatku terbang ke masa lalu. Aku ingat memang di masa itu aku merasakan ada kehangatan luar biasa setiap harinya. Nada-nada gitar dan piano mengalun indah membentuk sebuah orkestrasi yang terasa indah dan syahdu saat didengarkan meski berulang kali. Canda tawa selalu ada meski mungkin ada konflik tetapi semua bisa diselesaikan dengan kekeluargaan. Semua itu terus ada dan tak tergerus meski banjir berulang kali menerjang.
"Apa sekarang masih banjir?" tanyaku setelah membayangkan itu yang membuatku lantas bertanya soal air luapan dari sungai tak jauh dari rumah yang sekarang aku ada.
"Sekarang ini sudah tidak ada lagi," kata si perempuan muda itu yang aku masih samar bahkan juga tak tahu namanya. Ia selalu menjawab dengan senyum yang terurai, "Kali sudah diberi saluran buangan ke kali lain lewat terowongan air. Jadi, kalau hujan tidak banjir,"
Dalam hati aku merasa lega meski aku juga masih sangsi. Sebab, yang aku alami kali dekat rumah itu alirannya tidak bisa diprediksi. Bisa saja ia tenang namun bisa saja ia sebaliknya. Tiba-tiba mengamuk tanpa ada gejala. Kalau sudah begitu, semua akan kelimpungan sana-sini.
"Kamu mau aku ajak keliling?" tanyanya dengan menawarkan suatu hal yang pasti akan dialami oleh orang yang kembali ke tempat asal setelah sekian lama berkelana, "Kan, sudah lama juga kamu pergi,"
Aku mengiyakan tawaran itu. Tawaran yang selalu saja ada kehangatan dan keakraban seperti kehangatan para tetanggaku kala kami meminta pertolongan atau saat mereka meminta yang sama. Tapi, aku masih samar, ragu siapakah dia yang ada di sampingku. Aku merasa tak mengenal dia tetapi dia seperti aku kenal.
Kami berdua lalu berjalan menyusuri dalam rumah ini, bangunan yang pernah jadi rumahku di masa silam, yang merupakan simbol kehangatan yang abadi. Aku entah kenapa yang sudah pergi dari rumah ini lama sekali ingin kembali. Aku merasakan ada semacam kerinduan dari ikatan yang telah lama terjalin di masa-masa itu. Kerinduan yang disertai panggilan itu yang membuatku ada di rumah ini tanpa terasa, dan saat sampai itu si perempuan muda itu menyapaku sembari berkomat-kamit.
Semuanya masih tampak sama. Itulah kesanku saat melihat rumah ini meski ada beberapa perubahan di mana. Perubahan yang sifatnya minor. Saat aku melihat ruangan besar tempat orang tuaku dulu tampaknya dia berubah menjadi ruang seorang pemimpin perusahaan. Di dalamnya ada meja besar lalu sebuah komputer layar datar dan televisi besar di dinding. Pada dinding atas ada AC, dan di tengah dinding itu, di belakang meja ada sebuah foto besar yang menangkap gambar si pemimpin dan keluarganya. Ruangan itu tampak kosong.
"Pak Bos sedang pergi rupanya," kata si perempuan muda ini yang menyadari atasannya sedang tidak ada sembari memegang gagang pintu ruangan yang dibuka lebar-lebar agar aku bisa melihatnya, "Padahal, kalau ada dia, kamu bisa ngobrol banyak soal rumah ini. Dia penasaran tentang sejarahnya,".
Aku hanya diam. Aku membatin, sejarah seperti apa yang ingin diketahui. Rasanya tak ada yang istimewa karena juga sejarah rumah ini tak seperti sejarah rumah gedongan yang selalu saja ada kisah-kisah heroisme dan penyiksaan. Ini cuma rumah biasa. Cuma ada kehangatan di dalamnya.
Kami lalu berjalan lagi. Tak jauh dari ruangan bekas kamar orang tuaku, kami tiba di sebuah ruangan yang aku langsung mengenalnya. Sangat mengenalnya. Ya, tak salah lagi ini kamarku. Aku yang dibukakan pintu langsung masuk, dan merasakan diri kerasukan oleh memori masa silam yang ada di kamar ini. Kamar itu tak banyak berubah. Dari struktur interiornya yang masih dengan langit-langit tinggi seperti kamar orang tuaku kemudian ada jendela besar untuk pencahayaan alami dari matahari serta lubang-lubang angin besar. Lantainya juga. Yang berubah hanyalah benda-benda di dalamnya. Aku merasa kamar ini terasa feminin. Catnya berwarna merah muda gradasi biru langit. Di situ ada banyak boneka yang tersimpan rapi dalam sebuah lemari kayu jati yang dipernis mengilat. Lalu ada sebuah meja dengan sebuah laptop yang tampak ditekuk layarnya serta sebuah foto. Aku lantas melihat foto itu. Aku terkejut ternyata itu foto perempuan muda yang kini bersamaku,
"Iya, ini ruanganku," katanya kemudian masih dengan senyum yang terukir. Sepertinya ia bisa membaca keheranan dan keterkejutanku atas hal-hal yang berubah di bekas kamarku, "Mohon maaf ya, kalau aku mengubah isi. Kan udah jadi ruanganku,"
Aku cuma bisa menjawab,
"Tidak apa-apa,"
Dalam hati agak lirih juga melihat kamarku yang sekarang sudah berubah kelamin. Ingatan-ingatanku akan kamar yang dahulu menjadi sumber inspirasiku serta mencoba memahami sesuatu yang bernama cinta seakan pudar. Aku merasa tak ada niat lagi untuk melihatnya lagi. Sebab, ia sudah jadi ruangan sang pemilik baru. Aku pasrah saja.
Keluar dari situ kami berdua lanjutkan lagi ke ruangan yang lain. Dalam hati aku berpikir tentu akan ada yang berubah lagi walaupun itu cuma isi. Jadi, aku tak ada niatan lagi untuk tahu. Ketika kami berjalan itu, aku tiba-tiba diperlihatkan sesosok melayang-layang di langit-langit. Aku lantas terkejut. Sosok itu melihatku dengan tajam menyeringai. Tampak ada raut tidak suka di wajahnya.
"Kenapa sekarang di sini ada dia?" tanyaku heran pada si perempuan muda itu. Ia yang ditanyai seperti itu sekali lagi menjawab dengan tersenyum. Ia tahu keherananku ini bukan keheranan yang biasa namun ada rasa tidak suka dalam keheranan itu,
"Itu karena kamu sudah tidak ada di sini lagi," katanya sembari mengarahkan pandangan ke sosok melayang itu yang sepertinya sudah hilang menembus tembok, "Jadi, wajar kan kalau dia ada di sini,"
Aku sebenarnya tidak puas dengan jawaban seperti itu. Apa hanya karena aku sudah tidak ada di rumah ini lagi lalu dia bisa seenak perut lalu-lalang melayang-layang keluar masuk. Aku tahu sosok yang melayang-layang itu. Di masa silam dia adalah salah satu tetanggaku yang selalu iri kepada aku dan keluargaku. Ia selalu membuat cerita-cerita murahan dan penuh kebohongan tentang keluargaku karena saking irinya. Tetapi, untung semua orang tidak mempercayainya karena mereka tahu keluargaku tidak seperti itu, dan selalu ringan tangan dalam berbagai keperluan warga. Dia yang iri itu kemudian meninggal karena kecelakaan. Sebenarnya, banyak yang tidak mau membantu mengurus keperluan meninggalnya karena sifatnya yang menyebalkan. Tetapi, keluargaku dengan sigap dan tidak berpikir apa-apa tetap membantu sampai ke liang lahat. Keluargaku punya prinsip tidak boleh ada ini-itu saat membantu orang yang berduka sekalipun ia orang yang sangat tidak disukai.
Aku yang tahu dia itu sebenarnya ingin mengejarnya dan membuat perhitungan. Aku ingin tanya alasannya melayang-layang tanpa permisi di bekas rumahku ini. Tapi, si perempuan muda ini lalu mencegahku. Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.
"Kamu kan ke sini untuk berkunjung bukan bertarung. Sudahlah," kali ini ia tanpa senyuman dan menyorot tajam ke arahku dengan suara yang pelan namun menekan. Aku yang melihatnya malah terhipnotis, dan akhirnya aku urungkan keinginan itu.
"Aku cuma ingin kamu berdamai aja," katanya lagi setelah itu kini ia kembali dengan senyuman. Aku tambah luluh. Aku berpikir ya buat apa harus mencari keributan lagi apalagi itu dari masa lalu, masa yang sudah selesai. Toh, tak ada gunanya ribut dengan sesuatu dari masa lalu karena masa lalu itu tidak bergerak. Lagipula aku cuma berupaya melampiaskan kerinduanku ini dengan hal-hal yang positif di bekas rumahku ini.
Ketika aku merenung itu, tiba-tiba datanglah seorang perempuan lain yang juga sama-sama muda namun dengan rambut pendek, muka cekung, mata sedikit sipit, dan berkulit kuning langsat. Ia tampak mengenakan kaos putih yang ditutupi dengan baju tanpa lengan berupa terusan rok panjang ke bawah berwarna kuning. Pada sepasang kakinya hanya tampak sandal hijau yang terpasang.
Siapa perempuan ini? Aku tidak mengenalnya, dan kali ini memang tidak mengenalnya tidak seperti perempuan muda sebelumnya yang membuatku terjebak dalam kesamaran. Ia kulihat tampak merasa janggal dengan tingkah perempuan muda yang sedari tadi menemaniku.
"Lo ngomong sama siapa sih, Win?" tanyanya dengan penuh keheranan. Dari situ aku tahu namanya. Win. Sepertinya nama penggalan dari panggilan, "Gue perhatiin dari tadi lo ngomong sendiri,"
Win yang ditanya itu sekali lagi hanya tersenyum mendengar lalu dengan santai menjawab, "Sama bekas pemilik rumah ini,"
"Budiarto Haryono?" ujar si temannya dengan cepat menanggapi sembari menyebut nama yang mengarah padaku. Aku lantas terkejut. Bagaimana bisa perempuan ini tahu namaku? "Bukannya dia udah meninggal?"
Aku yang mendengar kata "meninggal" langsung merasakan getaran pada tubuhku. Apa maksudnya meninggal? Aku merasa aku masih seperti manusia pada umumnya. Masih bisa berjalan normal, dan bahkan berbicara dengan si Win ini. Aku rasa temannya ini mengada-ngada. Juga ia rabun karena tidak bisa melihatmu.
"Ya, memang" kata Win setelah itu ia lalu menatapku. Aku yang mendengar kata "meninggal" itu lagi kini seperti ada busur panah mengarah ke jantungku dengan telak. Meninggal? Benarkah? Benarkah? Jika iya aku berarti sekarang ini adalah...roh.
"Kamu sekarang pulang ya. Tempatmu bukan di sini lagi," Ucapan Win yang terasa pelan mengusirku itu seperti halnya angin kencang yang menerpaku. Menerbangkanku dengan cepat. Aku seperti melihat ada lintasan kilat di sekelilingku di dalam sebuah lorong yang gelap. Semua berjalan begitu cepat lalu sebuah cahaya ada di depanku. Aku masuk ke dalamnya.
***
Matahari menerpa wajahku dengan kencang. Aku yang merasakannya langsung terbangun. Aku segera lindungi mukaku dengan tangan. Aku yang merasa terbaring di atas sebuah tanah dengan gundukan lalu duduk. Aku lihat sekelilingku. Semuanya kuburan dengan pohon kemboja di sana-sini serta pohon beringin. Aku terkejut, dan merasa diriku takut. Aku lalu lihat ke bawahku. Tersadar rupanya yang aku duduki adalah sebuah kuburan berwarna hijau pada nisan dan kijing. Dan, di nisan tertulis nama Budiarto Haryono beserta tanggal lahir dan wafat. Aku bergidik. Itu kan namaku. Jadi, aku sudah meninggal? Dan sudah jadi roh? Tapi, kenapa?
"Udah cukup nostalgianya?" Tiba-tiba ada suara di belakangku. Suara wanita, dan aku mengenalnya. Aku segera menoleh. Kulihat seorang wanita berambut panjang dan bermuka seram serta berbaju putih.
"Pergi kok lama banget sampai kamu lupa kamu itu harusnya di mana?" Ia lalu tertawa-tawa mengikik dan terbang ke pohon beringin. Aku yang dalam keadaan itu masih tampak bingung dengan hal yang baru saja terjadi. Jadi, aku ini sebenarnya adalah roh? Roh orang yang meninggal? Dan, rumah itu...