Angin malam bertiup begitu kencang. Menerbangkan debu, sampah, dan daun kering di jalanan tanpa permisi sama sekali kepada bulan yang ironisnya bersinar sangat terang dan keseluruhan. Tapi apa peduli orang pada situasi seperti ini ketika berbondong-bondong menaiki trem terakhir di Kramat ke Meester Cornelis. Mereka kebanyakan para pekerja yang baru saja menyelesaikan tugas hariannya hingga harus lembur.
Dan, secepat mungkin mereka ingin menaiki trem agar bisa lekas beristirahat untuk mengisi energi karena esoknya akan beraktivitas lagi hingga Jumat atau Sabtu atau malah Minggu, hal yang sangat tidak beruntung bagi mereka yang harus bekerja tanpa libur sama sekali serta hanya bisa menggerutu. Tak jauh dari Kramat tepatnya di kawasan Paseban di sebuah rumah sedang duduk dua orang dalam sebuah ruangan yang sengaja dibuat remang di antara kerlap kerlipnya penerangan rumah dan jalan sekitarnya meskipun hanya beberapa, dan ini masuk wilayah perkampungan sebagai batas antara orang Belanda di Menteng dengan pribumi di sekitarnya.
Irawan, demikian salah satu nama yang duduk itu tengah menikmati isapan rokok di mulutnya yang 1-2 kali diembus lalu menghilang terbawa angin. Hal yang sama dilakukan oleh Rudiman. Keduanya sudah berada di dalam rumah tersebut tepatnya rumah Rudiman hampir 2 jam hanya untuk mendiskusikan masalah yang sangat serius. Ketika Rudiman yang sedang membaca buku di ruangan pribadinya kedatangan Irawan, ia segera melihat ke kanan kiri sampingnya untuk memastikan tidak ada yang mengikuti Irawan sama sekali. Mereka segera ke ruang pribadi Rudiman yang terletak di halaman belakang lalu sengaja meredupkan penerangan, dengan hanya memakai lampu tempel. Suasana perkampungan malam itu tidak begitu ramai, dan hanya terdengar suara jangkrik bersenandung tentang malam yang terang, berangin namun panas.
Pada awal pembicaraan, Rudiman segera memberikan kesimpulan mengenai masalah yang sedang dihadapi Irawan,
"Wan, saya cuma menyarankan, kamu sebaiknya pergi saja dari sini. Cari tempat yang aman daripada kamu diikuti terus oleh PID,"
Irawan yang mendengar kesimpulan Rudiman itu segera menyahut,
"Ya, inilah risiko perjuangan, kawan," ujarnya kemudian mulai mengambil batang rokok di kantungnya, menyalakan sembari menawarkan ke Rudiman yang tidak ditolak sama sekali, "Kaum imprealis itu memang akan selalu dan selalu menghancurkan upaya kita untuk bisa merdeka dari mereka. Tapi, saya juga memang sedang mempertimbangkan kembali ke Jepang. Terima kasih atas sarannya,"
Masalah yang dihadapi Irawan adalah ia dalam belakangan waktu sering dikuntit oleh para agen PID pemerintah kolonial Hindia-Belanda karena sepak terjangnya yang pro-Jepang. Irawan sendiri adalah seorang pekerja swasta di kawasan Senen di sebuah biro ekonomi. Ia sendiri lulusan sebuah universitas di Jepang, tepatnya Universitas Waseda. Di sanalah ia mengambil jurusan ekonomi. Ia mengambil kuliah di Jepang karena dorongan sang ayah yang sangat anti-kolonial serta terpukau oleh kemajuan cepat yang dialami Jepang hingga sejajar dengan negara-negara Barat. Sang ayah juga menyukai Jepang yang mampu mengalahkan Rusia pada perang tahun 1905, dan berulang kali itu selalu diceritakan kepada Irawan,
"Nak, coba kamu lihat Jepang. Lihat negara yang orangnya sama dengan kita. Mereka pendek dan makan nasi. Tapi, lihat mereka, Nak, lihat! Mereka sudah luar biasa maju. Ayah mau kamu suatu saat nanti belajar di Jepang. Serap ilmu mereka lalu praktikkan di sini supaya para Belanda itu hengkang dari sini,"
Karena terus-menerus itulah Irawan akhirnya terpengaruh oleh ucapan ayahnya. Ia berupaya memelajari Jepang, dan menyimpulkan bahwa negara 'serumpun' ini merupakan yang tempat yang tepat untuk belajar dan menempa nasionalisme yang sangat berguna untuk bisa mengusir penjajah. Karena dengan nasionalisme dan persatuan pula, Jepang bisa mengalahkan Cina dan Rusia.
Berbekal semangat nasionalisme dan antipenjajah yang tinggi itulah Irawan selepas lulus HBS langsung melanjutkan kuliah di Jepang pada 1934. Di sinilah ia mulai benar-benar terpengaruh oleh nasionalisme ala Jepang yang sangat tepat dipraktikkan di Indonesia. Di Jepang pula Irawan selalu menyatakan bahwa ia adalah orang Indonesia, dan bukan orang Hindia seperti yang tertera di paspornya.
Hal inilah yang membuat ia didekati oleh seorang mahasiswa di universitas yang sama bernama Jiro, yang selalu membeberkan mengenai pentingnya persatuan dan pan-Asianisme,
"Sebenarnya kuncinya cuma satu, kawan," kata Jiro suatu hari di sebuah taman rindang di area kampus saat musim gugur tiba, "bangsamu harus bersatu dan kuatkan paham nasionalisme dan patriotisme kalian. Dengan begitu, kamu bisa merdeka dan setara seperti kami! Lihatlah sekarang, Amerika, Inggris, tak lagi meremehkan Jepang!"
Dari Jirolah, Irawan sering diajak menghadiri pertemuan para pemuda nasionalis Jepang yang menginginkan Jepang untuk mengobarkan semangat nasionalisme dan patriotisme ke negara-negara Asia yang masih dijajah dan diperas oleh bangsa kulit putih. Dari pertemuan-pertemuan yang sering dihadiri ini, Irawan semakin terpengaruh dan sangat yakin mengenai Jepang yang dapat dianggap sebagai panutan. Ia pun mulai memelajari propaganda ala Jepang.
Tahun 1938, Irawan lulus kuliah, dan mulai kembali ke Indonesia. Namun kedatangan kembalinya bersama dengan seorang Jepang bernama Takeshi, seorang pemuda Jepang yang ditugaskan menemani Irawan ke Indonesia untuk menyebarkan propaganda Jepang sekaligus menjadi mata-mata. Adapun Takeshi adalah salah satu teman Jiro yang terhubung dengan Rikugun, dan kedatangannya juga untuk bekerja sebagai pegawai konsulat Jepang di Batavia.
Irawan sendiri juga mendapatkan tugas tersebut, tugas yang ia dapat beberapa bulan sebelum lulus. Adalah seorang perwira Rikugun bernama Otani yang memintanya karena terkesan dengan semangat nasionalisme Irawan,
"Irawan-san," kata Otani, " Jika Indonesia ingin merdeka dari Belanda, kami bisa membantu hal tersebut, dan tentunya kami juga perlu gambaran tentang negara Anda supaya bantuan kami bisa efektif,"
Itulah yang diungkapkan Otani yang kemudian bersedia menjadi mata-mata dan membantu menyebarkan propaganda ke orang-orang Indonesia. Beberapa hari selepas berlabuh di Tanjung Priok, ia mulai menjalankan aksi sembari melamar pekerjaan yang awalnya ia diterima di sebuah biro di kawasan Kali Pasir sebagai seorang analis data. Sayang, di perusahaan masa kerjanya sangat pendek oleh karena beberapa rekannnya yang kebanyakan orang Belanda tidak nyaman dengan sosoknya yang pro-Jepang yang berupaya memengaruhi para pribumi lain di kantor.
Hal inilah yang membuat ia dipanggil pemilik perusahaan lalu menegurnya,
"Kami meminta kepada Anda untuk tidak berorasi soal politik di kantor ini, dan mulai buang sifat pro-Jepangmu Anda tersebut. Apa Anda tidak tahu bahwa mereka bangsa yang kejam? Lihat Shanghai dan Nanjing contohnya!"
Irawan jelas tidak menerima anggapan tersebut. Ia langsung bereaksi,
"Kejam? Kekejaman itu tidak sebanding dengan bangsa tuan kepada kami selama beratus tahun! Tuan sudah membudaki kami dan memeras semua sumber daya kami! Ingat, Tuan, sudah saatnya kami merdeka!"
Si pemilik perusahaan terkejut namun tak memberikan reaksi sama sekali. Irawan segera membalikkan badan dan meninggalkan ruangan. Setelah itu, ia semakin gencar berorasi dan berpropaganda tentang Jepang sekaligus mengamati setiap situasi yang ia laporkan secara tertulis ke konsulat Jepang setiap minggunya. Hingga akhirnya datanglah surat pemecatan dirinya karena si pemilik perusahaan sudah gerah.
Namun ia tidak merasa itu masalah. Tak perlu waktu lama ia mendapatkan pekerjaan kembali di sebuah biro yang untungnya semua pegawainya adalah orang Indonesia. Hal yang demikian tentu sangat memudahkan dirinya untuk berpropaganda. Rata-rata orang di kantornya cukup antusias begitu juga pemilik perusahaan lalu beranggapan bahwa Jepang suatu saat akan datang untuk mengusir Belanda lalu membantu kemerdekaan Indonesia.
Akan tetapi, propagandanya ini sempat mendapat tantangan dari salah seorang pegawai bernama Rusdi yang baru masuk beberapa minggu.
"Kau selalu menganggap Jepang itu terbaik, nasionalisme Jepang itu bagus untuk semua negara di Asia yang terjajah. Sayang, itu semua omong kosong! Dibalik itu semua ada kekejaman mereka terhadap rakyatnya sendiri terutama kaum sosialis! Kau jangan pura-pura tidak tahu soal insiden tahun 1923, dan yang sekarang ada di Cina! Jepang itu kejam! Jangan percaya pada negara brengsek ini!"
Irawan tentu saja menerima anggapan seperti itu,
"Yang kau katakan itu tidak benar! Apa ada bukti soal demikian. Toh, yang dilakukan Jepang justru untuk membantu ketertiban. Kau pasti orang sosialis ya atau komunis dari cara bicaramu? Dasar, pengikut Stalin! Diktatormu itu justru yang kejam! Kalian, kaum Bolshevik, selalu berbicara atas nama rakyat dan keadilan! Tapi apa buktinya? Rakyat yang kalian agung-agungkan kalian siksa dan habisi! Darah selalu ada sejak Bolshevik ada, dan Holodomor adalah bukti bahwa kalian bukan manusia. Apalagi Stalin!"
Rusdi yang mendengar hal itu segera mendidih dirinya,
"Kurang ajar!" Ia berusaha mencengkeram dan menghajar Irawan namun keburu dilerai rekan-rekan kantor yang lain. Dalam keadaan demikian Irawan dibela oleh banyak rekan sekantornya termasuk juga pemilik perusahaan. Mereka menganggap Rusdi sebagai pengacau. Karena merasakan ketidakadilan keesokan harinya ia keluar dari perusahaan sambil memendam dendam. Belakangan diketahui bahwa ia simpatisan komunis, dan sudah 5 tahun menjadi komunis serta bergabung dengan partai komunis.
Irawan yang kemudian tidak ada lawan makin gencar berpropaganda dan melakukan kegiatan mata-mata. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran pemerintah kolonial yang lalu meminta PID untuk mengawasinya karena berbahaya.
***
Atas saran dari Rudiman dan melalui pertimbangan yang matang, Irawan lalu meminta tolong Konsulat Jepang untuk membawanya kembali ke Jepang karena kondisi keamanan yang ia alami. Ia merasa tidak nyaman dikuntit PID yang selalu ada setiap waktu terutama saat ke kantor. Konsulat Jepang menyanggupi keinginannya, dan dengan ditemani oleh Takeshi serta 2 pegawai konsulat lain, mereka menemaninya ke Tanjung Priok. Saat itu 1939, dan Jerman baru saja melancarkan serangan ke Polandia,
"Kau lihat, Irawan-san, "kata Takeshi kepadanya di dalam sebuah mobil yang mengantar ke Tanjung Priok, "Jerman sudah berperang. Selanjutnya, Jepang, dan kami akan datang ke sini dalam jumlah banyak untuk mengusir orang-orang Belanda!" Tatapan Takeshi mengarah ke luar ke arah orang-orang Belanda yang sedang lalu-lalang.
***
Sebuah ketukan pintu terdengar. Rudiman yang mendengarnya segera ke depan lalu membuka pintu. Dilihatnya ada seorang berpakaian militer Jepang namun berwajah Indonesia, dan wajah itu sangat akrab. Alangkah terkejutnya ia itu adalah Irawan. Mereka segera berpelukan.
"Kau jadi militer Jepang?" Tanya Rudiman terkejut.
"Iya, dan saya di bagian penerjemah. Jadi, di sini akan membantu para perwira Jepang saat berbicara dengan orang-orang kita,"
Setelah kembali ke Jepang pada 1939, atas ajakan Jiro, Irawan masuk militer Jepang untuk kemudian dilatih dan dididik nasionalisme ala Jepang kemudian dijadikan sebagai penerjemah. Ketika Jepang mulai berperang melawan Amerika lewat serangan mendadak di Pearl Harbor, ia mulai diikutsertakan untuk mendarat di Indonesia pada Maret 1942 sehari setelah Batavia jatuh, dan tak lama kemudian setelah mendarat ia kunjungi Rudiman. Sepanjang perjalanan menuju rumah Rudiman, ia perhatikan banyak orang Belanda yang bersembunyi di balik jendela rumah, dan melihat sorak sorai orang-orang Jerman yang mengibarkan bendera Nazi.
"Saya masih ada waktu bebas sampai hari ini, "kata Irawan, "Jika berkenan, nanti sore datanglah ke markas saya di Senen. Kita akan bicarakan masa depan negara kita dengan bantuan Jepang,"
"Baik, saya bersedia," jawab Rudiman yang kemudian dibalas ucapan arigato gozaimasu sembari menunduk oleh Irawan. Setelah itu ia berbalik, dan segera berjalan menuju ke sebuah kendaraan lalu ke luar kampung ke arah Kramat. Rudiman yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala tidak menyangka.