Pages

Kamis, 18 September 2025

Kala Aku Masih di Rumah Itu



"Bagaimana kabarnya di sana? Katanya dingin ya?" Begitulah tanya seseorang kepadaku dengan akrab dan hangat. Aku pandang dia yang bertanya padaku itu. Seorang perempuan muda sepertinya berumur 20-an. Wajahnya sedikit bundar dengan mata lebar, dan bola mata hitam. Hidungnya mancung dan bibir tipis. Semua terangkum dalam kulit sawo matang yang tampak selaras dengan rambut hitam panjang kemilau serta pakaiannya yang berwarna krem pada bagian atas dengan lengan panjang bermotif kembang dan celana chino putih gradasi krem serta sepatu kets putih pada kedua kakinya.

Aku yang ditanya oleh si wanita ini yang aku merasa antara kenal atau tidak, antara pernah bertemu atau tidak, tak langsung menjawab pertanyaan yang bagiku merupakan pertanyaan yang standar dan normatif terhadap seseorang yang sudah lama pergi jauh dari tempat tinggalnya tetapi kemudian kembali lagi untuk sekadar bernostalgia, bercengkrama dengan masa lalu.

Aku alihkan pandanganku ke yang ada di sekitarku. Aku pandangi langit-langit tinggi besar yang berwarna putih akan tetapi ada gradasi abu-abu yang kemudian gradasi itu berubah jadi abu-abu tulen ketika menurun ke bawah, dan terlihat di pinggiran jendela serta pintu. Perasaan dulu ini berwarna putih murni. Tidak ada gradasi. Kesannya sangat elegan. Aku merasa ada yang hilang saat melihatnya. Merasa itu bukanlah aku. Tercium bau cat yang sangat khas dari balik warna itu. Jangan-jangan ini baru dikuas.

Setelah memandang semua di sekitar, aku kembalikan pandanganku kepada perempuan muda yang aku masih samar akan dirinya. Aku berupaya menjawab dengan akrab meskipun aku merasa terpaksa sebab aku masih ragu siapa dia. Apa dia pernah ada dalam kehidupanku?

"Kabar saya baik," Aku menjawab agak segan dengan tatapan mata masih penasaran bahkan juga curiga tentang sosok di depanku ini. Aku jujur, antara kenal dan tidak sosok ini. Aku berupaya juga menyisipkan senyum sehingga tidak terkesan natural.

"Iya, memang dingin di sana," kataku melanjutkan jawabanku yang bernada keseganan itu, "Di sini saya masih merasakan kehangatan, angin masih berembus kencang dari lubang-lubang angin," kataku sembari mengarahkan kepala ke lubang-lubang angin besar berbentuk bulat. Kala melihatnya aku jadi teringat di masa silam, ada seekor laba-laba besar yang tiba-tiba muncul lalu turun. Aku dan adikku yang melihatnya lantas coba menangkap lalu memasukkannya ke toples.

"Ya, aku berupaya menjaga lubang angin itu tetap ada," kata si perempuan muda itu kemudian dengan mengarahkan pandangan ke lubang angin itu juga, "Sebab, aku melihat lubang angin itu yang dulu buat kamu dan keluarga menjadi keluarga yang selalu penuh kehangatan, yang selalu betah meskipun berulang kali banjir datang,"

Ucapannya itu lantas membuatku terbang ke masa lalu. Aku ingat memang di masa itu aku merasakan ada kehangatan luar biasa setiap harinya. Nada-nada gitar dan piano mengalun indah membentuk sebuah orkestrasi yang terasa indah dan syahdu saat didengarkan meski berulang kali. Canda tawa selalu ada meski mungkin ada konflik tetapi semua bisa diselesaikan dengan kekeluargaan. Semua itu terus ada dan tak tergerus meski banjir berulang kali menerjang.

"Apa sekarang masih banjir?" tanyaku setelah membayangkan itu yang membuatku lantas bertanya soal air luapan dari sungai tak jauh dari rumah yang sekarang aku ada.

"Sekarang ini sudah tidak ada lagi," kata si perempuan muda itu yang aku masih samar bahkan juga tak tahu namanya. Ia selalu menjawab dengan senyum yang terurai, "Kali sudah diberi saluran buangan ke kali lain lewat terowongan air. Jadi, kalau hujan tidak banjir,"

Dalam hati aku merasa lega meski aku juga masih sangsi. Sebab, yang aku alami kali dekat rumah itu alirannya tidak bisa diprediksi. Bisa saja ia tenang namun bisa saja ia sebaliknya. Tiba-tiba mengamuk tanpa ada gejala. Kalau sudah begitu, semua akan kelimpungan sana-sini.

"Kamu mau aku ajak keliling?" tanyanya dengan menawarkan suatu hal yang pasti akan dialami oleh orang yang kembali ke tempat asal setelah sekian lama berkelana, "Kan, sudah lama juga kamu pergi,"

Aku mengiyakan tawaran itu. Tawaran yang selalu saja ada kehangatan dan keakraban seperti kehangatan para tetanggaku kala kami meminta pertolongan atau saat mereka meminta yang sama. Tapi, aku masih samar, ragu siapakah dia yang ada di sampingku. Aku merasa tak mengenal dia tetapi dia seperti aku kenal.

Kami berdua lalu berjalan menyusuri dalam rumah ini, bangunan yang pernah jadi rumahku di masa silam, yang merupakan simbol kehangatan yang abadi. Aku entah kenapa yang sudah pergi dari rumah ini lama sekali ingin kembali. Aku merasakan ada semacam kerinduan dari ikatan yang telah lama terjalin di masa-masa itu. Kerinduan yang disertai panggilan itu yang membuatku ada di rumah ini tanpa terasa, dan saat sampai itu si perempuan muda itu menyapaku sembari berkomat-kamit.

Semuanya masih tampak sama. Itulah kesanku saat melihat rumah ini meski ada beberapa perubahan di mana. Perubahan yang sifatnya minor. Saat aku melihat ruangan besar tempat orang tuaku dulu tampaknya dia berubah menjadi ruang seorang pemimpin perusahaan. Di dalamnya ada meja besar lalu sebuah komputer layar datar dan televisi besar di dinding. Pada dinding atas ada AC, dan di tengah dinding itu, di belakang meja ada sebuah foto besar yang menangkap gambar si pemimpin dan keluarganya. Ruangan itu tampak kosong.

"Pak Bos sedang pergi rupanya," kata si perempuan muda ini yang menyadari atasannya sedang tidak ada sembari memegang gagang pintu ruangan yang dibuka lebar-lebar agar aku bisa melihatnya, "Padahal, kalau ada dia, kamu bisa ngobrol banyak soal rumah ini. Dia penasaran tentang sejarahnya,".

Aku hanya diam. Aku membatin, sejarah seperti apa yang ingin diketahui. Rasanya tak ada yang istimewa karena juga sejarah rumah ini tak seperti sejarah rumah gedongan yang selalu saja ada kisah-kisah heroisme dan penyiksaan. Ini cuma rumah biasa. Cuma ada kehangatan di dalamnya.

Kami lalu berjalan lagi. Tak jauh dari ruangan bekas kamar orang tuaku, kami tiba di sebuah ruangan yang aku langsung mengenalnya. Sangat mengenalnya. Ya, tak salah lagi ini kamarku. Aku yang dibukakan pintu langsung masuk, dan merasakan diri kerasukan oleh memori masa silam yang ada di kamar ini. Kamar itu tak banyak berubah. Dari struktur interiornya yang masih dengan langit-langit tinggi seperti kamar orang tuaku kemudian ada jendela besar untuk pencahayaan alami dari matahari serta lubang-lubang angin besar. Lantainya juga. Yang berubah hanyalah benda-benda di dalamnya. Aku merasa kamar ini terasa feminin. Catnya berwarna merah muda gradasi biru langit. Di situ ada banyak boneka yang tersimpan rapi dalam sebuah lemari kayu jati yang dipernis mengilat. Lalu ada sebuah meja dengan sebuah laptop yang tampak ditekuk layarnya serta sebuah foto. Aku lantas melihat foto itu. Aku terkejut ternyata itu foto perempuan muda yang kini bersamaku,

"Iya, ini ruanganku," katanya kemudian masih dengan senyum yang terukir. Sepertinya ia bisa membaca keheranan dan keterkejutanku atas hal-hal yang berubah di bekas kamarku, "Mohon maaf ya, kalau aku mengubah isi. Kan udah jadi ruanganku,"

Aku cuma bisa menjawab,

"Tidak apa-apa,"

Dalam hati agak lirih juga melihat kamarku yang sekarang sudah berubah kelamin. Ingatan-ingatanku akan kamar yang dahulu menjadi sumber inspirasiku serta mencoba memahami sesuatu yang bernama cinta seakan pudar. Aku merasa tak ada niat lagi untuk melihatnya lagi. Sebab, ia sudah jadi ruangan sang pemilik baru. Aku pasrah saja.

Keluar dari situ kami berdua lanjutkan lagi ke ruangan yang lain. Dalam hati aku berpikir tentu akan ada yang berubah lagi walaupun itu cuma isi. Jadi, aku tak ada niatan lagi untuk tahu. Ketika kami berjalan itu, aku tiba-tiba diperlihatkan sesosok melayang-layang di langit-langit. Aku lantas terkejut. Sosok itu melihatku dengan tajam menyeringai. Tampak ada raut tidak suka di wajahnya.

"Kenapa sekarang di sini ada dia?" tanyaku heran pada si perempuan muda itu. Ia yang ditanyai seperti itu sekali lagi menjawab dengan tersenyum. Ia tahu keherananku ini bukan keheranan yang biasa namun ada rasa tidak suka dalam keheranan itu,

"Itu karena kamu sudah tidak ada di sini lagi," katanya sembari mengarahkan pandangan ke sosok melayang itu yang sepertinya sudah hilang menembus tembok, "Jadi, wajar kan kalau dia ada di sini,"

Aku sebenarnya tidak puas dengan jawaban seperti itu. Apa hanya karena aku sudah tidak ada di rumah ini lagi lalu dia bisa seenak perut lalu-lalang melayang-layang keluar masuk. Aku tahu sosok yang melayang-layang itu. Di masa silam dia adalah salah satu tetanggaku yang selalu iri kepada aku dan keluargaku. Ia selalu membuat cerita-cerita murahan dan penuh kebohongan tentang keluargaku karena saking irinya. Tetapi, untung semua orang tidak mempercayainya karena mereka tahu keluargaku tidak seperti itu, dan selalu ringan tangan dalam berbagai keperluan warga. Dia yang iri itu kemudian meninggal karena kecelakaan. Sebenarnya, banyak yang tidak mau membantu mengurus keperluan meninggalnya karena sifatnya yang menyebalkan. Tetapi, keluargaku dengan sigap dan tidak berpikir apa-apa tetap membantu sampai ke liang lahat. Keluargaku punya prinsip tidak boleh ada ini-itu saat membantu orang yang berduka sekalipun ia orang yang sangat tidak disukai.

Aku yang tahu dia itu sebenarnya ingin mengejarnya dan membuat perhitungan. Aku ingin tanya alasannya melayang-layang tanpa permisi di bekas rumahku ini. Tapi, si perempuan muda ini lalu mencegahku. Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.

"Kamu kan ke sini untuk berkunjung bukan bertarung. Sudahlah," kali ini ia tanpa senyuman dan menyorot tajam ke arahku dengan suara yang pelan namun menekan. Aku yang melihatnya malah terhipnotis, dan akhirnya aku urungkan keinginan itu.

"Aku cuma ingin kamu berdamai aja," katanya lagi setelah itu kini ia kembali dengan senyuman. Aku tambah luluh. Aku berpikir ya buat apa harus mencari keributan lagi apalagi itu dari masa lalu, masa yang sudah selesai. Toh, tak ada gunanya ribut dengan sesuatu dari masa lalu karena masa lalu itu tidak bergerak. Lagipula aku cuma berupaya melampiaskan kerinduanku ini dengan hal-hal yang positif di bekas rumahku ini.

Ketika aku merenung itu, tiba-tiba datanglah seorang perempuan lain yang juga sama-sama muda namun dengan rambut pendek, muka cekung, mata sedikit sipit, dan berkulit kuning langsat. Ia tampak mengenakan kaos putih yang ditutupi dengan baju tanpa lengan berupa terusan rok panjang ke bawah berwarna kuning. Pada sepasang kakinya hanya tampak sandal hijau yang terpasang.

Siapa perempuan ini? Aku tidak mengenalnya, dan kali ini memang tidak mengenalnya tidak seperti perempuan muda sebelumnya yang membuatku terjebak dalam kesamaran. Ia kulihat tampak merasa janggal dengan tingkah perempuan muda yang sedari tadi menemaniku. 

"Lo ngomong sama siapa sih, Win?" tanyanya dengan penuh keheranan. Dari situ aku tahu namanya. Win. Sepertinya nama penggalan dari panggilan, "Gue perhatiin dari tadi lo ngomong sendiri,"

Win yang ditanya itu sekali lagi hanya tersenyum mendengar lalu dengan santai menjawab, "Sama bekas pemilik rumah ini,"

"Budiarto Haryono?" ujar si temannya dengan cepat menanggapi sembari menyebut nama yang mengarah padaku. Aku lantas terkejut. Bagaimana bisa perempuan ini tahu namaku? "Bukannya dia udah meninggal?" 

Aku yang mendengar kata "meninggal" langsung merasakan getaran pada tubuhku. Apa maksudnya meninggal? Aku merasa aku masih seperti manusia pada umumnya. Masih bisa berjalan normal, dan bahkan berbicara dengan si Win ini. Aku rasa temannya ini mengada-ngada. Juga ia rabun karena tidak bisa melihatmu.

"Ya, memang" kata Win setelah itu ia lalu menatapku. Aku yang mendengar kata "meninggal" itu lagi kini seperti ada busur panah mengarah ke jantungku dengan telak. Meninggal? Benarkah? Benarkah? Jika iya aku berarti sekarang ini adalah...roh.

"Kamu sekarang pulang ya. Tempatmu bukan di sini lagi," Ucapan Win yang terasa pelan mengusirku itu seperti halnya angin kencang yang menerpaku. Menerbangkanku dengan cepat. Aku seperti melihat ada lintasan kilat di sekelilingku di dalam sebuah lorong yang gelap. Semua berjalan begitu cepat lalu sebuah cahaya ada di depanku. Aku masuk ke dalamnya.

***

Matahari menerpa wajahku dengan kencang. Aku yang merasakannya langsung terbangun. Aku segera lindungi mukaku dengan tangan. Aku yang merasa terbaring di atas sebuah tanah dengan gundukan lalu duduk. Aku lihat sekelilingku. Semuanya kuburan dengan pohon kemboja di sana-sini serta pohon beringin. Aku terkejut, dan merasa diriku takut. Aku lalu lihat ke bawahku. Tersadar rupanya yang aku duduki adalah sebuah kuburan berwarna hijau pada nisan dan kijing. Dan, di nisan tertulis nama Budiarto Haryono beserta tanggal lahir dan wafat. Aku bergidik. Itu kan namaku. Jadi, aku sudah meninggal? Dan sudah jadi roh? Tapi, kenapa?

"Udah cukup nostalgianya?" Tiba-tiba ada suara di belakangku. Suara wanita, dan aku mengenalnya. Aku segera menoleh. Kulihat seorang wanita berambut panjang dan bermuka seram serta berbaju putih.

"Pergi kok lama banget sampai kamu lupa kamu itu harusnya di mana?" Ia lalu tertawa-tawa mengikik dan terbang ke pohon beringin. Aku yang dalam keadaan itu masih tampak bingung dengan hal yang baru saja terjadi. Jadi, aku ini sebenarnya adalah roh? Roh orang yang meninggal? Dan, rumah itu...

Rabu, 17 September 2025

Dunia dalam Kacamata Kuda


Tersebutlah Abah Denom. Ia seorang sesepuh sekaligus ketua sebuah kampung yang cukup dihormati. Kampung yang dipimpinnya berada di antara dua gunung dan dua sungai serta dibatasi oleh hutan-hutan lebat yang sangat hijau. Di kampungnya itu terdapat banyak sawah yang menghampar bagai lautan beserta kebun pisang dan singkong. Setiap hari burung-burung selalu bercericau jika matahari pagi timbul dari peraduan untuk menyemaikan sinarnya. Lalu setiap malam burung-burung hantu bersenandung bersama para jangkrik dan tongeret membentuk alunan nada untuk melukis malam yang selalu ada hamparan bintang di langit.

Dalam kampung yang bagai kampung negeri dongeng itu, Abah Denom adalah seorang pemimpin yang sangat dihormati. Bersama dengan Ratu Merangin, istrinya, ia sangat dicintai semua rakyatnya. Rakyatnya ini menganggap Abah Denom dan keluarganya bagaikan para dewa dan dewi yang mampu memakmurkan, juga menyejahterakan rakyatnya. Keadilan sangat ditegakkan tanpa pandang bulu. Orang-orang kepercayaan Abah Denom juga tak segan membantu rakyat bila ada kesusahan. Apalagi Abah Denom juga sering turun mendengarkan aspirasi dengan singsingkan lengan di baju. Rakyat pun tersenyum lebar, dan selalu mendoakan Abah Denom.

Abah Denom akan selalu tersenyum lalu akrab dengan rakyatnya sembari ia membenarkan kacamata bulat besar dengan corak labirin dan lingkaran pada lensanya. Sebab, dari situlah ia selalu bisa memandang dan bertindak.

Tapi....

Apakah kamu percaya begitu saja dengan cerita di atas? 

Kalau aku sih nggak ya. Mohon maaf, bukannya meremehkan atau ingin menertawakan hagiografi murahan ini, cuma kenyataannya tidak seperti yang kamu baca, kamu bayangkan terus kamu lihat. Oh, tidak seperti itu. Jangan berharap ini seperti lukisan-lukisan pemandangan indah para naturalis yang cuma bisa menganggungkan keelokan dalam sebuah bingkai tetapi melupakan mereka yang di luar bingkai. Ini juga bukan lukisan sang tokoh heroik yang selalu digambarkan paling depan dan paling menonjol sehingga tak pernah memberi ruang bagi orang-orang yang dalam tanda petik berjasa namun ya dilupakan.

Ini semua adalah kebalikannya.

Abah Denom. Apa yang harus aku gambarkan tentang sosok yang selalu diagung-agungkan dalam buku-buku yang selalu baca, buku sejarah tetapi bercampur mitos-mitos ilahiah? Buku-buku yang sedari kecil aku lahap lalu aku telan sehingga yakin Abah Denom adalah sesosok Ratu Adil yang turun untuk memakmurkan kampung Griya Buana, kampung yang dipimpin oleh sosok ini, dan selalu jadi kampung yang indah.

Oke, baiklah, aku tidak mau berpanjang lebar soal ini nanti kamu bosan membaca ceritaku ini. Abah Denom bagiku tidak lebih adalah seorang pembohong. Pembohong kelas wahid. Dia bilang adalah seorang pemimpin yang dihormati sekaligus dicintai oleh semua rakyatnya. Lalu disebut juga kampung Griya Buana ini adalah kampung yang makmur, adil, dan sejahtera. Ah, omong kosong apa lagi ini? Omong kosong yang selalu meninabobokan.

Mari sekarang kita ubah pandangan kalian soal lukisan indah yang mewujud di kampungku. Kita hapus semua warna cerahnya, dan kini jadi sebuah lukisan yang sangat kelam dan menyeramkan. Di sinilah yang sebenarnya terjadi. 

Abah Denom itu adalah seorang diktator. Ia memerintah dengan tangan besi. Tak pernah sekalipun ia dicintai dan dikagumi rakyatnya luar-dalam. Rakyatnya selalu dalam keadaan tersiksa serta dalam keadaan muram. Mereka bekerja bukan untuk diri mereka tetapi untuk si penguasa yang masih saja menganggap rakyat mencintainya berdasarkan kacamata yang ia pakai. Rakyat katanya selalu tersenyum lebar dengan gigi berseri saat ia datang ke mereka padahal mereka tidak bisa tersenyum. Kalaupun tersenyum, itu pun dipaksakan, dan ketika itu terlihat gigi-gigi mereka yang patah dan ompong.

Alih-alih memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kepentingan bersama, ia malah menyuruh rakyat kerja paksa lalu hasilnya diberikan kepadanya. Jika tidak diberi siap-siap para paman gembul yang jadi pengawalnya akan menghajar dengan pentungan bahkan sampai tewas. Sudah terkuras pula tenaga dan pikiran, Abah Denom malah memberi beban berupa pajak yang is sebut sebagai bentuk kecintaan rakyat pada raja. Pajak-pajak itu akhirnya hanya dinikmati oleh segelintir elite di samping Abah Denom.

Pernah ada seseorang yang kritis lalu menyuarakan perlawanan. Namun, ujung-ujungnya ia malah dirapikan sampai tewas. Semenjak itu tak pernah ada lagi protes, dan rakyat mau tidak mau harus hidup dalam keadaan tertekan lahir-batin. Seharusnya mereka yang jadi tuan, buka para penguasa.

Abah Denom selalu disebutkan berpenampilan aristokratik bagai raja-raja di masa silam yang membawa mandat ilahi, dan selalu memakai kacamata yang tampilannya tidak biasa. Kacamata inilah yang selalu panduan bagi Abah Denom dalam melihat dunia. Kacamata itu tak pernah sama sekali dilepas bahkan dalam urusan ranjang pun. Ketika terlelap pun kacamata itu selalu akrab di dirinya.

Banyak yang melihat kacamata itu adalah sumber masalah. Aku demikian. Kacamata yang aku menyebutnya sebagai kacamata kuda karena Abah Denom selalu berpegangan padanya tidak mau mengganti dengan yang lain.

Bagi yang melihat dengan kacamata lain atau baru saja ke kampung Griya Buana akan terkejut luar biasa terhadap fakta yang ada di depan. Pernah suatu ketika ada seorang turis dari kampung lain yang memang ingin berekreasi untuk menikmati keindahan di Griya Buana ternyata mendapatkan hal yang ironis.

Dua sungai yang ada di kampung sebagai sumber kemakmuran malah berubah kotor. Airnya hitam kecoklatan dan bau. Ikan-ikan yang ada di dalamnya pada mati bermunculan dan menggelepar. Tak hanya itu, binatang yang lain juga pada teler meminum air sungai yang kotor itu karena keserakahan salah satu anak buah Abah Denom yang mendirikan sebuah pabrik di pinggir sungai.

Kebun-kebun pisang dan singkong yang juga jadi sumber penghasilan malah dirusak oleh para Buto Ijo yang sebenarnya harus menjaga perbatasan kampung. Para Buto Ijo ini juga bersama Paman Gembul sering berkongkalikong dan main di bawah tangan dengan mereka yang gemar memberikan suap supaya aksi lancar terlaksana.

Hamparan sawah yang membentang itu juga tak luput dari keserakahan para serigala berbulu domba. Sawah dihancurkan, diubah jadi sebuah rumah bordil. Mereka yang sawahnya diambil paksa cuma bisa meratap, dan malah akhirnya bekerja di sawah yang dikuasai para serigala tersebut. Lagi-lagi paman gembul dan Buto Ijo bermain dan malah ikut meneror rakyat.

Si turis yang terkejut ini sungguh tak habis pikir dengan apa yang terjadi di Griya Buana lalu membandingkan dengan kampungnya yang benar-benar makmur, rakyat berkuasa, dan para pejabat jadi teman akrab sehingga tidak ada jarak. Ia bersyukur lahir dan hidup di kampung yang tenang dan damai.

Ia juga tak habis pikir dan terkejut kalau Ratu Merangin itu sebenarnya adalah lelembut yang menyamar jadi seorang manusia. Seorang manusia yang normal tentu akan segera menyadari dan menjauh dari lelembut menyeramkan itu. Tapi, ini malah sebaliknya. Semua ini gara-gara kacamata kuda itu yang menghalanginya melihat dunia dari sudut pandang lain.

Soal kacamata kuda ini, pernah juga ada seseorang dari kampungku berupaya mengganti kacamata kuda yang ada di muka Abah Denom dengan sebuah kacamata yang super bening. Tapi, apa daya Abah Denom tidak mau karena katanya pusing saat mencoba kacamata super bening tersebut. Karena pusing itu juga ia menyuruh para paman gembul untuk merapikan orang ini luar dalam. Sejak saat itu, di orang yang memberi kacamata ini tak pernah terdengar lagi kabarnya.

Nah, itulah mengenai Abah Denom. Jangan selalu memuja dan memujinya karena semua tidak sesuai dengan fakta yang ada. Jadi, jangan percaya pada lukisan yang indah itu karena sebenarnya itu kelam dan menyeramkan. Aku yang berada di luar Griya Buana sebenarnya sudah sangat muak dengan kondisi ini. Aku muak kampungku yang indah malah jadi dikoyak-koyak jadi hancur oleh manusia yang selalu memandang dunia dengan kacamata kudanya.

Ya, akibatnya, dunia akan selalu berwarna dan baik-baik saja. Aku ingin melawan namun aku paham aku cuma seorang pencerita yang ada di luar, dan sekarang aku berharap pada mereka yang ingin menggelorakan perlawanan untuk menjungkalkan orang tua kolot ini.

"Oke, semua siap?" tanya seseorang kepada orang-orang yang berdiri tegak di depannya sembari menenteng ketapel juga ponsel pintar di masing-masing tangan.

Mereka kemudian kompak menjawab,

"Siap!!!"

Kemudian orang yang merupakan komandan ini segera berseru kepada anak buahnya ini,

"Malam ini kita serbu dan gulingkan Abah Denom juga hancurkan kacamata kudanya!"

Mereka bersorak-sorai lalu bergerak bergerombol menuju Griya Buana. Aku yang melihat dari puncak pucuk merah segera terbang mengiringi mereka dari atas. Aku pun membatin senang, revolusi sudah dimulai!

Selasa, 16 September 2025

Hancurnya Makam "Bapak"



"Nak, sudah, Nak!" Suara itu kembali muncul. Terdengar begitu jelas meskipun hujan turun begitu deras disertai angin kencang dan petir yang sesekali menggelegar. Suara itu adalah suara tangisan seorang wanita yang terus saja merengek kepadaku untuk menghentikan hal yang sedang aku lakukan.

Tapi, peduli setan! Aku harus melakukan ini, dan ini sudah jadi keinginanku sejak lama yang terpendam dalam lubuk hati untuk mengobati rasa sakit itu. Hujan yang turun deras itu tak boleh jadi penghalangku apalagi suara wanita yang menangis itu yang bagaikan suara hantu yang melolong menyayat hati. Malam ini, semua harus teratasi. Semuanya.

Dengan palu besar yang sejak tadi aku genggam aku hancurkan keramik-keramik indah keemasan itu. Aku lakukan dengan sekuat tenaga, dengan marah yang membara luar biasa yang bahkan makhluk halus pun lebih baik berpikir dan permisi untuk meladeniku.

"Jangan, Nak, jangan," Lagi-lagi suara itu terus saja keluar di belakangku dengan tangisan yang sangat pilu. Petir pun kembali menggelegar. Tapi aku tak peduli. Aku tak peduli.

Ketika semua keramik keemasan itu hancur, aku kini mengarahkan pandangan pada sebuah tulisan nama yang terukir indah. Nama yang menurutku terkutuk karena kezaliman-kezalimannya. Aryaraja Brata. Begitulah nama itu. Tertera indah pada sebuah nisan berkilauan disertai tanggal lahir dan wafat. Ah, tapi apa peduliku soal ini. Aku harus hancurkan dia. Hancurkan kuburannya yang terbilang megah namun sayang kelakuannya malah seperti bedebah. Biarlah Tuhan dan kuburan-kuburan indah di sekelilingnya menjadi saksi bahwa aku menghancurkan dia sehancur-hancurnya meski dia sudah di alam lain.

Aku layangkan palu besar ke arah tulisan di makamnya, salah satu makam yang ada di lingkungan pemakaman keluarga. Palu itu menghantam dengan keras tulisan lalu retak, dan hancur.

"Nak, sudah, Nak. Kasihan Bapakmu. Dia sudah tenang di sana!" Suara itu muncul lagi. Aku lalu menoleh ke suara itu yang ada di belakangku. Aku lihat sesosok wanita tua yang sedang duduk lemas di lantai pemakaman sembari berpegangan pada malam lain, makam pakdeku. Dia adalah ibuku, wanita suami dari si keparat yang sudah terbujur kaku beberapa meter di bawah.

"Ibu selalu saja membela dia!" ujarku dengan nada kesal dan marah, "Orang yang berbuat zalim selama hidupnya tidak ada hak untuk dibela. Dia tidak akan pernah bisa tenang selama belum membayar atas kezaliman-kezalimannya kemarin!"

Ibuku cuma menangis melihat tingkahku yang sudah benar-benar dikuasai amarah. Ya, aku memang marah. Benar-benar marah terhadap si keparat Aryaraja ini. Sosok yang di masa hidupnya adalah seorang bapak bagi diriku dan juga adik-adikku. Sosok ini seharusnya bisa seperti Gatotkaca yang mampu melindungi aku, adik-adikku, juga ibuku. Tapi, dia malah jadi seorang Burisrawa yang benar-benar angkuh dan penindas.

Baiklah, akan aku ceritakan kenapa sangat membenci keparat bertopeng bapak ini sehingga aku harus menghakiminya meski ia sudah tak tampak lagi secara fisik.

Aku lahir dari keluarga yang berkecukupan, lahir dari seorang yang katanya masih punya darah biru. Dan, lahir dalam keadaan normal serta semua kebutuhan fisik dan materi terpenuhi. Bapakku, si keparat itu, sebenarnya adalah seorang yang cukup hangat di keluarga. Ia selalu memberikan curahan kasih dan sayangnya kepada aku dan adik-adikku. Aku selalu dibelikan barang meski aku tak pernah meminta. Ia juga sayang kepada ibuku, dan benar-benar mencintai ibuku. Tak pernah sekalipun ia selalu pulang malam, kecuali kalau ada urusan kantor yang harus diselesaikan segera. Ia selalu pulang membawa kehangatan dan keceriaan. Kami yang di rumah merasa bahagia saat ia pulang.

Kondisi ini berjalan sampai aku kelas 3 SMP. Tetapi, begitu aku kelas 2 SMA, semua mendadak berubah. Bapak yang tiba-tiba hangat menjadi pemarah dan sangat emosional. Ia yang tidak pernah bermain tangan tiba-tiba dengan mudahnya menampar pipiku, juga adik-adikku. Ibu pun tak luput. Bahkan, ia sampai dipukul dan ditendang serta dijambak. Setiap hari yang ada tangisan dan rasa pilu di hati.

Bapak yang tidak pernah pulang malam, kini selalu pulang malam, bahkan dengan kondisi mabuk dan membawa perempuan lain. Bagiku sungguh keterlaluan. Aku yang melihatnya sungguh merasa hal ini sudah tidak bisa diterima. Mabuk-mabukan apalagi membawa perempuan lain itu sama saja sudah mengkhianati cinta yang diberikan oleh ibuku. Dalam hatiku ada perasaan marah dan kesal. Aku pun segera tegur dia,

"Pak, apa-apaan sih pulang pakai mabuk-mabukan bawa perempuan segala? Memangnya yang diberikan Ibu sudah tidak cukup lagi?"

Dia yang mendengar teguranku itu langsung bereaksi dengan keras, dan dalam keadaan pengaruh alkohol.

"Tahu apa kamu, anak bau kencur? Kamu mau Bapak tempeleng lagi?"

Aku yang mendengar itu langsung membara emosiku, dan malah karena sudah kesalnya menantang balik.

"Silakan! Kalau Bapak berani, saya tidak takut!"

Ia dengan geram kemudian menyerangku sembari berkata,

"Kurang ajar kamu ya! Nggak sopan nantangin orang tua!"

Aku melihat ia menyerang bagai banteng. Aku ingin menahannya cuma aku tahu tenaganya besar dan badannya juga besar. Jadi, saat menyerang itu aku menghindar, dan ia malah menabrak tembok besar yang membuatnya jatuh tersungkur, dan mengeluarkan darah di dahi.

Ibuku yang mendengar suara itu tiba-tiba keluar dari kamar, dan terkejut. Begitu juga adik-adikku.

"Bapak kenapa, Nak?" tanya ibuku dengan raut terkejut panik karena melihat ada darah mengucur di dahinya.

"Ya tanya aja sama dia, Bu!" Jawabku masa bodoh sembari dalam hati merasakan kepuasan bisa mengalahkan dia.

"Nak, gini-gini dia Bapak kamu," kata ibu dengan suara marah sekaligus lirih, "Kamu sebagai anak seharusnya hormat!"

Aku yang mendengar itu lantas menanggapi,

"Ah, sudahlah, Bu. Orang yang sudah kasar sama ibu juga anak-anak ibu harus dikasih hormat? Ibu kok masih aja ngebelain dia? Emangnya ibu nggak merasa sakit batin ibu dia seenak jidat bawa perempuan lain masuk ke kamar, bersetubuh sementara ibu yang tidak terima malah ditendang! Kayak gitu masih harus dihormati?"

Ibuku cuma terdiam lalu menangis. Aku yang melihatnya malas karena selalu saja begitu seperti drama. Aku palingkan diri lalu ke kamar. Lalu kudengar ibu meminta adik-adikku untuk membantunya membopong si keparat itu.

Setelah kejadian itu, si keparat bertopeng bapak itu tidak pernah sekalipun pulang. Biasanya kalau anak yang normal akan bertanya-tanya dan merindukan. Ini sebaliknya. Aku jadi masa bodoh. Toh, rumah jadi tenang tidak ada dia. Kemudian beberapa bulan setelah tidak pulang, kami dapat kabar bahwa ia meninggal dalam sebuah kecelakaan bersama seorang wanita. Aku terkejut? Sudah pasti. Tapi, kemudian biasa saja. Begitu juga adik-adikku. Tapi, tidak dengan ibuku yang malah menangis tersedu-sedu. Dalam hati membatin, kenapa harus menangisi orang yang berbuat zalim?

Ketika pemakaman aku merasa biasa-biasa saja. Apalagi adik-adikku. Dan, lagi-lagi cuma ibuku. Ya, aku biarkan saja toh semua penderitaan berakhir. Semua ini diawali dengan si keparat itu bermain judi online diam-diam dengan beberapa teman kantornya. Dan, ternyata kalah telak, ia jadi frustasi dan marah-marah kepada kami yang ada di rumah.

Ternyata penderitaan belum berakhir. Kami yang masih hidup harus menanggung akibat dari semua perbuatannya. Ia rupanya banyak berutang sampai menggadaikan rumah untuk dijadikan jadi jaminan. Kami terkejut ketika petugas bank dan polisi datang untuk menyita rumah kami tanpa pemberitahuan. Gara-gara si keparat ini kami terusir, terusir dari sebuah rumah besar yang dahulu menjadi payung yang mampu meneduhkan kami dari panas dan hujan. Aku benar-benar marah. Benar-benar kesal. Ketika harus pindah dalam keadaan terpaksa itu, aku hancurkan foto-foto si keparat itu, aku robek-robek dokumennya. Ia tidak boleh terlihat lagi. Ibuku yang melihatnya langsung menamparku. Tapi, aku tak peduli. Aku bakar semua foto dan dokumennya sampai jadi abu, dan aku puas.

Pada akhirnya kami harus pindah ke sebuah rumah kontrakan yang kecil. Tapi, di situlah perjuangan dimulai. Aku mau tidak mau harus putus sekolah, dan bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Begitu juga ibuku dan adik-adikku. Kondisi ini semakin diperparah ketika tak satu pun sanak keluarga mencoba membantu sehingga kami harus berusaha sendiri. Aku benar-benar kesal dan tidak terima. Aku berupaya minta bantuan tetapi selalu ditolak, dan mereka malah menyalahkan ibuku yang katanya tidak bisa memuaskan si keparat itu. Aku merasa janggal. Kok malah begitu? Kenapa mereka berkata seperti itu?

Ketika aku bercerita pada ibuku soal alasan itu, ibuku cuma bilang:

"Sudahlah, Nak, sudah. Ibu ikhlas menerima semuanya kalau itu semua salah ibu,"

Aku yang mendengar itu rada tersinggung dan heran dengan sikap ibuku,

"Kenapa ibu malah jadi mengiyakan mereka? Gara-gara keparat itu kita semua jadi begini!"

Semenjak itu aku jadi antipati pada sanak familiku. Tak pernah aku bertemu muka dengan mereka lagi. Tak pernah aku mau tahu kabar mereka. Akan tetapi, suatu hari, ibuku bilang, ada adik si keparat itu memberitahukan dengan bangganya bahwa makam si keparat malah sudah diperbagus dan dipercantik. Aku yang mendengarnya naik pitam. Aku ingin menghancurkan kesombongan itu.

Begitulah dengan rasa marah yang membara, aku bawa ibuku di malam hujan deras ini sebagai saksi untuk menghancurkan keangkuhan yang dahulu pernah ada, yang bersemayam beratapkan joglo dengan cungkup wijaya kusuma di atasnya. Ibuku tidak mau tapi aku paksa. Dia bilang aku gila, tak waras, dan kerasukan setan. Tapi, peduli amat. Ini sudah jadi hasratku. Aku tak beritahukan pada adik-adikku, dan lagipula mereka sedang membanting tulang.

Ketika nisan itu pecah berantakan disambut suara tangis yang semakin kencang, aku malah semakin tertantang untuk berbuat gila lagi. Batinku belum puas. Aku segera tancapkan cangkul ke tanah makam setelah kanan-kiri kijing hancur. Aku segera menggali tanah itu, mencari jasad si keparat di kedalaman beberapa meter. Ketika dapat, jasad yang sudah terbaring terbungkus kain kafan berbentuk pocong itu segera aku angkat keluar. Aku rasakan dalam bungkusan cuma itu tulang-belulang karena ulat dan bakteri sudah memakan lapisan luarnya. Tapi, tak apa. Aku puas. Aku senang. 

Aku kemudian melempar ke atas, dan segera memanjat berpegangan pada sisi kijing yang hancur.

Ibuku yang melihatnya terkejut. Jasad suaminya kini ada di hadapannya. Ia kulihat kembali menangis lagi sembari berkata,

"Gusti, mohon maafkan hamba-Mu, dan juga anak hamba. Ampuni dosa-dosa kami!"

Tapi, aku tak peduli lagi. Aku buka kain kafan pocong itu. Kulihat tulang-belulang itu dari tengkokrak hingga kaki. Amarahku meledak melihat itu semua. Ini adalah si keparat. Si keparat yang menghancurkan kehidupan kami karena egonya. Aku merasa ia tersenyum mengejek. Membuatku meledak. Aku ambil palu besar di sampingku. Aku hancurkan tengkorak itu sampai terbelah dan menjadi pecahan lalu aku lanjutkan lagi dengan menghancurkan tulang yang lainnya termasuk tangan dan kaki yang dulu dipakai untuk menghajar aku, ibuku, dan adik-adikku. Semua kini benar-benar jadi pecahan. Ibuku sekali lagi cuma bisa menangis kencang atas tindakan gilaku ini. Menghukum si keparat diktator ini sampai ke akar-akarnya. Aku rasakan puas pada batinku. Benar-benar puas. Hasrat itu sudah terpenuhi. Apalagi saat aku putuskan membakar belulang itu jadi abu. Aku pun tertawa-tawa. Ibuku seperti aku bilang cuma bisa menangis kencang. Suaranya menyayat pilu bersanding dengan hujan, angin, dan petir.

Ketika tulang-tulang itu menjadi abu, ketika semua aku rasa berakhir, dan tidak ada jejak-jejak lagi. Ibuku berhenti menangis. Ia menatap abu yang membuat lantai makam menghitam lalu menatapku tajam,

"Kamu memang berhasil menghancurkannya, Andre. Tapi, semua akan percuma kalau ternyata kamu malah mewarisinya,"

Aku hanya terdiam mendengar ucapan ibu yang terkesan ironis itu dalam kepuasan yang aku miliki. Dari kejauhan terdengar samar suara sirine mengarah ke kami. Ya, aku sudah tahu konsekuensinya.

Jumat, 12 September 2025

Karena Robot Tidak Punya Perasaan dan Emosi

Ia berjalan cepat sesekali berlari kemudian masuk ke dalam gang sempit dan gelap. Dari situ ia atur nafas terlebih dahulu lalu melihat ke luar di sekeliling, sebuah jalan besar. Di malam gelap yang sunyi dan sepi serta dingin, dan hanya bertemankan embusan angin yang terasa menusuk tulang, serta disirami lampu jalanan yang temaram, dan beberapa terkadang menyala hanya setengah hingga korslet bahkan laron pun enggan, tampak dua benda berjalan tegap dan berisik dengan suara mekanik pada kaki dan tangan. Benda tersebut rupanya para robot berwarna hitam legam namun terlihat rangka besi dan mesinnya pada leher, sikut tangan, dan lutut kaki. Pada dada mereka tertulis huruf-huruf besar berwarna kuning: POLISI. Mata para robot humanoid ini berwarna merah menyala dengan lampu kuning di atas kedua mata. Selaras dengan muka bengis yang mereka tampilkan: seperti tengkorak dengan gigi putih tajam. Di tangan para robot kejam ini ada sebuah senapan mesin warna hitam yang bisa mengeluarkan laser untuk melumpuhkan lawan.

Dewa Bagaskara yang tahu kondisi di depannya itu segera cepat memasukkan lagi kepalanya ke gang supaya tidak ketahuan karena bagaimanapun para robot polisi itu dirancang untuk bisa mengetahui pergerakan seseorang melalui sensor, yang juga bisa mencium bau bahkan dalam jarak jauh sekalipun. Karena tahu hal, itu Dewa segera menyemprotkan badannya dengan parfum untuk mengalihkan sensor tersebut.

Sembari memegang erat senapan mesin, ia mulai waspada kemudian mulai berjalan perlahan ke arah dalam gang yang sempit, bau, dan berair serta banyak tikus besar berkeliaran. Ia upayakan jangan sampai membuat bunyi 1 desibel pun yang bisa memancing para robot polisi itu. Ia segera pakai kacamata untuk bisa melihat dalam gelap yang dapat memandunya keluar gang.

Namun, sayang, secanggih-canggihnya teknologi terkadang tak sepadan dengan penggunanya. Langkahnya yang berjalan perlahan ternyata menginjak sebuah tikus besar yang tengah berkeliaran, dan tikus mencit kencang. Suara tikus itu terdengar sampai luar gang membuat para robot polisi segera menyadari lalu mulai masuk ke gang. Dewa yang menyadari itu segera berlari kencang dalam gelap, dan ternyata dalam gang itu banyak tikus berlalu-lalang. Namun, mau tidak mau, Dewa harus melewatinya berharap bisa menemukan ujung dan keluar dari gang.

Robot-robot polisi itu berlari dengan cepat mengejarnya. Kekuatan mereka melebihi manusia. Dewa sadar akan hal itu. Karena itu, ia harus segera berlari, dan jangan sampai memikirkan capek. Ketika di depan ia menyadari ada sebuah ujung, ia percepat lari. Sayang, di depan rupanya sebuah ruang besar dan buntu dengan udara terbuka yang dibatasi oleh tembok-tembok tinggi. Kini ia sadar bahwa telah terjebak. Keringat mulai mengucur deras di tubuhnya. Jantungnya berdetak kencang disertai getaran pada tangan kaki meskipun ia berusaha meredam dengan senapan mesin yang digenggam kedua tangannya. Ia mundur sembari mengarahkan senapan ke depan.

Di depan dari dalam gelap muncullah 2 robot polisi itu dengan suara langkah tegap dan mekanik pada kaki dan tangan. Mereka berseru dengan bahasa yang kaku:

"Segera buang senjata, angkat tangan, dan serahkan diri. Jika melawan, kami tidak segan mengambil tindakan terukur,"

Dewa yang mendengar bahasa mereka yang penuh ancaman tetap dalam posisi semula, dengan senapan siap ditembakkan jika memungkinkan. Pikirannya terus bekerja untuk bisa lolos dari dua robot ini.

"Apa Anda mendengar kami? Segera buang senjata, angkat tangan, dan serahkan diri. Jika melawan kami tidak segan mengambil tindakan terukur," Begitu para robot itu mengulang perintah yang sudah diprogram, yang dalam program tidak mengenal adanya emosi dan perasaan.

Dalam kondisi demikian, Dewa mulai memutuskan untuk melawan saja. Ia akan letupkan api dari senapan mesin di tangannya. Sebab, ia berpikir kondisinya sudah teramat genting sementara para robot terus mendekatinya dengan menodongkan senapan laser ke arahnya. Ia bersiap menarik pelatuk namun semua itu berubah ketika dalam sekejap ia melihat para robot tiba-tiba terjatuh, korslet, dan lumpuh. Dari atas tembok tinggi tampaklah seorang wanita berpakaian body suit hitam-hitam dengan garis merah-merah di dada dan tangan sedang memegang busur, dan tampak ia sehabis melepaskan panah ke robot-robot itu.

Wanita itu lalu turun. Dewa yang tahu wanita itu malah berucap kecewa,

"Ganggu kerja gue aja lo!" katanya dengan muka kecewa.

Wanita itu langsung membalas dengan nada tak terima dan raut kesal.

"Udah ditolongin bukannya berucap terima kasih," Ia kemudian mengalihkan kesalnya itu ke pernyataan lain, " Udah buruan pulang. Guru lagi nungguin lo. Keluar cari bahan aja sampai lama banget!"

Dewa tidak banyak berkomentar ketika adiknya, Dewi Murti, berkata demikian. Sebab, juga tak ada waktu untuk berdebat hal-hal yang tidak perlu kalau ada hal-hal penting. Mereka berdua segera loncat ke tembok yang tinggi lalu kembali meloncat dari satu gedung ke gedung lain.

***

Beberapa menit kemudian sampailah mereka di sebuah tempat di dalam sebuah hutan yang telah dilapisi oleh pelindung elektronik yang tidak mampu dilihat atau ditembus para robot yang kini malah jadi penjaga siang dan malam pada sebuah tempat bernama Angkara Murka. Sebuah tempat yang dahulunya damai dan sentosa namun seketika berubah suram dan menyeramkan serta dikuasai para robot yang kini menjadikan manusia sebagai budak.

Dalam hutan gelap dan lebat terdapat sebuah pondok reyot yang ternyata hanya sebuah pintu masuk ke sebuah ruang bawah tanah. Di ruangan bernuansa hijau gelap dengan lampu aksen biru kuning temaram yang terdapat sebuah layar tv dan sebuah komputer besar dengan meja besar di tengah itu ada seorang tua berjanggut putih yang sedang duduk bertapa dengan menutup mata sembari memegang sebuah tongkat panjang yang dapat mengeluarkan peluru dan listrik untuk pertahanan diri. Lelaki tua itu bernama Dharma Jayagiri. Ia dahulunya adalah seorang mantan pejabat yang mengajarkan etika dan moral serta bela diri. Namun, karena ada ketidakcocokan dengan pemimpin Angkara Murka kala itu yang menginginkan penerapan semua teknologi terutama pembuatan robot kepolisian membuat ia keluar. Ia khawatir adanya robot untuk kepolisian malah akhirnya menyingkirkan polisi manusia, dan jika itu terjadi tindakan represif bisa sangat-sangat terjadi karena robot sejatinya tidak punya emosi. Pada akhirnya, semua itu benar-benar terjadi karena keserakahan Sang Lanang yang kemudian mati oleh para robot yang berhasil mengudeta dia.

"Guru," ujar Dewa begitu ia sampai memanggil Dharma dengan sebutan guru begitu ia sampai. Di belakang Dewi mengikutinya. Mereka berdiri sembari memberi hormat, "Ini bahan yang guru minta. Maaf, agak lama mendapatkannya. Karena tadi sempat ada razia dari para robot itu di penadah,"

Dewa menyerahkan sebuah bungkusan kecil berupa sebuah kartu memori berwarna abu-abu ke Dharma yang menerimanya setelah membuka mata.

"Tidak apa-apa, Dewa," katanya kemudian berdiri dari duduknya lalu menaruh kartu memori itu di atas meja. "Saya tahu karena memang benda ini berisiko. Sebab, ini ditakuti mereka,"

"Tapi, sampai kapan, guru?" tanya Dewa setelah itu, "Sampai kapan para robot itu menguasai kita? Kita, para manusia, malah jadi budak. Manusia dijadikan buruh kerja paksa di tambang-tambang. Jujur, saya ingin tanya apa sebenarnya kita bisa mengalahkan mereka? Ini sudah hampir 10 purnama kita adakan perlawanan!"

Dewi yang mendengar ucapan kakaknya segera menyela sebab dianggap tidak patut,

"Lo kalo ngomong yang sopan dong ke guru!"

"Dewi, biarkan saja kakakmu," kata Dharma menghela napas pelan kemudian mengarahkan mata ke Dewa lalu berkata,

"Saya paham mau kamu. Bukan hanya kamu, saya, juga adikmu ingin merdeka. Tapi, bagaimanapun itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Para robot polisi itu sudah mapan, dan sangat terkoneksi. Mereka sudah memelajari manusia walaupun tidak punya perasaan dan emosi. Tapi, karena itulah mereka jadi sangat kuat. Sedangkan kita, manusia, dilemahkan oleh perasaan dan emosi kita,"

Ia kemudian menghela nafas lagi. Ia tatap Dewa yang tampak sudah tidak sabaran lalu berkata kembali sembari menepuk bahu Dewa,

"Tenang, Dewa, semua bisa diatasi asal sabar, dan kita harus punya strategi. Kita butuh strategi baru,"

"Tapi, guru..." Dewa berusaha menanggapi, tapi Dharma langsung memotong, "Besok kamu, adikmu, Dyah, dan Putu, segera ke Pulau Buana Loka untuk bertemu teman lamaku, Swara Dirga, belajar strategi baru sekaligus memperdalam bela diri kalian"

Mendengar itu Dewa dan Dewi terkesiap dan siap melaksanakan. Namun kemudian Dewa menyadari ada kata dari Dharma yang membuatnya terperangah.

"Guru bilang tadi ada Dyah dan Putu, "katanya setelah itu, "Bukannya mereka masih di Jagadkarta karena Dyah hendak menemui kakaknya?"

"Ya, memang," kata Dharma tersenyum, "Tapi saya suruh pulang karena tugas esok hari,"

Mendengar kata itu, muka Dewa langsung berubah, dari capek dan kesal menjadi ceria dan berbinar. Di belakangnya tiba-tiba ada suara memanggil,

"Kang," kata suara itu halus. Dewa kenal suara itu. Ia segera menoleh. Ternyata itu adalah Dyah Isyana, istrinya. Dewa tampak tak percaya melihat ada sesosok cantik yang sudah ia kenal ada di depannya dengan tampilan seperti biasa, body suit warna biru gelap gradasi putih, dan segera menuju ke arah Dyah lalu memeluk dan mencium mesra. Dua minggu lamanya mereka harus berpisah. Tentu semua tahu kalau orang yang sudah lama tidak bertemu melepas rindunya bisa di luar nalar.

"Akang baik-baik aja?" tanya Dyah setelah berpelukan dan berciuman dengan suaminya.

"Iya, baik-baik aja, " jawab Dewa tersenyum karena selama ditinggal selalu uring-uringan. Ia lalu balik bertanya ke Dyah, "Kamu gimana? Di Jagadkarta sudah beres?" 

"Aku baik-baik aja. Iya, Kang, udah!" Jawab Dyah kemudian mencium suaminya lagi.

Setelah itu muncullah Putu Rahayu yang juga disambut gembira oleh Dewa. Sedangkan Dewi yang sudah tahu kedatangan mereka sebelumnya langsung menyeletuk ke Dewa dan Dyah,

"Mas Dewa. Kan Teh Dyah udah datang tuh. Jadi, malam ini jangan kesal lagi ya. Pokoknya main! Kan kita berempat besok mau ke Buana Loka,"

Semua yang ada di ruangan tertawa terbahak-bahak. Dharma Jayagiri yang melihat keempat muridnya kini tersenyum. Ia melihat satu per satu mereka. Dewa Bagaskara dan Dewi Murti, kakak-adik asal Barapura yang ia temukan berada di tepi jalan sepertinya ditinggalkan orang tuanya atau mungkin ditelantarkan pihak lain.

Dyah Isyana asal Jagadkarta yang memang sengaja dititipkan keluarganya untuk belajar bela diri, dan Putu Rahayu dari Hindupuri yang ia temukan secara tidak sengaja di sebuah pasar, dan sedang dipaksa meminta-meminta.

Ketika keempat orang ini sedang belajar etika moral juga bela diri kepada diri, rupanya ada benih-benih cinta antara Dewa dan Dyah. Agar tidak terjadi hal yang diinginkan, Dharma segera menikahkan keduanya dengan restu penuh dari keluarga Dyah di Jagadkarta.

Besok, mereka berempat akan ke Buana Loka, dan sudah keinginan Dharma supaya perjuangan membebaskan diri dari para robot polisi yang kini menguasai mereka, dan pemimpinnya adalah sebuah komputer yang memakai suara Sang Lanang, bisa segera terlaksana dengan memakai strategi baru karena strategi lama sudah usang.

Di tengah kebersamaan itu, ia mengundurkan diri belakang. Putu Rahayu yang berada di samping Dewi Murti segera mengikutinya sementara Dewa Bagaskara dan Dyah Isyana masih asyik melepas rindu.

Di atas atap gubuk, Dharma melihat pemandangan Angkara Murka yang dahulu bernama Griya Swarga dari kejauhan. Kota yang tampak dingin dan menyeramkan berbeda dengan di masa silam yang tampak terang dan gemilang. Akan tetapi, batinnya menekankan ia tak mau menyalahkan siapa pun karena tidak ada gunanya saling menyalahkan. Ia selalu berharap Griya Swarga kembali.

Di belakang ada Putu Rahayu yang meloncat dari bawah. Ia mendekat ke gurunya. Dharma yang tahu muridnya itu segera berkata,

"Kamu ke sinilah,"

Putu yang memakai body suit warna oranye gradasi hitam itu segera mendekat. Dharma segera mengeluarkan sebuah batu zamrud warna hijau toska dari sakunya. Ia perlihatkan itu kepada muridnya yang lebih banyak diam itu,

"Kamu peganglah ini," ujarnya, "Ini sebagai antisipasi saja kalau kartu memori yang sudah kita kumpulkan selama ini gagal"

Putu hanya menjawab singkat dan dingin sedingin angin malam yang berembus,

"Baik, guru,"

Kamis, 11 September 2025

Pasien Bertanya, Dokter Menjawab



Lampu dalam ruangan mulai dinyalakan. Pintu mulai dibuka. Meja-meja dan tempat duduk mulai dirapihkan dan dijejerkan dengan pas menyesuaikan bentuk ruangan. Kemoceng mulai berseliweran ke sana kemari untuk membersihkan debu-debu yang hinggap di atas bangku-bangku juga meja-meja. Di atas meja mulai ditumpuk berkas-berkas dari dalam laci. Komputer yang ada di meja juga segera dinyalakan oleh seorang wanita muda berbaju perawat. 

Si perawat tampak mengambil sebuah pulpen untuk memeriksa kertas-kertas bertulisan catatan-catatan dan data-data pasien dalam sebuah buku. Ia juga melihat komputer lalu membuka Microsoft Excel untuk memasukkan data baru dan memeriksa data lama untuk mendapatkan kesesuaian pasien-pasien yang sudah pernah berobat dan baru berobat.

Dari ruangan samping kemudian datang seorang dokter yang memakai kemeja kerja. Ia lalu bertanya ke perawatnya tersebut. Diana namanya.

"Hari ini ada beberapa orang mau datang dari WA?"

"Ada 5 orang, Dok," ujar Diana sembari memperhatikan data WA tersebut di komputer.

"Oke, baik," kata si dokter yang kemudian bergegas masuk ke ruangannya lalu menutup pintu.

Di luar ruangan yang berupa halaman besar tampak cahaya terang dari matahari perlahan meredup. Rupanya, senja sebentar lagi mulai mendekati malam. Pohon-pohon besar di halaman juga sudah mulai berubah warna dari terang ke gelap. Lampu-lampu taman mulai menyala menggantikan sinar matahari meski ternyata tidak bisa benar-benar menggantikan. Tak hanya lampu taman yang menyala tetapi juga lampu pada plang berbentuk persegi panjang yang dipasang pada sebuah tiang yang ditancapkan di depan pagar rumah. Plang itu bertulisan dr. Sakti lalu di bawahnya ada tulisan jam praktek: Senin-Jumat pukul 18.00-21.000. Sabtu pukul 08.00-12.000, dan kemudian di bawah tulisan-tulisan ada tulisan nomor izin praktek beserta alamat.

Selain lampu taman dan plang yang menyala, lampu beranda luar juga menyala. Kini semua tampak siap memulai aktivitas dan menerima pasien. Dua puluh menit setelah klinik dokter itu dibuka, mulailah datang dua orang pasien. Tampaknya seorang perempuan muda sedang menggandeng anak kecil. Keduanya memakai masker lalu berjalan masuk ke ruangan. Seusai menemui perawat untuk urusan administrasi yang ternyata tahu kalau pasien yang datang ini adalah langganan dokter Sakti, dan sudah booking, mereka segera masuk ke ruangan dokter setelah si perawat memberi tahu si dokter.

"Wah, Mbak Chyntia, apa kabar?" tanya dokter Sakti akrab terhadap pasien langganannya itu. Ia lalu melihat ke anak kecil di samping orang yang disapanya, "Rendi, kamu kenapa lagi?"

"Biasa, dok, batuk lagi nih" kata Cynthia lalu duduk begitu juga Rendi.

"Makan permen lagi ya?" tanya dokter Sakti sembari menganalisis penyebab penyakit.

"Iya, Dok. Sama makan es krim mulu," kata Cynthia menatap kesal anaknya, Rendi, yang tampak batuk-batuk, "Udah saya bilangin berapa kali. Susah, Dok, dibilangin,"

"Sabar, Mbak Chyntia," kata dokter Sakti tersenyum kemudian menatap Rendi, "Enak ya, Ren, permennya?"

"Iya, dok," kata Rendi semangat walau batuk-batuk, "Enak banget!"

"Mau sembuh nggak? Mau nggak batuk-batuk lagi?" tanya dokter Sakti dengan nada halus memberi isyarat dan menekan.

Rendi mengangguk.

Masih dengan nada pelan, dokter Sakti berkata, 

"Kamu sekarang jangan makan permen dulu ya sama es krim. Kalau udah sembuh baru boleh tapi jangan banyak-banyak. Oke?"

"Iya, Dok," jawab Rendi menurut.

"Anak pintar," kata dokter Sakti memuji sembari mengelus-elus kepala Rendi. Ia kemudian berkata kepada Cynthia, sang ibu, akan meresepkan obat-obatan yang harus diminum. Setelah selesai, Chyntia berucap terima kasih. Begitu juga Rendi. Mereka segera keluar menemui perawat untuk mengurus administrasi dan menerima obat.

Selanjutnya datanglah pasien-pasien lain yang ternyata sudah menunggu di bangku. Ada yang sudah booking via WA, ada yang tidak. Satu per satu masuk berdasarkan panggilan dari Diana yang tampak sigap dalam mengurus administrasi seorang diri. Pasien-pasien ini ada yang punya keluhan demam, sakit pinggang, dan tentu saja ada yang minta dibuatkan surat kesehatan karena ingin melamar kerja. 

Dokter Sakti tampak melayani dengan ramah sesuai dengan kode etik kedokteran, memberikan saran dan resep. Beginilah yang setiap hari ia kerjakan. Pagi hari ia bekerja di sebuah poli di puskesmas kecamatan, sore hari di rumah sendiri. Sebuah rutinitas yang sebenarnya bisa menimbulkan kebosanan jika tidak diselingi canda dan tawa.

Sejauh ini, ia sering mendapatkan pasien dengan keluhan yang wajar, dan bisa ditangani secara medis. Kalaupun tidak bisa menangani secara dalam, ia akan menyarankan si pasien membuat surat rujukan dari puskemas supaya bisa ditangani di rumah sakit.

Kemudian datanglah seorang pasien. Seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahun. Ia datang dengan muka merenggut dan sedikit kecut. Nada bicaranya tampak lemas dan putus asa. Itulah yang dihadapi Diana yang segera melapor ke dokter Sakti, yang kemudian menyuruh masuk.

Dalam keadaan setengah gontai dan badan tertunduk lelaki itu datang menghadap dokter Sakti. Dokter Sakti tentu saja terkejut melihat tingkah pasien di depannya, dan mempersilakan duduk.

"Boleh saya tahu, Mas, apa yang dialami?" ujar dokter Sakti seperti biasa membuka pembicaraan dengan pasien supaya pasien bercerita untuk dianalisis.

Lelaki yang merenggut itu menatap dokter Sakti dengan pandangan memelas. Dokter Sakti agak heran dengan pasien ini. Baru kali ini merasa menemukan pasien yang dirasa aneh. Lelaki itu lantas berbicara singkat,

"Istri saya, Dok!" 

"Iya, kenapa dengan istri Anda? tanya dokter Sakti ingin tahu untuk bisa tahu permasalahan yang dialami.

"Istri saya, Dok!" Lagi-lagi si laki-laki itu cuma berkata hal yang sama.

"Iya, istri Anda kenapa?" tanya dokter Sakti dengan nada pelan dan sabar sembari meminta si pasien berucap hal yang dirasakan.

Si lelaki itu kembali menatap dokter Sakti dengan serius lalu sedikit menjulurkan kepala ke arahnya. Terang saja, si dokter kaget. Si lelaki lalu berkata,

"Istri saya maunya WOT mulu,"

"Maksudnya?" Dokter Sakti pun keheranan.

Si lelaki itu lalu bercerita jika ia merasa sedih karena ketika berhubungan seks istrinya selalu ingin dalam posisi WOT atau woman on top. Ia tidak mau posisi misionaris, doggy style atau samping.

"Jangan kira kamu aku istri yang bisa kamu tumbuk sana-sini sesuai kemauan kamu! Aku nggak mau badanku kamu timpa atau kamu tubruk dari belakang. Itu sama saja kamu menjajah aku. Nggak bisa selamanya perempuan dikuasai laki-laki. Dengan WOT begini, aku bisa mengekspresikan kebebasanku dari kamu, menunjukkan kalau aku juga perkasa. Aku tidak lemah. Dan, aku juga bisa mengawasi kamu!"

Si lelaki yang bisa menirukan ucapan istrinya itu kemudian menangis,

"Saya merasa kelelakian saya hilang. Saya jadi tidak punya harga diri"

Dokter Sakti yang mendengar keluhan si pasiennya hanya bisa geleng-geleng kepala dan membatin, kenapa bisa ada pasien kaya begini ya? Heran!

"Saya harus apa, Dok?" tanya si lelaki itu masih menangis.

Dokter Sakti yang disodori pertanyaan itu menjawab dengan pelan dan sopan,

"Mohon maaf, sebelumnya, ya, Mas," ujarnya kemudian menarik napas untuk mencari kata-kata yang pas sekaligus menghibur, "Saya ini kan cuma dokter biasa. Cuma bisa menangani penyakit yang sering diderita seperti batuk, flu, demam, atau penyakit-penyakit ringan. Nah, Mas, kan saya perhatikan mengalami hubungan seksual dengan istri Mas, dan tidak menyenangkan. Jadi, saya cuma bisa menyarankan Mas untuk berkonsultasi ke dokter jiwa atau psikiater. Nah, di situ Mas sama istri mas bisa konsultasi untuk dicarikan solusi,"

"Kalau psikiater saya bisa cari ke mana?" tanya si lelaki dengan raut berubah setelah menghentikan tangisnya.

Dokter Sakti segera mencari-cari sesuatu di dalam lacinya. Ia kemudian memberikan kartu berwarna putih dengan sebuah nama tertera di situ.

"Mas, silakan hubungi dan datangi klinik nama orang di kartu ini ya. Dia teman saya," kata dokter Sakti memberikan keterangan.

Si lelaki itu menatap kartu nama tersebut. Wajahnya kini berubah bersinar seperti menemukan sebuah harapan. 

"Makasih, Dok," katanya dengan nada gembira.

"Sama-sama," jawab dokter Sakti yang kini merasa lega dan tambah lega ketika si lelaki yang tadinya merenggut itu keluar dari ruangannya. Selepas itu, ia merasa terheran-heran dan membatin, kenapa bisa ada orang kayak gitu ke sini ya?

Selepas pasien aneh tersebut, datanglah pasien-pasien lain namun dengan keluhan yang masih dianggap normal dan bisa ditangani secara medis. Untuk hal ini, ia merasa lega. Ketika jam praktek hendak berakhir, datanglah seorang pasien dengan wajah kesal. Ia seorang perempuan muda seperti Diana.

"Dokter," ujar si pasien tersebut, "Dokter, saya punya bapak. Orangnya religius banget. Rajin salat 5 waktu di masjid terus sering datang ke ceramah-ceramah,"

Mendengar ini, dokter Sakti mulai merasakan lagi jika ada pasien yang menurutnya aneh. Tetapi, ia berusaha menyimak.

"Lalu bapak Mbak sedang ada masalah?" tanya dokter Sakti menanggapi keluhan yang tampak seperti curhatan.

"Nah, ini, Dok. Saya nggak suka kalau dia ternyata jorok. Buang sampah sembarangan, malas bersihin rumah. Alasannya, nggak ada waktu karena pergi ke ceramah mulu. Ya, percuma dong dia koar-koar masalah agama di rumah, anaknya disuruh tutup aurat. Eh, dianya malah begitu!"

Dokter Sakti yang mendengar keluhan si pasien perempuan muda hanya bisa membatin lagi, ada apa hari ini kok ada orang-orang aneh?

"Saya harus bagaimana, Dok?" tanya si pasien itu setelahnya. Dokter Sakti kembali menarik napas sembari berpikir kata-kata yang tepat. Ia lalu memandang si pasien perempuan muda itu, dan berkata pelan,

"Saya mohon maaf sebelumnya. Jujur, ini bukan ranah saya. Saya hanya mampu menangani masalah yang bersifat medis saja. Saya tidak ahli dalam masalah yang berhubungan dengan akhirat karena saya tahu kalau sesuatu tidak dipegang sama yang ahlinya bisa berakibat kehancuran. Saya cuma bisa menyarankan untuk bicarakan masalah ini kepada ustad yang paham masalah ini. Maaf, saya tidak bisa,"

Raut muka si pasien perempuan muda itu berubah kecewa dan kesal,

"Kan dokter orang pintar masa iya nggak bisa nanganin?" tanyanya heran, "Nama dokter kan Sakti. Harusnya bisa dong!"

Dokter Sakti hanya tersenyum tipis seperti dipaksakan terhadap pasien aneh di depannya. Ia tak mau berdebat soal nama yang diberikan orang tuanya. Karena ia yakin orang tuanya memberikan nama tentu dengan penuh pertimbangan. Tidak asal.

"Maaf, sekali lagi saya tidak bisa. Ini bukan bidang saya,"

"Ah, payah nih!" Si pasien itu tambah kecewa, "Saya kira dokter kayak Google. Ternyata nggak!" Ia lalu beranjak dari tempat duduk, dan tanpa berucap terima kasih segera keluar ruangan.

Dokter Sakti hanya terdiam. Ia tak mau berdebat hal yang bukan bidangya dengan pasiennya itu. Karena percuma juga, buat apa. Semua sudah sesuai takarannya. Selepas itu, ia melihat jam dinding di ruangannya yang ternyata sudah pukul 21.05. Lima menit telat dari jam tutup hanya karena pasien terakhir yang membuatnya terus geleng-geleng kepala. Ia lalu membereskan barang-barangnya. Memasukkan beberapa arsip di dalam laci. Selagi itu, datanglah Diana.

"Tiba-tiba ngeloyor aja tuh, Dok, tanpa permisi," ujar Diana memulai pembicaraan tentang pasien terakhir.

"Biarkan saja," kata dokter Sakti yang tampak lelah kemudian menutup laci begitu arsip terakhir dimasukkan, "Saya hanya agak heran hari ini kok bisa ada 2 pasien dengan keluhan tidak wajar?"

"Iya, Dok. Saya juga," kata Diana mengiyakan.

"Ya, saya kan cuma dokter umum. Bukan dokter spesialis atau ustad yang bisa menenangkan jiwa orang-orang yang resah. Kamu tahu, kan?" Kata dokter Sakti yang masih tidak habis pikir serta kesal" Dibilang tadi saya Google. Aneh!" Diana hanya diam melihat kekesalan atasannya. Dalam hatinya ia ingin bilang kalau dokter dianggap paling pintar dan bisa menyembuhkan segala macam penyakit selain dukun di mata masyarakat. Cuma ia tahan

Setelah ruangan praktek rapi, mereka berdua kemudian keluar. Ruangan yang tadi terang kini sudah gelap karena lampu sudah dimatikan kecuali di bagian luar. Meja sudah dirapikan, begitu juga bangku-bangku. komputer sudah dimatikan. Pintu sudah ditutup dan dikunci. Tanda klinik sudah tutup. Diana yang sudah mengerjakan semua itu sebelumnya pamit pulang ke dokter Sakti. Ia cuma berkata hati-hati di jalan. Cukup semua untuk hari ini. Besok semua dimulai lagi.

Rabu, 10 September 2025

Aku Takut Karena Kamu Cantik!


Adam berlari sangat kencang layaknya Usain Bolt. Yang mengejarnya pun tampak tertinggal dan kewalahan, serta hanya mampu meneriakkan namanya. Itulah yang terjadi di sebuah kompleks perumahan. Seorang wanita dan pria lansia ditemani seorang gadis dengan wajah bening dan rambut panjang hitam adalah yang berupaya mengejar Adam yang tampak sangat ketakutan seperti baru melihat kuntilanak.

Ada 3 orang yang melihat aksi dari sebuah warung nasi terbuka. Salah satu dari mereka lantas berseloroh. Ia adalah orang yang memakai baju hitam.

"Ya elah, cerita lama keulang kembali," katanya seperti sudah maklum atas peristiwa yang sering terjadi berulang kali.

"Gue heran sama Adam," kata temannya yang baju putih menimpali, "Ada cewek cakep gitu kok nggak mau? Lah, gue mah pasti mau!

"Gue juga," ujar si baju hitam "Dikasih 1 aja mau gimana kalau 1.000?"

Mereka lalu tertawa-tawa

"Apa ada yang tahu kenapa Adam sering banget ketakutan lihat cewek cantik?" tanya temannya si baju biru langit, "Gue pernah lho ke rumahnya. Itu banyak banget cewek cantik datang. Putih-putih, bening-bening, atletis pula. Jadi, ingat dulu nonton Baywatch!"

Ia lalu tampak terkekeh sembari berkhayal yang indah bisa bermain dengan para wanita tersebut apalagi jika cuma memakai bikini.

"Ya ealah, Bro!" kata si baju hitam menimpali, "Pagi-pagi lo udah ngelamun jorok aja. Udah sana, pulang, main sama bini lo!"

Setelah ditimpali begitu, si baju biru tersadar.

"Ogah, ah! Bini gue mah sekarang udah kaya emak-emak gendut. Jalannya aja udah kayak ada gempa!"

Ibu penjual nasi yang sedari tadi memperhatikan ocehan bapak-bapak tersebut merasa tidak nyaman karena sudah menyangkut ke urusan ranjang. Ia lalu berkata,

"Heh, bapak-bapak emang nggak ada kerjaan lain apa selain ngurusin bodi perempuan?"

Mereka lantas berhenti tertawa dan menoleh. Si pria baju hitam lalu menjawab, 

"Ya, Bu, kayak nggak tahu aja kalau laki-laki kan lihat perempuan selalu gitu. Khayalan tinggi. Ya, nggak, semuanya?" Si baju hitam dan baju biru langit segera mengangguk lalu tertawa lagi.

Si ibu penjual nasi tampak sewot,

"Pantasan aja ya bini-bini kalian sering marah-marah kalau suaminya udah rusak begini. Ada yang cakep dikit aja, langsung deh pada melotot. Ya udah, saya sih nggak bisa melarang kalian. Cuma, ingat jangan keseringan ngutang ngopi di sini. Atau saya WA para polisi dapur buat jemput kalian!"

"Wah, kalau soal itu tenang aja, Bu," kata si baju putih berusaha diplomatis sekaligus mencairkan suasana, "Kita pasti bayar kok. Kita kan taat pajak!"

"Taat pajak, gundhulmu!" kata si ibu penjual nasi, "Ya udah sekarang bayar. Kalau nggak diingatin kagak bayar-bayar. Sama aja Lo semua kaya pejabat-pejabat korup. Ogah bayar pajak!"

Si baju hitam, baju putih, dan baju biru langit segera mengeluarkan uang dari kantong mereka,

"Nih, Bu, kita bayar dah tuh sama yang kemarin-kemarin," ujar mereka kompak. "Tuh, ya, Bu!

Si ibu penjual nasi berubah raut wajahnya dari sewot ke senyum kaya di iklan-iklan.

"Nah, gitu dong!"

"Tapi, kita masih boleh nongkrong kan, Bu?" tanya si baju hitam.

Si ibu penjual nasi cuma bilang, 

"Silakan!"

Kemudian datanglah seseorang dengan menaiki motor RX King lalu berhenti di depan mereka. Ia turun, membuka helm, dan semua terkejut karena itu adalah seseorang yang memakai celana gombrong, baju lengan panjang, kepala dan leher tertutup kain yang terikat ke belakang mirip Ninja. Pada mukanya ia mengenakan kacamata hitam tebal, dan kain untuk menutupi hidung dan mulutnya.

"Kok bisa ya di depan mata gue ada Ninja Hatori?" tanya si baju biru langit heran dengan sosok yang dilihatnya, yang kini maju ke arah mereka kemudian bertanya,

"Mohon maaf," katanya halus, dan ketika mendengar suara itu mereka segera menyadari itu adalah suara wanita, "Kalau boleh saya tahu kenapa tadi di jalanan ada orang lari kencang banget terus di belakangnya ada nenek-nenek dan kakek-kakek juga ada wanita yang kelihatan muda, kayaknya ngejar"

Si baju hitam segera menjawab,

"Oh, itu, Adam, Mbak," katanya, "Anak sini. Dikejar-kejar karena takut sama cewek. Padahal cakep ceweknya. Kan takut sama cewek yang mukanya serem kaya kolong wewe. Ini takut sama yang cakep-cakep,"

Ia lalu tertawa keras diikuti teman-temannya. Si wanita berpakaian ninja itu agak risih mendengar kata-kata lelaki di depannya. Ia cuma membatin, kayaknya gampang banget kasih stigma wanita jelek disamain kayak makhluk gaib.

"Boleh saya tahu ke mana larinya?" tanya si wanita ninja.

"Biasanya dia lari ke taman di ujung jalan sana, Mbak," kata si baju hitam sembari menunjuk dengan jarinya.

"Baik, terima kasih" si wanita ninja kemudian mundur, berbalik badan, dan segera menaiki motornya kemudian meninggalkan mereka.

Selepas itu, si baju putih segera berkomentar,

"Gue penasaran dengan di balik baju ninjanya. Pasti dia cantik banget!"

"Sotoy lo!" kata si baju biru langit menimpali.

"Ya, mau cantik atau nggak. Yang jelas di balik baju itu ya ada tetek sama memek lah!" kata si baju hitam. Mereka kembali tertawa-tawa. Si ibu penjual nasi cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala sembari membatin, laki-laki kok pikirannya kalo nggak wajah, ya bodi, terus tetek. Ampun deh, ampun!

***

Tahu apa kalian soal ketakutanku. Ini bukan ketakutan yang remeh. Bukan pula ecek-ecek. Kalian bilang begitu karena kalian tidak mengalami. Andai saja kalian mengalami, kalian akan tahu rasanya ketakutan itu! Memang, ketakutanku ini aneh bagi kalian. Tidak normal, mengada-ngada. Terserah. Tapi, aku cuma bilang kalau aku sangat ketakutan. Ketakutan ini juga bukan tanpa sebab, dan semua berasal dari dia yang bernama Winka. Dia, dia. Ah,.tidak! Apa aku harus menyebut namanya yang terlarang bagiku? Dia yang membuatku seperti ini!

Wanita itu memang sangat cantik seperti bidadari kahyangan. Semua terpesona melihatnya. Termasuk aku. Aku mengaguminya. Dia benar-benar sempurna dalam pandanganku. Oh, tampilan visualnya mirip seperti para model di catwalk. Tatapan matanya terasa menggoda. Bibirnya tipis tapi aku sudah bisa membayangkan jika berciuman dengannya, kalian akan mendapatkan kenikmatan. Tutur katanya sungguh halus, dan bisa membuat yang mendengarnya terasa terangsang luar-dalam.

Aku terang saja harus mendapatkan dia. Kenyataannya aku berhasil, dan mengalahkan semua kompetitor. Aku ajak dia kencan berulang kali, dan terlihat ada hasrat ingin menidurinya. Jujur, aku tidak akan munafik karena dia juga mau begitu jika melihat bahasa tubuhnya. Namun, Winda ini selalu saja bisa menolakku dengan alasan mencari waktu yang tepat. Aku tidak masalah. 

Ketika waktunya tiba untuk merajah tubuhnya dengan cuma-cuma seiring hasrat dan berahiku yang memuncak luar-dalam, aku tentu tidak sia-siakan. Akan tetapi, ketika kami sudah dalam keadaan telanjang, dan baru akan foreplay, ia tiba-tiba menendang penisku. Aku terkejut. Kesakitan dan terjatuh. Ia kulihat hendak mengambil pisau dapur di sebuah meja dekatnya. Seketika pandanganku berubah. Aku yang melihatnya seperti model-model seni telanjang itu malah kini melihatnya dalam bentuk monster yang hendak mencabik-cabikku. 

"Tidak ada tempat bagi seorang penjahat kelamin!" katanya sembari memegang pisau bersiap menyerangku, "Lo kira gue cewek murahan apa? Kok lo gampang banget ya nyodorin titit ke gue!"

Aku lantas terheran-heran dengan ucapannya.

"Maksud lo apa? Perasaan gue bukan penjahat kelamin!"

"Perasaan-perasaan, makan tuh perasaan! Emangnya gue nggak tahu tingkah lo ke teman-teman gue. Enak banget numbuk sana, numbuk sini!" katanya dengan nada geram. Aku yang mendengarnya seketika teringat; Ina, Indah, dan Mirna.

"Lah, itu kan mereka yang mau! Kenapa jadi gue yang kena?" ujarku menolak semua itu.

"Jangan pakai ngelak!" katanya kemudian mulai menyerangku. Aku yang masih merasakan kesakitan berupaya mengelak. Pisau itu hendak menghujamku, tapi aku berhasil menghindar, dan cuma mendarat di lantai. Winka segera mencabut pisau itu. Dalam keadaan kaya begini, aku sudah tidak bisa seperti orang normal lagi untuk bisa melihat lekuk tubuh yang telanjang itu. Aku berupaya menghindar hujaman pisau itu terus-menerus sampai akhirnya aku bisa berdiri, dan aku lihat dia sedang di atas karpet, dan aku ada di ujungnya. Aku segera menarik ujung karpet tanpa ia sadari. Ia lalu terjatuh ke lantai, dan kepalanya terkena kaki meja. Ia merasakan kesakitan, dan kemudian pingsan. Sebuah benda di atas meja lantas terjatuh di atas mukanya. Rupanya itu sebuah dildo. 

Aku yang tahu ia pingsan segera kabur tunggang langgang dari kamar apartemennya. Aku tak peduli kalau aku telanjang. Aku cuma peduli keselamatanku. Semenjak itu aku jadi trauma dengan cewek cantik bahkan melihat saja enggan. Aku malah lebih baik melihat cewek dengan muka jelek dan buruk. Itulah alasanku aku takut terhadap cewek cantik. Aku selalu bersembunyi di kamar atau di bawah tempat tidur kalau di rumahku kedatangan cewek cantik. Ini biasanya kerjaan orang tuaku yang selalu membawa mereka untuk diperkenalkan denganku sebab aku belum menikah juga bahkan sampai umurku hampir 40. Ah, aku tidak mau memikirkan hal itu. Diri aja udah ribet dan takut sama cewek cantik yang aku anggap kaya melihat kuntilanak atau sundel bolong, ini malah disuruh nikah. Ogah!

Aku harap kalian mau memahami soal ketakutanku ini. Ini tidak main-main. Aku benar-benar trauma. Orang tuaku juga tidak memahaminya. Berulang kali psikolog didatangkan ke rumah, dan selalu saja psikolog cantik. Kata ibuku, siapa tahu berjodoh. Aku tetap tidak mau! Dan, keringat dingin akan selalu ada di tubuhku jika di hadapanku ada seorang cewek cantik. Ah, tidak!

***

"Permisi," sebuah suara datang menuju ke sebuah pipa besar di taman. Suara itu datang dari seorang wanita ninja yang kini tengah berjongkok di depan pipa tersebut. Ia tahu Adam ada di dalamnya.

"Kamu Adam, bukan?" tanya si wanita ninja masih dengan nada pelan dan halus.

"Siapa kamu?" tanya Adam curiga, "Kamu pasti psikolog yang dikirim sama bapak dan ibu saya. Bilangin ya, saya nggak mau ketemu. Kamu cantik. Aku takut!"

"Aku bukan psikolog kok," kata si wanita ninja, "Aku juga nggak cantik. Aku jelek,"

"Lalu mau apa kamu ke sini?" tanya Adam masih dengan penuh curiga dan ketakutan.

"Aku mau kenalan dan main sama kamu. Boleh, kan?" kata si wanita ninja membujuk.

"Beneran kamu bukan psikolog? Kamu jelek?"

"Iya, benar kok,"

Adam yang ketakutan itu perlahan mulai keluar dari pipa besar. Ia merangkak lalu berdiri, dan kini tampak di depannya seorang wanita dengan tampilan seperti ninja. Adam merasakan sebuah gejolak kala melihatnya. Ia suka dengan wanita ini. Mereka lalu berkenalan, dan mulai berbincang.

"Kamu katanya takut ya sama cewek cantik? Kenapa?" Adam mulai menceritakan, dan si wanita ninja mendengarkan dengan penuh simpati.

"Nah, kamu sekarang pulang ya," kata si wanita ninja setelah mendengarkan semua cerita. Ia lalu melihat dari kejauhan 3 orang yang hendak ke taman, "Itu bapak dan ibumu mau menjemput juga seorang gadis sepertinya,"

"Itu psikolog, "kata Adam langsung merespons, "Dia cantik. Aku nggak mau ketemu,"

"Kamu tenang aja," kata si wanita ninja, "Sekarang lihat aku ya!" 

Adam lalu menatap si wanita ninja, 

"Anggap aja si psikolog itu wajahnya sama kaya aku. Jelek, jelek banget!"

Adam menuruti si wanita ninja yang tampak memesona dirinya.

"Oke, aku duluan ya" Si wanita ninja bergegas dari pandangan Adam kemudian menaiki motor RX King, dan melaju.

***

Senja mulai mendekati malam. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang sembari bersahut-sahutan. Bersamaan dengan itu, sebuah RX King masuk ke halaman sebuah rumah besar berpagar besi tinggi lalu diparkir di depan garasi. Yang mengendarai segera turun lalu membuka helm. Ia lantas menuju ke beranda rumah. Di situ ada seorang laki-laki tua tampak sedang melihat smartphone. Ia kemudian mencium tangan si lelaki itu.

"Sudah pulang kamu, Eva?" kata si lelaki tua itu, "Bagaimana dengan anak yang bernama Adam itu?"

"Anaknya baik, ganteng tapi ya benar memang trauma sama cewek cantik, Ayah," kata Eva seperti memberikan laporan kepada lelaki tua yang ia sebut ayah, "Aku ragu kalau dia beneran mau sama aku sementara aku kaya begini,"

Si Ayah hanya tersenyum, 

"Nah, di situlah tantangannya, Nak! Ini kan masih awal. Kamu harus sering intens sama dia,"

"Iya, Yah!"

"Sudah sana segera mandi. Istirahat,"

Eva segera masuk ke dalam rumahnya kemudian menuju ke kamarnya. Di sana ia segera melepas pakaian ninjanya. Kini ia dalam keadaan tak berbusana. Ia pandang dirinya pada cermin di kamarnya. Wajah yang tampak ayu dengan muka yang oval, mata coklat, hidung mancung, dan bibir sedikit tebal bahkan sensual. Ia pandangi tubuhnya yang sintal lalu payudaranya yang proposional dengan puting susu coklat kemerahan. Ia seperti merasakan ada cahaya pada kulitnya yang terang. Ia lalu bertanya pada dirinya: Apakah mau Adam dengan dirinya yang mempunyai tubuh seperti dewi Sri? Ia khawatir Adam pasti tidak mau karena menyadari bahwa ia juga cantik, dan Adam tampak ketakutan dengan cewek cantik. Memang tidak normal karena ia tahu tubuh ini sudah pasti jadi santapan para hidung belang jika diumbar-umbar. Tapi, lagi-lagi, bagi Adam malah kebalikannya.

Dalam ketelanjangan itu, ia merasa dirinya seperti dirasuki sesuatu. Ia merasa sange. Wajah Adam benar-benar membuatnya tergila-gila. Rasanya ia ingin memainkan alat kelaminnya agar keluar cairan itu. Tanpa pikir panjang, Eva segera masuk ke kamar mandi, dan melampiaskan hasrat seksualnya. Ia kini memikirkan Adam, dan Adam juga pasti memikirkan dia.

***

"Bu, aku mau ketemu wanita ninja itu," ujar Adam kepada ibunya saat mereka berdua di kamar Adam, "Aku suka dia, Bu!"

Ibunya hanya menggeleng heran.

"Kenapa kamu suka dia?" Ibunya kini bertanya menyelidik.

"Karena dia jelek, Bu! Aku suka cewek yang jelek!"

Si ibu sekali lagi hanya menggeleng heran.

"Bagaimana kalau ternyata wanita ninja itu cantik seperti yang sering ibu ajak ke sini termasuk si Karina, psikolog? Apa kamu masih mau?"

Adam hanya terdiam. Bingung.

Selasa, 09 September 2025

Cantik? Benar, Udah Itu Aja?


"Itu foto dipandang terus. Lama-lama jadi suka lho!" ujar Arya pada Indra ketika keduanya berada di sebuah ruangan berisi foto-foto hasil jepretan para fotografer termasuk mereka berdua. Ruangan ini memang ruangan yang dikhususkan bagi foto-foto fotografer yang pernah, sedang, dan tidak bekerja lagi di tempat mereka bekerja sekarang, sebuah majalah berita terkenal.

Ruangan ini dibuat supaya karya-karya foto berita yang pernah ditampilkan di majalah atau situs tidak hanya ada dalam cetakan saja tetapi keluar dari cetakan itu serta sebagai sebuah bentuk apresiasi. Namun, hanya foto-foto terbaiklah yang bisa dipajang. Foto-foto yang ada sekaligus sebagai pengingat bahwa gambar pun bisa berbicara.

Arya dan Indra adalah dua dari 5 fotografer di majalah berita tersebut. Mereka ada di ruangan karena sang redaktur foto meminta keduanya memeriksa foto-foto yang mungkin bisa ditampilkan pada pameran foto untuk acara ulang tahun kantor mereka.

Indra yang mendengar celetukan Arya hanya terdiam. Ia terus memandang foto berukuran setengah besar yang terpajang di dinding bersanding dengan foto-foto lainnya. Dalam foto tanpa bingkai itu tertangkap gambar seorang wanita yang sedang berdiri tersenyum sembari memegang cangkul dengan latar belakang sebuah kebun pisang dan langit biru. Wajahnya yang coklat terang selaras dengan baju merah gradasi kuning serta celana warna krem dengan sepatu juga warna yang sama.

Tentu saja Indra kenal wanita dalam foto itu. Ia adalah Isyana, seorang aktivis pertanian muda dari Priangan yang tampilannya jauh dari kesan sebagai seorang aktivis pertanian. Maklum, Isyana dahulunya adalah seorang foto model sebuah majalah gaya hidup laki-laki namun memilih keluar karena merasa sudah tidak cocok dengan dunia yang agak patriarkis, keindahan perempuan selalu dijadikan objek belaka.

Karena berlatar belakang model itulah, tak mengherankan jika Isyana selalu tampil modis. Tapi, itu umumnya untuk pertemuan formal saja. Kalau di sawah, ia tidak akan segan mencangkul, membungkuk menanam padi, serta tidak peduli kulit cantiknya kotor terkena lumpur. Toh, menurutnya, kalau tidak berlumpur nanti padi-padi tidak bisa ditanam lalu beras tidak ada sehingga tidak jadi nasi. Kalau sudah begitu, ya siap-siap lapar saja karena tidak ada usaha.

Indra yang ditugaskan redakturnya mengambil foto Isyana untuk menemani temannya, Winda, reporter untuk menulis profilnya, dalam hatinya merasa seperti melihat bidadari turun dari langit. Memang begitu memesona wanita-wanita Priangan. Sejak dahulu banyak terpukau oleh mereka. Ia tampak begitu tersihir oleh kecantikan mereka yang selaras dengan keindahan alam Priangan. Apalagi memang bahasa yang dituturkan pun begitu halus, dan enak didengar.

Tak pelak memang foto karya Indra itu jadi salah satu yang terbaik sehingga boleh dipajang di ruangan tersebut. Foto itu diambilnya 2 tahun silam.

"Ya, dibilangin jangan kelamaan mandang, ntar suka lho!" ujar Arya terus menyeletuk ke Indra yang masih serius memandang foto tersebut. Ia lalu mendekati Indra. Memegang bahunya lalu menepuk, dan berkata kembali:

"Kalau gue perhatiin dari tadi emang lo suka kan nih cewek?" Arya juga menyorotkan pandangannya ke foto karya Indra itu, "Ya, gue akui nih cewek dalam foto lo cakep banget. Gue aja jujur nggak tahan melihat kecantikannya. Buat gue melayang dan berkhayal. Terus juga lo emang pintar ambil gambarnya. Lo pintar ambil posenya. Bajunya juga oke, Dra? Lo yang milihin?"

"Kalo baju sih dia sendiri," ujar Indra akhirnya berbicara, "Gue cuma ngarahin aja. Kebetulan dia mantan foto model, jadi gampang ngarahinnya,"

"Nah, itu dia, foto model, men! Lo liat aja nih ya dari sudut pandang lelaki emang dia udah mantap apalagi buat main di ranjang! Hahahaha!"

"Pikiran lo cabul mulu, Bro!" kata Indra menanggapi temannya yang sudah mulai melihat wanita sebagai objek pemuas mata dan berahi.

Mendengar itu Arya sedikit terheran kemudian dengan sigap berkata balik,

"Ya elah, gue nggak mau munafik! Sebagai lelaki, cewek dalam foto lo ini memang bikin mata dan jiwa menggelegar luar-dalam. Lo liat senyum yang berpadu dengan kecantikannya. Ampun, dah! Dia itu udah paripurna banget bagi cowok kaya gue. Kalau dia bini gue, tiap malam gue habisin dah sampai puas!"

Arya kemudian tertawa lagi.

"Sayang, gue udah punya bini. Sama tuh kaya cewek dalam foto lo. Gue rada ngebet abis fotoin dia jadinya gitu. Gue nggak tahan, dia juga nggak tahan. Hahahaha!

Ia lalu terdiam,

"Tapi sekarang kok ngeliat dia udah nggak kaya dulu lagi ya? Apa karena tiap malam gue main mulu?"

Arya kemudian melihat hape di tangannya. Tampak ada sebuah pesan masuk.

"Nah, gue cuma bilang, mumpung masih bujang, lo puas-puasin deh. Kalau udah nikah, bakal susah lo mau ngapa-ngapain. Liat aja! Baru juga mau jam 8, orang rumah udah WA. Katanya alasannya sangelah. Lah, gue aja belum sange atau emang gue udah nggak sange. Gue justru sange lihat cewek di foto lo!"

"Ya, udah lo out deh!" kata Indra tampak mulai risih.

"Oke, brother!" jawab Arya dengan senyum, "Nanti, gue bilang ya ke Mbak Anna lo masih di sini mau ngewe sama cewek di foto lo!"

Arya pun terkikik, dan Indra cuma berkata: huss!!!

Selepas Arya pergi, Indra terus memandangi foto Isyana yang tampak bagaikan Srikandi. Cantik memesona tetapi juga kuat, tidak lemah, dan garang. 

Isyana, bagaimana kabarnya sekarang? tanya Indra dalam hati, dan ia merasa Isyana tersenyum padanya membuatnya terlena, dan...

***

Isyana datang ke sebuah kafe sederhana dengan tampilan begitu kasual nan anggun. Memakai baju bermotif kembang hijau dan ada gradasi merah serta celana jins berwarna biru langit, dengan sepatu kets krem. Auranya masih tampak sebagai foto model meski ia sekarang adalah aktivis pertanian.

Indra yang melihatnya merasakan ada gejolak dalam diri dan hati. Keduanya berpadu membentuk nada-nada keterpersonaan yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata, dan hanya bisa ditangkap dengan foto.

"Aku tahu kamu selalu merasa begitu kalau aku datang," kata Isyana yang memahami laki-laki di hadapannya ini tahu bahasa pujian dari sebuah gestur tubuh. Ia kemudian duduk berhadapan.

"Ya, habis kamu cantik banget kaya Sri Pohaci. Bagaimana aku tidak bisa selalu seperti ini?" ujarnya polos.

"Ah, kamu memang lelaki superpolos yang pernah aku temui. Sepolos foto-foto mu,"

Wajah yang cantik itu kini berhadapan muka dengan Indra. Ia semakin merasakan gejolak.

"Apa sih yang kamu pikirkan kalau lihat aku dan juga mikirin aku?" Isyana bertanya kepadanya dengan sorot mata ke atas, bawah, kiri, dan kanan.

"Ya, cantik. Kamu cantik," jawab Indra sekenanya meskipun ia tahu ingin berkata hal lain cuma itu dirasa tidak sopan.

Isyana yang tahu itu dari raut muka Indra langsung berkata dengan nada investigasi,

"Yakin? Cuma itu? Cantik?"

Indra terdiam. Alunan musik jazz di kafe seolah-olah menahannya untuk bicara lebih banyak mengenai perempuan yang kini ada di depannya.

"Dra, kan kamu tahu aku ini mantan foto model," Isyana lalu sedikit menjauhkan posisi duduknya dari Indra.

"Setiap hari aku kerja dengan para lelaki. Aku tahu semua lelaki. Dari baik hingga yang bejat. Mata mereka aku selalu wah saat memandangku, memandang aurat-auratku demi kepuasan mereka. Semua terlihat dari sorot mata mereka. Kamu lihat kan kulit tubuh ku yang tertutup ini setiap harinya bermandikan cahaya foto. Aku tahu mereka nafsu saat memotretku bahkan ada yang ngajak ke kamar tapi aku tolak. Sebab, aku masih ada moral meskipun auratku sudah jadi objek nafsu mereka bahkan saat juga aku berfoto telanjang,"

Indra yang mendengar itu langsung melotot matanya dan kaget,

"Kamu pernah foto telanjang?"

"Aku tahu kamu kaget. Atau mungkin kamu udah tahu kalau di internet ada banyak fotoku yang kayak gitu?

"Jujur, aku nggak tahu. Ini baru aja dengar dari kamu,"

"Oh, bagus deh kamu nggak tahu, dan baiknya jangan tahu. Bahaya buat otakmu," Isyana kemudian memajukan kepalanya,

"Tapi, jujur aja meski kamu tadi nggak tahu aku pernah pose telanjang yang sudah berulang kali, kamu juga pasti sering bayangin aku bugil, kan?"

"I, iya,"

"Nggak apa-apa. Aku senang kok kamu jujur. Memang rata-rata laki-laki seperti itu. Kamu tentu juga membayangkan aku sembari bermasturbasi, kan?"

"I, iya"

"Oke, aku suka kejujuran kamu. Karena itulah, aku mau jadi pacar kamu. Aku jujur aku juga sange melihat kamu. Tapi, aku berusaha tahan. Ya, di rumah aja aku keluarin! Ia lalu tertawa pelan.

"Kamu sange?" tanya Indra tak percaya.

"Lho, memangnya cuma laki-laki aja yang punya hak sange. Perempuan juga. Tapi, ya aku masih tahu moral dan agama ya. Jadi, kalau kamu mau merajah aku, halalin aku! Kamu siap?"

"Iya, aku siap!"

***

"Udah, Ndra, mandang fotonya?" Sebuah suara tiba-tiba ada di sampingnya. Indra merasa mengenal suara itu. Ia lalu menoleh. Rupanya Mbak Anna, redakturnya, "Mandang foto lama banget udah kayak orang melamun,"

"Eh, iya, mbak, maaf," ujar Indra lalu hanya tersipu dan sedikit salah tingkah.

" Udah tau mana aja foto yang mau dipamerin?" tanya Mbak Anna setelah itu.

"Udah sih, Mbak. Tinggal diambil aja," jawabnya sembari melihat foto-foto yang ia sudah tandai dalam pikirannya.

"Ya, udah, kamu panggil Harso buat ambilin,"

"Siap, Mbak,"

"O, iya, jangan kelamaan melamun kayak tadi. Kalau suka udah sana kejar," kata Mbak Anna sembari mengarahkan pandangannya ke foto karya Indra tersebut.

"Iya, Mbak,"

Mbak Anna kemudian meninggalkan Indra. Indra kini bersiap menghubungi Harso, si office boy, via WA untuk membantunya mengambilkan foto-foto yang ia sudah seleksi dan akan dipajang di pameran.

Ketika ia hendak melihat hapenya untuk WA, tampak ada pesan WA masuk, dan pesan itu bertulisan: Indra, apa kabar?, dengan nama pengirim: Isyana Aktivis Tani.

Indra langsung saja tersenyum dan jadi antusias.

"

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran