Pages

Sabtu, 21 November 2020

Hikayat Inggris di Tanah Jawa dalam Dua Periode

Inggris di Tanah Jawa adalah periode ketika negara pulau yang terletak di Eropa tersebut menjejakkan kakinya di salah satu pulau tersubur dan terpenting di dunia itu untuk mengadministrasi kekuasaan dan menguasai pulau tersebut. Ternyata dalam sejarahnya sudah dua kali Negeri Ratu Elizabeth menginjakkan kaki di Pulau Jawa yang merupakan pulau pusat pemerintahan di Indonesia. Yang pertama adalah pada periode 1811-1816 dan kedua adalah periode 1945-1946. Lalu mengapa bisa Inggris, negara yang di masa silam punya julukan The Sun Never Sets in British Empire –karena punya banyak tanah jajahan- itu ada di Pulau Jawa? Yuk, mari kita simak penjelasan di bawah ini.



Periode Pertama (1811-1816)




Pada periode yang pertama ini Inggris datang ke Pulau Jawa karena untuk menggantikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Waktu itu, Belanda merupakan sekutu Prancis dalam era Napoleon Bonaparte. Sang jenderal yang kemudian menjadi kaisar itu lantas mendudukkan saudaranya, Lodewijk atau Louis, sebagai raja di Belanda setelah Prancis berhasil menduduki Belanda yang dibantu oleh orang-orang Belanda pro-Prancis. Dalam orang-orang Belanda pro-Prancis ini terdapat Willem Herman Daendels.

Nama tersebut tentu sudah tidak asing lagi bagi orang Indonesia. Sosok Daendels akan dikenang sebagai sosok yang kejam karena memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg dari Anyer hingga Panarukan pada masa pemerintahannya. Jalan itu dibangun untuk mobilisasi pasukan Belanda-Prancis dalam menghadapi serangan Inggris ke Jawa. Perlu diketahui, Inggris merupakan rival berat Prancis di Eropa selain Rusia dalam era Napoleon.

Kedatangan Inggris ke Pulau Jawa juga sudah merupakan mandat untuk mengakhiri kekuasaan Prancis di seberang lautan serta mendapat restu dari Willem V, wali negara Belanda terakhir di era Republik Belanda Bersatu yang tersingkirkan oleh Revolusi Batavia pro-Prancis pada dekade akhir 1790-an. Wali negara ini melarikan diri Inggris dan meminta bantuan negara tersebut setelahnya melalui Surat Kew.

Dalam sejarah Indonesia, periode pertama Inggris ini akan selalu muncul nama yang akrab di telinga, Sir Thomas Stamford Raffles. Sosok yang kemudian dikenal sebagai pendiri Singapura modern ini dipuja oleh banyak kalangan sebagai sosok yang cukup berhasil merombak dan merapikan administrasi pemerintahan di Jawa. Raffles yang mempunyai kecintaan pada dunia botani dikenal menerapkan sistem sewa tanah yang mewajibkan rakyat atau petani membayar pajak kepada pemerintah melalui uang sewa atas tanah yang digarap.

Selain itu, Raffles tertarik pada budaya Jawa dan mengekspresikan ketertarikannya melalui History of Java yang terkenal tersebut. Akan tetap, rupanya ada beberapa hal yang menodai keberadaan Inggris di Tanah Jawa. Tim Hannigan dalam bukuya, Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa menyebut, di masa Raffles berkuasa inilah Jawa dikacaubalaukan. Raffles mengubah tatanan kesopanan yang berlaku dari masa Belanda berkuasa saat berhadapan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa seperti Surakarta dan Yogyakarta, dan menimbulkan huru-hara melalui peristiwa bernama Geger Sepahi yang terjadi pada 1812, dan dipimpin oleh Rollo Gillespie. Peristiwa yang menghancurkan Keraton Yogyakarta dan seluruh isinya ini terjadi di masa Yogya dipimpin oleh Hamengkubuwono II yang kemudian digulingkan Hamengkubuwono III melalui bantuan Inggris.

Pada peristiwa ini Inggris mengerahkan sebagian besar pasukannya dari Resimen Benggala, India. Karena resimen inilah nama Sepehi yang berasal dari nama Sepoy, demikian orang-orang dari resimen tersebut, muncul. Peristiwa Geger Sepehi merupakan peristiwa yang amat mempengaruhi kewibawaan Keraton Yogyakarta dan memicu Perang Jawa setelahnya. Hingga hari ini dampak peristiwa memalukan tersebut masih sangat berbekas.

Periode Kedua (1945-1946)


Periode kedua kedatangan Inggris ke Jawa juga hampir mirip dengan periode pertama, yaitu transisi dan pemulihan kekuasaan. Hal ini ada hubungannya dengan akhir Perang Dunia Kedua. Ketika perang terbesar dalam sejarah umat manusia itu berakhir, Inggris yang merupakan salah satu pemenang perang ditugaskan oleh Amerika Serikat untuk melucuti kekuasaan Jepang yang berada di Pasifik Barat. Wilayah ini termasuk Sumatra dan Jawa.

Inggris datang sebagai pemegang komando SEAC yang berada di bawah pimpinan langsung Lord Louis Mountbatten. Kedatangan Inggris ke Jawa ini tentu saja tidak disukai oleh para pemuda karena ditengarai merupakan aksi untuk menjajah kembali Indonesia. Apalagi kedatangan Inggris juga diboncengi Belanda, yang memang sudah meminta Inggris mengembalikan lagi Indonesia yang dirampas oleh Jepang pada 1942. Awalnya, Inggris tidak mau ikut campur terhadap kobaran Revolusi 17 Agustus 1945 oleh para pemuda terutama di Surabaya, dan memilih netral.

Namun karena provokasi dari Belanda melalui NICA terjadilah beberapa pertempuran antara Inggris dan TKR serta para pemuda yang berpuncak pada tewasnya Jenderal A.W.S Mallaby pada November 1945. Menariknya adalah hampir semua tentara Inggris itu berasal dari India. Sama seperti periode pertama. Namun di periode kedua ini adalah dari Gurkha.

Pembunuhan Mallaby inilah yang kemudian membuat Inggris marah lantas membombardir Surabaya selama hampir sebulan dari enam hari yang diperkirakan. Peristiwa yang terkenal sebagai Pertempuran 10 November 1945 atau Pertempuran Surabaya itu membuat Inggris menyadari posisi mereka yang sebenarnya. Apalagi Parlemen Inggris juga getol meminta Inggris tidak ikut campur terhadap masalah yang terjadi di Indonesia, dan meminta Inggris menghormati kemerdekaan Indonesia.

Selain Pertempuran Surabaya, juga terdapat peristiwa Bandung Lautan Api pada 23 Maret 1946. Dua peristiwa besar ini kemudian membuat Inggris menarik diri dari Indonesia, dan lantas mendukung kemerdekaan Indonesia, dengan meminta Belanda dan Indonesia untuk berunding melalui Perjanjian Linggajati. Di kemudian hari, Inggris meminta maaf telah mengebom Surabaya seperti yang dikutip oleh Batara Hutagalung dalam Indonesia Tidak Pernah Dijajah.

Itulah Hikayat Inggris di Tanah Jawa yang terbagi dalam dua periode. Dapat disimpulkan kedatangan Inggris hanya sebagai pemulih kekuasaan, dan sebenarnya sudah melaksanakan tindakan sesuai prosedur. Sayangnya, ketetapan tersebut tidak berjalan sesuai dengan di lapangan. Raffles yang tergila-gila pada Jawa malah menghancurkan Yogyakarta karena ambisinya yang kelewatan, dan tentara Inggris di Surabaya yang kebingungan pada situasi setelah kemerdekaan serta tersulut oleh provokasi Belanda sehingga meluluhlantakan kota terbesar kedua di Indonesia tersebut.

Kamis, 12 November 2020

KRL Jogja-Solo Seperti Apa dan Bagaimana Pengoperasiannya?


Pengertian


KRL Jogja-Solo adalah layanan kereta rel listrik komuter yang melayani  rute Yogyakarta dan Solo yang masing-masing berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Layanan kereta rel listrik atau KRL ini merupakan yang pertama beroperasi di luar wilayah Jakarta dan sekitarnya atau Jabodetabek-Lebak. Karena itu, banyak orang yang mengasosikan KRL dengan Jakarta dan daerah-daerah penyangganya. Alasan dipilihnya Yogyakarta dan Solo sebagai tempat beroperasi selain Jabodetabek-Lebak adalah karena tingginya mobilitas masyarakat di kedua kota terutama yang menggunakan transportasi massal. Kebutuhan akan transportasi massal yang efisien, efektif, ekonomis, dan aman juga menjadi alasan lainnya. Kedua kota sebenarnya sudah mempunyai transportasi massal berupa kereta Prambanan Ekspres. Namun, kereta yang disingkat Prameks itu ternyata kehadirannya dirasa belum cukup jika dikaitkan dengan kecepatan dan efektivitas sebab masih memakai diesel sebagai mesin penggerak. Selain itu, daya angkut penumpang pada Prameks maksimal hanya 800. Bandingkan dengan KRL yang mampu mengangkut hingga 1.000 lebih. Kereta komuter Jogja-Solo sendiri diproyeksikan menggantikan Prameks.

Rute dan Stasiun


Rute untuk KRL Tanah Jawa ini sekitar 60 kilometer meliputi Yogyakarta-Klaten-Solo. Jarak ini tentu saja masih kalah jika dibandingkan dengan jarak KRL Jabodetabek-Lebak yang mencapai hingga 418 km. Rute yang digunakan ini juga menggunakan rute yang sudah ada, yang sebelumnya merupakan rute Prameks. Untuk stasiun sendiri, KRL Commuter Line Jogja-Solo mempunyai 11 stasiun, yaitu:

  • ·         Stasiun Yogyakarta
  • ·         Stasiun Lempuyangan
  • ·         Stasiun Maguwo
  • ·         Stasiun Srowot
  • ·         Stasiun Klaten
  • ·         Stasiun Ceper
  • ·         Stasiun Delanggu
  • ·         Stasiun Bawok
  • ·         Stasiun Purwosari
  • ·         Stasiun Solo Balapan

Yang perlu diketahui beberapa stasiun terletak dekat atau mempunyai akses ke tempat-tempat penting seperti tempat wisata atau fasilitas publik. Stasiun Yogyakarta dan Lempuyangan dekat dengan tempat-tempat penting di Yogyakarta seperti Keraton Yogyakarta, Benteng Vredeburg, dan Kebun Binatang Gembira Loka. Stasiun Brambanan dekat dengan Candi Prambanan  dan Candi Ratu Boko, Stasiun Maguwo dekat dengan Bandara Adi Sucipto, Stasiun Klaten dengan Watu Sepur Bayat, dan Stasiun Solo Balapan yang terkenal karena Didi Kempot dekat dengan Keraton Surakarta dan Benteng Vastenburg. Tentu saja letak stasiun yang dekat dengan tempat-tempat wisata akan semakin memudahkan akses jika ditempuh dengan KRL yang punya kecepatan 90 kilometer per jam. Bandingkan dengan Prameks yang hanya 70 km per jam. Ini seperti halnya di Jabodetabek-Lebak yang beberapa stasiunnya juga dekat dengan tempat-tempat wisata atau pemerintahan seperti Stasiun Jakartakota (kawasan Kota Tua Jakarta), Stasiun Bogor (Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor), Stasiun Sudirman (kawasan bisnis dan perdagangan), dan Stasiun Rangkasbitung (Museum Multatuli).

Operator


Operator KRL Jogja-Solo adalah PT KCI atau Kereta Commuter Indonesia, anak usaha PT KAI, yang juga mengoperasikan KRL Jabodetabek-Lebak sejak tahun 2008. PT KCI sendiri bermarkas di Jakarta tepatnya di Stasiun Juanda, salah satu stasiun KRL Jabodetabek-Lebak. Untuk daerah operasi, KRL Commuter Line Jogja Solo berada di Daerah Operasi 6 Yogyakarta.

Armada


Kereta listrik Jogja-Solo akan memakai armada berupa KRL KfW i9000, yaitu kereta listrik yang sebelumnya pernah beroperasi di lintas Jabodetabek-Lebak, dan terakhir sebelum dihentikan operasionalnya karena masalah teknis beroperasi di salah satu lintas, yaitu di jalur Jakartakota-Tanjung Priok. Kereta ini sendiri buatan PT INKA, BUMN yang memproduksi kereta api, dan Bombardier, perusahaan transportasi asal Kanada yang terkenal dengan berbagai produk kereta apinya untuk beberapa transportasi massal cepat seperti Berlin U-Bahn dan London Underground. KRL KfW ini tentu saja berbeda secara tampilan untuk lintas Jogja-Solo ini setelah dirapikan kembali di pabrik INKA di Madiun, yaitu mempunyai livery merah corak batik Jawa yang memang sesuai dengan Yogyakarta dan Solo sebagai dua pusat kebudayaan Jawa. Selain KRL KfW, kereta lain yang juga siap melintas adalah KRL JR-205 Series yang sudah malang-melintang di Jabodetabek-Lebak. KRL ini akan digunakan sebagai sarana untuk membantu dan melengkapi.

Tiket dan Harga



Untuk tiket KRL Jogja-Solo akan menggunakan tiket elektronik seperti halnya KRL Jabodetabek-Lebak. Tiket elektronik ini dapat berupa tiket harian berjaminan atau THB, kartu multi trip atau KMT, dan kartu elektronik dari bank seperti E-Money, Flazz, Brizzi, dan Tapcash. Untuk pembeliannya bisa dilakukan di konter loket stasiun pada THB dan KMT sedangkan kartu bank bisa di bank yang mengeluarkan kartu tersebut atau merchant-merchant yang bekerja sama dengan bank yang bersangkutan. Kartu elektronik ini juga bisa diisi ulang melalui konter atau vending machine sedangkan kartu bank pada bank atau merchant-merchant yang bermitra dengan bank-bank yang bersangkutan. Kartu-kartu ini kemudian di-tap di gate-gate elektronik yang ada di stasiun. Cara ini tentunya lebih praktis daripada Prameks yang masih mengandalkan tiket manual dan nomor tempat duduk.

Harga tiket juga akan sama seperti di Jabodetabek-Lebak, yaitu berdasarkan kilometer. Untuk 1-25 kilometer pertama tiket dihargai Rp 3.000, dan 10 kilometer berikutnya bertambah Rp 1.000 serta berlaku kelipatan. Namun hal ini masih menunggu penyesuaian lebih lanjut. Lalu apakah pengguna KRL Jabodetabek-Lebak bisa menggunakan layanan ini? Dilansir dari akun Twitter @AnkerTwitter pengguna di Jabodetabek bisa menggunakan KRL Commuter Line Jogja Solo dengan kartu elektronik yang ada.

Baca Juga: Jalur-jalur KRL Jabodetabek

Rencana Operasi



KRL Commuter Line Jogja-Solo hingga saat ini masih menjalani serangkaian uji coba sebagai proses adaptasi terhadap jalur-jalur dari Yogyakarta ke Solo yang sudah dielektrifikasi. Rencananya KRL Tanah Jawa ini akan beroperasi pada Januari 2021 jika tidak ada halangan sama sekali dan semua perangkat siap dijalankan.

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran