Tante. Kata yang umum. Jika orang mendengar dan menyebut tante, tentu di pikirannya akan mengacu kepada seseorang yang diidentifikasikan sebagai adik kandung atau tiri dari ibu atau ayah. Itulah yang umum terjadi. Tante yang berasal dari bahasa Belanda sebenarnya punya padanan dalam bahasa Indonesia, bibi. Tetapi, memang orang kebanyakan lebih senang menyebut dan memanggil tante, yang mungkin kedengarannya simpel.
mitasharfina.blogspot.com
Tetapi, tante bukan hanya itu. Bisa juga ia diidentifikasi dengan seseorang yang melakukan pekerjaan "menyenangkan". Akhirnya, muncul istilah tante girang. Kalau dilihat dari perawakannya, kebanyakan berwajah tante-tante, tetapi masih mempunyai lekuk badan yang aduhai.
Jika bicara tante, bukan karena di depanku berseliweran tante-tante yang memang aduhai badannya, aku jadi ingat juga tentang tante yang pernah ada dalam hidupku. Jangan katakan tante yang kumaksud adalah tante dalam keluarga, tetapi ini adalah tante yang kukenal.
Sebut saja Tante Mirna. Dia bukan tante girang, tetapi dia memang tante. Nama tante adalah nama panggilannya. Begitulah, orang-orang sekitarnya memanggilnya. Tante Mirna adalah seorang janda muda. Aku perhatikan dari raut muka mungkin hanya 4 tahun denganku. Meski begitu, sebagai rasa hormat, aku tetap memanggilnya tante, meski ia awalnya kurang suka, dan kemudian menerima.
Aku mengenal Tante Mirna itu sewaktu hendak pulang dari toko buku, kemudian karena aku sedang dalam keadaan pusing sebab buku-buku tak ada yang kubeli, tiba-tiba aku menabraknya. Spontan, aku terkejut, lalu berusaha, mungkin karena panik, membantu membangunkannya. Seharusnya sih yang ditabrak itu marah, tetapi ini malah sebaliknya. Ia malah yang bereaksi meminta maaf, bukannya aku, meski aku juga meminta maaf. Aku lalu tanya keadaaanya,
"Nggak apa-apa kan, mbak?" tanyaku kalau memanggil orang yang belum kukenal dan kuketahui namanya dengan sebutan mbak atau mas untuk laki-laki.
"Nggak apa-apa kok, mas," jawabnya memanggilku mas.
"Waduh, maaf ya," ucapku kembali meminta maaf, "Tadi saya lagi pusing dan linglung. Jadi, nggak konsentrasi deh,"
"Kaya di iklan aja," sahutnya sambil melihat wajahku. Di saat itulah, aku melihat paras wajah yang, katakanlah tidak cantik, tetapi manis. Ditambah dengan senyuman di lesung pipi. Hatiku seperti meledak. Ia lalu bangkit dan berkata,
"Maaf ya, udah menghalangi waktu kamu,"
"Menghalangi apa, Mbak?" tanyaku heran.
"Yah, mungkin kamu punya kesibukan untuk melakukan kegiatan,"
"Ah, nggak kok, mbak," jawabku tersenyum, "Saya tidak ada kegiatan apa-apa,"
Kemudian ia mengajakku berkenalan,
"Mirna,"
"Fandi,"
Jelas, aku kaget. Mana ada hal yang demikian terjadi, wanita meminta berkenalan lebih dahulu usai ditabrak. Aku jadi ingat iklan parfum terkenal, ah tapi ini bukan iklan, walau memang aku sedang memakainya. Ia lalu menyodorkan sebuah kartu berwarna putih.
"Ini kartu namaku," ujarnya. Aku ambil kartu nama itu dari tangannya. Kartu nama dengan latar putih polos. Hanya bertuliskan nama "Mirna Wulandari" dan alamat rumah, serta nomor handphone.
"Jikalau ada waktu, datanglah ke rumahku,"
"Makasih, Mbak,"
Ia berlalu. Saat berlalu pun wangi tubuhnya benar-benar mendamprat diriku. Aku seperti larut dan terjerembap dalam lautan aroma mewangi. Benar-benar mengagumkan wanita itu. Aku jadinya ingin bertemu dengannya esok. Kebetulan, tidak ada sama sekali kegiatan. Kan jarang-jarang ada yang seperti ini.
Esoknya, karena terpacu wangi dan manis wajahnya, aku bergegas ke rumahnya. Sejujurnya, ada rasa penasaran dan ge-er juga kok mau ya wanita mengundangku ke rumahnya. Apa memang aku ganteng? narsisku mulai muncul. Aku juga tidak berpikir macam-macam kenapa bisa wanita mengundangku. Temanku bilang, aku disuruh hati-hati, jangan-jangan ini semacam upaya penipuan. Namun, jelas aku tepis hal demikian. Masa iya begitu walau dalam hati sadar dan sedikit deg-degan, sebab aku juga tahu pernah ada berita wanita cantik menjadi penipu dengan membobol rekening.
Sesampainya di rumah, seorang wanita muncul. Tetapi, jelas itu bukanlah Mirna. Apa mungkin ia adiknya atau kakaknya?
"Mas yang namanya Fandi?" tanyanya si wanita itu yang berpakaian tertutup.
"Betul," jawabku.
"Silakan masuk, Mas," katanya lagi, "Tante Mirna sudah menunggu,"
Tante? hah? terkejut aku? jangan-jangan ini keponakannya? tapi, masa iya, dia yang wajahnya masih terlihat muda itu masa punya keponakan yang terlihat sama mudanya.
"Maaf, mbak ini keponakannya?" tanyaku heran.
"Bukan, Mas," katanya, "Aku pembantunya,"
Terkejut lagi aku. Pembantu kok tampangnya muda sekali. Aku jadi ingat, zaman sekarang apa-apa maunya yang muda-muda, soalnya muda lebih enak dilihat.
"Lalu kenapa manggilnya Tante Mirna?" tanyaku penasaran kembali.
"Itu karena di sini semuanya memanggilnya seperti itu," jawabnya.
"Kenapa?" tanyaku kembali.
"Maaf, mas saya kurang tahu," jawab si pembantu, "Saya cuma tahunya begitu,"
Aku sejujurnya orang yang ingin tahu, tetapi aku simpan yang demikian. Ada baiknya aku tanyakan langsung kepada yang bersangkutan.
Saat aku masuk ke dalam rumah yang cukup besar dan kemudian duduk di teras, seperti yang diminta si pembantu, yang boleh kubilang cantik juga, muncullah seseorang dari dalam ruangan. Aku yakin itu Mirna. Dari dalam ruangan yang setengah gelap itu perlahan terlihat dua paha mulus melangkah kemudian diikuti bagian atas yang hanya memakai tank top sederhana. Mirna sungguh berbeda sekali penampilannya dengan pemabantunya. Aku jelas dan jujur terkejut. Setengah dari kulitnya terlihat. Yah, memang cukup merangsang.
"Udah lama?" tanyanya pelan. Aku perhatikan ia tahu bahwa aku seperti terkejut melihatnya. Pertanyaannya jelas membuyarkan lamunanku yang sudah mulai mengarah pada langit ketujuh.
"Eh, sudah, mbak," jawabku kikuk lalu menunduk.
Mirna lalu memanggil pembantunya, yang tidak tahunya bernama Ana, untuk membuatkan jus buah untukku.
"Ke sini naik apa?" tanyanya lagi.
"Oh, saya naik angkot, Mbak," jawabku polos.
"Memang nggak punya kendaraan?" tanyanya lagi.
"Kebetulan, lagi pada dipakai,"
Ia lalu merogoh sebuah rokok dari celana pendeknya.
"Merokok?" tanyanya menawarkan.
"Maaf, Mbak, nggak," ujarku polos kembali.
Ia nyalakan rokok itu dengan pemantik yang juga dari celananya. Asap pun mulai mengepul dan membahana. Sejujurnya, aku kurang atau tidak suka dengan wanita perokok. Aku ada alasannya. Tapi, karena yang di depanku ini adalah surga dunia yah sudah iyakan saja.
"Mbak, saya mau nanya," tanyaku ketika ia tampak menikmati hisapan demi hisapan, "Kok Mbak dipanggilnya tante sih?"
Mendengar aku bertanya itu, ia melepaskan hisapannya dan tersenyum,
"Kenapa?" tanyanya, "Memangnya aku seperti tante ya?"
Aku perhatikan raut wajah yang hendak mengajakku bercanda tersebut. Wajah manis itu.
"Ah, nggak kok, mbak," jawabku, "Mbak masih muda malah,"
"Kamu ini bisa aja,"
Ia lalu menceritakan kepadaku perihal pemanggilan tante itu. Dahulu, ada seseorang, yang enah siapa suka memanggilnya tante hingga itu pun berlanjut ke sana kemari. Mirna sendiri sih tidak masalah. Ia juga menceritakan bahwa ia seorang janda muda. Sudah 2 tahun bercerai dan sejak saat itu tidak ada keinginan menikah lagi. Tetapi iya kalau pacaran. Sayang, banyak yang kandas di tengah jalan.
"Banyak yang belum bisa memuaskan aku," ujarnya sewaktu kutanya mengapa. Ia sendiri tidak mempermasalahkan ganteng tidak ganteng, tetapi kenyamanan.
"Kalau kamu?" tanyanya kemudian.
"Saya...tapi sebelumnya boleh memanggil Tante?" tanyaku.
"Silakan,"
"Saya masih bujang," jawabku, "Sudah lama menjomblo,"
"Bekerja?"
"Sudah lama menganggur, Tante,"
Ia kemudian menghisap lagi rokoknya.
"Sayang yah lelaki kaya kamu kok nganggur? Kebetulan, aku ada pekerjaan. Kamu mau?"
"Pekerjaan apa itu, Tante?"
"Pekerjaannya gampang kok," ujarnya diselingi hisapan dan asap rokok, "Tiap sore sampai esok pagi tolong temani aku. Mau kan?"
Tenggorokanku berbunyi.
\
"Tapi, apa nanti kata orang?"
"Ah, peduli amat! Aku nanti bayar kamu. Kamu mau kan?"
"Wah, mau sekali, Tante," ujarku dengan semangat kalau nyatanya aku dibayar dan mungkin juga...mulailah aku berfantasi.
"Esok sore, datang ya," katanya.
"Iya, Tante,"
Esok sorenya, aku memang datang. Namun seperti ada segudang pertanyaan meragukan muncul dalam diriku. Untuk apa ia menyuruhku menemaniku kalau memang ya memang kesepian. Bukannya ada pembantunya? Apa ia bermaksud...sial! sebaiknya aku tepis saja itu. Aku harus berpikiran positif. Lagi pula aku dibayar kan?
Sore itu, sesampainya di rumah, ia tanpa sungkan menyuruhku masuk. Seperti biasa, ia berpakaian terbuka. Ini sebenarnya sengaja memancingku atau memang ada hal lain? tanyaku dalam hati.
"Nah, kamu nanti malam tidur saja di kamar kosong dekat kamarku," katanya, "Sekarang, aku mau pergi dulu dengan temanku,"
"Dengan pakaian seperti ini, Tante?" tanyaku heran melihat tingkahnya berpakaian.
"Lho, memang kenapa?" tanyanya berbalik.
Aku tidak menjawab. Ia lalu berlalu dari hadapanku kemudian keluar dari rumahnya. Dilihat dari belakang, aduhai. Praktis, aku jadi sendiri. Sebenarnya, sih tidak, ada si Ana, pembantunya yang terlihat muda, yang mungkin ada di ruang lain, saking besarnya rumah ini.
Malam datang, aku masih sendiri, lampu-lampu sudah otomatis menyala. Jam sudah berada di angka 10, dan Tante Mirna belum ada tanda-tanda kembali. Dalam hati aku bertanya, kemanakah gerangan tante muda ini? apalagi dengan pakaian mini seperti itu? apa ia tidak takut dirazia?
Dua jam berikutnya, masih saja ia belum datang. Aku sudah terserang kantuk. Tapi, aku masih bisa menahannya. Ana, si pembantu muda sudah menyuruhku untuk ke kamar, meski terkadang aku menolak. Pada akhirnya, aku ke kamar juga karena memang kantuk benar-benar tidak bisa ditahan.
Di kamar yang cukup luas itu, aku yang menjerembabkan diri pada kasur empuk mulai perlahan terlarut dalam kantuk, masuk ke alam mimpi sampai akhirnya aku terbangun karena ada suara halus membangunkanku.
Aku terkejut. Rupanya ada Tante Mirna tiba-tiba di hadapanku masih dengan pakaian mininya.
"Tenang, Fandi," ujarnya halus sambil memegang diriku.
Belaian tangannya memang halus dan meratai seluruh tubuhku. Aku jadi teransang.
"Tenang, Fandi," ujarnya lagi.
Aku tidak bisa berbicara.
"Sekarang, kamu mengerti kan kenapa aku menyuruh kamu menemani aku?"
Awalnya, aku lemot menanggapi. Tetapi, aku paham. Aku langsung berpikir risikonya. Tetapi, mau bagaimana lagi. Aku pun menyerah dan tertarik lalu terlarut untuk melakukan yang demikian untuk pertama kalinya dengan seseorang yang kuanggap berpengalaman.
Begitulah. Tiap kali aku bertandang ke rumah Tante Mirna selalu tiap alam ia minta kepuasan. Aku sih tidak masalah karena aku seperti ketagihan. Ia memang benar-benar masih muda walau berlabel janda. Aku dan Tante Mirna kemudian mengikat janji menjadi sepasang kekasih. Pada masa-masa ini, kerap aku masih memanggilnya tante dan terkadang ia keberatan.
Entahlah, seperti ada sesuatu yang mengikat, hubunganku dengan Tante Mirna berjalan mulus dan awet. Akan tetapi, ia keberatan ketika aku ingin menikahinya. Ia masih mikir-mikir. Aku santai saja menanggapi walau lama-kelamaan aku merasa curiga kenapa yang demikian harus ditolak.
Tiap malam, sehabis berhubungan badan, Tante Mirna selalu berlalu dari hadapanku. Kalau kucek ke kamarnya, ia tidak ada. Kemana ia, aku tidak tahu.
Saat paginya, ketika hendak kembali ke rumah, aku melihat kabar di televisi ada berita pembunuhan sadis di sebuah kamar hotel. Diberitakan pembunuhan itu sadis karena yang dibunuh seperti disayat-sayat badannya dengan bentuk tanda hati lalu bertulisan bercak darah "INI BALASANKU" di dinding. Aku bergidik ngeri melihatnya. Apalagi korbannya laki-laki. Kalau kata si penyidik, dilihat dari ciri-cirinya, yang membunuhnya adalah perempuan. Aku tambah bergidik ngeri. Rupanya ada perempuan ganas. Aku yakin, yang melakukannya pasti perempuan cantik.
Tiba-tiba Tante Mirna muncul di sampingku dan menyapaku,
"Selamat pagi, sayang," katanya halus, "kayanya serius banget?"
Aku terkejut,
"Eh, kamu," ujarku, "Gimana nggak serius orang yang ngebunuh perempuan,"
"Emang berita tentang apa sih?"
"Pembunuhan,"
Aku lihat wajahnya yang tampak kuyu tetapi masih bisa dibalut dengan manis. Dan seperti biasa selalu ia memakai pakaian mini. Aku sekilas pandangi ia dan badannya. Tiba-tiba saja aku menemui sesuatu yang mencolok di tangannya. Semacam luka.
"Kenapa tanganmu?" tanyaku heran.
"Oh, ini," ia segera menutupnya, "Tadi aku kena sayatan pisau di dapur,"
Mendengar itu, aku menjadi biasa saja. Sayatan pisau meski terlihat besar sekali. Ia lalu berlalu dari hadapanku karena ingin ke kamar mandi. Aku kemudian cabut.
***
Beberapa hari kemudian, ada lagi berita pembunuhan. Korbannya sama dan juga tulisan itu. Tetapi, sayang belum tahu siapa pembunuhnya dan hanya tahu itu yang melakukan perempuan. Ini kok berita pembunuhan malah seperti di film-film? Tetapi, apa peduliku? Yang jelas aku mungkin di luar jangkauan tersebut karena memang aku tiada sangkut-pautnya. Aku sendiri tidak mau berpikir negatif.
Namun, aku malah menjadi merasa curiga. Berita pembunuhan serupa muncul kembali hampir berselang 3 hari. Ini pembunuhan atau pembunuhan sih? Dan aku merasa aneh karena setiap ada berita pembunuhan itu, Tante Mirna selalu tidak ada. Ah, tapi mana mungkin. Ada-ada saja aku berpikir demikian. Kenapa aku jadi berpikir seperti itu? Jadi, aku hilangkan saja.
Suatu hari, saat aku ke rumah Tante Mirna lagi dan berita pembunuhan semakin marak, ada semacam keinginan bagiku untuk masuk ke kamarnya. Entah kenapa. Kebetulan, si empunya tidak ada. Di kamar luas itu, sekali lagi entahlah memang ada yang mendorongku mencari sesuatu. Tanganku mulai mengarah kemana-mana. Ke lemari, laci, dan juga tempat tidur. Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa aku jadi seperti polisi. Apalagi aku melihat luka mencolok di tangan Tante Mirna itu makin hari malah makin membuatku bertanya-tanya.
Ketika apa yang ingin kucari tidak kuemukan, aku sudah pasrah dan berkata dalam hati, buat apa melakukan demikian? sesuatu yang tidak penting. Kenapa ku harus bilang itu dia. Aku yakin ia normal. Aku lalu berbaring dekat meja di kamarnya. Pandanganku mengarah pada meja itu. Sekali lagi entah kenapa. Meja itu menjadi fokusku.
Sesuatu mencolok menarik perhatianku. Seperti sesuatu mengilat namun ada juga kemerah-merahan gelap. Aku segera mengarah ke sana lebih dekat. Aku lihat benda itu dipasangi sekat karet penahan di bawah meja namun seperti ada darah menggumpal. Aku ambil benda itu dan ternyata sebuah pisau yang masih berbalut darah.
Pertanyaan pertamaku, untuk apa benda ini, dan darah bau anyir ini, yang baunya menjijikkan? secara teknis aku tahu pisau untuk apa apalagi yang kupegang itu pisau dapur, tetapi kenapa pisau dapur harus ditaruh di tempat seperti ini, tempat yang tidak wajar? Kalau ditaruh di sini ia digunakan untuk apa? Mana mungkin kan untuk membunuh tikus?
Pada titik ini, aku tidak mengerti.
Pada balik meja itu, aku seperti melihat benda lain. Seperti sebuah buku kecil. Ini menjadi keanehan bagiku mengapa harus ada sebuah buku kecil di balik meja? Buku itu direkatkan dengan dengan sekat karet penahan. Aku melepasnya dengan perlahan lalu kubaca buku kecil itu.
Memang tampak buku kecil itu seperti buku kecil biasa dengan catatan-catatan biasa juga, tetapi rupanya isinya membuatku tercengang. Aku seperti tidak percaya. Buku itu ternyata berisi catatan-catatan pembunuhan terhadap seseorang. Semua dijelaskan dari cara membunuh hingga kemudian membuat tanda hati dan tulisan itu. Pembunuh itu bukankah yang sekarang sedang dicari-cari polisi? dan ia rupanya orang di sekitarku. Tapi, aku masih tidak percaya. Tante Mirna
Jelas, aku masih tidak percaya. Sama sekali tidak percaya. Masa iya dia. Ah, tidak mungkin. Bisa saja ini sabotase atau dugaanku semata. Secantik dan semanis itukah ganas? Ah, sekali lagi tidak mungkin. Tetapi, pisau dan buku ini....
Tiba-tiba saja, ada suara dari belakang pintu. Itu membuatku terkesiap dan segera mengumpat di balik tempat tidur.
Aku lihat dari bawah tempat tidur, empat kaki wanita mulus memasuki kamar. Saat kulihat lebih jelas lagi itu Tante Mirna dan Ana. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.
"Jujur, dia itu baik dan gue nggak ada masalah sama dia, Na," kata Tante Mirna kepada Ana yang berbicara dengan akrabnya tanpa melihat Ana adalah pembantu. Tetapi, jika melihat ini, aku yakin Ana memang bukan pembantu, "Tetapi, memang gue menolak untuk dinikahi cuma kenapa gue harus membunuhnya?"
"Itu sudah komitmen kita kan bahwa setiap lelaki yang pernah bersetubuh dengan lo harus dibunuh," kata Ana.
"Itu kan karena gue sakit hati sama mantan-mantan gue," kata Tante Mirna, "Jadi, mantan aja belum...,"
"Lo harus melakukannya? lo sayang nggak sih sama gue?"
Aku yang mendengar percakapan itu jelas terkejut. Hah? apa-apaan ini? harus dibunuh? komitmen? sayang. Yang aku tidak sangka rupanya Tante Mirna lesbian dengan Ana.
"Gue nggak mau melakukannya!"
"Lo harus melakukan!"
"Gue nggak mau!"
Ketika mereka bertengkar hebat itu, aku beranikan diri muncul dari dalam tempat tidur.
"Gue ada di sini kok," kataku memberanikan, "Kalau mau bunuh, bunuh aja!"
Mereka berdua terkejut.
"Apa kabar, Tante? Kenapa Tante selama ini bohongi aku? Jadi, ini maksud Tante?"
Aku tunjukkan pisau dan buku kecil ke hadapan mereka.
"Fandi, maksudku,"
"Aku nggak menyangka kamu memang sadis ya, Tante. Hanya karena dendam semua mantan kamu kamu habisi!"
"Eh, lo jangan banyak bacot!" tiba-tiba Ana menyela, "Lo emang harus dibunuh. Mirna itu kekasih gue! Paham!"
"Kalau dari awal saya tahu kalian pembunuh dan lesbian saya tidak akan di sini. Brengsek kalian berdua!"
"Sekali lagi lo jangan banyak bacot!" seru Ana emosi dan tiba-tiba mengeluarkan pisau dapur dari balik badannya.
Ia hunus pisau dan hendak hujamkan pada diriku. Aku pun siaga. Tetapi, Tante Mirna berusaha keras mencegahnya sambil berkata,
"Lari! Lari! Dan jangan pernah kembali lagi!"
Aku segera turuti perintahnya. Berlari secepat kilat dari kamar demi menghindari amukan si wanita cantik. Keluar dari rumah itu dan tidak sadar aku tiba-tiba sampai di rumah. Aku ngos-ngosan. Keringat keluar menjalar. Benar-benar seperti dikejar setan.
Saat aku masuk ke rumah, ibuku menyapaku,
lho, kamu kenapa?"
"Eh, nggak apa-apa kok, Ma," jawabku.
Aku kemudian masuk ke kamarku. Berbaring dan benar-benar tidak mengerti apa yang barusan terjadi. Hampir saja aku dibunuh. Hampir saja. Aku berkenalan dengan wanita yang ternyata lesbian dan pembunuh. Wanita itu, sudah kupacari cukup lama, tetapi ia ternyata...Ah, brengsek!
Aku tertipu.
Aku harus menenangkan diri. Harus. Bayangannya harus dihilangkan.
Semenjak kejadian itu, aku trauma untuk kembali bertemu dengannya lagi apalagi bertandang ke rumahnya. Lagipula, ia tidak pernah menghubungiku, dan anehnya pembunuhan yang belakangan marak malah hilang dengan sendirinya. Hanya saja bayangannya masih terus menghantuiku dan cukup menyiksaku, pada awal-awal.
Tante Mirna, wanita itu, entah bagaimana kabarnya, seperti hilang ditelan bumi. Ia hanya muncul selintas dalam pikiranku. Toh, yang penting sekarang aku dapat seseorang yang kuakui dia benar-benar "perempuan" dan bukan pembunuh. Ia juga bukan tante-tante atau janda kembang. Akhirnya, ia menjadi istriku.
"Maaf ya, udah menghalangi waktu kamu,"
"Menghalangi apa, Mbak?" tanyaku heran.
"Yah, mungkin kamu punya kesibukan untuk melakukan kegiatan,"
"Ah, nggak kok, mbak," jawabku tersenyum, "Saya tidak ada kegiatan apa-apa,"
Kemudian ia mengajakku berkenalan,
"Mirna,"
"Fandi,"
Jelas, aku kaget. Mana ada hal yang demikian terjadi, wanita meminta berkenalan lebih dahulu usai ditabrak. Aku jadi ingat iklan parfum terkenal, ah tapi ini bukan iklan, walau memang aku sedang memakainya. Ia lalu menyodorkan sebuah kartu berwarna putih.
"Ini kartu namaku," ujarnya. Aku ambil kartu nama itu dari tangannya. Kartu nama dengan latar putih polos. Hanya bertuliskan nama "Mirna Wulandari" dan alamat rumah, serta nomor handphone.
"Jikalau ada waktu, datanglah ke rumahku,"
"Makasih, Mbak,"
Ia berlalu. Saat berlalu pun wangi tubuhnya benar-benar mendamprat diriku. Aku seperti larut dan terjerembap dalam lautan aroma mewangi. Benar-benar mengagumkan wanita itu. Aku jadinya ingin bertemu dengannya esok. Kebetulan, tidak ada sama sekali kegiatan. Kan jarang-jarang ada yang seperti ini.
Esoknya, karena terpacu wangi dan manis wajahnya, aku bergegas ke rumahnya. Sejujurnya, ada rasa penasaran dan ge-er juga kok mau ya wanita mengundangku ke rumahnya. Apa memang aku ganteng? narsisku mulai muncul. Aku juga tidak berpikir macam-macam kenapa bisa wanita mengundangku. Temanku bilang, aku disuruh hati-hati, jangan-jangan ini semacam upaya penipuan. Namun, jelas aku tepis hal demikian. Masa iya begitu walau dalam hati sadar dan sedikit deg-degan, sebab aku juga tahu pernah ada berita wanita cantik menjadi penipu dengan membobol rekening.
Sesampainya di rumah, seorang wanita muncul. Tetapi, jelas itu bukanlah Mirna. Apa mungkin ia adiknya atau kakaknya?
"Mas yang namanya Fandi?" tanyanya si wanita itu yang berpakaian tertutup.
"Betul," jawabku.
"Silakan masuk, Mas," katanya lagi, "Tante Mirna sudah menunggu,"
Tante? hah? terkejut aku? jangan-jangan ini keponakannya? tapi, masa iya, dia yang wajahnya masih terlihat muda itu masa punya keponakan yang terlihat sama mudanya.
"Maaf, mbak ini keponakannya?" tanyaku heran.
"Bukan, Mas," katanya, "Aku pembantunya,"
Terkejut lagi aku. Pembantu kok tampangnya muda sekali. Aku jadi ingat, zaman sekarang apa-apa maunya yang muda-muda, soalnya muda lebih enak dilihat.
"Lalu kenapa manggilnya Tante Mirna?" tanyaku penasaran kembali.
"Itu karena di sini semuanya memanggilnya seperti itu," jawabnya.
"Kenapa?" tanyaku kembali.
"Maaf, mas saya kurang tahu," jawab si pembantu, "Saya cuma tahunya begitu,"
Aku sejujurnya orang yang ingin tahu, tetapi aku simpan yang demikian. Ada baiknya aku tanyakan langsung kepada yang bersangkutan.
Saat aku masuk ke dalam rumah yang cukup besar dan kemudian duduk di teras, seperti yang diminta si pembantu, yang boleh kubilang cantik juga, muncullah seseorang dari dalam ruangan. Aku yakin itu Mirna. Dari dalam ruangan yang setengah gelap itu perlahan terlihat dua paha mulus melangkah kemudian diikuti bagian atas yang hanya memakai tank top sederhana. Mirna sungguh berbeda sekali penampilannya dengan pemabantunya. Aku jelas dan jujur terkejut. Setengah dari kulitnya terlihat. Yah, memang cukup merangsang.
"Udah lama?" tanyanya pelan. Aku perhatikan ia tahu bahwa aku seperti terkejut melihatnya. Pertanyaannya jelas membuyarkan lamunanku yang sudah mulai mengarah pada langit ketujuh.
"Eh, sudah, mbak," jawabku kikuk lalu menunduk.
Mirna lalu memanggil pembantunya, yang tidak tahunya bernama Ana, untuk membuatkan jus buah untukku.
"Ke sini naik apa?" tanyanya lagi.
"Oh, saya naik angkot, Mbak," jawabku polos.
"Memang nggak punya kendaraan?" tanyanya lagi.
"Kebetulan, lagi pada dipakai,"
Ia lalu merogoh sebuah rokok dari celana pendeknya.
"Merokok?" tanyanya menawarkan.
"Maaf, Mbak, nggak," ujarku polos kembali.
Ia nyalakan rokok itu dengan pemantik yang juga dari celananya. Asap pun mulai mengepul dan membahana. Sejujurnya, aku kurang atau tidak suka dengan wanita perokok. Aku ada alasannya. Tapi, karena yang di depanku ini adalah surga dunia yah sudah iyakan saja.
"Mbak, saya mau nanya," tanyaku ketika ia tampak menikmati hisapan demi hisapan, "Kok Mbak dipanggilnya tante sih?"
Mendengar aku bertanya itu, ia melepaskan hisapannya dan tersenyum,
"Kenapa?" tanyanya, "Memangnya aku seperti tante ya?"
Aku perhatikan raut wajah yang hendak mengajakku bercanda tersebut. Wajah manis itu.
"Ah, nggak kok, mbak," jawabku, "Mbak masih muda malah,"
"Kamu ini bisa aja,"
Ia lalu menceritakan kepadaku perihal pemanggilan tante itu. Dahulu, ada seseorang, yang enah siapa suka memanggilnya tante hingga itu pun berlanjut ke sana kemari. Mirna sendiri sih tidak masalah. Ia juga menceritakan bahwa ia seorang janda muda. Sudah 2 tahun bercerai dan sejak saat itu tidak ada keinginan menikah lagi. Tetapi iya kalau pacaran. Sayang, banyak yang kandas di tengah jalan.
"Banyak yang belum bisa memuaskan aku," ujarnya sewaktu kutanya mengapa. Ia sendiri tidak mempermasalahkan ganteng tidak ganteng, tetapi kenyamanan.
"Kalau kamu?" tanyanya kemudian.
"Saya...tapi sebelumnya boleh memanggil Tante?" tanyaku.
"Silakan,"
"Saya masih bujang," jawabku, "Sudah lama menjomblo,"
"Bekerja?"
"Sudah lama menganggur, Tante,"
Ia kemudian menghisap lagi rokoknya.
"Sayang yah lelaki kaya kamu kok nganggur? Kebetulan, aku ada pekerjaan. Kamu mau?"
"Pekerjaan apa itu, Tante?"
"Pekerjaannya gampang kok," ujarnya diselingi hisapan dan asap rokok, "Tiap sore sampai esok pagi tolong temani aku. Mau kan?"
Tenggorokanku berbunyi.
\
"Tapi, apa nanti kata orang?"
"Ah, peduli amat! Aku nanti bayar kamu. Kamu mau kan?"
"Wah, mau sekali, Tante," ujarku dengan semangat kalau nyatanya aku dibayar dan mungkin juga...mulailah aku berfantasi.
"Esok sore, datang ya," katanya.
"Iya, Tante,"
Esok sorenya, aku memang datang. Namun seperti ada segudang pertanyaan meragukan muncul dalam diriku. Untuk apa ia menyuruhku menemaniku kalau memang ya memang kesepian. Bukannya ada pembantunya? Apa ia bermaksud...sial! sebaiknya aku tepis saja itu. Aku harus berpikiran positif. Lagi pula aku dibayar kan?
Sore itu, sesampainya di rumah, ia tanpa sungkan menyuruhku masuk. Seperti biasa, ia berpakaian terbuka. Ini sebenarnya sengaja memancingku atau memang ada hal lain? tanyaku dalam hati.
"Nah, kamu nanti malam tidur saja di kamar kosong dekat kamarku," katanya, "Sekarang, aku mau pergi dulu dengan temanku,"
"Dengan pakaian seperti ini, Tante?" tanyaku heran melihat tingkahnya berpakaian.
"Lho, memang kenapa?" tanyanya berbalik.
Aku tidak menjawab. Ia lalu berlalu dari hadapanku kemudian keluar dari rumahnya. Dilihat dari belakang, aduhai. Praktis, aku jadi sendiri. Sebenarnya, sih tidak, ada si Ana, pembantunya yang terlihat muda, yang mungkin ada di ruang lain, saking besarnya rumah ini.
Malam datang, aku masih sendiri, lampu-lampu sudah otomatis menyala. Jam sudah berada di angka 10, dan Tante Mirna belum ada tanda-tanda kembali. Dalam hati aku bertanya, kemanakah gerangan tante muda ini? apalagi dengan pakaian mini seperti itu? apa ia tidak takut dirazia?
Dua jam berikutnya, masih saja ia belum datang. Aku sudah terserang kantuk. Tapi, aku masih bisa menahannya. Ana, si pembantu muda sudah menyuruhku untuk ke kamar, meski terkadang aku menolak. Pada akhirnya, aku ke kamar juga karena memang kantuk benar-benar tidak bisa ditahan.
Di kamar yang cukup luas itu, aku yang menjerembabkan diri pada kasur empuk mulai perlahan terlarut dalam kantuk, masuk ke alam mimpi sampai akhirnya aku terbangun karena ada suara halus membangunkanku.
Aku terkejut. Rupanya ada Tante Mirna tiba-tiba di hadapanku masih dengan pakaian mininya.
"Tenang, Fandi," ujarnya halus sambil memegang diriku.
Belaian tangannya memang halus dan meratai seluruh tubuhku. Aku jadi teransang.
"Tenang, Fandi," ujarnya lagi.
Aku tidak bisa berbicara.
"Sekarang, kamu mengerti kan kenapa aku menyuruh kamu menemani aku?"
Awalnya, aku lemot menanggapi. Tetapi, aku paham. Aku langsung berpikir risikonya. Tetapi, mau bagaimana lagi. Aku pun menyerah dan tertarik lalu terlarut untuk melakukan yang demikian untuk pertama kalinya dengan seseorang yang kuanggap berpengalaman.
Begitulah. Tiap kali aku bertandang ke rumah Tante Mirna selalu tiap alam ia minta kepuasan. Aku sih tidak masalah karena aku seperti ketagihan. Ia memang benar-benar masih muda walau berlabel janda. Aku dan Tante Mirna kemudian mengikat janji menjadi sepasang kekasih. Pada masa-masa ini, kerap aku masih memanggilnya tante dan terkadang ia keberatan.
Entahlah, seperti ada sesuatu yang mengikat, hubunganku dengan Tante Mirna berjalan mulus dan awet. Akan tetapi, ia keberatan ketika aku ingin menikahinya. Ia masih mikir-mikir. Aku santai saja menanggapi walau lama-kelamaan aku merasa curiga kenapa yang demikian harus ditolak.
Tiap malam, sehabis berhubungan badan, Tante Mirna selalu berlalu dari hadapanku. Kalau kucek ke kamarnya, ia tidak ada. Kemana ia, aku tidak tahu.
Saat paginya, ketika hendak kembali ke rumah, aku melihat kabar di televisi ada berita pembunuhan sadis di sebuah kamar hotel. Diberitakan pembunuhan itu sadis karena yang dibunuh seperti disayat-sayat badannya dengan bentuk tanda hati lalu bertulisan bercak darah "INI BALASANKU" di dinding. Aku bergidik ngeri melihatnya. Apalagi korbannya laki-laki. Kalau kata si penyidik, dilihat dari ciri-cirinya, yang membunuhnya adalah perempuan. Aku tambah bergidik ngeri. Rupanya ada perempuan ganas. Aku yakin, yang melakukannya pasti perempuan cantik.
Tiba-tiba Tante Mirna muncul di sampingku dan menyapaku,
"Selamat pagi, sayang," katanya halus, "kayanya serius banget?"
Aku terkejut,
"Eh, kamu," ujarku, "Gimana nggak serius orang yang ngebunuh perempuan,"
"Emang berita tentang apa sih?"
"Pembunuhan,"
Aku lihat wajahnya yang tampak kuyu tetapi masih bisa dibalut dengan manis. Dan seperti biasa selalu ia memakai pakaian mini. Aku sekilas pandangi ia dan badannya. Tiba-tiba saja aku menemui sesuatu yang mencolok di tangannya. Semacam luka.
"Kenapa tanganmu?" tanyaku heran.
"Oh, ini," ia segera menutupnya, "Tadi aku kena sayatan pisau di dapur,"
Mendengar itu, aku menjadi biasa saja. Sayatan pisau meski terlihat besar sekali. Ia lalu berlalu dari hadapanku karena ingin ke kamar mandi. Aku kemudian cabut.
***
Beberapa hari kemudian, ada lagi berita pembunuhan. Korbannya sama dan juga tulisan itu. Tetapi, sayang belum tahu siapa pembunuhnya dan hanya tahu itu yang melakukan perempuan. Ini kok berita pembunuhan malah seperti di film-film? Tetapi, apa peduliku? Yang jelas aku mungkin di luar jangkauan tersebut karena memang aku tiada sangkut-pautnya. Aku sendiri tidak mau berpikir negatif.
Namun, aku malah menjadi merasa curiga. Berita pembunuhan serupa muncul kembali hampir berselang 3 hari. Ini pembunuhan atau pembunuhan sih? Dan aku merasa aneh karena setiap ada berita pembunuhan itu, Tante Mirna selalu tidak ada. Ah, tapi mana mungkin. Ada-ada saja aku berpikir demikian. Kenapa aku jadi berpikir seperti itu? Jadi, aku hilangkan saja.
Suatu hari, saat aku ke rumah Tante Mirna lagi dan berita pembunuhan semakin marak, ada semacam keinginan bagiku untuk masuk ke kamarnya. Entah kenapa. Kebetulan, si empunya tidak ada. Di kamar luas itu, sekali lagi entahlah memang ada yang mendorongku mencari sesuatu. Tanganku mulai mengarah kemana-mana. Ke lemari, laci, dan juga tempat tidur. Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa aku jadi seperti polisi. Apalagi aku melihat luka mencolok di tangan Tante Mirna itu makin hari malah makin membuatku bertanya-tanya.
Ketika apa yang ingin kucari tidak kuemukan, aku sudah pasrah dan berkata dalam hati, buat apa melakukan demikian? sesuatu yang tidak penting. Kenapa ku harus bilang itu dia. Aku yakin ia normal. Aku lalu berbaring dekat meja di kamarnya. Pandanganku mengarah pada meja itu. Sekali lagi entah kenapa. Meja itu menjadi fokusku.
Sesuatu mencolok menarik perhatianku. Seperti sesuatu mengilat namun ada juga kemerah-merahan gelap. Aku segera mengarah ke sana lebih dekat. Aku lihat benda itu dipasangi sekat karet penahan di bawah meja namun seperti ada darah menggumpal. Aku ambil benda itu dan ternyata sebuah pisau yang masih berbalut darah.
Pertanyaan pertamaku, untuk apa benda ini, dan darah bau anyir ini, yang baunya menjijikkan? secara teknis aku tahu pisau untuk apa apalagi yang kupegang itu pisau dapur, tetapi kenapa pisau dapur harus ditaruh di tempat seperti ini, tempat yang tidak wajar? Kalau ditaruh di sini ia digunakan untuk apa? Mana mungkin kan untuk membunuh tikus?
Pada titik ini, aku tidak mengerti.
Pada balik meja itu, aku seperti melihat benda lain. Seperti sebuah buku kecil. Ini menjadi keanehan bagiku mengapa harus ada sebuah buku kecil di balik meja? Buku itu direkatkan dengan dengan sekat karet penahan. Aku melepasnya dengan perlahan lalu kubaca buku kecil itu.
Memang tampak buku kecil itu seperti buku kecil biasa dengan catatan-catatan biasa juga, tetapi rupanya isinya membuatku tercengang. Aku seperti tidak percaya. Buku itu ternyata berisi catatan-catatan pembunuhan terhadap seseorang. Semua dijelaskan dari cara membunuh hingga kemudian membuat tanda hati dan tulisan itu. Pembunuh itu bukankah yang sekarang sedang dicari-cari polisi? dan ia rupanya orang di sekitarku. Tapi, aku masih tidak percaya. Tante Mirna
Jelas, aku masih tidak percaya. Sama sekali tidak percaya. Masa iya dia. Ah, tidak mungkin. Bisa saja ini sabotase atau dugaanku semata. Secantik dan semanis itukah ganas? Ah, sekali lagi tidak mungkin. Tetapi, pisau dan buku ini....
Tiba-tiba saja, ada suara dari belakang pintu. Itu membuatku terkesiap dan segera mengumpat di balik tempat tidur.
Aku lihat dari bawah tempat tidur, empat kaki wanita mulus memasuki kamar. Saat kulihat lebih jelas lagi itu Tante Mirna dan Ana. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.
"Jujur, dia itu baik dan gue nggak ada masalah sama dia, Na," kata Tante Mirna kepada Ana yang berbicara dengan akrabnya tanpa melihat Ana adalah pembantu. Tetapi, jika melihat ini, aku yakin Ana memang bukan pembantu, "Tetapi, memang gue menolak untuk dinikahi cuma kenapa gue harus membunuhnya?"
"Itu sudah komitmen kita kan bahwa setiap lelaki yang pernah bersetubuh dengan lo harus dibunuh," kata Ana.
"Itu kan karena gue sakit hati sama mantan-mantan gue," kata Tante Mirna, "Jadi, mantan aja belum...,"
"Lo harus melakukannya? lo sayang nggak sih sama gue?"
Aku yang mendengar percakapan itu jelas terkejut. Hah? apa-apaan ini? harus dibunuh? komitmen? sayang. Yang aku tidak sangka rupanya Tante Mirna lesbian dengan Ana.
"Gue nggak mau melakukannya!"
"Lo harus melakukan!"
"Gue nggak mau!"
Ketika mereka bertengkar hebat itu, aku beranikan diri muncul dari dalam tempat tidur.
"Gue ada di sini kok," kataku memberanikan, "Kalau mau bunuh, bunuh aja!"
Mereka berdua terkejut.
"Apa kabar, Tante? Kenapa Tante selama ini bohongi aku? Jadi, ini maksud Tante?"
Aku tunjukkan pisau dan buku kecil ke hadapan mereka.
"Fandi, maksudku,"
"Aku nggak menyangka kamu memang sadis ya, Tante. Hanya karena dendam semua mantan kamu kamu habisi!"
"Eh, lo jangan banyak bacot!" tiba-tiba Ana menyela, "Lo emang harus dibunuh. Mirna itu kekasih gue! Paham!"
"Kalau dari awal saya tahu kalian pembunuh dan lesbian saya tidak akan di sini. Brengsek kalian berdua!"
"Sekali lagi lo jangan banyak bacot!" seru Ana emosi dan tiba-tiba mengeluarkan pisau dapur dari balik badannya.
Ia hunus pisau dan hendak hujamkan pada diriku. Aku pun siaga. Tetapi, Tante Mirna berusaha keras mencegahnya sambil berkata,
"Lari! Lari! Dan jangan pernah kembali lagi!"
Aku segera turuti perintahnya. Berlari secepat kilat dari kamar demi menghindari amukan si wanita cantik. Keluar dari rumah itu dan tidak sadar aku tiba-tiba sampai di rumah. Aku ngos-ngosan. Keringat keluar menjalar. Benar-benar seperti dikejar setan.
Saat aku masuk ke rumah, ibuku menyapaku,
lho, kamu kenapa?"
"Eh, nggak apa-apa kok, Ma," jawabku.
Aku kemudian masuk ke kamarku. Berbaring dan benar-benar tidak mengerti apa yang barusan terjadi. Hampir saja aku dibunuh. Hampir saja. Aku berkenalan dengan wanita yang ternyata lesbian dan pembunuh. Wanita itu, sudah kupacari cukup lama, tetapi ia ternyata...Ah, brengsek!
Aku tertipu.
Aku harus menenangkan diri. Harus. Bayangannya harus dihilangkan.
Semenjak kejadian itu, aku trauma untuk kembali bertemu dengannya lagi apalagi bertandang ke rumahnya. Lagipula, ia tidak pernah menghubungiku, dan anehnya pembunuhan yang belakangan marak malah hilang dengan sendirinya. Hanya saja bayangannya masih terus menghantuiku dan cukup menyiksaku, pada awal-awal.
Tante Mirna, wanita itu, entah bagaimana kabarnya, seperti hilang ditelan bumi. Ia hanya muncul selintas dalam pikiranku. Toh, yang penting sekarang aku dapat seseorang yang kuakui dia benar-benar "perempuan" dan bukan pembunuh. Ia juga bukan tante-tante atau janda kembang. Akhirnya, ia menjadi istriku.
Nonton film semi Indo Online
BalasHapusNonton film drama
Nonon film Romance
Nonton film comedy
Nonton film action
Nonton film Horror
Nonton film korea
Nonton film japan
Nonton film Thailand
Agen Slot Terpercaya
BalasHapusAgen Situs Terpercaya
HOBI JUDI BOLA,KASINO, POKER !!!
Dengan Berbagai Promo Menarik lain, Penasaran?? AYO JOIN SEKARANG!!!!
Yuk Gabung Bersama Kami Sekarang Dengan Berbagai Macam Bonus Menarik Seperti:
-Bonus 180% untuk Member Baru
-Bonus 5% setiap hari
-Bonus New Member POker 20%
-Bonus 30%
-Bonus Happy Hour 25%
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
WA : +6281358840484
Facebook : 88CSN
Instagram : 88CSN_official
www.wes88.com
Agen Slot Terpercaya
BalasHapusAgen Slot Terpercaya
Agen Situs Terpercaya
Agen bola TerpercayaJudi Sakong Terpercaya
https://bit.ly/2ENk1VF
*Bonus New Member 180%
*Bonus New Member 50%
* Bonus New Member 30%
* Bonus New Member 20% Khusus Poker
* Bonus Referral
*Bonus Rollingan Casino Hingga 0.8%
*Bonus 5% setiap hari
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
WA : 081358840484
BBM : 88CSNMANTAP
Facebook : 88Csn
Agen Casino Terbaik
BalasHapusAgen Situs Terbaik
Agen Slot Terbaik
BalasHapusAgen Situs Terbaik
Situs Agen Judi Online
• Bonus New Member 120%
• Bonus Deposit Harian 5%
• Bonus Happy Hour 25%
• Bonus poker 20%
Untuk info lebih lanjut bisa menghubungi kami di :
WA : 081358840484
Facebook : Game Slot Online
https://bit.ly/2ZoLZDA
ada yg namanya karryono alam suka juga
BalasHapusyang gue tau sih si ronny arianto suka baca novel juga
BalasHapus