Dia berlari. Di tangannya tergenggam kanvas dan juga peralatan melukis. Hanya memakai celana pendek, meski sekarang cuaca sedang dingin tengah menerjang, ia tak pedulikan. Tujuannya: padang rumput nan luas dekat rumahku. Ada sebuah pemandangan yang sedang diincarnya.
Winda. Nama si dia yang sedang seperti itu. Wanita itu, tetangga dekat rumah yang memang selalu ke padang rumput untuk melukis. Kegemaran sejak kecil. Tapi, aku yakin sekali di cuaca yang sedang dingin dan bahkan hujan bukan padang rumput polos itu sasarannya.
Pagi tadi, saat ku terbangun dari tidur, pandanganku langsung mengarah ke padang rumput karena memang rumahku mengarah ke sana. Padang yang selalu nampak hijau meski ada warna coklat menyelingi. Padang yang hanya ramai pada pagi menjelang siang karena di situlah kuda-kuda gembala Pak Arifin, si pemilik peternakan kuda dekat rumahku melepas kuda-kudanya.
Meski cuaca sedang dingin dan angin dingin berhembus menyesak, matahari tetap bersinar normal. Kalau boleh kubilang ini seperti perpaduan antara hitam dan putih, meski mungkin putih akan selalu sulit menutupi hitam. Hal demikian, sejujurnya, tepat untuk kuabadikan dalam jepretan foto. Ah, tapi aku sedang malas.
Ketika aku mencoba melihat padang luas itu, nampak ada penghuni baru di padang. Segerombolan capung terbang berputar-putar di atas kuda-kuda yang sedang makan rerumputan. Bagaikan pesawat terbang era Perang Dunia ke-2, capung-capung itu sebentar-sebentar juga bertengger di semak-semak kecil di dekat padang. Jikalau ada capung ini pasti anak-anak berlarian ke padang, membawa jaring, lalu mencoba menangkap, kemudian dimain-mainkan, atau mungkin dipelihara untuk koleksi dan tugas sekolah.
Benar saja, anak-anak itu datang ke padang. Namun, itu setelah kebanyakan dari mereka sepulang sekolah. Ada yang pulang dahulu, namun ada juga yang langsung. Jaring-jaring yang dibawa beragam. Ada yang kecil. Ada juga yang besar. Mereka berlarian dengan jaring-jaring di tangannya. Lalu ada seulas senyum dan tawa ketika berhasil menangkap salah satu capung. Yang demikian menggodaku untuk mengabadikan lewat kamera.
Segera kuambil kamera-ku dan mulai membidik. Satu, dua jepretan dapat dan rasanya pas untuk bisa dimasukkan ke dalam facebook. Namun, saat ku seperti itu, ada pemandangan yang mencolok. Di saat itulah aku melihat Winda dengan kanvas dan peralatan melukisnya. Aku baru sadar kalau ia ke sana ingin melukis capung. Serangga itu adalah serangga favoritnya.
Semenjak kecil, jikalau kami sedang bermain bersama-sama, Winda paling senang dengan capung. Sementara aku biasa saja dengan serangga, yang dijadikan patokan untuk membuat helikopter tersebut. Lagipula, jika dipegang, kalau bukan di sayapnya, capung suka menggigit jemariku. Rasanya sih geli. Entahlah, apa yang membuat Winda menyukai serangga itu. Kalau anak-anak yang lainnya, seperti Firman dan Acong, paling suka dengan belalang dan sepupunya, cangcorang. Anehnya, tak ada yang suka kupu-kupu.
Beranjak dewasa, ketika semua anak di kampungku merantau entah ke mana, dan hanya menyisakan aku dan Winda, yang nampaknya betah, tak ada lagi yang seperti itu. Digantikan anak-anak kecil yang mengulang kebiasaan kami kembali. Tetapi, Winda masih menyukai capung. Ia sering membaur dengan anak-anak itu. Bermain bersama mereka. Rasanya sih aneh melihat ada perempuan, yang bahkan umurnya sudah mencapai kepala dua, masih saja berlaku demikian, dan bukan memikirkan hal lain seperti kerja atau berumah tangga.
Kalau mengenai itu, aku akui Winda itu cantik, tetapi anehnya belum ada satu pun lelaki yang menempel padanya. Yang jadi pertanyaan lelakinya belum nempel atau dianya belum atau tidak mau nempel? Ah, rasanya itu seperti masuk dapur orang walau dalam hatiku aku ingin bertanya, tetapi aku tahan. Aku tahu dia itu sensitif.
Yang jadi pertanyaanku juga mengapa ia menyukai capung dan bukan kupu-kupu? Setelah beranjak dewasa, aku jadi tahu kalau dalam kebudayaan populer capung dianggap berhubungan dengan kejahatan dan juga tunggangan iblis. Itu kalau di Eropa. Kalau di Asia dan suku-suku Indian di Amerika, capung adalah perlambang musim dari panas ke semi serta penanda adanya kehidupan air bersih. Sementara, kupu-kupu selalu dikaitkan dengan cinta, cinta, dan cinta.
Pernah aku utarakan yang demikian, eh dianya malah cemberut lalu meninggalkanku sampai-sampai aku harus meminta maaf dengan berdiri di depan rumahnya sampai tengah malam. Aku kan cuma sekedar mengutarakan kenapa ditanggapi serius?
Tetapi, rasanya aku merasa gatal juga jika hanya melihat dia dari dalam rumah. Aku ingin menemaninya melukis, sementara aku memotret.
"Capung-capungnya banyak ya?" sapaku kepadanya yang berada di sampingku. Ia kulihat serius sekali melukis.
Mendengar suaraku, ia menoleh,
"Eh, Alvin," ucapnya menyebut namaku, "Iya nih banyak. Kamu mau memotret?"tanyanya lagi sambil melihat kamera yang kugenggam.
"Iya," kataku, "Lumayan buat dijadiin wallpaper di komputer atau facebook,"
Aku lihat ia kembali melukis. Goresannya sangat kental sekali dan realistis. Capung-capung itu tampak setengah hidup dalam sebuah kanvas.
Sementara ia melukis, aku bidikkan pandanganku lewat fokus kamera. Jepret! Jepret! Jepret! Semua di depanku tertangkap. Kurang lengkap, aku panggil salah satu anak, Faisal untuk berpose dengan capungnya dan jaring penangkapnya. Ia tampak senang aku potret.
"Kamu mau apakan ini capung?" tanyaku pada anak itu.
"Mau saya kurungin buat tugas sekolah," jawab Faisal.
"Disuruh buat apa?" tanyaku lagi.
"Disuruh ngamatin aja kalau dikurung kaya gimana terus dicatat deh,"
"Kalau udah dilepas ya. Kasihan. Mereka juga ingin bebas seperti kita,"
"Iya, kak,"
Kemudian aku lihat lagi Winda. Ia masih serius dan berkutat dengan kanvas di depannya. Aku hampiri dan kulihat lukisan hampir setengah jadi. Capung-capung beterbangan. Anak-anak berlarian dan ada satu yang mencolok,
"Ini aku?" tanyaku menunjuk pada gambar lelaki sedang memotret anak kecil.
"Iya," ujarnya tersenyum.
"Tumben kamu nyertain aku?" tanyaku, "Biasanya nggak,"
"Aku juga nggak tahu," katanya, "Tetapi, aku merasa harus ada kamu di dalam lukisanku ini,"
"Kenapa?"
"Entahlah. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang spesial hari ini?"
"Spesial kenapa?"
"Spesial ada kamu lha,"
Aku lalu duduk di sampingnya. Hanya dengan beralasakan rumput aku perhatikan lagi ia melukis. Lukisannya benar-benar realis. Padahal, yang kutahu ia selalu melukis abstrak. Tetapi, kenapa sekarang berbeda?
"Kamu belajar dari mana? Kok bisa realis begini?" tanyaku heran.
"Oh, ini realis ya?" tanyanya, "Aku malah nggak tahu,"
"Masa sih?" tanyaku, "Kamu lagi berbohong ya?"
"Nggak kok," katanya, "Aku nggak tau kalau ini realis. Aku aja nggak sadar kalau aku melukis realis,"
"Tetapi, bagus kok," kataku lagi, "Aku suka kok,"
Ia kembali melukis. Hampir selesai lukisan itu. Warna latarnya benar-benar menyerupai keadaan. Terang tapi sedikit gelap.
"Kamu mau nggak lukisanku?" tanyanya kemudian.
Aku tanpa pikir panjang langsung berkata, "Mau!" tetapi kemudian bertanya,
"Tumben kamu kasih lukisan kamu ke aku? Ada apa?"
"Aku juga nggak tahu," katanya, "Tapi, ada yang menyuruhku kasih ke kamu,"
"Siapa?"
"Aku juga nggak tahu,"
Kalau kubilang mengherankan memang karena selama ku mengenal dia, belum sekali pun ia kasih lukisannya padaku. Tetapi, kenapa hanya padaku? Apa aku istimewa di matanya? hahahaha...mulai gede rasa diriku.
"Nanti jaga baik-baik. Pajang di kamar supaya bisa ingat aku terus," katanya kemudian.
"Lho, memang kamu mau ke mana?" tanyaku heran.
"Aku nggak ke mana-mana kok," jawabnya yang membuatku tidak ingin bertanya lagi. Mengapa hari ini dia berkata demikian. Maksudku berkata yang membuatku bingung. Ada angin apakah di tubuhnya?
"Alvin, kamu mau nggak potret aku?" tanyanya lagi setelah itu.
"Oh, boleh," jawabku.
"Potret aku lagi kejar-kejar capung ya?"
Ia lalu berlari mengejar-ngejar capung. Meloncat. Semuanya aku tangkap lewat bidikan kamera. Saat ia berhasil menangkap aku jepret juga. Ada seutas senyum bahagia meski ada juga senyum murung. Ah, sudahlah yang penting aku bisa memotretnya, karena selama ini ia ogah diabadikan dalam foto. Ini juga yang menjadi pertanyaanku. Mengapa?
"Tolong dibingkai atau ditaruh di komputer dengan baik ya?" ujarnya setelah itu, "Supaya kamu bisa ingat aku,"
"Kamu memangnya mau pergi ya?"tanyaku heran.
"Nggak kok," katanya kemudian tiba-tiba mencium bibirku sekilas,
"Aku harus pulang. Ada yang harus kukerjakan,"
Ia bergegas tanpa aku sempat berkata-kata lagi. Peralatan lukis itu digenggamnya. Aneh, ujarku dalam hati. Tapi, tak apalah, kanvas yang berisi lukisannya yang bagus ini sekarang jadi milikku.
Malam harinya, aku jadi memikirkannya. Dia yang manis itu, dan sejujurnya aku menyukainya, kenapa perilakunya tidak biasanya. Apa ada sesuatu yang spesial, yang membuatnya berperilaku demikian. Oh, aku jadi ingin bertemu dengannya.
Aku segera ke rumahnya yang hanya berjarak 500 meter dari rumahku. Sayang, rumah itu malah kosong dan terkunci. Kata Amir, sejak sore seluruh keluarga di sini pergi entah ke mana, termasuk di dalamnya Winda. Tuh kan kubilang juga apa ia pergi. Tapi, kenapa aku jadi merindunya. Biasanya tidak. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.
"Kapan baliknya, Mir?" tanyaku,
"Mana aku tahu, kawan," ujar Amir yang kemudian berlalu.
Ah, sayang padahal aku ingin bertemu dengannya. Mencoba bertanya kepadanya kenapa ia seperti itu sambil mengungkapkan rasaku. Ah, tapi mau bagaimana lagi. Kan besok masih ada.
Esok harinya, aku terbangun oleh iring-iringan ambulans. Lho ada apa ini? itu yang pertama kali terlintas di pikiranku. Orang-orang di sekitarku beramai-ramai datang menuju ambulans tersebut, yang aku rasa sepertinya mengarah ke rumah yang kukenal...ah, tapi mana mungkin.
Aku lantas tanya pada bapakku yang juga hendak ke sana.
"Pak ,ada apa sih ramai-ramai?"
"Itu Pak Imran sekeluarga kecelakaan. Semuanya tewas," kata bapakku.
Mendengar kata Pak Imran aku spontan bereaksi,
"Termasuk juga Winda?"
"Iya," kata bapakku, "Kenapa?"
Lemas aku mendengarnya. Aku tidak menjawab tanya bapakku dan langsung ke luar rumah menuju pada rumah yang dituju iring-iringan ambulans tersebut. Dan ternyata benar. Oh, tidak. Kenapa ini bisa terjadi? Winda yang kemarin ku masih bersamanya bercanda, dia ternyata harus sudah berbalut kafan putih dengan mata tertutup dan nafas tak tercumbu. Dia yang kemarin aku potret dan berlarian...oh tidak, aku masih tidak percaya. Dia yang kemarin kulihat bersamaku melukis capung....
Sekarang aku baru mengerti mengapa ia berkata demikian. Sesuatu yang abstrak itu.
Aku lihat dalam rundungan duka itu capung-capung tiba-tiba datang bergerombol. Membentuk bayangan Winda yang bersayap dan terbang sembari melambaikan salam perpisahan kepadaku. Begitu juga seperti ada bayangan keluarganya di belakangnya.
Diriku seperti dibisikkan,
"Jaga baik-baik ya lukisanku, juga foto-fotoku dengan capung-capung itu,"
Kemudian capung-capung dan bisikan itu hilang.
Beberapa hari setelah itu, aku yang masih dibayangi rasa sedih karena ditinggalkannya, berusaha menjaga seperti apa yang ia minta. Wajahnya, suaranya masih saja terbayang dan terngiang-ngiang. Aku merasa ia ada di sampingku jika capung-capung datang bergerombol.
Winda. Nama si dia yang sedang seperti itu. Wanita itu, tetangga dekat rumah yang memang selalu ke padang rumput untuk melukis. Kegemaran sejak kecil. Tapi, aku yakin sekali di cuaca yang sedang dingin dan bahkan hujan bukan padang rumput polos itu sasarannya.
Pagi tadi, saat ku terbangun dari tidur, pandanganku langsung mengarah ke padang rumput karena memang rumahku mengarah ke sana. Padang yang selalu nampak hijau meski ada warna coklat menyelingi. Padang yang hanya ramai pada pagi menjelang siang karena di situlah kuda-kuda gembala Pak Arifin, si pemilik peternakan kuda dekat rumahku melepas kuda-kudanya.
Meski cuaca sedang dingin dan angin dingin berhembus menyesak, matahari tetap bersinar normal. Kalau boleh kubilang ini seperti perpaduan antara hitam dan putih, meski mungkin putih akan selalu sulit menutupi hitam. Hal demikian, sejujurnya, tepat untuk kuabadikan dalam jepretan foto. Ah, tapi aku sedang malas.
Ketika aku mencoba melihat padang luas itu, nampak ada penghuni baru di padang. Segerombolan capung terbang berputar-putar di atas kuda-kuda yang sedang makan rerumputan. Bagaikan pesawat terbang era Perang Dunia ke-2, capung-capung itu sebentar-sebentar juga bertengger di semak-semak kecil di dekat padang. Jikalau ada capung ini pasti anak-anak berlarian ke padang, membawa jaring, lalu mencoba menangkap, kemudian dimain-mainkan, atau mungkin dipelihara untuk koleksi dan tugas sekolah.
Benar saja, anak-anak itu datang ke padang. Namun, itu setelah kebanyakan dari mereka sepulang sekolah. Ada yang pulang dahulu, namun ada juga yang langsung. Jaring-jaring yang dibawa beragam. Ada yang kecil. Ada juga yang besar. Mereka berlarian dengan jaring-jaring di tangannya. Lalu ada seulas senyum dan tawa ketika berhasil menangkap salah satu capung. Yang demikian menggodaku untuk mengabadikan lewat kamera.
Segera kuambil kamera-ku dan mulai membidik. Satu, dua jepretan dapat dan rasanya pas untuk bisa dimasukkan ke dalam facebook. Namun, saat ku seperti itu, ada pemandangan yang mencolok. Di saat itulah aku melihat Winda dengan kanvas dan peralatan melukisnya. Aku baru sadar kalau ia ke sana ingin melukis capung. Serangga itu adalah serangga favoritnya.
Semenjak kecil, jikalau kami sedang bermain bersama-sama, Winda paling senang dengan capung. Sementara aku biasa saja dengan serangga, yang dijadikan patokan untuk membuat helikopter tersebut. Lagipula, jika dipegang, kalau bukan di sayapnya, capung suka menggigit jemariku. Rasanya sih geli. Entahlah, apa yang membuat Winda menyukai serangga itu. Kalau anak-anak yang lainnya, seperti Firman dan Acong, paling suka dengan belalang dan sepupunya, cangcorang. Anehnya, tak ada yang suka kupu-kupu.
Beranjak dewasa, ketika semua anak di kampungku merantau entah ke mana, dan hanya menyisakan aku dan Winda, yang nampaknya betah, tak ada lagi yang seperti itu. Digantikan anak-anak kecil yang mengulang kebiasaan kami kembali. Tetapi, Winda masih menyukai capung. Ia sering membaur dengan anak-anak itu. Bermain bersama mereka. Rasanya sih aneh melihat ada perempuan, yang bahkan umurnya sudah mencapai kepala dua, masih saja berlaku demikian, dan bukan memikirkan hal lain seperti kerja atau berumah tangga.
Kalau mengenai itu, aku akui Winda itu cantik, tetapi anehnya belum ada satu pun lelaki yang menempel padanya. Yang jadi pertanyaan lelakinya belum nempel atau dianya belum atau tidak mau nempel? Ah, rasanya itu seperti masuk dapur orang walau dalam hatiku aku ingin bertanya, tetapi aku tahan. Aku tahu dia itu sensitif.
Yang jadi pertanyaanku juga mengapa ia menyukai capung dan bukan kupu-kupu? Setelah beranjak dewasa, aku jadi tahu kalau dalam kebudayaan populer capung dianggap berhubungan dengan kejahatan dan juga tunggangan iblis. Itu kalau di Eropa. Kalau di Asia dan suku-suku Indian di Amerika, capung adalah perlambang musim dari panas ke semi serta penanda adanya kehidupan air bersih. Sementara, kupu-kupu selalu dikaitkan dengan cinta, cinta, dan cinta.
Pernah aku utarakan yang demikian, eh dianya malah cemberut lalu meninggalkanku sampai-sampai aku harus meminta maaf dengan berdiri di depan rumahnya sampai tengah malam. Aku kan cuma sekedar mengutarakan kenapa ditanggapi serius?
Tetapi, rasanya aku merasa gatal juga jika hanya melihat dia dari dalam rumah. Aku ingin menemaninya melukis, sementara aku memotret.
"Capung-capungnya banyak ya?" sapaku kepadanya yang berada di sampingku. Ia kulihat serius sekali melukis.
Mendengar suaraku, ia menoleh,
"Eh, Alvin," ucapnya menyebut namaku, "Iya nih banyak. Kamu mau memotret?"tanyanya lagi sambil melihat kamera yang kugenggam.
"Iya," kataku, "Lumayan buat dijadiin wallpaper di komputer atau facebook,"
Aku lihat ia kembali melukis. Goresannya sangat kental sekali dan realistis. Capung-capung itu tampak setengah hidup dalam sebuah kanvas.
Sementara ia melukis, aku bidikkan pandanganku lewat fokus kamera. Jepret! Jepret! Jepret! Semua di depanku tertangkap. Kurang lengkap, aku panggil salah satu anak, Faisal untuk berpose dengan capungnya dan jaring penangkapnya. Ia tampak senang aku potret.
"Kamu mau apakan ini capung?" tanyaku pada anak itu.
"Mau saya kurungin buat tugas sekolah," jawab Faisal.
"Disuruh buat apa?" tanyaku lagi.
"Disuruh ngamatin aja kalau dikurung kaya gimana terus dicatat deh,"
"Kalau udah dilepas ya. Kasihan. Mereka juga ingin bebas seperti kita,"
"Iya, kak,"
Kemudian aku lihat lagi Winda. Ia masih serius dan berkutat dengan kanvas di depannya. Aku hampiri dan kulihat lukisan hampir setengah jadi. Capung-capung beterbangan. Anak-anak berlarian dan ada satu yang mencolok,
"Ini aku?" tanyaku menunjuk pada gambar lelaki sedang memotret anak kecil.
"Iya," ujarnya tersenyum.
"Tumben kamu nyertain aku?" tanyaku, "Biasanya nggak,"
"Aku juga nggak tahu," katanya, "Tetapi, aku merasa harus ada kamu di dalam lukisanku ini,"
"Kenapa?"
"Entahlah. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang spesial hari ini?"
"Spesial kenapa?"
"Spesial ada kamu lha,"
Aku lalu duduk di sampingnya. Hanya dengan beralasakan rumput aku perhatikan lagi ia melukis. Lukisannya benar-benar realis. Padahal, yang kutahu ia selalu melukis abstrak. Tetapi, kenapa sekarang berbeda?
"Kamu belajar dari mana? Kok bisa realis begini?" tanyaku heran.
"Oh, ini realis ya?" tanyanya, "Aku malah nggak tahu,"
"Masa sih?" tanyaku, "Kamu lagi berbohong ya?"
"Nggak kok," katanya, "Aku nggak tau kalau ini realis. Aku aja nggak sadar kalau aku melukis realis,"
"Tetapi, bagus kok," kataku lagi, "Aku suka kok,"
Ia kembali melukis. Hampir selesai lukisan itu. Warna latarnya benar-benar menyerupai keadaan. Terang tapi sedikit gelap.
"Kamu mau nggak lukisanku?" tanyanya kemudian.
Aku tanpa pikir panjang langsung berkata, "Mau!" tetapi kemudian bertanya,
"Tumben kamu kasih lukisan kamu ke aku? Ada apa?"
"Aku juga nggak tahu," katanya, "Tapi, ada yang menyuruhku kasih ke kamu,"
"Siapa?"
"Aku juga nggak tahu,"
Kalau kubilang mengherankan memang karena selama ku mengenal dia, belum sekali pun ia kasih lukisannya padaku. Tetapi, kenapa hanya padaku? Apa aku istimewa di matanya? hahahaha...mulai gede rasa diriku.
"Nanti jaga baik-baik. Pajang di kamar supaya bisa ingat aku terus," katanya kemudian.
"Lho, memang kamu mau ke mana?" tanyaku heran.
"Aku nggak ke mana-mana kok," jawabnya yang membuatku tidak ingin bertanya lagi. Mengapa hari ini dia berkata demikian. Maksudku berkata yang membuatku bingung. Ada angin apakah di tubuhnya?
"Alvin, kamu mau nggak potret aku?" tanyanya lagi setelah itu.
"Oh, boleh," jawabku.
"Potret aku lagi kejar-kejar capung ya?"
Ia lalu berlari mengejar-ngejar capung. Meloncat. Semuanya aku tangkap lewat bidikan kamera. Saat ia berhasil menangkap aku jepret juga. Ada seutas senyum bahagia meski ada juga senyum murung. Ah, sudahlah yang penting aku bisa memotretnya, karena selama ini ia ogah diabadikan dalam foto. Ini juga yang menjadi pertanyaanku. Mengapa?
"Tolong dibingkai atau ditaruh di komputer dengan baik ya?" ujarnya setelah itu, "Supaya kamu bisa ingat aku,"
"Kamu memangnya mau pergi ya?"tanyaku heran.
"Nggak kok," katanya kemudian tiba-tiba mencium bibirku sekilas,
"Aku harus pulang. Ada yang harus kukerjakan,"
Ia bergegas tanpa aku sempat berkata-kata lagi. Peralatan lukis itu digenggamnya. Aneh, ujarku dalam hati. Tapi, tak apalah, kanvas yang berisi lukisannya yang bagus ini sekarang jadi milikku.
Malam harinya, aku jadi memikirkannya. Dia yang manis itu, dan sejujurnya aku menyukainya, kenapa perilakunya tidak biasanya. Apa ada sesuatu yang spesial, yang membuatnya berperilaku demikian. Oh, aku jadi ingin bertemu dengannya.
Aku segera ke rumahnya yang hanya berjarak 500 meter dari rumahku. Sayang, rumah itu malah kosong dan terkunci. Kata Amir, sejak sore seluruh keluarga di sini pergi entah ke mana, termasuk di dalamnya Winda. Tuh kan kubilang juga apa ia pergi. Tapi, kenapa aku jadi merindunya. Biasanya tidak. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.
"Kapan baliknya, Mir?" tanyaku,
"Mana aku tahu, kawan," ujar Amir yang kemudian berlalu.
Ah, sayang padahal aku ingin bertemu dengannya. Mencoba bertanya kepadanya kenapa ia seperti itu sambil mengungkapkan rasaku. Ah, tapi mau bagaimana lagi. Kan besok masih ada.
Esok harinya, aku terbangun oleh iring-iringan ambulans. Lho ada apa ini? itu yang pertama kali terlintas di pikiranku. Orang-orang di sekitarku beramai-ramai datang menuju ambulans tersebut, yang aku rasa sepertinya mengarah ke rumah yang kukenal...ah, tapi mana mungkin.
Aku lantas tanya pada bapakku yang juga hendak ke sana.
"Pak ,ada apa sih ramai-ramai?"
"Itu Pak Imran sekeluarga kecelakaan. Semuanya tewas," kata bapakku.
Mendengar kata Pak Imran aku spontan bereaksi,
"Termasuk juga Winda?"
"Iya," kata bapakku, "Kenapa?"
Lemas aku mendengarnya. Aku tidak menjawab tanya bapakku dan langsung ke luar rumah menuju pada rumah yang dituju iring-iringan ambulans tersebut. Dan ternyata benar. Oh, tidak. Kenapa ini bisa terjadi? Winda yang kemarin ku masih bersamanya bercanda, dia ternyata harus sudah berbalut kafan putih dengan mata tertutup dan nafas tak tercumbu. Dia yang kemarin aku potret dan berlarian...oh tidak, aku masih tidak percaya. Dia yang kemarin kulihat bersamaku melukis capung....
Sekarang aku baru mengerti mengapa ia berkata demikian. Sesuatu yang abstrak itu.
Aku lihat dalam rundungan duka itu capung-capung tiba-tiba datang bergerombol. Membentuk bayangan Winda yang bersayap dan terbang sembari melambaikan salam perpisahan kepadaku. Begitu juga seperti ada bayangan keluarganya di belakangnya.
Diriku seperti dibisikkan,
"Jaga baik-baik ya lukisanku, juga foto-fotoku dengan capung-capung itu,"
Kemudian capung-capung dan bisikan itu hilang.
Beberapa hari setelah itu, aku yang masih dibayangi rasa sedih karena ditinggalkannya, berusaha menjaga seperti apa yang ia minta. Wajahnya, suaranya masih saja terbayang dan terngiang-ngiang. Aku merasa ia ada di sampingku jika capung-capung datang bergerombol.
0 komentar:
Posting Komentar