Keith
namanya. Jika melihat dan mendengarnya, pasti akan menyangka ia bukan
orang Indonesia. Itu memang benar. Keith memang bukan orang dari
republik ini, tetapi dari Australia. Ya Australia. Negara benua
terbesar di dunia yang menjadi tetangga Indonesia di selatan. Ia
berasal dari Adelaide tepatnya, suatu kota di Australia yang
perbedaan waktunya hanya sejam dengan Indonesia, khususnya Indonesia
bagian barat. Berbeda dengan kebanyakan kota-kota lain di Australia,
yang kebanyakan berpusat di timur, mempunyai perbedaan waktu 3 jam.
http://andhikawijayakurniawan.com |
Aku
mengenal Keith sewaktu ia datang ke Indonesia. Ia datang, katanya,
untuk liburan sekaligus mencari sesuatu yang berbau-bau Indonesia.
Perkenalanku dengan Keith tidak sengaja. Waktu itu aku sedang mencari
buku di sebuah toko buku terbesar di Indonesia. Biasanya aku mencari
buku yang bertema sosial, politik, dan budaya, tetapi terkadang juga
sastra. Jika kebanyakan orang di toko buku, terutama para abege
(ABG), senangnya mencari komik dan majalah, aku malah kebalikannya.
Atau malah ketika sedang tren ada demam buku si penulis ini atau itu,
kemudian difilmkan, aku malah juga berlainan alias tidak ikut-ikutan.
Memang begitulah aku.
Ketika
sedang mencari dan mendapati sebuah buku bagus, dan temanya tentang
Papua, tiba-tiba ada yang menyapaku dari belakang,
“Bisa
ceritakan kepada saya lebih lengkap tentang Papua,”
Aku
mendengar yang berbicara aksennya seperti orang Barat berbicara.
Ketika kutoleh ke belakang, terkejutlah aku. Seorang berkulit putih
atau bule di belakang sambil tersenyum. Refleks aku berbicara dalam
bahasa Inggris,
“Sorry,
are you interest about this?” tanyaku sambil memegang buku dan
menunjukkan padanya.
“Bisa
kita bicara dalam bahasa Indonesia?” tanyanya balik dengan bahasa
Indonesia yang lancar sekali.
“Oh,
tentu,” jawabku.
“Kenalkan,
saya Keith,” ujarnya memperkenalkan diri.
“Oh,
Adi,” jawabku, “ Salam kenal,”
“Boleh
tahu dari mana asalnya?” tanyaku kembali.
“Australia,”
ujarnya mengucapkan Australia dengan “estrelie”
Ketika
ia menyebut Australia, dalam hati aku berujar, pantas aja kan bahasa
Indonesia di sana diajarkan. Ini pasti dari jurusan bahasa Indonesia.
“Di
sini sedang apa?” tanyaku kembali.
“Sedang
liburan,” jawabnya.
“Kamu
pasti dari jurusan bahasa Indonesia ya?” tanyaku.
“Iya,
betul,” jawabnya, “Kamu kok bisa tahu?”
“Karena
kebanyakan orang Australia yang bahasa Indonesianya bagus, pasti dari
jurusan bahasa Indonesia di sana,”
Ia
tertawa.
“Belum
tentu,” katanya, “ Bagaimana dengan Anthony Reid?”
Ketika
ia menyebut Anthony Reid, aku jadi teringat dengan sejarawan
Australia yang sering sekali meneliti di Indonesia, khususnya di
Sumatera.
“Oh,
iya ya,” kataku memaklumi sendiri atas penilaian umumku.
“Tentu
mereka harus belajar dulu bahasa Indonesia,” kata Keith
melanjutkan, “Kan bahasa teropong budaya.
“Betul,”
jawabku.
Ia
lalu memperhatikan diriku dan buku yang kupegang,
“Ah,
iya,” katanya, “Ngomong-ngomong kamu sedang tertarik dengan
Papua?”
Aku
lalu melihat,
“Sebenarnya,
tidak,” jawabku, “Saya hanya melihat-lihat saja dan kebetulan
sekarang sedang menjadi tren di banyak media massa gara-gara freeport
dan OPM,”
“Betul,”
kata Keith, “Saya juga sering melihat di Australia sana,”
Bicara
Papua tentu juga ada kaitannya dengan Australia. Ada beberapa
desas-desus bilang bahwa Australia ada di belakang konflik yang
terjadi di Papua. Juga soal OPM, Australia seperti bermuka dua.
Karena itulah, aku jadi penasaran, dan harus menanyakan ini kepada
Keith perihal Indonesia di sana,
“Terkadang
aku bingung dengan negaramu, Keith,” kataku.
“Bingung
kenapa?” tanyanya heran.
“Negaramu
itu terkadang terlihat bersahabat dengan kami, namun kadangkala
tidak. Termasuk masalah Papua ini. Apakah kami adalah ancaman?”
Tatapan
Keith berubah tajam. Ia sepertinya terkejut mendengar aku berkata
demikian,
“Saya
juga bingung dengan negaramu terutama masalah imigran gelap dan
terorisme. Makanya, saya mencoba menyapa kamu supaya tahu Indonesia
yang sebenarnya seperti apa?”
“Tapi,
kamu kan sudah belajar tentang Indonesia sekian lama?”
“Iya,
tapi saya harus tahu dari sumber yang sebenarnya,”
Aku
lalu melihat keadaan di sekitar.
“Bagaimana
kalau kita ke kafe di bawah,” kataku menawarkan, “Sekalian minum
kopi,”
“Ah,
tawaran bagus!” reaksinya, “I would really love that!”
Kami
berdua lalu berjalan, kemudian turun menuju sebuah kafe terkenal yang
memang dibangun di bawah toko buku ini. Sesampainya, aku segera
memesan capucinno, sedangkan Keith kopi biasa.
“Jadi,
kalau boleh kubilang kamu liburan, tapi juga mengerjakan tugas kalau
aku perhatikan dari ceritamu?” tanyaku sambil menyeruput cappucinno
hangat di tengah suasana, yang boleh dibilang cukup dingin.
“Iya,”
jawabnya juga menyeruput kopi hitamnya, “Untuk tugas semester.
Dosen saya menyuruh tiap mahasiswanya untuk menceritakan tentang
Indonesia dan juga Australia langsung dari sumbernya,”
“Lho,
bukankah di Aussie banyak orang Indonesia?”
“Betul,”
kata Keith, “Tapi, saya rasa lebih baik ke negeri asal langsung
biar ada feelingnya,”
“Oh,
I see,”
“Sekarang
saya mau bertanya ke Adi dahulu,” ujar Keith kemudian.
“Oh,
silakan,” jawabku.
Ia
seruput kopinya lagi dan mulai memandangku dengan tajam,
“Dari
pendapat pribadi Adi dahulu tentang negara saya terutama dengan
Papua?”
Aku
yang mendengar pertanyaan demikian segera menghela nafas,
“Australia
itu negara yang besar, indah, dan banyak keanehan liarnya,”
kataku
yang kemudian membuat ia menyela ucapanku,
“Keanehan
liar seperti apa maksudnya?”
“Seperti
alamnya. Ada hiu putih, kadal bermuka payung, dan lainnya,”
Ia
pun tersenyum. Aku lalu melanjutkan,
“Kalau
boleh dibilang selain negara besar, Australia juga indah apalagi
promosi pariwisatanya juga mantap!”
“Rupanya
“There's nothing like Australia” sampai juga ke telinga kamu?”
“Betul.
Apa “Wonderful Indonesia” juga sampai ke Australia?”
“Apa
itu?”
Ketika
Keith seperti itu, aku menduga pasti slogan ini kurang promosi di
sana. Grrr....
“Itu
branding pariwisata kami, Keith,”
“Ah,
ya ya,” kata Keith, “Baru tahu saya. Indah kedengarannya,”
“Memang,
tapi lebih indah lagi kalau dipraktikkan,” kataku setengah kesal,
“Apa di jurusanmu tidak diajarkan perihal pariwisata kami?”
“Diajarkan,
tetapi tidak begitu dalam,”
“Oh,
I see,”
Dalam
hati aku berkata, pantas. Apa ini karena stigma negatif Indonesia di
sana?
“Baik,
saya mau bertanya tentang negara saya dari sudut yang negatif,”
kata Keith kemudian, yang sepertinya ia memang ingin tahu
sebenar-benarnya Indonesia dari dalam diriku.
“Seperti
yang saya bilang tadi, negaramu terkadang baik terkadang jahat.
Sering mencampuri urusan dalam negeri kami, meski tidak terlihat.
Sering memberitakan kami dengan negatif terutama masalah imigran,
teroris, dan nelayan. Apalagi, sekarang di Papua. Kelompok Partai
Hijau nampaknya gencar untuk membantu OPM. Malah sewaktu pertandingan
antara Persipura dan Adelaide United ada bendera OPM berkibar. Ini
yang membuat saya bertanya-tanya sebenarnya Australia itu mendukung
kedaulatan Indonesia atau tidak sama sekali?”
“Kamu
panjang sekali bicaranya,” kata Keith, “Tapi, aku suka
kejujuranmu,”
“Satu
lagi dalam pertahanan-keamanan, negaramu merupakan ancaman karena
negaramu satpamnya Amerika,”
“Memang,
seperti yang kamu bilang tadi, negara saya itu suka menyebalkan.
Tapi, itu kan pemerintahnya. Orang-orangnya tidak,”
“Tetapi,
bagaimana dengan media-media di sana yang selalu menyudutkan
Indonesia?”
“Ah,
soal media biarkan saja. Australia kan negara bebas, begitu juga
negaramu, right?”
Aku
mengangguk.
“Itulah
mengapa saya masuk jurusan bahasa Indonesia di tempat saya kuliah.
Supaya memberikan gambaran Indonesia yang sesungguhnya. Saya suka kok
dengan Indonesia. Orang-orangnya, alamnya sebenarnya bersahabat,”
“Tapi,
bisa bedakan kan antara Indonesia dengan Malaysia?”
“Tentu
bisa,”
“Karena
kebanyakan orang tidak bisa membedakan kedua-duanya. Itu yang saya
dapatkan di sebuah buku seorang traveler ketika ia menjelajah di
negara-negara Asia Tengah,”
Ia
tersenyum.
“Memang,
kami sama-sama Melayu dan bernenek moyang sama, tetapi dalam
perkembangannya menjadi sedemikian berbeda,”
“Ya,
saya mengerti. Itulah mungkin yang membuat Indonesia dan Malaysia
sering terlibat konflik paten kebudayaan dan perbatasan, bukan?”
“Betul,”
Kami
lalu diam. Memandang pada pemandangan di luar yang berhiaskan
kesibukan dan kemacetan lalu lintas dalam derasan hujan. Spontan aku
berseloroh,
“Welcome
to Jakarta, Keith!”
“Thank
you!”
“Inilah
Jakarta, ibu kota kami, yang selalu terjebak banyak masalah,”
Aku
lalu tertawa.
“Biasanya,
salah satu orangmu, Susan Blackburn, getol sekali berbicara tentang
Jakarta, terutama Jakarta tempo doeloe,”
“Ah,
betul sekali. She is expert, indeed,”
“Kembali
ke negaramu, bagaimanapun, dalam pendidikan sering sekali Australia
bekerja sama dengan banyak perguruan tinggi negeri di sini, dan
banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di sana,”
“Ya,
itu betul sekali,” katanya, “temanku kebanyakan orang Indonesia,”
“Apa
karena kamu dari jurusan bahasa Indonesia jadi berteman dengan kami?”
Ia
tertawa.
“Apa
harus seperti itu?” tanyanya berbalik, “Tidaklah. Sejak kecil,
aku sudah berteman dengan orang Indonesia. Orang itu menjadi
tetanggaku dan anaknya sering bermain bersamaku. Dari situlah aku
awalnya jadi tahu Indonesia,”
“Pantas
saja bahasa Indonesiamu lancar,” kataku, “Pasti diajari beberapa
kata ya awal-awal ketika bermain?”
“Betul,”
“Australia,
menurutku, Keith,” kataku lagi, “Memang negara besar yang diincar
untuk pendidikan dan pariwisata oleh orang-orang kami, terutama yang
berduit. Negaranya memang maju. Beda dengan Indonesia,”
“Aku
akui itu,” kata Keith, “Tapi, aku yakin kalian suatu saat bisa
maju, terutama dalam pendidikan,”
Aku
tertawa mendengarnya,
“Mau
maju bagaimana, Keith? Di sini saja hanya beberapa saja yang bisa
mengenyam bangku sekolah. Kalau pun ada tidak sampai perguruan
tinggi. Eh, pas lulus perguruan tinggi belum tentu dapat pekerjaan
sebab jurusannya kurang diminati,”
“Maksudmu,
pengkotak-kotakkan bidang?” tanyanya.
“Iya,
seperti itulah. Di sini masyarakat lebih senang jika anaknya masuk ke
jurusan kedokteran, teknik, ekonomi, dan hukum, sedangkan untuk
jurusan yang berbau sosial-budaya kurang diminati,”
“Alasannya?”
“Biar
gampang cari kerja dan dapat duit,”
“Kenapa
bisa demikian?”
“Ini
karena dulu Sukarno, mungkin karena kami kelamaan dijajah Belanda,
meminta agar pembangunan fisik diutamakan. Jadi, meminta sesuatu yang
praktis dengan kerja fisik,”
“Bagiku,
itu wajar, karena memang setelah merdeka, banyak yang harus diisi,”
“Tetapi,
hal demikian masih bertahan, Keith. Bagaimana kami bisa maju,”
“Suatu
saat pasti maju dan hal itu hilang. Kamu jangan pesimisitis,”
“Lalu
bagaimana dengan di Australia?”
“Di
sana semua dianggap sama kok,” kata Keith, “Karena setiap ilmu,
bagaimana pun prosesnya, penting untuk dipelajari,”
“Berarti
tidak ada pengkotak-kotakkan?”
“Tidak
ada,”
“Oh,
aku suka yang demikian. Aku juga kurang tahukenapa di sini masih
berlaku pengkotak-kotakkan, juga pendidikan masih dianggap kurang
penting, apalagi bagi mereka yang kurang mampu. Pemerintah negara ku
agak kurang respek terhadap masalah ini. Lihat saja banyak perguruan
tinggi negeri dilepas oleh pemerintah dan dijadikan BHMN. Alasannya,
PTN harus mandiri lha. Padahal, Indonesia belum jadi negara maju,
jika mau disandingkan dengan Amerika dan Eropa,”
“Aku
pikir kita memang sedang curhat ya?” tanya Keith, yang membuat aku
dan dia tertawa-tawa.
“Sekarang,
aku ingin bertanya balik, kataku, “Apa pendapatmu tentang kekerasan
di negara kami dan juga terorisme?”
“Kamu
pasti mengira bahwa pendapatku akan sama dengan orang kebanyakan,”
“Maksudmu?”
“Aku
ada pandangan lain soal itu. Apa yang terjadi di Indonesia selama
ini, itu murni bukan kekerasan atas nama agama. Aku yakin itu ada
aktor di belakang,”
“Lho,
kenapa kamu bisa berkata seperti itu?”
“Sebab
aku yakin orang Indonesia itu ramah-ramah kok dan toleransinya
tinggi. Apa yang terjadi itu hanya akal-akalan saja biar negaramu
hancur. Apalagi, selama aku di sini karena negaramu negara bebas,
medianya juga bebas dan beritanya malah memperparah keadaan,”
“Hebat!
Kau malah menganalisis juga,” kataku takjub, “Sudah berapa lama
di Indonesia?”
“Tiga
hari,”
“Apa
baru Jakarta saja selama tiga hari ini?”
“Kemarin
aku baru dari Bali setelah sebelumnya ke Lombok,”
“Oh,
ke dua pulau surga,” kataku yang membuatku teringat sesuatu, “Soal
Bali, aku minta maaf,”
“Tentang
apa?” tanya Keith heran.
“Bom
Bali,”
Ia
tertawa,
“That's
not problem, dude,” ujarnya, “Memang, awalnya aku sempat kesal
kenapa banyak sekali warga negara kami yang meninggal. Aku sempat
heran. Tapi, aku yakin itu juga ada aktor dan bukan mengatasnamakan
agama,”
“Kayanya
kamu orang Barat yang berbeda yang kebanyakan orang Barat lainnya,”
“Kamu
bisa aja. Aku hanya mengambil dari sudut pandang berbeda. Bosan juga
mendengar tiap ada kata “Indonesia” selalu dihubungkan dengan
maki-maki dan hujatan,”
“Yah,
aku bosan juga kalau Australia selalu dihubungkan dengan tukang ikut
campur masalah dalam negeri Indonesia,”
“Yah,
itu seperti pepatah “tak kenal maka tak sayang”,”
“Ah,
hebat kamu bisa mengutip itu. Kayanya ini mahasiswa pintar di
jurusannya,”
Dia
tidak menjawab dan hanya tersenyum. Tidak terasa sore menjelang. Aku
merasa ada urusan lain yang harus diselesaikan.
“Wah,
nampaknya sudah sore ini, Keith,” kataku hendak menyudahi
pembicaraan.
“Kamu
ada acara?” tanyanya.
“Iya,”
jawabku hendak mengangkat badan.
“Kamu
juga?” tanyaku balik.
“Iya,
sore ini juga,” katanya, “Mau bertemu temanku yang bekerja di
sini dan esok ke Palembang. Mau menonton sepak bola di sana,”
“Have
a nice travel for tommorow, dude,”
“Thanks
so much,”
“Aku
berharap jika beruntung, mau main ke negaramu,”
“Oh,
silakan,”
Kami
lalu berpisah. Aku naik busway, sedangkan Keith malah memilih bus
kota dengan jurusan berbeda. Melihat itu, aku berujar dalam hati, si
bule ini rupanya sudah beradaptasi sekali dengan keadaan di sini. Aku
yang melihatnya jadi malu. Masa si bule mau sih naik bus kota yang
sesak, padat, dan panas daripada diriku. Aku salut dengannya.
Semenjak
pertemuan itu, aku jadi sering melakukan kontak dengan Keith melalui
jejaring-jejaring sosial dan email. Aku jadi tertarik ingin ke
negaranya sekaligus kuliah di sana dan penasaran dengan apa yang
dikatakannya. Dalam hatiku ada keinginan untuk membuat negaraku maju
selepas menimba ilmu di sana.