Awal
1990, lelaki berusia 66 tahun itu memutuskan pergi ke Prancis. Namun
kepergiannya ke “negeri mode” itu bukan untuk berwisata,
melainkan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ia yakin di
negeri yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi itu, karier
kepenulisannya akan lebih baik, sehingga akan terus bisa membuat
karya-karya yang isinya menyindir apa yang tengah terjadi di negeri
asalnya, Albania. Ismaїl Kadaré pun akhirnya hingga kini menikmati
kehidupan kepenulisan di sana dari hasil pencarian suaka politiknya
tersebut.
***
Itulah
gambaran dari perjalanan hidup yang pernah dirasakan Ismaїl Kadaré,
sastrawan asal Albania yang sekarang memutuskan tinggal di Prancis
demi menghindari tekanan opresif rezim komunis di negeri asalnya.
Mengenai Kadaré sendiri, tentunya belum banyak orang di Indonesia
yang mengenalnya mengingat karya-karyanya sendiri di Tanah Air baru
diterjemahkan tiga buah oleh tiga penerbit yang berbeda. Pertama oleh
Jalasutra (Elegi
untuk Kosovo,
2004), kedua oleh Marjin Kiri (Piramid,
2011), dan terakhir oleh Serambi (Istana
Mimpi, 2012).
Namun, itu bukanlah alasan untuk tidak mengetahui si penulis yang
rupanya sudah banyak mengantongi berbagai penghargaan di bidang
sastra, seperti Man Booker Prize International, Pix Mondial Cino del
Duca, Principe Asturias, dan lain-lainnya.
Berbicara
mengenai karya-karya Kadaré, sesungguhnya secara alamiah memang tak
bisa lepas dari Albania, sebuah negara di Eropa Timur yang
beribukotakan Tirana. Albania dalam karya-karya tersebut digambarkan
sebagai negeri yang tak kunjung lepas dari pendudukan, perlawanan,
dan ketidakadilan. Dan ia mengambilnya dari sudut pandang historis
lalu menuliskannya dalam bentuk roman sejarah.
Kebanyakan
Kadaré dalam karya-karyanya menuliskan tentang kekuasaan kemudian
perlawanan atas kekuasaan tersebut. Kekuasaan yang sering digambarkan
olehnya secara historis adalah kekuasaan Kekhalifahan Ustmaniyah
(Ottoman). Dalam sejarah Albania, Kesultanan Islam terakhir dari
Turki itu menguasai negara yang berada di Jazirah Balkan itu selama
433 tahun. Penguasaan yang cukup lama dan melalui peperangan yang
melibatkan tiga negara Balkan terhadap Ustmaniyah, Bulgaria, Serbia,
dan Albania, secara tidak langsung mempengaruhi cara hidup masyarakat
Albania sendiri. Seketika sebagian besar penduduk, seperti halnya di
wilayah Balkan lainnya, langsung memeluk Islam, mengikuti cara hidup
budaya Turki dengan berpenampilan ala Turki atau minum salep,
minuman khas Turki yang terbuat dari sari anggrek. Seperti kebiasaan
kekhalifahan, banyak dari penduduk Albania mereka jadikan tentara dan
juga pejabat kerajaan, termasuk keluarga Köprülü (Quprili), yang
dalam sejarah Utsmaniyah menjadi keluarga yang menyumbang enam wazir
agung. Gambaran demikian terlihat jelas dalam Istana
Mimpi, salah satu
karya termasyhur Kadare. Novel tersebut menceritakan tentang
Mark-Alem, seorang keturunan Köprülü yang menjadi pegawai di Tabir
Sarrail atau Istana Mimpi, sebuah institusi milik kekhalifahan yang
bertugas menyortir dan menafsir mengenai Mimpi Utama yang mungkin
akan menjadi pertanda bahaya bagi kekhalifahan.
Karya
lain yang lekat dengan Ustmaniyah sebagai latar belakang historis
adalah Elegi untuk
Kosovo dan The
Siege. Di
Elegi untuk Kosovo,
ia bercerita mengenai ambisi seorang Sultan Ustmaniyah, Murad, untuk
menguasai Kosovo, daerah yang banyak dihuni etnis Albania melalui
sebuah pertempuran. Di The
Siege, menceritakan
tentang pertempuran orang Albania melawan invasi Utsmaniyah dengan
tokoh utama adalah George Kastrioti Skanderberg atau Iskandar Bey
(1405-1468), seorang yang sebenarnya masuk ke dalam kemiliteran
Utsmaniyah kemudian membelot melakukan perlawanan. Orang ini kemudian
diangkat menjadi pahlawan nasional Albania.
Dalam
karya-karyanya, Ustmaniyah oleh Kadaré digambarkan sebagai
kekhalifahan yang kejam, haus kekuasaan, memaksa orang Albania hidup
ala Turki, serta menyebarkan Islam melalui jalan perang, yang pada
akhirnya membuat sebagian besar orang di Albania mau tidak mau
memeluk Islam, atau malah menyingkir ke luar Albania, terutama ke
Eropa Barat, seperti Marin Barleti, sejarawan, Marino Bechichemi, dan
Gjon Gazulli. Penggambaran itu cukup mendetail, dan bahkan jarang
terungkap di sejarah dunia yang umum.
Keadaan
yang demikian pada akhirnya menimbulkan nasionalisme pada bangsa
Albania itu sendiri untuk melepaskan diri dari kuasa Ustmaniyah pada
awal abad ke-20. Albania sendiri dalam sejarah Balkan adalah negara
Balkan terakhir yang baru bisa lepas dari Turki pada 1912. Sementara,
negara-negara Balkan yang lain sudah merdeka di akhir abad ke-19.
Pada saat itu, kekuatan Ustmaniyah memang sedang melemah karena
menghadapi berbagai macam pemberontakan di wilayah-wilayahnya.
Lepas
dari Ustmaniyah, Albania sempat menjadi bagian singkat dari Kerajaan
Serbia, kemudian beralih menjadi republik (1924-1928), dan terakhir
kerajaan (1928-1939) sebelum dikuasai Italia pada Perang Dunia ke-2.
Pasca Perang Dunia ke-2, Albania menjadi negara komunis dengan Enver
Hoxha (1941-1985) menjadi pemimpinnya. Di sinilah sebenarnya Kadare
mulai bersinggungan dengan Hoxha melalui karya-karyanya yang secara
tidak langsung ia hubungkan dengan kekuasaan Utsmaniyah di masa-masa
sebelumnya.
Di
masa Hoxha, kehidupan bukannya menjadi lebih baik usai rezim fasis
Italia berhasil diusir dari Albania. Hoxha, yang kemudian membuat
sebuah paham berdasarkan nama dirinya, Hoxhaist, banyak mengontrol
kehidupan di berbagai bidang, termasuk di penerbitan buku. Hal
demikian tentu mematikan kreativitas penulis seperti Kadaré yang
sebenarnya mempunyai hubungan spesial dengan Hoxha karena lahir di
tempat yang sama, Gjirokastër. Di masa Hoxha, sebagaimana negara
yang menganut komunis, rakyat dipaksa bekerja melakukan pembangunan
dengan dikirim ke kamp-kamp. Bila melawan akan disiksa.
Tradisi-tradisi lama ditinggalkan, termasuk juga agama. Masjid dan
gereja ditutup atau dihancurkan. Hoxha melakukannya melalui Sigurimi,
badan intelijen yang menjadi kaki tangannya.
Namun,
Kadaré tidak menyindir secara langsung, melainkan memakai
perumpamaan. Zaman Hoxha berkuasa ia hubungkan dengan zaman ketika
Utsmaniyah masih bercokol. Kekejaman, ketidakdilan, kediktatoran, dan
nafsu kuasa semua tergambar begitu kuat dan detail. Sebuah benang
merah tersimpul bahwa kekuasaan Hoxha sama dengan kekuasaan
Ustmaniyah. Bahkan ia juga tak segan mengaitkannya dengan
kediktatoran Firaun, sebagaimana yang tergambar dalam Piramid.
Diceritakan dalam novel tersebut, rakyat Mesir Kuno dikorbankan jiwa
raganya dengan berdarah-darah demi membangun sebuah piramida untuk
kesenangan Firaun semata. Pengorbanan itu jelas ada kaitannya dengan
pemaksaan yang dilakukan Hoxha terhadap rakyat Albania selama ia
berkuasa. Akibatnya, karya-karya Kadare dilarang beredar dan
kehidupannya pun terancam. Suaka politik mau tidak mau harus
dilakukan. Ini sebenarnya sesuai dengan ucapannya yang mengatakan
bahwa penulis adalah musuh alami sebuah kediktatoran.
***
Apa
yang ditulis Kadaré, jika kita mengambil konteks di Tanah Air,
sesungguhnya tak jauh beda dengan apa yang ditulis oleh sastrawan
termashyur kita, Pramoedya Ananta Toer. Sama seperti Kadaré, Pram
juga menceritakan tentang ketidakadilan, kesewenangan, dan perlawanan
terhadap penguasa. Setting dan penceritaan yang diambilnya juga sama.
Melalui kejadian historis yang dikemas dalam roman sejarah dengan
penggambaran sosialis-realisme. Kalau di Kadaré menceritakan
kediktatoran Hoxha melalui penjajahan Utsmaniyah. Di Pram
menceritakan kediktatoran Orde Baru melalui penjajahan Belanda. Kedua
negara itu secara historis memang sama-sama menguasai negara yang
dijajahnya berabad-abad yang kemudian dilawan dengan semangat
nasionalisme yang timbul. Maka, tak salah jika membaca Kadaré,
seperti halnya Pram di Indonesia, seperti membaca sebuah sejarah
Albania yang hendak diluruskan.