“Puas?” tanya
suara itu yang kembali berbisik di telingaku. Aku menyebutnya “suara itu” sebab
ia sudah berulang kali muncul di dekat dan sekitarku. Aku tak tahu kapan ia
pertama kali muncul, tetapi aku merasakannya ketika sedang kesal terhadap suatu
hal. Aku yang sedang mengamati kemegahan sebuah bangunan peninggalan masa
lampau di Kamboja, Angkor Wat, lantas menjawab yakin,
“Iya, aku
puas,” jawabku disertai senyuman seperti halnya senyuman-senyuman relief di
bangunan itu.
“Benar?” ia
bertanya kembali untuk meminta kepastian.
“Iya, benar,”
jawabku tetap yakin.
“Masa?” ia
kembali bertanya tetapi ini dengan kata dan nada mengejek dan meremehkan.
Jujur, itu membuatku kesal. Emosiku hampir naik. Tetapi aku tahan. Aku tidak
mau merusak pemandangan indah di depanku hanya karena aku emosi, dan akhirnya
marah-marah. Rusak sudah perjalananku.
“Iya, betul,”
jawabku lagi kini sembari menantang dia, “Seperti yang kamu lihat. Aku puas,
aku bahagia karena akhirnya bisa menjejakkan kaki di salah satu candi terbesar
di Asia Tenggara,”
“Hei, saya
tidak menanyakan kamu bahagia hanya bertanya apa kamu puas. Kenapa kamu
sertakan bahagia?” tanyanya kembali yang kali ini membuatku dongkol.
“Lho memangnya
kenapa?” aku kini merasa emosiku naik, “Suka-suka aku dong. Lagian puas dan
bahagia itu berhubungan,”
“Kata siapa?”
Suara itu
benar-benar membuatku jengkel. Rasa-rasanya aku ingin menghajarnya apabila ia
berbentuk fisik. Habis-habisan. Kalau bisa sampai babak belur. Ah, sayang, ia
tak berbentuk seperti angin yang berembus dan hilang. Kemunculannya bagiku
seperti misteri.
“Jangan pernah
bermimpi untuk bisa menghajarku,” ujarnya yang kemudian membuatku tersadar
bahwa ia tahu apa yang aku katakan dalam hatiku, “Kamu tidak akan bisa. Aku ini
ada di mana-mana. Bahkan di kemaluanmu sekalipun,”
“Lalu maumu
apa?” tanyaku yang sepertinya benar-benar ingin menghajar tetapi tidak bisa.
“Lho, aku kan
cuma bertanya apa kamu puas,”
“Dan sudah
kujawab,”
“Aku malah
melihat kamu tidak menjawab pertanyaanku,”
“Maksudmu?”
“Iya, kamu
tidak menjawab pertanyaanku. Aku rasa kamu tidak puas,”
“Hei, jangan
sok tau!”
Seperti angin
yang berembus ia tiba-tiba menghilang. Entah ke mana. Meninggalkan aku yang
sedang terpana akan kemegahan Angkor Wat. Suatu hal yang akhirnya bisa
kulakukan terwujud. Melihat candi itu dari dekat. Menyentuhnya. Sebab, selama
ini hanya sering melihatnya dari televisi. Ya, aku merasa aku puas. Aku
bahagia. Aku senang.
“Jangan
bohong,” suara itu tetiba muncul. Membuatku terkejut. Ia sepertinya memang
benar bisa mendengar isi hatiku.
“Bohong
apanya?” tanyaku heran.
“Kamu berbohong
kalau kamu puas,” katanya dengan nada yang tegas, “Kamu sebenarnya tidak
puas...juga tidak bahagia dan senang. Apa yang kamu lakukan adalah
keterpaksaan,”
“Hei, maksud
kamu apa?”
Aku menjadi
bertanya-tanya atas ucapannya.
Lalu kudengar
suara tawa di telingaku.
“Jangan
tertawa, keparat!”
Ia terus
tertawa-tawa. Lagi-lagi aku ingin menghajarnya jika ia berbentuk fisik. Sayang,
batu pun tidak akan bisa menciumnya.
“Sabar, jangan
marah,” ujarnya setelah itu, “Kamu memang gampang ya emosinya dipancing. Pantas
saja orang-orang di sekitarmu senang menggembosi kamu,”
“Bisakah kamu
diam sebab aku ingin menikmati Angkor Wat,”
“Kamu tidak
akan menikmati sebab kamu berbohong pada dirimu sendiri,”
“Maksudmu apa?
Heh?”
Ia tetiba
menghilang lagi. Entah ke mana. Cuaca di Angkor Wat terlihat mendung.
Sepertinya hendak turun hujan. Ada baiknya aku segera ke dalam kuil untuk
berteduh.
“Kenapa
bergegas?” suara itu muncul lagi.
“Mau hujan,”
jawabku seadanya dan rasanya aku sudah malas menanggapi.
“Terus kenapa
kalau hujan? Menghindar? Dasar ya kamu tidak tahu terima kasih. Sudah tidak
puas sekarang malah ke dalam?”
“Suka-suka aku
dong!”
Ia malah
terkekeh.
“Ya suka-suka
aku juga dong. Dasar manusia tidak puas,”
Sialan! Gerutuku
dalam hati. Benar-benar ingin aku hajar dia. Tapi, sekali lagi, ia tak
berwujud. Percuma saja tanganku kukepal kencang.
“Sebenarnya mau
kamu apa sih?” tanyaku lagi ke ia, “Sedari tadi menggangguku terus. Kamu
sepertinya tidak senang ya saya bahagia,”
“Kamu berbohong
kalau kamu bahagia,” jawabnya. “Kamu tidak bahagia. Sama sekali,”
“Kok kamu sok
tau banget sih?”
“Ya memang aku
sok tau,”
“Kalau begitu
diamlah dan jangan seperti burung-burung gereja di depan rumahku,”
“Apa
hubungannya dengan burung gereja? Mereka menurutku tidak sok tau. Mereka
bercerocos karena puas dan bersyukur atas anugerahNya,”
“Oke, oke, aku
tidak mau berdebat perihal itu. Tetapi sebaiknya kamu menyingkir dan biarkan
aku menikmati kuil ini sejenak,”
“Tidak bisa.
Sebelum kamu tidak lagi berbohong kepadaku,”
“Lho kamu ini
memangnya siapa? Ayah-ibuku saja tidak seperti itu. Apalagi saudara-saudaraku,”
“Kamu tidak
perlu tahu aku siapa. Aku cuma ingin melihat saja bahwa kamu benar-benar puas
dan tidak berbohong,”
Lama-kelamaan
aku bisa gila terus-terusan meladeni suara misterius itu. Suara itu benar-benar
seperti minta dihajar. Menjengkelkan dan dongkol. Seperti orang-orang di
kantorku yang kerjanya sebagai kuli tinta.
“Tidak apa-apa
kalau kamu mengatakan aku seperti teman-temanmu,” ujarnya. Lagi-lagi ini
membuatku tersadar bahwa ia bisa mendengar suara dalam hatiku. Oh, tidak!
“Ya, mereka
memang menyebalkan. Dan aku akan seperti mereka,”
“Iya mereka
memang menyebalkan. Aku kurang suka dengan mereka, mentang-mentang wartawan,
tetapi lagaknya seperti orang benar. Seperti profesor. Profesor saja tidak
begitu. Mereka norak. Mereka suka mengada-ngada. Bahkan hal sepele pun
digosipkan,”
“Tetapi, toh
ada yang kamu sukai di antara mereka? Ya kan?”
“Iya, sayang
dia sudah punya pacar dan pacarnya belagu. Aku janji tidak akan datang ke
pernikahan mereka,”
“Seperti di
sinetron saja,”
“So what?”
“Tidak
kenapa-kenapa. Hanya saja aku melihat kamu orang yang memang mudah panas dan
terbakar bahkan oleh cemburu sekalipun. Kamu kesal lantas kamu cemburu terutama
kepada orang yang kamu suka. Kamu kesal karena kamu merasa diremehkan dan ingin
membalas perbuatan mereka dengan perjalanan ini, bukan?”
“Maksudmu?”
tanyaku kemudian.
“Jangan
berbohong. Kamu melakukan perjalanan ke luar negeri sebenarnya karena kamu
kesal dengan mereka yang kamu rasa meremehkan kamu untuk menunjukkan kamu bisa.
Oke, aku salut dengan caramu membalas dendam. Tapi akibatnya kamu sebenarnya
tidak puas...juga bahagia dan senang. Ya kan?”
Tiba-tiba saja
aku terdiam. Seperti menghadapi binatang buas di depan muka, aku tidak bisa berkata
apa-apa. Hanya kemudian merenung lalu bertanya-tanya pada diri sendiri.
Sebenarnya yang aku lakukan ini apa? Untuk siapa? Aku bertanya-tanya apakah aku
melakukan memang demi diriku yang menyukai perjalanan atau hanya pelarian untuk
pelampiasan atas kekesalan diriku pada mereka-mereka yang meremehkanku kemudian
akan menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa. Iya, aku bisa. Lantas aku
disanjung dan dihargai. Ah, sialan! Perjalanan ini seperti tiada makna bagiku.
Nafsuku telah mengendaraiku. Iya aku memang sebenarnya belum puas atau malah
tidak puas. Angkor Wat yang sekarang aku ada di dalamnya hanyalah pelampiasan
asal-asalan bahwa aku ingin dianggap dan pernah ke luar negeri. Aku sebenarnya
tidak menginginkan Angkor Wat. Aku hanya mengatakan bahwa aku pernah ke luar
negeri. Tepatnya di Kamboja. Ya, yang penting aku pernah ke luar negeri.
Pernah. Ini seperti halnya aku pernah berpacaran, dan nafsu memilih wanita mana
saja asal pacaran dan dianggap pacaran. Ah, sialan!
Aku, jujur,
tidak bahagia atau senang. Ya semua karena keterpaksaan. Semua karena aku
seperti cacing kepanasan yang tidak mau kalah dan ikut-ikutan. Aku jadi
teringat ucapan temanku kala kuliah dulu. Ia meremehkanku seperti katak dalam
tempurung. Hanya bisa membaca buku bukan buku di luar buku. Aku kesal. Aku
ingin membalas ucapannya. Aku yang tadinya tidak pernah melakukan perjalanan
menjadi pernah dan bahkan sering. Aku yang tidak suka menjadi suka. Tetapi
setelah kupikir-pikir buat apa kalau kenyataannya itu hanyalah pelampiasan
semu. Ujung-ujungnya aku benar-benar tidak menikmati seperti Angkor Wat ini.
Aku jadi teringat ucapan ibuku,
“Buat apa sih
kamu pake beginian segala?”
Perjalanan ini
hanyalah sekian pelampiasan.
Dan suara itu benar-benar menghilang.