Mengapa
hampir semua negara di Eropa di masa lampau adalah kolonialis? Atau lebih
gampangnya, kenapa kebanyakan penjajah berasal dari Eropa? Pertanyaan ini tentu
sering terngiang-ngiang jika kita membaca sejarah mengenai penjajahan dan
pendudukan atau kolonialisasi. Kerap disebut beberapa negara Eropa yang namanya
begitu populer dalam sejarah penjajahan dunia: Inggris, Prancis, Spanyol,
Portugal, dan Belanda. Ini adalah nama-nama negara Eropa yang memulai langkah
mengolonisasi pada abad ke-15 hingga 17.
Kemudian
pada abad ke-17 hingga 20 muncullah negara-negara Eropa lain yang dianggap
kesiangan yaitu, Rusia, Jerman, Belgia, dan Italia. Keempat negara ini bersaing
dengan pemain lama dalam mencari wilayah baru demi kepentingan ekonomi. Dan
akhirnya, kolonialisme pun pelan-pelan berakhir setelah Perang Dunia II.
Cuma,
seperti pertanyaan tadi, mengapa kebanyakan penjajah adalah negara-negara
Eropa?
Untuk
memahami hal itu ada baiknya kita mengetahui kondisi sosial dan geografi Benua
Biru ini. Eropa adalah salah satu benua di dunia yang terletak bersatu dengan
Asia di sebelah timur sehingga disebut Eurasia, dan berbatasan dengan Afrika di
sebelah selatan, menghadap ke Kutub Utara di utara, dan bersempadan dengan
Samudra Atlantik di barat. Jika kita perhatikan dari peta letak Eropa itu
berada di utara. Wilayah yang demikian memungkinkan Benua Biru mempunyai empat
musim: gugur, semi, panas, dingin.
|
users.rowan.edu |
Sayangnya,
keberadaan empat musim itu tidak ditunjang oleh keberadaan sumber daya alam
yang mumpuni seperti rempah-rempah. Untuk rempah-rempah, mereka pun harus
membeli ke tempat lain, yaitu ke pasar-pasar yang menjual barang-barang
tersebut seperti di Konstantinopel atau di Genoa. Tentu saja membeli
rempah-rempah bukan langsung dari sumbernya menyebabkan rempah-rempah itu
menjadi tidak berkualitas, baik dari harga maupun barang. Dan ketika
Konstantinopel direbut oleh Ustmaniyah pada 1453 sehingga jalur perdagangan
rempah-rempah ditutup, membuat Eropa harus berpikir keras untuk dapat membeli
rempah-rempah langsung dari sumbernya demi kelangsungan hidup. Maka, dimulailah
penjelajahan dunia baru yang berpegang pada gold, gospel, dan glory.
Ketiadaan
sumber daya alam seperti rempah-rempah, juga tidak adanya tanah yang subur
alias mengandung ph asam yang tinggi seperti di Jawa, membuat orang-orang di
benua ini berpikir keras bagaimana supaya bisa makanan yang mereka punya dan
diolah bisa tahan untuk jangka waktu yang lama. Apalagi pasar untuk menjual
makanan hanya diadakan per pekan.
|
enotes.com |
Dari
situlah orang-orang di benua ini berinovasi membuat tempat penyimpanan makanan
sehingga makanan tersebut awet, dan juga makanan tersebut tidak bisa dihabiskan
semaunya. Belakangan tempat penyimpanan makanan tersebut populer dengan nama
kulkas. Selain kulkas, mereka juga berinovasi membuat makanan yang bisa tetap
dimakan sepanjang melakukan perjalanan jauh, yaitu makanan kaleng.
Nah,
selain inovasi untuk makanan tadi, keadaan alam Eropa yang empat musim membuat
orang-orang di benua ini terutama di bagian utara begitu disiplin dan tidak mau
menyia-nyiakan waktu dengan bersantai atau mengaret. Mereka beranggapan seperti
dalam peribahasa time is money bahwa waktu itu akan hilang begitu saja
jika tidak dimanfaatkan sehingga akhirnya merugi. Apalagi keadaan ini juga
tergambar dalam tata bahasa Eropa yang mempunyai banyak kala atau tenses.
Banyaknya tenses dan berubahnya kata kerja mengindikasikan bahwa segala
sesuatu yang ada di pagi hari, bisa berubah di siang, sore, dan malam. Dan yang
terjadi di hari ini tentu akan berbeda di keesokan harinya.
Alam
Eropa yang tidak menguntungkan juga menjadi ladang berpikir kritis para
manusianya terhadap sekitarnya. Dari sinilah muncul filsafat yang diprakarsai
oleh Plato, Sokrates, dan para penerus mereka yang tergabung dalam filsafat
Barat. Ilmu ini semakin mendapatkan tempat setelah munculnya renaisans dan
aufklaerung. Para manusia Eropa yang merasa terkungkung oleh hal-hal yang
dogmatis mulai memberontak dengan mengekspresikan diri dalam bidang ilmu
pengetahuan seperti seni dan budaya. Di situlah mereka mulai berani membuka
diri dan berkata bahwa yang menentukan hidup seseorang adalah diri sendiri,
bukan orang lain apalagi Tuhan. Dan ini sejalan dengan low context culture
yang mereka anut.
Pada
akhirnya kajian untuk mempelajari manusia dan tingkah lakunya muncul melalui
antropologi. Dari ilmu yang menitikberatkan pada eksistensi manusia inilah
timbul keinginan untuk mempelajari budaya manusia lain, dalam hal ini di luar
Eropa. Bak gayung bersambut keinginan untuk mempelajari itu sejalan dengan
penjelajahan dunia baru. Ketika didapati bahwa manusia dan budaya di luar itu
sungguh berlainan muncul anggapan-anggapan merendahkan dan rasialis. Apalagi
hal tersebut didukung dengan anggapan bahwa kulit putihlah yang terbaik karena
merupakan manusia pilihan Tuhan. Akibatnya, manusia-manusia di luar itu harus
direndahkan, diperbudak, dan dikuasai hanya untuk mendapatkan rempah-rempah
yang diinginkan.
Situasi
ini sejujurnya juga berkaitan dengan teori yang mengatakan bahwa belahan bumi
utara akan membutuhkan selatan demi keberlangsungan hidup, yaitu berupa
bahan-bahan mentah yang kemudian akan dipikirkan cara pengolahannya supaya
menjadi barang yang berguna. Sebaliknya, selatan akan membutuhkan utara
terhadap barang-barang yang sudah jadi itu, dan tinggal digunakan, tanpa perlu
dipikirkan kembali setelah digunakan. Selain barang, belahan bumi selatan juga
menerima paham-paham kemajuan ala bumi utara, yang sesungguhnya bahan mentahnya
berasal dari selatan. Itulah mengapa Eropa yang berada di utara lebih maju
daripada yang berada di selatan seperti Indonesia yang tampak santai dan tidak
perlu berpikir serta bekerja keras karena keadaan alam yang tiap harinya selalu
menyediakan yang diinginkan. Keadaan yang berlaku di Eropa juga berlaku di
Jepang dan Amerika Serikat, sehingga kedua negara itu juga melakukan ekspansi
mencari sumber daya hingga hari ini.