Friksi itu menegang lagi setelah adanya invasi terhadap Ukraina yang dilakukan Rusia. Seperti yang sudah-sudah terjadilah pertempuran urat syarat antara Barat dan Rusia sejak dahulu mulai dipanggungkan. Masing-masing mempunyai argumen dan ketakutannya sendiri sembari terus berupaya mengaktifkan perlindungan di sana-sini. Kondisi yang demikian pada akhirnya menyimpulkan bahwa Barat dan Rusia tidak akan bisa berjalan bersama dan beriringan. Mengapa?
Arab News
Bagi pihak Barat sendiri Rusia adalah gambaran yang menakutkan, simbol kekejaman akan penguasa yang haus darah dan kekuasaan yang mengorbankan banyak rakyat sipil. Kondisi yang demikian dinamakan dengan rusofobia atau ketakutan yang sebenarnya berlebihan terhadap Rusia mulai dari perilaku negara, budaya, dan orang-orangnya. Rusofobia sendiri mulai terlihat setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua atau ketika dunia sudah memasuki masa Perang Dingin.
Gambaran yang menakutkan akan Rusia itu di Eropa lebih berpusat di Inggris. Sebagai Sekutu utama AS di Benua Biru, kekhawatiran akan Rusia sebenarnya mulai terlihat ketika Perang Dunia Kedua di Eropa berakhir pada 8 Mei 1945. Di saat semua negara Eropa merayakan Hari Kemenangan Eropa atas kekalahan Jerman ---yang juga diperingati Rusia-- Perdana Menteri Inggris kala itu, Winston Churchill, mulai mengingatkan kepada semua negara Barat bahwa akan datang ancaman dari Timur, yang tentu saja hal tersebut mengarah pada Rusia sebagai inti utama Uni Soviet.
Kekhawatiran ini sebenarnya cukup beralasan mengingat Churchill melihat Rusia di bawah pimpinan Josef Stalin merupakan sebuah negara yang tingkat kediktatoran dan kekejamannya melebihi Vladimir Lenin. Berita-berita kekejaman tentang Holodomor di Ukraina pada 1930-an juga menguatkan persepsi tersebut. Sebenarnya tidak ada niatan sama sekali bagi Churchill untuk mengajak serta Rusia dalam perang melawan Jerman. Namun karena Jerman masih terlalu kuat, dan AS menginginkan agar Rusia diajak serta supaya perang cepat diselesaikan, mau tidak mau terciptalah aliansi yang sifatnya setengah hati. Apalagi dalam kondisi di lapangan, AS, sekutu utama dan berharga Inggris, juga memberikan pinjaman berupa persenjataan kepada Rusia yang di awal-awal perang masih kalang kabut melawan Jerman.
Aliansi itu tentu saja menimbulkan tuntutan bahwa Rusia berhak juga mendapatkan kue kemenangan berupa Berlin bagian timur dan wilayah-wilayah Eropa Timur yang menjadi satelitnya di masa Perang Dingin. Hal yang tentu saja sudah memulai sebuah ketegangan pasca Perang dan ketakutan bagi Barat. Karena itu, memang tidaklah mengherankan jika Churchill berupaya melakukan sebuah operasi militer bernama Unthinkable untuk menghantam Rusia pada Juni 1945 namun urung dilakukan karena faktor AS.
Ketakutan pada Rusia yang berlebihan itu juga diperkuat oleh gambaran-gambaran di media Inggris. Dari Inggrislah ketakutan akhirnya menyebar ke negara-negara Barat lainnya bahkan ke Jerman yang ditaklukkan hingga kemudian dibagi dua, Jerman Barat dan Jerman Timur, hanya untuk mengakomodasi ketakutan dan memberikan kompromi antara dua pihak yang saling bersitegang.
Ketakutan akan Rusia ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama yang dimulai pada akhir abad ke-18 dan abad ke-19 ketika Kekaisaran Swedia dan Prancis Napoleon secara sepihak memulai peperangan dengan Rusia yang baru merintis menjadi sebuah kekuatan baru di Eropa di bawah pimpinan Peter yang Agung. Pada masa Peter inilah Rusia memulai sebuah gerakan geopolitik berupa politik air hangat, yaitu mencari pelabuhan yang tidak beku untuk menunjang aktivitas perekonomian mereka. Latar belakang adanya gerakan geopolitik ini karena kondisi Rusia yang terkepung oleh salju.
Gerakan ini tentu saja mengancam eksistensi kekuatan-kekuatan di Eropa yang terlebih dahulu ada seperti Kekaisaran Swedia dan Prancis yang pada akhirnya harus mengaku kalah serta menyerahkan beberapa wilayahnya ke Rusia. Begitu juga dengan Kekhalifahan Ustmaniyah yang beberapa kali harus bertempur dengan Rusia karena keinginan Rusia merebut wilayah-wilayah di sekitar Laut Hitam seperti Krimea yang merupakan wilayah strategis. Selain itu, Rusia berupaya mencari kekuasaan di Balkan dengan menyokong pemberontakan wilayah Balkan terhadap Ustmaniyah.
Dari situlah perlahan wilayah Kekaisaran Rusia terbentuk dan meluas. Inggris sebagai salah satu kekuatan besar di Eropa kala itu masih belum melihat urgensi ekspansi yang dilakukan Rusia berkaitan dengan politik air hangat. Karena itu, Inggris agak santai saja ketika Prancis menyerang Rusia, dan memang Rusia, selain juga Portugal, yang mendukung Inggris di tengah embargo dari Prancis. Bahkan Rusia juga diajak bertempur melawan Prancis dalam Perang Koalisi Keenam pada masa Perang Napoelon.
Akan tetapi Inggris mulai menyadari dan khawatir ketika Rusia mulai melebarkan sayap ekspansi ke wilayah-wilayah Utsmaniyah seperti Azerbaijan dan Georgia, mengambil beberapa wilayah Persia (Iran) dan ke wilayah Asia Tengah yang tentu jika dibiarkan dapat menyentuh India. Di sinilah Inggris mulai berancang-ancang harus menghadapi Rusia langsung yang pada akhirnya melalui sebuah negosiasi politik bernama The Great Game dengan Afghanistan sebagai penyangga.
Ketakutan akan Rusia ini pun akhirnya lestari selama berabad-abad bahkan pada masa Perang Dunia Pertama yang mau tidak mau Inggris harus bersekutu dengan Rusia dalam menghadapi Jerman hanya karena adanya pertalian saudara antara raja Inggris dan tsar Rusia. Ketakutan akan Rusia yang melanda negara-negara di Eropa bukan hanya karena sifat Rusia yang ekspansif namun juga karena Rusifikasi negara-negara yang diduduki. Finlandia, Estonia, Latvia, Lithuania, Belarusia, Armenia, dan negara-negara tetangga Rusia lainnya mengalami hal yang demikian. Rusifikasi ini bersifat memaksa, dan karena itulah tidak mengherankan jika Finlandia di masa Perang Dunia Kedua bertempur di pihak Jerman melawan Rusia atau Ukraina yang sejak lepas dari Uni Soviet berusaha menghilangkan rusifikasi, yaitu dengan berpaling ke Barat dan menggalakkan bahasa Ukraina di Ukraina Timur yang pro-Rusia.
Jerman yang juga menyerang Rusia di Perang Dunia Kedua juga mempunyai alasan yang bisa dibenarkan menurut cara pandang mereka, yaitu menghancurkan kaum Bolshevik yang merupakan ancaman karena didirikan oleh orang-orang Yahudi, musuh besar dalam pandangan Adolf Hitler. Namun dibalik itu, Hitler sangat menginginkan ladang gas alam dan minyak bumi di Rusia sebagai penunjang Reich Ketiga.
Di masa sekarang ini ketakutan akan Rusia semakin bertambah karena faktor persenjataan nuklir serta Rusia adalah kekuatan militer kedua terbesar di dunia setelah AS. Hal-hal inilah yang membuat Barat selalu waspada ketika ada saja pemberitaan yang menyangkut militer Rusia dan Vladimir Putin.
Lalu bagaimana dengan Rusia terhadap Barat?
Rusia meskipun merupakan negara besar juga mempunyai ketakutan terhadap Barat yang dimulai dari masa Perang Dingin. Kala itu Josef Stalin sebagai pemimpin Uni Soviet menyadari bahwa ada yang tidak beres dalam pembagian wilayah antara Barat dan Rusia. Stalin menganggap pembagian yang didapat Rusia kala itu bisa memunculkan serangan mendadak Barat ke wilayahnya. Karena itu, Stalin meminta adanya negara-negara satelit untuk menyangga wilayah Rusia dan Barat. Ketika pihak Barat melancarkan bantuan Marshall Plan ke negara-negara Eropa yang terdampak perang di Eropa Barat, Rusia menganggap hal tersebut sebagai sebuah ancaman terselubung karena menilai dibalik bantuan AS sebagai pemberi bantuan berupaya mempersenjatai para sekutunya untuk bisa berperang melawan Rusia.
Ketika AS dan sekutunya membentuk NATO pada 1949, Rusia juga membalasnya dengan membentuk Pakta Warsawa pada 1955 sebagai penangkal ancaman dengan beranggotakan para negara satelit penyangga yang tentu saja akan dapat menerima konsekuensi jika menyimpang. Karena itulah, tak mengherankan jika Rusia melakukan intervensi ke Hongaria pada 1956 dan Cekoslovakia pada 1968 karena adanya unsur-unsur nonkomunis yang membahayakan.
Pada masa awal terjadinya Perang Dunia Kedua, hal serupa dilakukan oleh Rusia ketika Jerman menyerang Polandia yang dianggap sebagai ancaman karena itu Rusia segera menginvasi Polandia Timur dan negara-negara Baltik untuk mengadang Jerman. Kedua pihak pun memang tidak saling menyerang sesuai dengan Pakta Non Agresi pada Agustus 1939 yang bertahan hingga 22 Juni 1941 karena pelanggaran sepihak Jerman.
Ketika Uni Soviet runtuh yang menandai berakhirnya Perang Dingin pada dekade awal 90-an, Rusia sebagai kekuatan inti harus merelakan wilayah-wilayah yang merupakan bagian Soviet memerdekakan diri menjadi negara-negara mulai dari negara-negara Baltik, Belarusia, Ukraina hingga negara-negara Asia Tengah. Sebenarnya Pemimpin Uni Soviet kala itu, Mikhail Gorbachev, tidak setuju karena hal ini dapat mengancam Rusia ke depannya namun pihak Barat berupaya meyakinkan Gorbachev apalagi NATO mengatakan bahwa tidak akan ada seinci pun perluasan keanggotaan ke Timur, yang akhirnya disetujui Gorbachev.
Ketika Uni Soviet runtuh, pandangan orang-orang Rusia terhadap AS sangat positif. Namun hal itu tidak berlangsung lama ketika AS dan sekutunya menyerang Serbia pada 1999 yang kala itu masih bernama Yugoslavia berkaitan dengan masalah Kosovo. Serbia sendiri merupakan sekutu setia Rusia hingga saat ini. Selain itu, NATO dianggap ingkar janji karena memperluas keanggotaan hingga ke Laut Baltik sehingga Rusia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi pada Ukraina sebagai garis merah karena secara geopolitik Ukraina adalah penyangga.
Kebutuhan Rusia akan negara-negara penyangga lebih dikarenakan faktor historis negara tersebut yang pernah beberapa kali diserang kekuatan-kekuatan asing, yaitu Mongol, Swedia, Prancis, negara-negara Barat selepas Revolusi Bolshevik, dan Jerman. Karena itu, Rusia tidak mau hal-hal tersebut terulang. Dan inilah yang dianut Putin dan lingkaran sekitarnya saat memegang Rusia sekaligus mengembalikan hegemoni masa Uni Soviet.