Pages

Kamis, 30 Oktober 2025

Novel Terbaru Faaqih Irfan Djaelani, Hutan Menguak: Tersingkapnya Dia yang Hilang

Di postingan ini saya ingin mempromosikan novel terbaru saya yang berjudul: Hutan Menguak: Tersingkapnya Dia yang Hilang. Novel ini bercerita tentang penemuan sesosok mayat di sebuah hutan, yang ternyata merupakan salah satu sosok yang hilang pada 1998.




Penemuan ini seolah kembali membuka tabir yang terpendam selama 27 tahun Reformasi. Yang tentu saja harus dikuak siapa pembunuh mayat tersebut. Mampukah Tya dan Norman mengungkapnya?

Bagi yang tertarik silakan beli novel saya ini di Tokopedia, Lazada, dan Shopee serta di Guepedia. Terima kasih

Berikut link-linknya

https://www.guepedia.com/book/32542

https://s.shopee.co.id/1BE7rXz4FA

https://www.lazada.co.id/-i8756696039-s16201042826.html


Rabu, 01 Oktober 2025

Lepasnya Bara dalam Sekam


Alkisah, ada sebuah negeri yang sangat maju. Kehidupan rakyatnya sangat makmur dan sejahtera. Tidak ada ketimpangan sama sekali. Semua mendapatkan hak yang sama dan setara terutama di mata hukum. Pemimpinnya pun arif bijaksana dan sangat peduli akan rakyatnya terutama rakyat yang tidak mampu untuk mempunyai akses ke dua hal penting, kesehatan dan pendidikan. Sang pemimpin juga dikenal tegas dan berwibawa serta tidak pandang bulu dalam menegakkan supremasi hukum berasaskan pada kekuatan sipil. Tidak ada yang namanya kekuatan bersenjata yang menunjukkan batang hidung secara massal di depan orang banyak. Tidak ada yang namanya tindakan represif dan berlebihan dari penegak hukum ketika orang-orang mengungkapkan perasaan mereka kepada para wakil rakyat. Yang ada adalah bentuk pengayoman dan kasih sayang. Rakyat jadi tuan para penguasa karena mereka tuan sebenarnya. 

Negeri itu bernama Angkasapura. Sebuah negeri yang berada di atas awan yang berada di bawah negeri sebelumnya, Bumipura, yang tenggelam karena banjir besar seperti banjir Nuh. Negeri di atas awan ini berbentuk kapal besar yang lebar yang membentuk geografis yang sangat natural. Ada tanah yang subur ditumbuhi padang rumput, hutan, sawah-sawah, dan kebun-kebun. Kemudian ada gunung yang sangat tinggi serta sungai besar yang mengalir jernih untuk memberikan penghidupan bagi rakyat di sekitarnya, bangunan-bangunan berupa perumahan, desa-desa, kota-kota dengan gedung pencakar langit yang sangat tinggi, jaringan jalanan dan transportasi yang sangat bagus, yang sangat dinikmati para warga dari semua golongan.

Angkasapura, bagai sebuah Shangrila, yang dibangun dengan teknologi artifisial yang hasilnya sama persis dengan kenyataan. Membuat negeri ini juga disanjung negeri-negeri lainnya untuk belajar tentang semua hal. 

Tetapi...

Tetapi...

Tetapi...

Ada satu hal yang masih mengganjal jika melihat negeri ini secara keseluruhan. Masyarakatnya memang benar adil dan makmur, supremasi sipil di atas segala-galanya. Semua terlayani oleh teknologi canggih yang ada di Angkasapura.

Namun, ada satu tempat yang tidak semua orang boleh tahu. Tempat ini sangat terlarang bahkan saking terlarangnya tidak boleh ada yang masuk. Jika ketahuan masuk, siap-siap robot penjaga tidak kenal perasaan akan langsung membabat tanpa ampun. Karena itu, tempat ini sangat tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Bahkan oleh mata telanjang sekalipun. Di peta digital ia juga dihilangkan, dan sekali lagi hanya yang paham tempat ini yang tahu berdasarkan cerita turun-temurun.

Tempat itu sebenarnya sebuah gedung dengan fasilitas ruang bawah yang bisa sampai puluhan meter sesuai dengan panjang Angkasapura ke bawah. Di situlah ada sebuah ruang khusus dengan suhu udara sangat dingin dari AC yang di dalamnya ada sebuah sekam yang diberi kaca tebal serta sebuah api yang selalu menyala setiap saat yang tertutup oleh sekam tersebut. Api itu bukanlah api biasa. Ia juga bukan api untuk menyalakan kompor untuk keperluan memasak, untuk keperluan mengelas, untuk menghangatkan badan saat di alam terbuka, merokok, kremasi, pemujaan hingga untuk keperluan menghancurkan semua dokumen yang menganggu.

Ia adalah api yang sangat menakutkan, yang jika ia hadir dalam setiap kehidupan orang-orang ia akan menjadi malapetaka besar yang dapat menyebabkan kehancuran Angkasapura. Ia adalah banaspati, sang api teror yang jika diperhatikan tampak berbentuk wajah manusia yang selalu menyunggingkan horor dan ketakutan tiada ampun bagi yang menatapnya. Karena itulah, ia dikurung dalam sebuah kaca dan sekam untuk mengantisipasi panasnya.

Banaspati adalah sesosok perwujudan monster raksasa yang datang meneror Angkasapura. Oleh Ratu Adil, sang pendiri Angkasapura, ia dikalahkan dan dikurung hingga baranya kini mengecil. Meski demikian, setelah dikurung baranya malah perlahan tambah membesar ke semula hampir melampaui batas muatan kaca tersebut serta suhu yang diatur untuk bisa mengurungnya. Jika suhu yang diatur itu telah melampaui batas, Banaspati akan dengan mudahnya keluar dari kaca itu dengan membakar sekamnya. Ia akan kembali menebarkan teror dan ketakutan.

Hal inilah yang disadari betul oleh Pak Joko, sang direktur pengendali fasilitas rahasia yang mengurung Banaspati. Tampak setiap hari ia selalu khawatir apalagi jika Sang Martil, sang pemimpin Angkasapura terus meneleponnya melalui panggilan video,

"Saya tidak mau api keluar dari kaca!" Begitulah kata Sang Martil saat menghubungi Pak Joko yang cuma bisa berkata "Iya, Pak" atau "Saya akan usahakan". Ini karena ia tampak bingung menjelaskan kepada Sang Martil perihal si Banaspati yang tingkatan besaran apinya di luar nalar hingga mendekati zona merah.

"Saya tidak mau tahu!" kata Sang Martil dengan nada mengebos, "Ini kan tugas Anda sebagai orang pintar yang mampu mengendalikan api, dan saya lebih percaya Anda daripada dukun-dukun desa yang selalu ribet dalam melaksanakan ritual. Apa itu dupa? Kemenyan? Oh, ayolah kita sudah hidup di zaman mesin ada di mana-mana!"

Wajar jika Sang Martil berkata demikian karena dalam beberapa hari belakangan ia selalu dimimpikan sosok besar berapi seperti kaiju yang menebarkan teror tanpa henti. Monster raksasa api dalam mimpi itu datang lalu membakar setiap gedung yang ia lewati termasuk juga istana tempat tinggalnya. Dalam keadaan seperti itu, Sang Martil selalu terbangun dalam keadaan keringat. Mimpi itu membuatnya takut dan sangat takut karena dapat membuka rahasia yang selama ini tersimpan rapat.

"Kalau api ini sampai lepas, bukan hanya saya yang kena tapi juga rahasiamu. Atau saya lebih baik bungkam kamu saja kalau kamu tidak mengendalikannya?" Ucapan disertai ancaman intimidasi itu selalu muncul dalam kehidupan harian Pak Joko. Ia sejujurnya sudah kenyang akan ancaman itu yang merupakan konsekuensi dari tugasnya yang berat, yang membuat ia rela menjadikan gedung itu sebagai atap rumahnya dan jauh dari keluarga.

***

Riki berlari kencang kemudian perlahan merayap-rayap di atas tanah untuk menghindari lampu sorot dari para robot yang berjaga di mercusuar. Setelah itu merapat pada sebuah tembok lalu melewati mercusuar dengan cepat ala ninja. Jantungnya cukup berdetak kencang saat melakukan banyak transisi gerakan tersebut. Setelah melewati mercusuar di hadapannya kini terdapat sebuah tanah lapang kosong yang bagi kebanyakan orang itu memang cuma tanah lapang kosong. Tetapi tidak bagi Riki. Di balik itu ada sesuatu.

Ia segera berkomunikasi via mikrofon di dekat mulutnya dengan seseorang yang sedari tadi memandunya, Bambang, yang berada di sebuah mobil operasi, dengan jarak 5 kilometer dari tempat Riki berada.

"Sekarang, bro!" Ujarnya singkat. Bambang yang mendengar itu via transmisi di dalam mobil yang ia jadikan sebagai ruang kendali, yang di dalamnya ada TV layar datar untuk memantau Riki via kamera yang terpasang di tubuh, laptop, dan gawai lainnya segera berkata,

"Oke, bro!" Lalu tangannya menari di atas tuts laptop, memunculkan sebuah enkripsi di layarnya yang kemudian memencet enter.

Perlahan dari pencetan itu muncullah sebuah bangunan di balik sebuah lapangan besar. Sebuah bangunan besar yang di dalamnya menyimpan benda yang Riki ingin membebaskannya, Banaspati. Dengan semangat yang cukup besar dan membara, Riki percaya bahwa yang selama ini dikatakan oleh Sang Martil dan para pendahulunya di Angkasapura, terutama Ratu Adil, tidaklah benar.

Banaspati adalah sosok yang sebenarnya baik dan ksatria. Ia sebenarnya adalah sosok pelindung Angkasapura. Namun bagaimana bisa ceritanya ia jadi jahat?

Ketika Angkasapura dibangun untuk menggantikan Bumipura yang tenggelam karena banjir, Ratu Adil, sang pendiri Angkasapura, meminta bantuan Banaspati untuk menghidupkan seluruh mesin pembakaran yang ada di Angkasapura supaya negeri ini tetap bisa terbang dan melanjutkan kehidupan. Energi pembakaran untuk mesin utama ini sangat penting dan vital. Apalagi Ratu Adil tahu api dari Banaspati sangatlah abadi sehingga ia ingin Banaspati tetap di Angkasapura.

Akan tetapi, Banaspati menolak karena ia harus segera kembali ke Bumipura yang walaupun sudah tenggelam ia akan coba tinggal di atasnya sekadar menerangi laut bekas Bumipura yang gelap gulita, dan kebetulan juga di atas Bumipura yang tenggelam dibangunlah sebuah negeri bernama Samudrapura yang negerinya dilindungi oleh sebuah kaca supertebal anti air laut yang tekanannya tinggi. Nah, di Samudrapura itu tinggallah Roro Kuning sebagai penguasanya, dan Banaspati menjalani hubungan asmara dengan wanita cantik yang selalu bersinar ini.

Tindakan ini sebenarnya tidak disukai oleh Ratu Adil yang secara kebetulan menyukai juga Roro Kuning.

Karena itulah, Ratu Adil dan Banaspati berselisih sehingga mereka pun bertarung di Angkasapura selama 7 hari 7 malam. Keduanya pun melancarkan amuk membuat Angkasapura kacau balau. Lalu Ratu Adil meminta bantuan Pak Joko untuk bisa mengalahkan Banaspati dengan menyedotnya memakai penyedot listrik untuk menarik unsur apinya sehingga terperangkap dalam kaca tebal anti api. Sejak itulah, dibuatlah narasi jika Banaspati adalah pengacau dalam buku-buku sejarah Angkasapura. Semua budi baik Banaspati dihapus, dan dibuat narasi bahwa Angkasapura adalah negeri yang makmur. Kenyataannya sebaliknya.

Riki tahu betul soal kebohongan itu dari cerita ibunya yang menjadi korban kebohongan rezim Ratu Adil dan para penerusnya termasuk Sang Martil. Tidak ada yang namanya kebebasan. Semuanya semu. Supremasi sipil selalu terancam. Senjata ada di mana-mana. Memamerkan moncongnya ke setiap hidung yang lewat sehingga selalu ada was-was. Karena itu, Riki ingin membebaskan Banaspati supaya kebenaran yang sebenarnya terungkap meskipun itu tidak mudah karena mereka yang ingin membebaskan Banaspati pasti akan selalu dihapus atau dihilangkan oleh rezim.

"Ingat, Nak, manusia itu hidup untuk memerdekakan dirinya sendiri, dan bukan diperbudak orang lain. Jadilah selalu manusia yang berguna untuk orang lain. Jangan pernah manfaatkan kelebihanmu untuk mencelakakan atau memperbudak orang! Itulah hakikat manusia sejati yang selalu merdeka!"

Begitulah ucapan yang selalu ia ingat dari ibunya yang diam-diam dalam keheningan selalu memuja Banaspati, dan berharap makhluk itu segera dibebaskan.

***

Riki kini berhasil memasuki sebuah lorong panjang berangin dan dingin yang mengarah pada ruangan Banaspati berada. Ia berjalan pelan berdasarkan peta layar virtual yang muncul dari jam di tangannya. Kata Bambang yang berada di ruang kendali, tidak ada robot yang lalu lalang di sekitar situ. Dan, berdasarkan kata Bambang itu ia juga bergerak.

***

Pak Joko sedang berdiri memandangi Banaspati yang semakin semakin membesar apinya. Meski tertutup sekam tampak bara itu begitu menyala. Mengalahkan dinginnya ruangan penyimpanannya. 

"Saya sebenarnya sudah muak bekerja untuk kebohongan ini," katanya pada Banaspati, "Saya rasa ingin keluar dari sini! Percuma harta melimpah jika saya bekerja tidak berdasarkan hati nurani,"

Banaspati yang mendengar keluhan dan curahan itu segera menanggapi dengan suaranya yang bergetar,

"Kalau begitu kau lepaskan aku. Kau bisa bebas, aku juga. Aku akan buat perhitungan dengan Si Martil, dan semua kebohongan ini harus diakhiri"

"Tetapi..." tampak ada rasa bingung dan bimbang di wajah Pak Joko, "Saya bingung habis ini mau kemana?"

"Kau tak perlu bingung, "kata Banaspasti mencoba menghapus kebimbangan yang ada pada Pak Joko, "Kau bisa ikut denganku ke Samudrapura. Di sana lebih menjanjikan di sini. Roro Kuning sudah mengatakan itu berulang kali padaku via teleportasi. Dia sudah tahu kondisi Angkasapura yang bobrok,"

"Tetapi..." Pak Joko masih merasa bimbang. Pikirannya ribet. Hal ini yang tidak disukai Banaspati.

"Kalau mau revolusi, jangan ada kata "tetapi"!" katanya marah, "Kalau ada "tetapi" lebih baik jangan revolusi!"

Pak Joko pun terdiam. Banaspati pun berbicara lagi.

"Sebentar lagi akan ada anak yang membebaskanku. Ibunya adalah seorang pemujaku. Kau jangan halangi, dan bantulah dia supaya kau juga bebas dan keluar dari sini!"

Pak Joko ngeh ketika ada orang yang akan membebaskan Si Banaspati. Senyum pun mengembang di mukanya. Ia lalu mempersiapkan sesuatu supaya segalanya berjalan lancar. Kini ia pun yakin akan jalan yang ditempuh.

Beberapa menit kemudian masuklah Riki melalui sebuah sensor yang jauh-jauh hari ia ambil dari robot yang ia dan Bambang berhasil amankan. Pak Joko yang mengetahui hal itu sesuai instruksi Banaspati tidak menghalangi tetapi menyambut Riki. Banaspati lalu gembira dengan kedatangan Riki.

Mereka lalu bekerja sama untuk bisa membebaskan Banaspati. Pak Joko segera mengutak-atik tombol di tutsnya yang berisi program destruksi kaca yang mengurung Banaspati sementara Riki mengeksekusi dengan melepas kabel penghubung ke kaca. Tak lama kemudian kaca itu pun terbuka. Banaspati yang berupa api itu keluar kemudian mengecil seukuran manusia dewasa. Ia lalu menoleh kepada Riki dan Pak Joko lalu mendekati kemudian berkata,

"Terima kasih sudah membebaskan saya!" Katanya senang. Api tampak berkobar di seluruh tubuhnya hingga terang dan membuat Riki dan Pak Joko silau sehingga harus memakai kacamata khusus.

"Sekarang pergilah kalian ke Samudrapura," katanya melanjutkan, "Bilang pada Roro Kuning bahwa saya sudah bebas, dan kini saya akan membereskan Sang Martil,"

Ia lalu mengubah dirinya jadi besar kemudian melelehkan tembok dengan api di tubuhnya. Ia pun terbang menembus malam yang gelap dan kelam serta hanya bersinarkan lampu-lampu neon pada gedung-gedung bertingkat.

"Sekarang bara api itu sudah keluar dari sekam," kata Pak Joko setelah itu, "Kebenaran akhirnya akan terungkap,"

Pak Joko dan Riki segera keluar dari gedung lewat jalan rahasia. Mereka berdua segera menuju ke mobil yang jaraknya 5 kilometer dari gedung. Di saat itulah, dari kejauhan, saat mereka berjalan, sebuah gedung tinggi putih yang berwarna neon di malam hari, dan merupakan tempat tinggal Sang Martil terbakar hebat hingga menerangi langit.

"Revolusi sudah dimulai, Pak!" kata Riki terpukau dan senang. Begitu juga Pak Joko,

"Janji juga sudah ditepati, Nak!"

Di langit malam yang kelam terdengar suara-suara ketakutan dan kematian yang melayang-layang bersamaan dengan api yang membakar hebat dan asap yang membumbung tinggi. Suara itu kemudian lenyap ditelan cakrawala. Meteor yang kebetulan lewat jadi saksi bisu.

Hilangnya Ayam-ayam Kami


"Mau ke mana lagi, Pak?" ujar Bu Reni kepada suaminya, Pak Parto, di suatu pagi yang sedikit cerah, sedikit mendung alias gamang. Bingung antara turun hujan dan tidak. Bu Reni bertanya seperti itu kepada suaminya yang sudah berpakaian sangat rapi dengan tampilan berupa kaos hitam kemudian memakai rompi hijau tua kecoklatan. Kemudian pada bagian bawah ia memakai celana kargo juga dengan warna sama, dan gesper coklat keemasan sebagai penanda. Pak Parto yang berkumis tebal baplang itu dengan rambut selalu cepak pada bagian kiri dan kanan kepala sembari menenteng sebuah tongkat hitam yang jika dipencet pada bagian tombol di bawah akan bisa mengeluarkan sebuah jaring. Semua berkelindan dengan sepatu bot hitam yang jadi alasnya. Tampak ia begitu tegap dan gagah.

Bu Reni yang melihatnya mencium bau kecurigaan pada suaminya tersebut. Kecurigaan yang sering kali muncul saat suaminya berpenampilan jantan tersebut.

"Kamu mau berburu lagi, Pak?" tanyanya untuk mengonfirmasi rasa kecurigaan tersebut

Dengan tegas, Pak Parto yang ditanyai sesuatu yang menurutnya menganggu itu menjawab,

"Ya, Bu! Aku mau berburu ayam lagi!" Ia arahkan pandangannya ke halaman rumahnya yang luas yang dipenuhi banyak pohon jati yang ranting dan daunnya menurun sehingga membentuk segitiga meleyot.

Jawaban yang meluncur dari suaminya itu jelas membenarkan kecurigaan tersebut. Bu Reni pun langsung berkata

"Memangnya ayam-ayam yang ada nggak udah bikin kamu puas?" tanyanya. Ia lalu memohon pada suaminya itu, "Tolong, Pak, jangan kasihan. Jangan berburu mereka lagi. Jangan kamu turuti nafsu kamu karena kamu cuma keindahan yang dimiliki mereka. Apa kamu nggak kasihan sama istrimu ini yang rela tidak kamu sentuh lagi gara-gara ayam-ayam itu?"

Permintaan Bu Reni yang memelas itu sangat menganggu gairah Pak Parto yang tengah memuncak dan tinggi-tingginya. Ia anggap itu sebagai batu kerikil yang harus dibuang,

"Kamu jangan banyak omong, Bu!" Kini Pak Parto dalam keadaan marah. Seketika tubuhnya berubah menjadi seekor elang raksasa yang menatap tajam istrinya. Bu Reni yang melihat itu langsung terkejut, bergidik lalu bersujud memohon ampun. Barulah setelah itu Pak Parto berubah lagi jadi manusia, dan berkata mengancam,

"Awas sekali lagi kamu kayak tadi,"" Ia arahkan tongkat ke Bu Reni yang ketakutan, "Aku takkan segan-segan masukkan kamu dalam karung biar kamu aku buang ke sungai, dan dimakan buaya! Paham?"

"I...iya, Pak," kata Bu Reni yang masih ketakutan dalam sujudnya, dan tidak mau melihat wajah suaminya yang marah besar dan berubah jadi elang. Selepas itu, Pak Parto pergi dengan tegapnya meninggalkan sang istri yang setelahnya bangkit dari sujudnya kemudian duduk untuk menetralkan rasa takutnya. Dibasuhnya keringat yang tadi keluar saat kemarahan suaminya itu. Ia kemudian mencoba menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan. Kini rasa lega muncul pada dirinya. Ia menggelengkan-gelengkan kepalanya atas tindakan suaminya itu kemudian muncul sebuah sumpah serapah darinya,

"Semoga burungmu tidak bisa berdiri lagi,"

Setelah itu ia bangkit berdiri kemudian berjalan ke bagian belakang rumah yang besar bak istana namun sering mencekam setiap harinya.

***

Kenalkan, ini adalah Pak Parto. Seorang lelaki dengan umur lebih dari setengah abad yang tinggal di sebuah kampung bernama Muara Jaya. Dinamakan demikian karena kampung ini dekat dengan sebuah muara sungai besar yang dihuni banyak buaya yang selalu lapar tanpa kenal henti, membuat orang-orang yang melintas sungai harus selalu membaca mantra-mantra turun-temurun dari para tetua.

Pak Parto adalah seorang pensiunan baju hijau yang datang ke Muara Jaya, yang sebenarnya untuk beristirahat. Namun, hal itu ia urungkan setelah tahu di desa ini para penduduknya memelihara ayam-ayam yang luar biasa cantik bulu dan suaranya. Tak hanya di rumah penduduk, di hutan pun ada ayam-ayam seperti itu. Akan tetapi, ayam-ayam yang ada pada rumah penduduk ini selalu dikonsumsi, dan setelah dikonsumsi bulu-bulu mereka yang bagus akan ditanam di hutan kemudian berubah menjadi ayam lagi.

Tidak halnya bagi Pak Parto. Ia menganggap ayam-ayam itu harus dijadikan pajangan yang bisa dilihat setiap detik, menit, dan jam serta juga bisa dipermainkan sesuka hati. Pak Parto merasakan naik berahinya melihat ayam-ayam cantik ini. Maka, mulailah ia mengambil paksa ayam-ayam milik penduduk. Dengan ajian elang pada dirinya, ia ubah wujud jadi elang raksasa menakutkan jika para penduduk enggan memberi. Para penduduk yang ayamnya diambil tentu hanya pasrah. Padahal ayam-ayam itu sangat penting untuk kehidupan sehari-hari mereka terutama untuk tumbuh-kembang keturunan. Akibatnya, para penduduk kini cuma bisa makan bayam dan kangkung liar yang sebenarnya tidak cukup untuk kebutuhan tubuh sehari-hari.

Kepala Desa Muara Jaya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena kekuatan dan keperkasaan yang dimiliki Pak Parto. Bahkan ia sangat ketakutan sekali ketika Pak Parto datang ke kantor desa, dan selalu berwujud elang. Ia mengancam Kepala Desa untuk jangan-jangan menghalangi dia dalam mencari ayam atau nasibnya bisa seperti warga desa yang ia buang ke sungai penuh buaya biar mereka terus berpesta.

Ketika ayam-ayam cantik ini habis di rumah penduduk, ia akan mencari ayam-ayam itu di hutan yang ternyata banyak dan melimpah. Lalu apa yang Pak Parto lakukan terhadap ayam-ayam ini? Apakah sekadar untuk hiasan belaka demi sebuah hasrat? Kenyataannya, Pak Parto menyetubuhi ayam-ayam itu. Setiap malam ia akan selalu ke ruangan yang merupakan kandang ayam. Ayam-ayam yang ada di kandang jelas ketakutan karena kalau Pak Parto datang berarti pertanda siap-siap diajak ke kamar. Setelah dipilih dan diambil, ayam cantik itu dibawa ke kamar lalu di dalam kamar diubahlah menjadi seorang wanita yang sama cantik saat seperti ayam. Pak Parto menjadi dikuasai oleh nafsunya. Tongkat emas pada dirinya menegang kencang tanda berahi itu bagaikan air sungai yang tidak bisa dibendung-bendung.

Wanita dari ayam itu jelas ketakutan namun pasrah tubuhnya dirajah sesuka hati. Ia sendiri tidak bisa melawan karena jika melawan Pak Parto akan langsung mengubah dirinya menjadi elang raksasa yang siap mengoyak-ngoyak si wanita. Bu Reni yang melihat itu hanya bisa menangis pasrah. Ia dalam hati cemburu Pak Parto lebih suka bermain dengan ayam-ayamnya yang masih terlihat menawan dan memukau daripada ia yang sudah dalam keadaan keriput dan berlemak pada beberapa bagian tubuhnya. Namun di sisi lain ia juga kasihan dengan ayam-ayam itu. Ia berharap suatu saat ada keajaiban datang untuk menyadarkan suaminya itu.

Kini Pak Parto dengan gagahnya seperti biasa masuk ke hutan untuk memburu ayam-ayam cantik. Dipegang dengan erat tongkat hitam itu sembari ia bersiul-siul melihat keadaan di sekeliling. Sebuah keadaan yang sepi dan sunyi. Hanya hijau-hijau daun yang menemani. Seberkas sinar matahari tampak masuk menembus hutan membentuk sebuah tongkat yang menyerong panjang.

Ia berjalan pelan pada lantai hutan yang tampak selalu basah dan gembur. Menerebos sulur-sulur penghalang di depan. Ia terus bersiul-siul dengan harapan ada ayam cantik muncul di depan. Tak lama kemudian, ia melihat seekor ayam yang sedang menapak di bawah pohon mahoni besar. Ayam itu sangat terlihat cantik. Tubuhnya gemuk berisi berwarna hijau toska. Pada dadanya terdapat corak warna merah marun. Begitu juga pada jambul dan jenggernya yang jika terkena siraman sinar matahari berubah warna jadi oranye memukau. Pada sayap pun ia melihat ada corak kuning dan putih yang memanjang sampai ekor.

Pak Parto yang melihat ini segera terbit nafsunya. Tubuhnya mengencang menegang. Ia harus mendapatkan ayam itu sebagai koleksi terbarunya untuk nanti malam ditumbuk-tumbuk di bilik peraduan. Ia kemudian keluar dari semak persembunyiannya lalu mengacungkan tongkat hitam sembari memencet tombol hingga keluar jaring besar yang menyasar ke si ayam. Namun, ayam cantik yang sudah tahu hal itu, dengan cepat menghindar sehingga tidak kena. 

Pak Parto terkejut sebab baru kali ini ada ayam bisa menghindari jaring besar dari tongkatnya. Ia tarik lagi jaring itu kemudian ia lempar untuk menjala si ayam yang sudah ada di posisi lain. Tetapi, tetap saja si ayam bisa menghindar, dan bahkan meloncat. Pak Parto pun heran dibuatnya. Ia sekali lagi melempar jaringnya, dan si ayam tetap bisa menghindar. Ia pun kesal sembari berujar,

"Kurang ajar, kau, ayam cecunguk!"

Ayam itu tampak meledeknya kemudian berlari kencang. Pak Parto yang tidak ingin kalah apalagi buruannya kabur segera mengejar ayam itu ke bagian hutan paling dalam. Langkahnya pun seperti setan saat seperti itu, dan tanpa disadari ia menyadari bahwa dirinya kini ada di sebuah bagian hutan yang lain. Yang tampak bagai surga. Ada sungai jernih mengalir yang bermuara ke sebuah danau. Di situ juga ada alunan musik yang mengalun-alun membentuk nada-nada yang indah. Pohon yang berwarna-warni bagai sebuah mozaik, dan tak lupa awan yang tak selalu putih tetapi bisa kuning, merah, bahkan hijau layaknya pelangi. Tentu saja pemandangan ini akan memukau mereka yang ada di dalamnya. Begitu juga Pak Parto.

Di surga itu tampak banyak sekali ayam yang tampilannya sama seperti yang tadi ia cari. Hasrat buasnya seketika muncul lagi. Ia mulai mendekati ayam-ayam itu, mengejar hingga dapat. Sayang, tidak bisa. Mereka cukup lincah dan bisa mengelabui Pak Parto. Pak Parto pun gusar. Ia rasanya ingin menghancurkan surga ini. Sampai kemudian ada satu ayam di depannya yang lalu ia kejar meski merasa lelah juga. Ketika mengejar ayam tersebut mendadak menghilang, dan di hadapannya kini seorang wanita dengan badan tinggi, berambut panjang lurus, memakai baju hijau dengan corak hijau muda pada bagian dada. Warna celananya pun sama, dengan sandal gunung sebagai alas. Di tangannya ada sebuah pedang tajam.

"Siapa kamu?" tanya Pak Parto dalam keterkejutannya, "Jangan halangi jalan saya atau kamu akan merasakan akibatnya!"

Si wanita baju hijau ini tampak santai menanggapi Pak Parto yang mengancam dirinya dengan sebuah tongkat hitam yang diarahkan ke mukanya.

"Saya bukan siapa-siapa, Pak!" kata si wanita itu kemudian melihat ke sekitarnya. Ada ayam-ayam cantik yang tiba-tiba bermunculan, juga ayam yang tadi dikejar Pak Parto muncul dari belakang si wanita, "Saya cuma pembela ayam-ayam di sini, ayam-ayam yang telah bapak rampas haknya hanya untuk kesenangan bapak saja!"

Perlahan ayam-ayam cantik yang tadi bermunculan mengubah wujudnya menjadi para wanita pendekar. Mereka sama dengan si wanita baju hijau. Ada pedang pada tangan-tangan mereka yang siap menebas kezaliman.

"Saya minta bapak lepaskan ayam-ayam yang sudah bapak tawan," kata si wanita baju hijau, "Bapak jangan seenak perut ambil mereka. Karena kelakuan bapak, semua jadi sengsara!"

Pak Parto yang merasa dirinya diancam tentu tidak bisa terima karena selama ini dia yang mengancam orang-orang dengan wujud elangnya. Ia lantas menantang balik si wanita baju hijau itu,

"Kamu jangan ngomong sembarangan sama saya!" Ia mulai emosi. Bola matanya membara, dan kedua tangannya perlahan-lahan mengepal kencang sembari memegang tongkat, "Kamu belum tahu siapa ya?"

"Saya tidak peduli siapa bapak!" kata si wanita baju hijau kini mulai bersiap memegang pedang kencang dan pasang kuda-kuda. Ia merasakan sebentar lagi akan ada pertarungan dengan orang yang sangat sombong ini di depannya.

Pak Parto yang sangat emosi itu langsung mengubah tubuhnya jadi seekor elang raksasa warna coklat dengan warna putih pada kepala dan dada. Seekor elang yang matanya sangat tajam, paruhnya runcing, kedua sayapnya besar dan lebar, dan kakinya yang bercakar dengan cengkraman yang superkuat.

Ia mulai menyerang si wanita baju hijau yang dengan cepat mengubah dirinya menjadi seekor ayam cantik warna hijau dan petarung. Begitu juga dengan para wanita yang lain. Mereka ubah dirinya jadi ayam. Mereka segera menyerang elang besar wujud dari Pak Parto itu bersama-sama. Terjadilah pertarungan antara seekor elang besar dan ayam-ayam cantik petarung.

Pak Parto yang berwujud elang itu tentu saja pada awalnya mampu menangkis serangan ayam-ayam tersebut dengan sayap dan tongkatnya. Namun, ayam-ayam ini bukanlah ayam-ayam yang biasa ia setubuhi setiap malam dengan mudahnya disertai perasaan takut dan pasrah. Ini adalah ayam-ayam petarung yang benar-benar gigih menyerang. Mereka membuat si elang besar itu kewalahan. Kaki dan sayapnya yang merupakan perlambang kesombongan dan kegagahan itu mereka ikat dengan tali lalu mereka kaitkan pada batang pohon sehingga si elang tidak bisa bergerak sama sekali. Paruhnya yang runcing mereka mereka tebas dengan pedang. Si elang itu kaget ketika mulut yang biasa ia gunakan itu kini telah terpisah, dan jatuh ke tanah. Dan, belum habis rasa kagetnya seekor ayam tiba-tiba muncul di depannya. Ayam itu meloncat sembari memegang pedang dengan mata tajam yang kemudian dengan cepat ia tebas pada kepala elang itu. Mata elang itu membelalak. Seketika itu juga kepala terlepas dan menggelinding. Darah mengucur deras. Tanah pun menelannya dengan suka cita. Tubuh tanpa kepala itu perlahan menunduk dan berbaring ke tanah. Lepas sudah rasa keangkuhan dan kezaliman itu.

***

Bu Reni terbangun dari tidurnya. Kemudian dilihatnya jam di dinding. Jarum jam menunjuk ke arah jam 2. Rupanya sudah tengah malam, dan pada jam segini ia sadari suaminya belum juga pulang dari berburu. Ia terbangun karena ada suara ketukan kencang. Pasti itu suaminya, demikian gumamnya. Jujur ada perasaan malas ketika seperti itu karena itu tandanya ia berhasil membawa pulang ayam buruan yang siap dihabisi di ranjang. Soal itu, ia sudah siap mengalah, dan nanti akan tidur di ruangan lain. Namun yang jadi pertanyaan adalah mengapa jam segini Pak Parto baru pulang. Demikian ia membatin lagi.

Suara ketukan pintu itu terasa kencang. Membuat ia segera berlari untuk membuka pintu. Namun ketika pintu dibuka suara ketukan malah menghilang. Dan, saat itu pula ia tidak melihat siapa pun. Cuma ada barisan pohon jati di halaman dan embusan angin malam serta cahaya lampu dari rumah. Ia merasa heran, dan mengira itu Pak Parto. Namun kemudian perhatiannya tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak besar dan tertutup di halaman rumahnya. Ia dekati kotak itu. Dalam dirinya timbul penasaran mengenai isi dalam kotak ini dan pengirimnya. Ia sempat urungkan untuk membuka. Namun karena penasaran ia putuskan membuka. Ada rasa campur aduk saat membukanya secara perlahan.

Lalu terkejutlah ia saat membuka penutup kotak. Mulutnya menganga karena melihat apa yang ia tidak bisa percayai. Dalam kotak itu ada kepala Pak Parto yang matanya membelalak, dan pada mulutnya sebuah tongkat keperkasaan yang dulu pernah merobek keperawanannya serta sebagai senjata untuk menjajah para ayam menjadi sumpalan.

Bu Reni sendiri tidak habis pikir siapa yang berbuat keji pada suaminya ini. Ia perlahan menangis tetapi kemudian ia merasakan kegembiraan karena doanya terkabul. Ia lalu sujud syukur sebab beban hidupnya kini hilang. Setelah itu terdengarlah suara ayam-ayam dari belakang yang kemudian ke halaman depan lalu terbang berubah menjadi bidadari dengan cahaya hijau terang menembus cakrawala yang masih gelap.

Bu Reni yang melihat itu merasa gembira karena ayam-ayam itu akhirnya bisa lepas dari cengkraman suaminya. Bahkan salah satu ayam sempat tersenyum padanya seolah-olah ingin berucap terima kasih.

***

Setelah kejadian itu, penduduk Desa Muara Jaya kembali ceria karena ayam-ayam mereka yang hilang kembali. Kehidupan seperti sedia kala. Ayam yang ada untuk dikonsumsi, bukan dipajang atau diadu. Jika sudah dikonsumsi, kuburkan bulu-bulu cantiknya di hutan agar mereka bisa muncul lagi. 

Tak jauh dari situ, seorang wanita muda dengan rasa percaya diri segera mengemasi barang-barangnya. Ia perhatikan rumah yang dulu pernah ia tempati. Rumah yang selalu mencekam karena tingkah Pak Parto. Bu Reni yang setelah kejadian mendapati dirinya menjadi wanita muda segera tinggalkan rumah itu yang perlahan terbakar dan akan menjadi abu. Asap yang membumbung tinggi perlahan menghilang ditiup angin. Hilang sudah semua memori kelam itu. Bu Reni kini siap mencari pelabuhan baru.



 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran