“Ma, kok sempit amat sih?” Tanya Rika pelan kepada ibunya yang berada di sampingnya. Si ibu lalu menoleh ke Rika dan melihat di depannya begitu banyak orang yang berdiri menghadap ke depan jendela sambil berpegangan pada pegangan yang terpasang di atas jendela tersebut. Mereka berdiri tampak berdesak-desakkan.
Ibunya hanya menjawab,
“Bentar ya, nak, sedikit lagi sampai,”
Rika, bocah perempuan umur 10 tahun sungguh tak mengerti kenapa sekarang ia bersama ibunya duduk dengan pemandangan yang sungguh tidak mengenakkan dan menyesakkan. Di samping kiri dan kanan mereka juga duduk orang-orang. Ada yang tampak diam saja sambil memandang pemandangan di depan. Ada yang tidur atau malah membaca koran. Itulah pemandangan yang tersaji dalam sebuah gerbong kereta api.
Hari sudah semakin sore. Tetapi, kepadatan dalam kereta api belum juga menghilang. Malah yang ada semakin padat. Rika tampak cemberut melihat situasi ini sementara ibunya yang mengetahui hal tersebut mencoba membelai rambutnya yang hitam memanjang. Di tengah-tengah kepadatan itu masih saja ada pedagang yang hilir-mudik memaksa masuk ke dalam kerumunan orang-orang. Keadaan pun menjadi semakin padat dan pengap. Bau keringat dan bau ketiak orang-orang yang sehabis pulang kerja atau para lelaki yang sehabis pulang entah dari mana serta bau wangi dari para wanita yang hendak kerja malam bercampur jadi satu dan jadi aroma-aroma penanda. Tak satu pun yang ingin mengeluh apalagi berteriak. Terkadang di tengah-tengah itu juga terdengar suara tangis anak bayi atau balita yang tidak tahan dengan pengapnya ruangan dan suara itu berusaha ditenangkan. Lampu di dalam gerbong sudah menyala dari tadi tetapi tetap saja kepadatan tidak berkurang.
Rika yang masih cemberut lalu bergumam, uh, nggak enak naik keretanya. Penuh. Kok nggak kaya di luar negeri sih. Ibunya terus membelainya.
“Ma, nggak tahan nih mau keluar,” rengek Rika kembali.
“Sabar ya, nak. Bentar lagi sampai,” ibunya hanya bisa menjawab seperti itu.
Kereta yang mereka tumpangi terus melaju melewati jalan dan kampung serta sungai. Satu per satu stasiun disinggahi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Akan tetapi penumpangnya semakin membludak. Dan semakin sempit. Terlihat untuk bergerak saja sudah susah karena banyak manusia yang berdiri di seluruh gerbong.
“Kita mau turun dimana sih?” Tanya Rika lagi, “Kok lama amat?”
Tak ada jawaban dari ibunya yang sepertinya sudah lelah menanggapinya. Ia pun jadi kesal.
Kereta terus saja melaju dan tiba-tiba saja berhenti mendadak. Seluruh penumpang kaget dan hilang keseimbangan. Beberapa di antara mereka ada yang sempat menyinggung Rika.
“Mama, Rika mau keluar!” rengeknya lagi, “Rika mau keluar!”
“Bentar ya, nak pokoknya sedikit lagi sampai,” jawab ibunya seperti itu-itu juga.
“Gak mau, mama,” kata Rika terus merengek, “Pokoknya Rika mau keluar!”
“Ya sudah,” kata ibunya kini bernada kesal, “Keluar saja kamu sendiri! Begini aja kamu ribut! Kaya anak kecil aja!”
Rika terdiam. Beberapa penumpang melihat mereka. Ia pun tambah cemberut lagi tetapi ibunya segera membelainya kembali.
“Anaknya mau keluar, bu?” Tanya seseorang tiba-tiba di sampingnya, “Memang ibu mau turun di mana?”
“Di Sawah Besar, Pak,” jawab si ibu, “Maaf, kalau anak saya mengganggu,”
“Wajar kok, bu, anak kecil,” kata si orang itu, “Masih 4-5 stasiun lagi,”
Kereta lalu berhenti. Si orang itu lalu beranjak dari duduknya,
“Saya duluan, bu,”
Ia lalu menerobos kerumunan dan berhasil keluar. Si ibu lalu melihat ia dan anaknya sekarang di mana. Di luar tergantung papan warna biru bertuliskan MANGGARAI. Si ibu lalu bergumam, oh, sekarang di Manggarai. Kata bapak itu tadi 4-5 stasiun lagi. Tetapi, ia ragu dan kemudian bertanya kepada seseorang di depannya,
“Maaf, pak, abis ini stasiun apa?”
“Cikini, bu,” jawab orang itu.
“Sawah Besar dimana ya?”
“Masih jauh, bu,”
Kereta lalu berangkat kembali untuk meneruskan perjalanan. Sekarang sudah jam 18.15. Sudah melewati senja. Tetapi, kepadatan masih saja ada. Si ibu pun kembali terdiam sambil menghitung beberapa stasiun yang sudah dilewati dan Rika tetap cemberut. Ketika ia merasa sudah mau mencapai tujuannya, ia bertanya kembali ke orang di depannya,
“Maaf, pak, apa ini mau berhenti di Sawah Besar?”
“Kira-kira begitu, bu,” katanya, “Ibu mau turun?”
“Iya,” jawabnya.
“Sebaiknya ibu segera ke pintu. Nanti ibu nggak bisa turun,”
Si ibu lalu bersama Rika bangkit dari tempat duduknya yang kemudian terisi kembali. Di depan mereka begitu banyak badan manusia menghadang dan ini sudah seperti menerobos hutan di malam hari. Mereka tampak kesulitan menerobos dan akhirnya terdiam sampai ada yang melihat mereka,
“Mau turun, bu?”
Ia segera berpindah tempat perlahan dan mempersilahkan si ibu dan Rika turun. Yang di depan mereka juga begitu.
“Bentar, bu, ya,” kata seseorang di depannya.
Beberapa menit kemudian kereta berhenti dan tepat pada saat itu beberapa orang berhamburan keluar termasuk mereka dengan sedikit didorong. Si ibu sedikit kaget begitu juga Rika.
“Mama, pokoknya Rika nggak mau lagi naik kereta api!” rengeknya setelah itu, “Rika maunya naik bis!”
“Iya, iya lain kali naik bis,” kata si ibu mengiyakan. Mereka lalu berjalan dan di depan terpampang papan yang tergantung bertuliskan SAWAH BESAR. Fuh, akhirnya sampai juga, gumam si ibu lega.
Ketika turun ke bawah berjejerlah banyak tukang makanan dan minuman.
“Kamu lapar?” tanyanya pada Rika.
“Iya nih, lapar,” jawab Rika.
“Makan yuk,” ajaknya.
Rika hanya mengangguk.
Mereka berdua kemudian ke sana dan makan di salah satu tukang makanan.
“Nak, maafin mama ya tadi. Pokoknya mama janji deh nggak ngajak kamu naik kereta lagi,”
“Benar ya?”
“Iya, benar? Tapi kamu mau kan maafin mama,”
“Mau,”
“Ya udah sekarang terusin makannya,”
Mereka lalu tertawa-tawa. Suasana pun kembali cair di tengah dinginnya malam dan ramainya suara masakan serta kendaraan yang hilir-mudik.
Minggu, 20 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Hahaha ini juga terinspirasi dari kenyataan dalam gerbong kereta api lho!Anda2 semua pengguna jasa kereta api pasti sudah hafal kehidupan di dalam kereta seperti apa.
BalasHapus