Minggu, 18 Maret 2012
Damai Yuk! Capek Konflik Mulu!
Malaysia. Negara yang terletak di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan ini memang selalu akrab dengan Indonesia. Bagaimana tidak? Karena kedua negara mempunyai akar budaya yang sama, budaya Melayu, yang kemudian berimbas pada segala bentuk kehidupan termasuk bahasanya. Maka, memang tak salah kalau kedua negara disebut negara serumpun. Meski di kemudian hari akar yang sama itu banyak berubah bentuk mengikuti situasi yang ada di kedua negara.
Meski serumpun, jangan harap bisa ada kehangatan dan keakraban lebih di antara keduanya. Banyak konflik yang terjadi antara dua negara. Mulai dari TKI, kebudayaan, polusi asap, olahraga hingga paten kebudayaan. Hal yang demikian membuat semacam rasa benci dan pikiran negatif bagi rakyat kedua negara. Hal itulah yang rupanya menjangkiti Rasyid. Melihat banyaknya konflik Indonesia-Malaysia, rasa benci pada negeri jiran itu semakin bertambah,
"Dasar Malon! Nggak ada kapoknya ente ngerampas budaya ane!" ujarnya kesal sambil melihat sebuah artikel di internet tentang klaim budaya Indonesia oleh Malaysia. Ia jadi teringat dulu waktu zaman Sukarno, saat presiden pertama Indonesia mencanangkan Dwikora dengan slogan "Ganyang Malaysia",
"Benar nih yang dibilang Bung Karno, Malaysia memang neo-kolonialis!"
Ia kemudian juga teringat dengan slogan keramat itu, ia semangati para pemain timnas sepak bola Indonesia saat melawan Malaysia di Senayan. Sayang, timnas kalah dan rasa benci semakin bertambah.
"Sebenarnya ane kagak setuju dibilang serumpun sama Malon! Apa dasarnya? di sana kan Melayu semua. Di sini beraneka ragam,"
Ketika seperti itu, handphonenya tiba-tiba berdering. Dilihat di layarnya ada tulisan rumah.
"Aduh, apa lagi ini?" gerutunya.
Ia jawab panggilan itu dan mulailah ia mengenal suara yang memanggilnya,
"Cepat kamu pulang,"
"Kenapa sih, Ma? Ganggu aja,"
"Ada saudara kita mau datang,"
"Siapa? Yang dari Jawa?"
"Pokoknya, cepat kamu pulang,"
Rasyid, yang tampak kesal karena selancar di internetnya terhenti, menurut saja apa kata ibunya yang menurutnya penting. Tapi bagi Rasyid tidak.
Jarak rumah dan warnet adalah sekitar 500 meter. Itu berarti cukup dekat. Dalam pikirannya Rasyid berkata, pasti belum datanglah.
Namun, saat ia masuk, ada sebuah Avanza terparkir di halaman rumahnya,
"Dari Jawa naik Avanza? Apa nggak pegel nyetir?"
Ketika ia masuk ke ruang tamu, nampaklah ramai ruang tamu itu. Di situ ada kedua orangtuanya, dua adik perempuannya, dan ada satu keluarga yang nampaknya asing baginya.
"Inikah saudara dari Jawa itu? Kok jarang ngeliat ya?" tanyanya dalam hati.
"Akhirnya, kamu datang juga, Nak," ujar bapaknya.
"Ini siapa, Yah?" tanya Rasyid kepada bapaknya.
Ibunya lalu berkata,
"Kenalkan, ini Wan Azis dan Bu Hadijah, sama anaknya, Ismail,"
Ketika mendengar nama itu, Rasyid malah semakin bertanya-tanya dalam hati, Wan? Ah, ini bukan Jawa,"
Disertai dengan seperti itu, ia menyalami mereka. Setelah itu,
"Mereka itu saudara kita yang tinggal di Malaysia,"
Apa? Malaysia? terkejutlah ia dalam hati,
"Malaysia?" Saudara apa, Ma?" tanya Rasyid, "Memang iya?"
"Betul itu, Rasyid," kata Wan Aziz menimpali, "Kitaorang di Malaysie memanglah bersaudare dengan ibu-bapak kamu,"
"Jadi, Wan Azis ini saudara Bapak dari pihak paman yang tinggal di Malaysia dan sudah menjadi warga negara di sana,"
"Kok bisa? kok aku baru dengar?" tanya Rasyid tambah heran.
Mereka semua yang berada di ruangan tertawa,
"Ceritanya panjang," kata bapaknya, "Sebaiknya main lah kamu dengan Ismail,"
Kemudian bapaknya berucap Jawa dengan Wan Azis dan Wan Azis mengerti. Ia tambah bingung.
Ismail, anak si Wan Azis segera menyamperi Rasyid dan Rasyid mengajaknya keluar.
"Boleh kite bermula kenalan?" tanya Ismail dengan logat Melayunya.
"Sebelum kenalan, ane mau nanya," kata Rasyid, "Ente benar dari Malaysia?"
"Memang," kata Ismai, "Ape ade masalah?"
"Banyak tuh masalahnya," kata Rasyid, "Negara ente tuh memang reseh alias suka mencari masalah dengan negara kami,"
"Masalah ape?" tanya Ismail heran, "Aku tak paham kamu cakap apa?"
"Masa kamu nggak tahu?" tanya Rasyid yang berbalik heran, "Apa itu? TKI, perbatasan, Reog Ponorogo, Rasa Sayange dan lainnya?"
"Kalo TKI saye tahu tapi Reog Ponorogo tidak,"
"Kamu ini memang malon tapi benar-benar tidak mau mengaku menjadi maling!" kata Rasyid kesal, "Ayo ikut aku ke warnet,"
"Sebentar," kata Ismail lagi, "Apa itu malon, maling sama warnet?"
"O, iya ya," kata Rasyid tersenyum jahat, "Ane lupa kosakata kita aja berbeda dan kenapa harus dibilang serumpun?"
Ismail geleng-geleng kepala,
"Begini ya gue kasih tahu ke elo," kata Rasyid sedikit geram, "Malon itu adalah ejekan buat lo karena lo dan semua bangsa lo memanggil kita Indon, maling itu lamun, dan warnet itu warung internet alias kafe siber. Paham?"
"Kenape kamu cakap begitu sama saye?"
"Makanya, ikut gue sekarang ke warnet. Biar lo tahu,"
Kedua orang itu segera meninggalkan rumah dan menuju sebuah warnet, yang kebetulan memang tempat favorit Rasyid menghabiskan waktu dengan berselancar. Kemudian keduanya duduk dan mulailah Rasyid berselancar. Ia segera membuka beberapa berita terutama konflik Indonesia dan Malaysia,
"Ini apa?" tanyanya kepada Ismail sembari menunjukkan sebuah artikel mengenai pencaplokan perbatasan di Camar Bulan.
"Jika mengenai Camar Bulan, kitaorang tidak mengambil kok," kata Ismail, "Bukannya sudah ada perjanjian antar dua negara?"
"Yee...perjanjian itu dibuat biar lo nggak macam-macam lagi!"
Kemudian Rasyid mencari situs lain. Kali ini tentang klaim budaya.
"Ini Reog Ponorogo. Ini punya kami bukan punya kalian. Kenapa kalian mengambilnya?" tanya Rasyid geram.
"Mengenai itu, saye tidak tahu sama sekali," kata Ismail.
"Ah, kau jangan bohongi awak,"
"Benar,"
Rasyid memperhatikan raut wajah Ismail yang memang menyiratkan kejujuran bahwa ia tidak tahu sama sekali,
"Apa ini aja?" tanya Rasyid.
"Semuanya. Kami benar-benar tidak tahu. Jikalau tahu itu hanya sedikit,"
"Mengapa?"
"Sebelum saye ke mau ke sini, beberapa teman dah bilang ke saye, pasti akan ade orang Indonesia yang bertanya-tanya tentang konflik Malaysia-Indonesia. Lalu teman saye yang dah lama mukim di Indonesia bilang bahwa media-media di Indonesia suka memberitakan semua dengan panas dan besar-besar,"
"Memang di Malaysia?"
"Tidak seperti di sini," kata Ismail, "Di sana berita hanya sewajarnya. Jikalau ada berita konflik dengan Indonesia, diberitakan sedikit atau malah tidak sama sekali,"
"Kenapa begitu? kalian kan lebih maju dari kami?"
"Memang, kami maju, tetapi tidak semaju dan sebebas kalian,"
Mendengar itu, Rasyid malah tambah bingung,
"Kamu pasti kira di negara kami selalu ada demonstrasi, selalu ada media yang membangkang terhadap kerajaan? Oh, itu tidak ada sama sekali. Kalau pun ada selalu eksesnya dibatasi,"
"Kenapa begitu?"
"Ini semua demi kemakmuran semua rakyat sahaja," kata Ismail, "Kami memang makmur. Orang antarbangsa selalu melihat Malaysia makmur, tetapi tak ada yang namanya kebebasan berekspresi. Kami dibatasi. Kalau ada yang membangkang langsung terkena ISA. Ditangkap tanpa proses ke pengadilan,"
"Apa itu ISA?" tanya Rasyid.
"Internal Security Act atau Akta Keamanan Dalam Negeri. Ini semacam akta yang berusaha supaya tiada pembangkangan di Malaysia. Kamu jangan heran bila Dokter Azhari dan Noordin M.Top bukan membom di Malaysia, tapi di sini. Itu karena negaramu belum ada ISA,"
"Oh, gue jadi ngerti," kata Rasyid, "Sebenarnya kami setelah itu sudah ada, namun nyatanya dalam praktek ini bisa berimbas kepada orang yang tidak bersalah. Makanya, banyak yang menentang. Tapi, gue pikir-pikir negaramu seperti zaman Orde Baru saja. Mirip sekali. Pernah dengar nama Orde Baru atau Orba?"
"Pernah," kata Ismail, "Itu masa dimana Indonesia dikuasai Soeharto?"
"Ya, betul sekali," kata Rasyid, "Zaman itu boleh dibilang zaman yang normal. Tidak ada demonstrasi, pers bebas, atau kekerasan. Yah, rakyat dibuat kenyang aja perutnya tapi dengan utang,"
"Makanya, kalian begitu bergembira ketika ia melepas posisinya?"
"Betul. Tapi, itu malah harus dibayar dengan konsekuensi seperti sekarang ini,"
"Di Malaysia, kami juga ingin demikian, tetapi dengan cara halus tanpa harus ada chaos. Namun, itu sulit terlaksana jika kelompok pembangkang dipersulit dia punya kedudukan. Tetapi, begitulah kerajaan,"
"Suatu saat bisa dan gue harap negara gue kaya negara lo tapi tidak boleh ada larangan ini-itu,"
Mereka pun tertawa,
"Cuma kenapa kita ini disebut serumpun?" tanya Rasyid lagi, "Kalau pun Melayu kan cuma di Sumatera dan Kalimantan saja?"
"Kamu tahu kan saya ini orang Malaysia tetapi berdarah Jawa?" kata Ismail.
"Lalu?"
"Di Malaysia ada banyak sekali orang Jawa. Bukan hanya yang TKI, tetapi juga mereka yang sudah menetap lama di Malaysia sekian lama bahkan sejak awal abad ke-20. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang kemudian menjadi warga negara Malaysia. Di Malaysia sendiri untuk menandakan kawasan itu kawasan orang Jawa biasanya ada namanya, seperti Parit Jawa dan Kampung Chokro,"
"Wah, gue baru tahu. Lalu beberapa dari mereka ada yang jadi orang penting?"
"Oh, banyak," kata Ismail, "Contohnya, Pak Zahid Hamidi, Menteri Pertahanan kami, lalu Khir Toyo, Ning Baizura, dan Safee Sali,"
Apa? Safee Sali orang Jawa?"
"Betul,"
"Wah, ini seperti di Suriname dan Kaledonia Baru saja. Apa hanya orang Jawa saja?"
"Banyak. Ada yang dari Aceh, Minangkabau, Bugis, dan Banjar,"
"Kenapa bisa demikian?"
"Ini ada hubungannya dengan kebijakan Dr. Mahattir Mohammad, yang pada era 80-an, meminta tenaga kerja dari Indonesia agar bisa memenuhi dan menandingi orang-orang India dan Cina di sana. Orang-orang dari Indonesia itu kemudian ada yang menjadi warga negara Malaysia dan mereka diberi status orang Melayu, mulai dari nama hingga cara berbahasa,"
"Jadi, suku bangsa dari Indonesia itu disebut orang Melayu?"
"Betul. Ini beza dengan kamu yang bilang Melayu itu hanya di Sumatera dan Kalimantan,"
"Apa karena itu banyak orang keturunan Indonesia di sana, karena rindu kampung halaman, berusaha mengembangkan kebudayaan asalnya?"
"Itu bisa jadi. Seperti kasus Reog Ponorogo dan rendang. Mereka itu hanya berusaha melestarikan dan mengembangkan bukan mencuri seperti yang digembar-gemborkan di sini. Apa itu salah? Lagipula, dari kacamata orang yang mengerti kebudayaan, pasti mengerti mana yang asli dari Indonesia atau yang dikembangkan dari Malaysia. Makanya, seperti rendang, ada nama rendang Padang, ada juga rendang Malaysia,"
Mendengar ucapan itu, Rasyid jadi teringat tentang kebudayaan Cina dan India di Indonesia. Ada banyak sekali kebudayaan dua negara itu di sini. Tetapi, kenapa mereka tidak marah-marah terhadap Indonesia? Malah santai saja dan senang. Di Amerika pun, kebudayaan Belanda dan Irlandia diakui sebagai bagian dari kebudayaan AS, tetapi dua negara itu santai-santai saja. Sekarang, ia sadar budaya dan kebudayaan itu sifatnya universal.
"Wah, gue juga nggak ngerti kenapa? Mungkin ada yang mengadu domba kali. Lagipula kita ini sama-sama muslim kan?"
"Betul. Itulah yang kami sayangkan dari Indonesia. Padahal, ormas-ormas Islam kalian bersabahat erat dengan ormas-ormas Islam kami,"
"Ya sudah kita kenalan dulu deh," kata Rasyid, "Tadi Pak Cik minta kenalan kan?"
Mereka lalu berkenalan,
"Sudah seharusnya ada forum komunikasi Indonesia-Malaysia biar tidak terjadi kesalahpahaman," kata Rasyid.
"Ah, itu betul sekali," kata Ismail.
"Capek kayanya konflik mulu," kata Rasyid, "Lagipula kamu saudara aku. Bisa ngomong jowo?"
Ismail tertawa, "Wah, ora iso, mas," ujarnya dengan nada Melayunya.
Begitulah. Kedua orang itu kemudian keluar dari warnet dan berjalan menuju rumah. Kini di pikiran Rasyid yang adalah ingin supaya semua yang terjadi antara kedua negara bisa diselesaikan baik-baik tanpa harus mengorbankan nyawa karena bagaimana pun, hubungan darah secara tidak langsung masih ada dan terus ada,
"Tapi, kalo bermain bola dan badminton pengecualian ya?"
Ismail hanya tertawa.
Meski serumpun, jangan harap bisa ada kehangatan dan keakraban lebih di antara keduanya. Banyak konflik yang terjadi antara dua negara. Mulai dari TKI, kebudayaan, polusi asap, olahraga hingga paten kebudayaan. Hal yang demikian membuat semacam rasa benci dan pikiran negatif bagi rakyat kedua negara. Hal itulah yang rupanya menjangkiti Rasyid. Melihat banyaknya konflik Indonesia-Malaysia, rasa benci pada negeri jiran itu semakin bertambah,
"Dasar Malon! Nggak ada kapoknya ente ngerampas budaya ane!" ujarnya kesal sambil melihat sebuah artikel di internet tentang klaim budaya Indonesia oleh Malaysia. Ia jadi teringat dulu waktu zaman Sukarno, saat presiden pertama Indonesia mencanangkan Dwikora dengan slogan "Ganyang Malaysia",
"Benar nih yang dibilang Bung Karno, Malaysia memang neo-kolonialis!"
Ia kemudian juga teringat dengan slogan keramat itu, ia semangati para pemain timnas sepak bola Indonesia saat melawan Malaysia di Senayan. Sayang, timnas kalah dan rasa benci semakin bertambah.
"Sebenarnya ane kagak setuju dibilang serumpun sama Malon! Apa dasarnya? di sana kan Melayu semua. Di sini beraneka ragam,"
Ketika seperti itu, handphonenya tiba-tiba berdering. Dilihat di layarnya ada tulisan rumah.
"Aduh, apa lagi ini?" gerutunya.
Ia jawab panggilan itu dan mulailah ia mengenal suara yang memanggilnya,
"Cepat kamu pulang,"
"Kenapa sih, Ma? Ganggu aja,"
"Ada saudara kita mau datang,"
"Siapa? Yang dari Jawa?"
"Pokoknya, cepat kamu pulang,"
Rasyid, yang tampak kesal karena selancar di internetnya terhenti, menurut saja apa kata ibunya yang menurutnya penting. Tapi bagi Rasyid tidak.
Jarak rumah dan warnet adalah sekitar 500 meter. Itu berarti cukup dekat. Dalam pikirannya Rasyid berkata, pasti belum datanglah.
Namun, saat ia masuk, ada sebuah Avanza terparkir di halaman rumahnya,
"Dari Jawa naik Avanza? Apa nggak pegel nyetir?"
Ketika ia masuk ke ruang tamu, nampaklah ramai ruang tamu itu. Di situ ada kedua orangtuanya, dua adik perempuannya, dan ada satu keluarga yang nampaknya asing baginya.
"Inikah saudara dari Jawa itu? Kok jarang ngeliat ya?" tanyanya dalam hati.
"Akhirnya, kamu datang juga, Nak," ujar bapaknya.
"Ini siapa, Yah?" tanya Rasyid kepada bapaknya.
Ibunya lalu berkata,
"Kenalkan, ini Wan Azis dan Bu Hadijah, sama anaknya, Ismail,"
Ketika mendengar nama itu, Rasyid malah semakin bertanya-tanya dalam hati, Wan? Ah, ini bukan Jawa,"
Disertai dengan seperti itu, ia menyalami mereka. Setelah itu,
"Mereka itu saudara kita yang tinggal di Malaysia,"
Apa? Malaysia? terkejutlah ia dalam hati,
"Malaysia?" Saudara apa, Ma?" tanya Rasyid, "Memang iya?"
"Betul itu, Rasyid," kata Wan Aziz menimpali, "Kitaorang di Malaysie memanglah bersaudare dengan ibu-bapak kamu,"
"Jadi, Wan Azis ini saudara Bapak dari pihak paman yang tinggal di Malaysia dan sudah menjadi warga negara di sana,"
"Kok bisa? kok aku baru dengar?" tanya Rasyid tambah heran.
Mereka semua yang berada di ruangan tertawa,
"Ceritanya panjang," kata bapaknya, "Sebaiknya main lah kamu dengan Ismail,"
Kemudian bapaknya berucap Jawa dengan Wan Azis dan Wan Azis mengerti. Ia tambah bingung.
Ismail, anak si Wan Azis segera menyamperi Rasyid dan Rasyid mengajaknya keluar.
"Boleh kite bermula kenalan?" tanya Ismail dengan logat Melayunya.
"Sebelum kenalan, ane mau nanya," kata Rasyid, "Ente benar dari Malaysia?"
"Memang," kata Ismai, "Ape ade masalah?"
"Banyak tuh masalahnya," kata Rasyid, "Negara ente tuh memang reseh alias suka mencari masalah dengan negara kami,"
"Masalah ape?" tanya Ismail heran, "Aku tak paham kamu cakap apa?"
"Masa kamu nggak tahu?" tanya Rasyid yang berbalik heran, "Apa itu? TKI, perbatasan, Reog Ponorogo, Rasa Sayange dan lainnya?"
"Kalo TKI saye tahu tapi Reog Ponorogo tidak,"
"Kamu ini memang malon tapi benar-benar tidak mau mengaku menjadi maling!" kata Rasyid kesal, "Ayo ikut aku ke warnet,"
"Sebentar," kata Ismail lagi, "Apa itu malon, maling sama warnet?"
"O, iya ya," kata Rasyid tersenyum jahat, "Ane lupa kosakata kita aja berbeda dan kenapa harus dibilang serumpun?"
Ismail geleng-geleng kepala,
"Begini ya gue kasih tahu ke elo," kata Rasyid sedikit geram, "Malon itu adalah ejekan buat lo karena lo dan semua bangsa lo memanggil kita Indon, maling itu lamun, dan warnet itu warung internet alias kafe siber. Paham?"
"Kenape kamu cakap begitu sama saye?"
"Makanya, ikut gue sekarang ke warnet. Biar lo tahu,"
Kedua orang itu segera meninggalkan rumah dan menuju sebuah warnet, yang kebetulan memang tempat favorit Rasyid menghabiskan waktu dengan berselancar. Kemudian keduanya duduk dan mulailah Rasyid berselancar. Ia segera membuka beberapa berita terutama konflik Indonesia dan Malaysia,
"Ini apa?" tanyanya kepada Ismail sembari menunjukkan sebuah artikel mengenai pencaplokan perbatasan di Camar Bulan.
"Jika mengenai Camar Bulan, kitaorang tidak mengambil kok," kata Ismail, "Bukannya sudah ada perjanjian antar dua negara?"
"Yee...perjanjian itu dibuat biar lo nggak macam-macam lagi!"
Kemudian Rasyid mencari situs lain. Kali ini tentang klaim budaya.
"Ini Reog Ponorogo. Ini punya kami bukan punya kalian. Kenapa kalian mengambilnya?" tanya Rasyid geram.
"Mengenai itu, saye tidak tahu sama sekali," kata Ismail.
"Ah, kau jangan bohongi awak,"
"Benar,"
Rasyid memperhatikan raut wajah Ismail yang memang menyiratkan kejujuran bahwa ia tidak tahu sama sekali,
"Apa ini aja?" tanya Rasyid.
"Semuanya. Kami benar-benar tidak tahu. Jikalau tahu itu hanya sedikit,"
"Mengapa?"
"Sebelum saye ke mau ke sini, beberapa teman dah bilang ke saye, pasti akan ade orang Indonesia yang bertanya-tanya tentang konflik Malaysia-Indonesia. Lalu teman saye yang dah lama mukim di Indonesia bilang bahwa media-media di Indonesia suka memberitakan semua dengan panas dan besar-besar,"
"Memang di Malaysia?"
"Tidak seperti di sini," kata Ismail, "Di sana berita hanya sewajarnya. Jikalau ada berita konflik dengan Indonesia, diberitakan sedikit atau malah tidak sama sekali,"
"Kenapa begitu? kalian kan lebih maju dari kami?"
"Memang, kami maju, tetapi tidak semaju dan sebebas kalian,"
Mendengar itu, Rasyid malah tambah bingung,
"Kamu pasti kira di negara kami selalu ada demonstrasi, selalu ada media yang membangkang terhadap kerajaan? Oh, itu tidak ada sama sekali. Kalau pun ada selalu eksesnya dibatasi,"
"Kenapa begitu?"
"Ini semua demi kemakmuran semua rakyat sahaja," kata Ismail, "Kami memang makmur. Orang antarbangsa selalu melihat Malaysia makmur, tetapi tak ada yang namanya kebebasan berekspresi. Kami dibatasi. Kalau ada yang membangkang langsung terkena ISA. Ditangkap tanpa proses ke pengadilan,"
"Apa itu ISA?" tanya Rasyid.
"Internal Security Act atau Akta Keamanan Dalam Negeri. Ini semacam akta yang berusaha supaya tiada pembangkangan di Malaysia. Kamu jangan heran bila Dokter Azhari dan Noordin M.Top bukan membom di Malaysia, tapi di sini. Itu karena negaramu belum ada ISA,"
"Oh, gue jadi ngerti," kata Rasyid, "Sebenarnya kami setelah itu sudah ada, namun nyatanya dalam praktek ini bisa berimbas kepada orang yang tidak bersalah. Makanya, banyak yang menentang. Tapi, gue pikir-pikir negaramu seperti zaman Orde Baru saja. Mirip sekali. Pernah dengar nama Orde Baru atau Orba?"
"Pernah," kata Ismail, "Itu masa dimana Indonesia dikuasai Soeharto?"
"Ya, betul sekali," kata Rasyid, "Zaman itu boleh dibilang zaman yang normal. Tidak ada demonstrasi, pers bebas, atau kekerasan. Yah, rakyat dibuat kenyang aja perutnya tapi dengan utang,"
"Makanya, kalian begitu bergembira ketika ia melepas posisinya?"
"Betul. Tapi, itu malah harus dibayar dengan konsekuensi seperti sekarang ini,"
"Di Malaysia, kami juga ingin demikian, tetapi dengan cara halus tanpa harus ada chaos. Namun, itu sulit terlaksana jika kelompok pembangkang dipersulit dia punya kedudukan. Tetapi, begitulah kerajaan,"
"Suatu saat bisa dan gue harap negara gue kaya negara lo tapi tidak boleh ada larangan ini-itu,"
Mereka pun tertawa,
"Cuma kenapa kita ini disebut serumpun?" tanya Rasyid lagi, "Kalau pun Melayu kan cuma di Sumatera dan Kalimantan saja?"
"Kamu tahu kan saya ini orang Malaysia tetapi berdarah Jawa?" kata Ismail.
"Lalu?"
"Di Malaysia ada banyak sekali orang Jawa. Bukan hanya yang TKI, tetapi juga mereka yang sudah menetap lama di Malaysia sekian lama bahkan sejak awal abad ke-20. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang kemudian menjadi warga negara Malaysia. Di Malaysia sendiri untuk menandakan kawasan itu kawasan orang Jawa biasanya ada namanya, seperti Parit Jawa dan Kampung Chokro,"
"Wah, gue baru tahu. Lalu beberapa dari mereka ada yang jadi orang penting?"
"Oh, banyak," kata Ismail, "Contohnya, Pak Zahid Hamidi, Menteri Pertahanan kami, lalu Khir Toyo, Ning Baizura, dan Safee Sali,"
Apa? Safee Sali orang Jawa?"
"Betul,"
"Wah, ini seperti di Suriname dan Kaledonia Baru saja. Apa hanya orang Jawa saja?"
"Banyak. Ada yang dari Aceh, Minangkabau, Bugis, dan Banjar,"
"Kenapa bisa demikian?"
"Ini ada hubungannya dengan kebijakan Dr. Mahattir Mohammad, yang pada era 80-an, meminta tenaga kerja dari Indonesia agar bisa memenuhi dan menandingi orang-orang India dan Cina di sana. Orang-orang dari Indonesia itu kemudian ada yang menjadi warga negara Malaysia dan mereka diberi status orang Melayu, mulai dari nama hingga cara berbahasa,"
"Jadi, suku bangsa dari Indonesia itu disebut orang Melayu?"
"Betul. Ini beza dengan kamu yang bilang Melayu itu hanya di Sumatera dan Kalimantan,"
"Apa karena itu banyak orang keturunan Indonesia di sana, karena rindu kampung halaman, berusaha mengembangkan kebudayaan asalnya?"
"Itu bisa jadi. Seperti kasus Reog Ponorogo dan rendang. Mereka itu hanya berusaha melestarikan dan mengembangkan bukan mencuri seperti yang digembar-gemborkan di sini. Apa itu salah? Lagipula, dari kacamata orang yang mengerti kebudayaan, pasti mengerti mana yang asli dari Indonesia atau yang dikembangkan dari Malaysia. Makanya, seperti rendang, ada nama rendang Padang, ada juga rendang Malaysia,"
Mendengar ucapan itu, Rasyid jadi teringat tentang kebudayaan Cina dan India di Indonesia. Ada banyak sekali kebudayaan dua negara itu di sini. Tetapi, kenapa mereka tidak marah-marah terhadap Indonesia? Malah santai saja dan senang. Di Amerika pun, kebudayaan Belanda dan Irlandia diakui sebagai bagian dari kebudayaan AS, tetapi dua negara itu santai-santai saja. Sekarang, ia sadar budaya dan kebudayaan itu sifatnya universal.
"Wah, gue juga nggak ngerti kenapa? Mungkin ada yang mengadu domba kali. Lagipula kita ini sama-sama muslim kan?"
"Betul. Itulah yang kami sayangkan dari Indonesia. Padahal, ormas-ormas Islam kalian bersabahat erat dengan ormas-ormas Islam kami,"
"Ya sudah kita kenalan dulu deh," kata Rasyid, "Tadi Pak Cik minta kenalan kan?"
Mereka lalu berkenalan,
"Sudah seharusnya ada forum komunikasi Indonesia-Malaysia biar tidak terjadi kesalahpahaman," kata Rasyid.
"Ah, itu betul sekali," kata Ismail.
"Capek kayanya konflik mulu," kata Rasyid, "Lagipula kamu saudara aku. Bisa ngomong jowo?"
Ismail tertawa, "Wah, ora iso, mas," ujarnya dengan nada Melayunya.
Begitulah. Kedua orang itu kemudian keluar dari warnet dan berjalan menuju rumah. Kini di pikiran Rasyid yang adalah ingin supaya semua yang terjadi antara kedua negara bisa diselesaikan baik-baik tanpa harus mengorbankan nyawa karena bagaimana pun, hubungan darah secara tidak langsung masih ada dan terus ada,
"Tapi, kalo bermain bola dan badminton pengecualian ya?"
Ismail hanya tertawa.
Kamis, 15 Maret 2012
Rabu, 14 Maret 2012
Kata dan Jiwa
Aku ingin bermain kata
maka aku bermain jiwa
Aku ingin bermain jiwa
maka aku bermain kata
Dalam tiap kata ada jiwa
Dalam tiap jiwa ada kata
Sebab kata menjadi cerminan jiwa
Sebab jiwa menjadi cerminan kata
kata
jiwa
jiwa
kata
kata jiwa kata
jiwa kata jiwa
kata kata kata kata
jiwa jiwa jiwa jiwa
maka aku bermain jiwa
Aku ingin bermain jiwa
maka aku bermain kata
Dalam tiap kata ada jiwa
Dalam tiap jiwa ada kata
Sebab kata menjadi cerminan jiwa
Sebab jiwa menjadi cerminan kata
kata
jiwa
jiwa
kata
kata jiwa kata
jiwa kata jiwa
kata kata kata kata
jiwa jiwa jiwa jiwa
Senin, 12 Maret 2012
Minggu, 11 Maret 2012
Jam
12
Tik Tok
Tik Tok Tik Tok
Tik Tok Tik Tok Tik Tok
Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok
Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok
9 Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok 3
Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok
Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok
Tik Tok Tik Tok Tik Tok
Tik Tok Tik Tok
Tik Tok
6
Rabu, 07 Maret 2012
Capung
Dia berlari. Di tangannya tergenggam kanvas dan juga peralatan melukis. Hanya memakai celana pendek, meski sekarang cuaca sedang dingin tengah menerjang, ia tak pedulikan. Tujuannya: padang rumput nan luas dekat rumahku. Ada sebuah pemandangan yang sedang diincarnya.
Winda. Nama si dia yang sedang seperti itu. Wanita itu, tetangga dekat rumah yang memang selalu ke padang rumput untuk melukis. Kegemaran sejak kecil. Tapi, aku yakin sekali di cuaca yang sedang dingin dan bahkan hujan bukan padang rumput polos itu sasarannya.
Pagi tadi, saat ku terbangun dari tidur, pandanganku langsung mengarah ke padang rumput karena memang rumahku mengarah ke sana. Padang yang selalu nampak hijau meski ada warna coklat menyelingi. Padang yang hanya ramai pada pagi menjelang siang karena di situlah kuda-kuda gembala Pak Arifin, si pemilik peternakan kuda dekat rumahku melepas kuda-kudanya.
Meski cuaca sedang dingin dan angin dingin berhembus menyesak, matahari tetap bersinar normal. Kalau boleh kubilang ini seperti perpaduan antara hitam dan putih, meski mungkin putih akan selalu sulit menutupi hitam. Hal demikian, sejujurnya, tepat untuk kuabadikan dalam jepretan foto. Ah, tapi aku sedang malas.
Ketika aku mencoba melihat padang luas itu, nampak ada penghuni baru di padang. Segerombolan capung terbang berputar-putar di atas kuda-kuda yang sedang makan rerumputan. Bagaikan pesawat terbang era Perang Dunia ke-2, capung-capung itu sebentar-sebentar juga bertengger di semak-semak kecil di dekat padang. Jikalau ada capung ini pasti anak-anak berlarian ke padang, membawa jaring, lalu mencoba menangkap, kemudian dimain-mainkan, atau mungkin dipelihara untuk koleksi dan tugas sekolah.
Benar saja, anak-anak itu datang ke padang. Namun, itu setelah kebanyakan dari mereka sepulang sekolah. Ada yang pulang dahulu, namun ada juga yang langsung. Jaring-jaring yang dibawa beragam. Ada yang kecil. Ada juga yang besar. Mereka berlarian dengan jaring-jaring di tangannya. Lalu ada seulas senyum dan tawa ketika berhasil menangkap salah satu capung. Yang demikian menggodaku untuk mengabadikan lewat kamera.
Segera kuambil kamera-ku dan mulai membidik. Satu, dua jepretan dapat dan rasanya pas untuk bisa dimasukkan ke dalam facebook. Namun, saat ku seperti itu, ada pemandangan yang mencolok. Di saat itulah aku melihat Winda dengan kanvas dan peralatan melukisnya. Aku baru sadar kalau ia ke sana ingin melukis capung. Serangga itu adalah serangga favoritnya.
Semenjak kecil, jikalau kami sedang bermain bersama-sama, Winda paling senang dengan capung. Sementara aku biasa saja dengan serangga, yang dijadikan patokan untuk membuat helikopter tersebut. Lagipula, jika dipegang, kalau bukan di sayapnya, capung suka menggigit jemariku. Rasanya sih geli. Entahlah, apa yang membuat Winda menyukai serangga itu. Kalau anak-anak yang lainnya, seperti Firman dan Acong, paling suka dengan belalang dan sepupunya, cangcorang. Anehnya, tak ada yang suka kupu-kupu.
Beranjak dewasa, ketika semua anak di kampungku merantau entah ke mana, dan hanya menyisakan aku dan Winda, yang nampaknya betah, tak ada lagi yang seperti itu. Digantikan anak-anak kecil yang mengulang kebiasaan kami kembali. Tetapi, Winda masih menyukai capung. Ia sering membaur dengan anak-anak itu. Bermain bersama mereka. Rasanya sih aneh melihat ada perempuan, yang bahkan umurnya sudah mencapai kepala dua, masih saja berlaku demikian, dan bukan memikirkan hal lain seperti kerja atau berumah tangga.
Kalau mengenai itu, aku akui Winda itu cantik, tetapi anehnya belum ada satu pun lelaki yang menempel padanya. Yang jadi pertanyaan lelakinya belum nempel atau dianya belum atau tidak mau nempel? Ah, rasanya itu seperti masuk dapur orang walau dalam hatiku aku ingin bertanya, tetapi aku tahan. Aku tahu dia itu sensitif.
Yang jadi pertanyaanku juga mengapa ia menyukai capung dan bukan kupu-kupu? Setelah beranjak dewasa, aku jadi tahu kalau dalam kebudayaan populer capung dianggap berhubungan dengan kejahatan dan juga tunggangan iblis. Itu kalau di Eropa. Kalau di Asia dan suku-suku Indian di Amerika, capung adalah perlambang musim dari panas ke semi serta penanda adanya kehidupan air bersih. Sementara, kupu-kupu selalu dikaitkan dengan cinta, cinta, dan cinta.
Pernah aku utarakan yang demikian, eh dianya malah cemberut lalu meninggalkanku sampai-sampai aku harus meminta maaf dengan berdiri di depan rumahnya sampai tengah malam. Aku kan cuma sekedar mengutarakan kenapa ditanggapi serius?
Tetapi, rasanya aku merasa gatal juga jika hanya melihat dia dari dalam rumah. Aku ingin menemaninya melukis, sementara aku memotret.
"Capung-capungnya banyak ya?" sapaku kepadanya yang berada di sampingku. Ia kulihat serius sekali melukis.
Mendengar suaraku, ia menoleh,
"Eh, Alvin," ucapnya menyebut namaku, "Iya nih banyak. Kamu mau memotret?"tanyanya lagi sambil melihat kamera yang kugenggam.
"Iya," kataku, "Lumayan buat dijadiin wallpaper di komputer atau facebook,"
Aku lihat ia kembali melukis. Goresannya sangat kental sekali dan realistis. Capung-capung itu tampak setengah hidup dalam sebuah kanvas.
Sementara ia melukis, aku bidikkan pandanganku lewat fokus kamera. Jepret! Jepret! Jepret! Semua di depanku tertangkap. Kurang lengkap, aku panggil salah satu anak, Faisal untuk berpose dengan capungnya dan jaring penangkapnya. Ia tampak senang aku potret.
"Kamu mau apakan ini capung?" tanyaku pada anak itu.
"Mau saya kurungin buat tugas sekolah," jawab Faisal.
"Disuruh buat apa?" tanyaku lagi.
"Disuruh ngamatin aja kalau dikurung kaya gimana terus dicatat deh,"
"Kalau udah dilepas ya. Kasihan. Mereka juga ingin bebas seperti kita,"
"Iya, kak,"
Kemudian aku lihat lagi Winda. Ia masih serius dan berkutat dengan kanvas di depannya. Aku hampiri dan kulihat lukisan hampir setengah jadi. Capung-capung beterbangan. Anak-anak berlarian dan ada satu yang mencolok,
"Ini aku?" tanyaku menunjuk pada gambar lelaki sedang memotret anak kecil.
"Iya," ujarnya tersenyum.
"Tumben kamu nyertain aku?" tanyaku, "Biasanya nggak,"
"Aku juga nggak tahu," katanya, "Tetapi, aku merasa harus ada kamu di dalam lukisanku ini,"
"Kenapa?"
"Entahlah. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang spesial hari ini?"
"Spesial kenapa?"
"Spesial ada kamu lha,"
Aku lalu duduk di sampingnya. Hanya dengan beralasakan rumput aku perhatikan lagi ia melukis. Lukisannya benar-benar realis. Padahal, yang kutahu ia selalu melukis abstrak. Tetapi, kenapa sekarang berbeda?
"Kamu belajar dari mana? Kok bisa realis begini?" tanyaku heran.
"Oh, ini realis ya?" tanyanya, "Aku malah nggak tahu,"
"Masa sih?" tanyaku, "Kamu lagi berbohong ya?"
"Nggak kok," katanya, "Aku nggak tau kalau ini realis. Aku aja nggak sadar kalau aku melukis realis,"
"Tetapi, bagus kok," kataku lagi, "Aku suka kok,"
Ia kembali melukis. Hampir selesai lukisan itu. Warna latarnya benar-benar menyerupai keadaan. Terang tapi sedikit gelap.
"Kamu mau nggak lukisanku?" tanyanya kemudian.
Aku tanpa pikir panjang langsung berkata, "Mau!" tetapi kemudian bertanya,
"Tumben kamu kasih lukisan kamu ke aku? Ada apa?"
"Aku juga nggak tahu," katanya, "Tapi, ada yang menyuruhku kasih ke kamu,"
"Siapa?"
"Aku juga nggak tahu,"
Kalau kubilang mengherankan memang karena selama ku mengenal dia, belum sekali pun ia kasih lukisannya padaku. Tetapi, kenapa hanya padaku? Apa aku istimewa di matanya? hahahaha...mulai gede rasa diriku.
"Nanti jaga baik-baik. Pajang di kamar supaya bisa ingat aku terus," katanya kemudian.
"Lho, memang kamu mau ke mana?" tanyaku heran.
"Aku nggak ke mana-mana kok," jawabnya yang membuatku tidak ingin bertanya lagi. Mengapa hari ini dia berkata demikian. Maksudku berkata yang membuatku bingung. Ada angin apakah di tubuhnya?
"Alvin, kamu mau nggak potret aku?" tanyanya lagi setelah itu.
"Oh, boleh," jawabku.
"Potret aku lagi kejar-kejar capung ya?"
Ia lalu berlari mengejar-ngejar capung. Meloncat. Semuanya aku tangkap lewat bidikan kamera. Saat ia berhasil menangkap aku jepret juga. Ada seutas senyum bahagia meski ada juga senyum murung. Ah, sudahlah yang penting aku bisa memotretnya, karena selama ini ia ogah diabadikan dalam foto. Ini juga yang menjadi pertanyaanku. Mengapa?
"Tolong dibingkai atau ditaruh di komputer dengan baik ya?" ujarnya setelah itu, "Supaya kamu bisa ingat aku,"
"Kamu memangnya mau pergi ya?"tanyaku heran.
"Nggak kok," katanya kemudian tiba-tiba mencium bibirku sekilas,
"Aku harus pulang. Ada yang harus kukerjakan,"
Ia bergegas tanpa aku sempat berkata-kata lagi. Peralatan lukis itu digenggamnya. Aneh, ujarku dalam hati. Tapi, tak apalah, kanvas yang berisi lukisannya yang bagus ini sekarang jadi milikku.
Malam harinya, aku jadi memikirkannya. Dia yang manis itu, dan sejujurnya aku menyukainya, kenapa perilakunya tidak biasanya. Apa ada sesuatu yang spesial, yang membuatnya berperilaku demikian. Oh, aku jadi ingin bertemu dengannya.
Aku segera ke rumahnya yang hanya berjarak 500 meter dari rumahku. Sayang, rumah itu malah kosong dan terkunci. Kata Amir, sejak sore seluruh keluarga di sini pergi entah ke mana, termasuk di dalamnya Winda. Tuh kan kubilang juga apa ia pergi. Tapi, kenapa aku jadi merindunya. Biasanya tidak. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.
"Kapan baliknya, Mir?" tanyaku,
"Mana aku tahu, kawan," ujar Amir yang kemudian berlalu.
Ah, sayang padahal aku ingin bertemu dengannya. Mencoba bertanya kepadanya kenapa ia seperti itu sambil mengungkapkan rasaku. Ah, tapi mau bagaimana lagi. Kan besok masih ada.
Esok harinya, aku terbangun oleh iring-iringan ambulans. Lho ada apa ini? itu yang pertama kali terlintas di pikiranku. Orang-orang di sekitarku beramai-ramai datang menuju ambulans tersebut, yang aku rasa sepertinya mengarah ke rumah yang kukenal...ah, tapi mana mungkin.
Aku lantas tanya pada bapakku yang juga hendak ke sana.
"Pak ,ada apa sih ramai-ramai?"
"Itu Pak Imran sekeluarga kecelakaan. Semuanya tewas," kata bapakku.
Mendengar kata Pak Imran aku spontan bereaksi,
"Termasuk juga Winda?"
"Iya," kata bapakku, "Kenapa?"
Lemas aku mendengarnya. Aku tidak menjawab tanya bapakku dan langsung ke luar rumah menuju pada rumah yang dituju iring-iringan ambulans tersebut. Dan ternyata benar. Oh, tidak. Kenapa ini bisa terjadi? Winda yang kemarin ku masih bersamanya bercanda, dia ternyata harus sudah berbalut kafan putih dengan mata tertutup dan nafas tak tercumbu. Dia yang kemarin aku potret dan berlarian...oh tidak, aku masih tidak percaya. Dia yang kemarin kulihat bersamaku melukis capung....
Sekarang aku baru mengerti mengapa ia berkata demikian. Sesuatu yang abstrak itu.
Aku lihat dalam rundungan duka itu capung-capung tiba-tiba datang bergerombol. Membentuk bayangan Winda yang bersayap dan terbang sembari melambaikan salam perpisahan kepadaku. Begitu juga seperti ada bayangan keluarganya di belakangnya.
Diriku seperti dibisikkan,
"Jaga baik-baik ya lukisanku, juga foto-fotoku dengan capung-capung itu,"
Kemudian capung-capung dan bisikan itu hilang.
Beberapa hari setelah itu, aku yang masih dibayangi rasa sedih karena ditinggalkannya, berusaha menjaga seperti apa yang ia minta. Wajahnya, suaranya masih saja terbayang dan terngiang-ngiang. Aku merasa ia ada di sampingku jika capung-capung datang bergerombol.
Winda. Nama si dia yang sedang seperti itu. Wanita itu, tetangga dekat rumah yang memang selalu ke padang rumput untuk melukis. Kegemaran sejak kecil. Tapi, aku yakin sekali di cuaca yang sedang dingin dan bahkan hujan bukan padang rumput polos itu sasarannya.
Pagi tadi, saat ku terbangun dari tidur, pandanganku langsung mengarah ke padang rumput karena memang rumahku mengarah ke sana. Padang yang selalu nampak hijau meski ada warna coklat menyelingi. Padang yang hanya ramai pada pagi menjelang siang karena di situlah kuda-kuda gembala Pak Arifin, si pemilik peternakan kuda dekat rumahku melepas kuda-kudanya.
Meski cuaca sedang dingin dan angin dingin berhembus menyesak, matahari tetap bersinar normal. Kalau boleh kubilang ini seperti perpaduan antara hitam dan putih, meski mungkin putih akan selalu sulit menutupi hitam. Hal demikian, sejujurnya, tepat untuk kuabadikan dalam jepretan foto. Ah, tapi aku sedang malas.
Ketika aku mencoba melihat padang luas itu, nampak ada penghuni baru di padang. Segerombolan capung terbang berputar-putar di atas kuda-kuda yang sedang makan rerumputan. Bagaikan pesawat terbang era Perang Dunia ke-2, capung-capung itu sebentar-sebentar juga bertengger di semak-semak kecil di dekat padang. Jikalau ada capung ini pasti anak-anak berlarian ke padang, membawa jaring, lalu mencoba menangkap, kemudian dimain-mainkan, atau mungkin dipelihara untuk koleksi dan tugas sekolah.
Benar saja, anak-anak itu datang ke padang. Namun, itu setelah kebanyakan dari mereka sepulang sekolah. Ada yang pulang dahulu, namun ada juga yang langsung. Jaring-jaring yang dibawa beragam. Ada yang kecil. Ada juga yang besar. Mereka berlarian dengan jaring-jaring di tangannya. Lalu ada seulas senyum dan tawa ketika berhasil menangkap salah satu capung. Yang demikian menggodaku untuk mengabadikan lewat kamera.
Segera kuambil kamera-ku dan mulai membidik. Satu, dua jepretan dapat dan rasanya pas untuk bisa dimasukkan ke dalam facebook. Namun, saat ku seperti itu, ada pemandangan yang mencolok. Di saat itulah aku melihat Winda dengan kanvas dan peralatan melukisnya. Aku baru sadar kalau ia ke sana ingin melukis capung. Serangga itu adalah serangga favoritnya.
Semenjak kecil, jikalau kami sedang bermain bersama-sama, Winda paling senang dengan capung. Sementara aku biasa saja dengan serangga, yang dijadikan patokan untuk membuat helikopter tersebut. Lagipula, jika dipegang, kalau bukan di sayapnya, capung suka menggigit jemariku. Rasanya sih geli. Entahlah, apa yang membuat Winda menyukai serangga itu. Kalau anak-anak yang lainnya, seperti Firman dan Acong, paling suka dengan belalang dan sepupunya, cangcorang. Anehnya, tak ada yang suka kupu-kupu.
Beranjak dewasa, ketika semua anak di kampungku merantau entah ke mana, dan hanya menyisakan aku dan Winda, yang nampaknya betah, tak ada lagi yang seperti itu. Digantikan anak-anak kecil yang mengulang kebiasaan kami kembali. Tetapi, Winda masih menyukai capung. Ia sering membaur dengan anak-anak itu. Bermain bersama mereka. Rasanya sih aneh melihat ada perempuan, yang bahkan umurnya sudah mencapai kepala dua, masih saja berlaku demikian, dan bukan memikirkan hal lain seperti kerja atau berumah tangga.
Kalau mengenai itu, aku akui Winda itu cantik, tetapi anehnya belum ada satu pun lelaki yang menempel padanya. Yang jadi pertanyaan lelakinya belum nempel atau dianya belum atau tidak mau nempel? Ah, rasanya itu seperti masuk dapur orang walau dalam hatiku aku ingin bertanya, tetapi aku tahan. Aku tahu dia itu sensitif.
Yang jadi pertanyaanku juga mengapa ia menyukai capung dan bukan kupu-kupu? Setelah beranjak dewasa, aku jadi tahu kalau dalam kebudayaan populer capung dianggap berhubungan dengan kejahatan dan juga tunggangan iblis. Itu kalau di Eropa. Kalau di Asia dan suku-suku Indian di Amerika, capung adalah perlambang musim dari panas ke semi serta penanda adanya kehidupan air bersih. Sementara, kupu-kupu selalu dikaitkan dengan cinta, cinta, dan cinta.
Pernah aku utarakan yang demikian, eh dianya malah cemberut lalu meninggalkanku sampai-sampai aku harus meminta maaf dengan berdiri di depan rumahnya sampai tengah malam. Aku kan cuma sekedar mengutarakan kenapa ditanggapi serius?
Tetapi, rasanya aku merasa gatal juga jika hanya melihat dia dari dalam rumah. Aku ingin menemaninya melukis, sementara aku memotret.
"Capung-capungnya banyak ya?" sapaku kepadanya yang berada di sampingku. Ia kulihat serius sekali melukis.
Mendengar suaraku, ia menoleh,
"Eh, Alvin," ucapnya menyebut namaku, "Iya nih banyak. Kamu mau memotret?"tanyanya lagi sambil melihat kamera yang kugenggam.
"Iya," kataku, "Lumayan buat dijadiin wallpaper di komputer atau facebook,"
Aku lihat ia kembali melukis. Goresannya sangat kental sekali dan realistis. Capung-capung itu tampak setengah hidup dalam sebuah kanvas.
Sementara ia melukis, aku bidikkan pandanganku lewat fokus kamera. Jepret! Jepret! Jepret! Semua di depanku tertangkap. Kurang lengkap, aku panggil salah satu anak, Faisal untuk berpose dengan capungnya dan jaring penangkapnya. Ia tampak senang aku potret.
"Kamu mau apakan ini capung?" tanyaku pada anak itu.
"Mau saya kurungin buat tugas sekolah," jawab Faisal.
"Disuruh buat apa?" tanyaku lagi.
"Disuruh ngamatin aja kalau dikurung kaya gimana terus dicatat deh,"
"Kalau udah dilepas ya. Kasihan. Mereka juga ingin bebas seperti kita,"
"Iya, kak,"
Kemudian aku lihat lagi Winda. Ia masih serius dan berkutat dengan kanvas di depannya. Aku hampiri dan kulihat lukisan hampir setengah jadi. Capung-capung beterbangan. Anak-anak berlarian dan ada satu yang mencolok,
"Ini aku?" tanyaku menunjuk pada gambar lelaki sedang memotret anak kecil.
"Iya," ujarnya tersenyum.
"Tumben kamu nyertain aku?" tanyaku, "Biasanya nggak,"
"Aku juga nggak tahu," katanya, "Tetapi, aku merasa harus ada kamu di dalam lukisanku ini,"
"Kenapa?"
"Entahlah. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang spesial hari ini?"
"Spesial kenapa?"
"Spesial ada kamu lha,"
Aku lalu duduk di sampingnya. Hanya dengan beralasakan rumput aku perhatikan lagi ia melukis. Lukisannya benar-benar realis. Padahal, yang kutahu ia selalu melukis abstrak. Tetapi, kenapa sekarang berbeda?
"Kamu belajar dari mana? Kok bisa realis begini?" tanyaku heran.
"Oh, ini realis ya?" tanyanya, "Aku malah nggak tahu,"
"Masa sih?" tanyaku, "Kamu lagi berbohong ya?"
"Nggak kok," katanya, "Aku nggak tau kalau ini realis. Aku aja nggak sadar kalau aku melukis realis,"
"Tetapi, bagus kok," kataku lagi, "Aku suka kok,"
Ia kembali melukis. Hampir selesai lukisan itu. Warna latarnya benar-benar menyerupai keadaan. Terang tapi sedikit gelap.
"Kamu mau nggak lukisanku?" tanyanya kemudian.
Aku tanpa pikir panjang langsung berkata, "Mau!" tetapi kemudian bertanya,
"Tumben kamu kasih lukisan kamu ke aku? Ada apa?"
"Aku juga nggak tahu," katanya, "Tapi, ada yang menyuruhku kasih ke kamu,"
"Siapa?"
"Aku juga nggak tahu,"
Kalau kubilang mengherankan memang karena selama ku mengenal dia, belum sekali pun ia kasih lukisannya padaku. Tetapi, kenapa hanya padaku? Apa aku istimewa di matanya? hahahaha...mulai gede rasa diriku.
"Nanti jaga baik-baik. Pajang di kamar supaya bisa ingat aku terus," katanya kemudian.
"Lho, memang kamu mau ke mana?" tanyaku heran.
"Aku nggak ke mana-mana kok," jawabnya yang membuatku tidak ingin bertanya lagi. Mengapa hari ini dia berkata demikian. Maksudku berkata yang membuatku bingung. Ada angin apakah di tubuhnya?
"Alvin, kamu mau nggak potret aku?" tanyanya lagi setelah itu.
"Oh, boleh," jawabku.
"Potret aku lagi kejar-kejar capung ya?"
Ia lalu berlari mengejar-ngejar capung. Meloncat. Semuanya aku tangkap lewat bidikan kamera. Saat ia berhasil menangkap aku jepret juga. Ada seutas senyum bahagia meski ada juga senyum murung. Ah, sudahlah yang penting aku bisa memotretnya, karena selama ini ia ogah diabadikan dalam foto. Ini juga yang menjadi pertanyaanku. Mengapa?
"Tolong dibingkai atau ditaruh di komputer dengan baik ya?" ujarnya setelah itu, "Supaya kamu bisa ingat aku,"
"Kamu memangnya mau pergi ya?"tanyaku heran.
"Nggak kok," katanya kemudian tiba-tiba mencium bibirku sekilas,
"Aku harus pulang. Ada yang harus kukerjakan,"
Ia bergegas tanpa aku sempat berkata-kata lagi. Peralatan lukis itu digenggamnya. Aneh, ujarku dalam hati. Tapi, tak apalah, kanvas yang berisi lukisannya yang bagus ini sekarang jadi milikku.
Malam harinya, aku jadi memikirkannya. Dia yang manis itu, dan sejujurnya aku menyukainya, kenapa perilakunya tidak biasanya. Apa ada sesuatu yang spesial, yang membuatnya berperilaku demikian. Oh, aku jadi ingin bertemu dengannya.
Aku segera ke rumahnya yang hanya berjarak 500 meter dari rumahku. Sayang, rumah itu malah kosong dan terkunci. Kata Amir, sejak sore seluruh keluarga di sini pergi entah ke mana, termasuk di dalamnya Winda. Tuh kan kubilang juga apa ia pergi. Tapi, kenapa aku jadi merindunya. Biasanya tidak. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.
"Kapan baliknya, Mir?" tanyaku,
"Mana aku tahu, kawan," ujar Amir yang kemudian berlalu.
Ah, sayang padahal aku ingin bertemu dengannya. Mencoba bertanya kepadanya kenapa ia seperti itu sambil mengungkapkan rasaku. Ah, tapi mau bagaimana lagi. Kan besok masih ada.
Esok harinya, aku terbangun oleh iring-iringan ambulans. Lho ada apa ini? itu yang pertama kali terlintas di pikiranku. Orang-orang di sekitarku beramai-ramai datang menuju ambulans tersebut, yang aku rasa sepertinya mengarah ke rumah yang kukenal...ah, tapi mana mungkin.
Aku lantas tanya pada bapakku yang juga hendak ke sana.
"Pak ,ada apa sih ramai-ramai?"
"Itu Pak Imran sekeluarga kecelakaan. Semuanya tewas," kata bapakku.
Mendengar kata Pak Imran aku spontan bereaksi,
"Termasuk juga Winda?"
"Iya," kata bapakku, "Kenapa?"
Lemas aku mendengarnya. Aku tidak menjawab tanya bapakku dan langsung ke luar rumah menuju pada rumah yang dituju iring-iringan ambulans tersebut. Dan ternyata benar. Oh, tidak. Kenapa ini bisa terjadi? Winda yang kemarin ku masih bersamanya bercanda, dia ternyata harus sudah berbalut kafan putih dengan mata tertutup dan nafas tak tercumbu. Dia yang kemarin aku potret dan berlarian...oh tidak, aku masih tidak percaya. Dia yang kemarin kulihat bersamaku melukis capung....
Sekarang aku baru mengerti mengapa ia berkata demikian. Sesuatu yang abstrak itu.
Aku lihat dalam rundungan duka itu capung-capung tiba-tiba datang bergerombol. Membentuk bayangan Winda yang bersayap dan terbang sembari melambaikan salam perpisahan kepadaku. Begitu juga seperti ada bayangan keluarganya di belakangnya.
Diriku seperti dibisikkan,
"Jaga baik-baik ya lukisanku, juga foto-fotoku dengan capung-capung itu,"
Kemudian capung-capung dan bisikan itu hilang.
Beberapa hari setelah itu, aku yang masih dibayangi rasa sedih karena ditinggalkannya, berusaha menjaga seperti apa yang ia minta. Wajahnya, suaranya masih saja terbayang dan terngiang-ngiang. Aku merasa ia ada di sampingku jika capung-capung datang bergerombol.
Tante Mirna
Tante. Kata yang umum. Jika orang mendengar dan menyebut tante, tentu di pikirannya akan mengacu kepada seseorang yang diidentifikasikan sebagai adik kandung atau tiri dari ibu atau ayah. Itulah yang umum terjadi. Tante yang berasal dari bahasa Belanda sebenarnya punya padanan dalam bahasa Indonesia, bibi. Tetapi, memang orang kebanyakan lebih senang menyebut dan memanggil tante, yang mungkin kedengarannya simpel.
mitasharfina.blogspot.com
Tetapi, tante bukan hanya itu. Bisa juga ia diidentifikasi dengan seseorang yang melakukan pekerjaan "menyenangkan". Akhirnya, muncul istilah tante girang. Kalau dilihat dari perawakannya, kebanyakan berwajah tante-tante, tetapi masih mempunyai lekuk badan yang aduhai.
Jika bicara tante, bukan karena di depanku berseliweran tante-tante yang memang aduhai badannya, aku jadi ingat juga tentang tante yang pernah ada dalam hidupku. Jangan katakan tante yang kumaksud adalah tante dalam keluarga, tetapi ini adalah tante yang kukenal.
Sebut saja Tante Mirna. Dia bukan tante girang, tetapi dia memang tante. Nama tante adalah nama panggilannya. Begitulah, orang-orang sekitarnya memanggilnya. Tante Mirna adalah seorang janda muda. Aku perhatikan dari raut muka mungkin hanya 4 tahun denganku. Meski begitu, sebagai rasa hormat, aku tetap memanggilnya tante, meski ia awalnya kurang suka, dan kemudian menerima.
Aku mengenal Tante Mirna itu sewaktu hendak pulang dari toko buku, kemudian karena aku sedang dalam keadaan pusing sebab buku-buku tak ada yang kubeli, tiba-tiba aku menabraknya. Spontan, aku terkejut, lalu berusaha, mungkin karena panik, membantu membangunkannya. Seharusnya sih yang ditabrak itu marah, tetapi ini malah sebaliknya. Ia malah yang bereaksi meminta maaf, bukannya aku, meski aku juga meminta maaf. Aku lalu tanya keadaaanya,
"Nggak apa-apa kan, mbak?" tanyaku kalau memanggil orang yang belum kukenal dan kuketahui namanya dengan sebutan mbak atau mas untuk laki-laki.
"Nggak apa-apa kok, mas," jawabnya memanggilku mas.
"Waduh, maaf ya," ucapku kembali meminta maaf, "Tadi saya lagi pusing dan linglung. Jadi, nggak konsentrasi deh,"
"Kaya di iklan aja," sahutnya sambil melihat wajahku. Di saat itulah, aku melihat paras wajah yang, katakanlah tidak cantik, tetapi manis. Ditambah dengan senyuman di lesung pipi. Hatiku seperti meledak. Ia lalu bangkit dan berkata,
"Maaf ya, udah menghalangi waktu kamu,"
"Menghalangi apa, Mbak?" tanyaku heran.
"Yah, mungkin kamu punya kesibukan untuk melakukan kegiatan,"
"Ah, nggak kok, mbak," jawabku tersenyum, "Saya tidak ada kegiatan apa-apa,"
Kemudian ia mengajakku berkenalan,
"Mirna,"
"Fandi,"
Jelas, aku kaget. Mana ada hal yang demikian terjadi, wanita meminta berkenalan lebih dahulu usai ditabrak. Aku jadi ingat iklan parfum terkenal, ah tapi ini bukan iklan, walau memang aku sedang memakainya. Ia lalu menyodorkan sebuah kartu berwarna putih.
"Ini kartu namaku," ujarnya. Aku ambil kartu nama itu dari tangannya. Kartu nama dengan latar putih polos. Hanya bertuliskan nama "Mirna Wulandari" dan alamat rumah, serta nomor handphone.
"Jikalau ada waktu, datanglah ke rumahku,"
"Makasih, Mbak,"
Ia berlalu. Saat berlalu pun wangi tubuhnya benar-benar mendamprat diriku. Aku seperti larut dan terjerembap dalam lautan aroma mewangi. Benar-benar mengagumkan wanita itu. Aku jadinya ingin bertemu dengannya esok. Kebetulan, tidak ada sama sekali kegiatan. Kan jarang-jarang ada yang seperti ini.
Esoknya, karena terpacu wangi dan manis wajahnya, aku bergegas ke rumahnya. Sejujurnya, ada rasa penasaran dan ge-er juga kok mau ya wanita mengundangku ke rumahnya. Apa memang aku ganteng? narsisku mulai muncul. Aku juga tidak berpikir macam-macam kenapa bisa wanita mengundangku. Temanku bilang, aku disuruh hati-hati, jangan-jangan ini semacam upaya penipuan. Namun, jelas aku tepis hal demikian. Masa iya begitu walau dalam hati sadar dan sedikit deg-degan, sebab aku juga tahu pernah ada berita wanita cantik menjadi penipu dengan membobol rekening.
Sesampainya di rumah, seorang wanita muncul. Tetapi, jelas itu bukanlah Mirna. Apa mungkin ia adiknya atau kakaknya?
"Mas yang namanya Fandi?" tanyanya si wanita itu yang berpakaian tertutup.
"Betul," jawabku.
"Silakan masuk, Mas," katanya lagi, "Tante Mirna sudah menunggu,"
Tante? hah? terkejut aku? jangan-jangan ini keponakannya? tapi, masa iya, dia yang wajahnya masih terlihat muda itu masa punya keponakan yang terlihat sama mudanya.
"Maaf, mbak ini keponakannya?" tanyaku heran.
"Bukan, Mas," katanya, "Aku pembantunya,"
Terkejut lagi aku. Pembantu kok tampangnya muda sekali. Aku jadi ingat, zaman sekarang apa-apa maunya yang muda-muda, soalnya muda lebih enak dilihat.
"Lalu kenapa manggilnya Tante Mirna?" tanyaku penasaran kembali.
"Itu karena di sini semuanya memanggilnya seperti itu," jawabnya.
"Kenapa?" tanyaku kembali.
"Maaf, mas saya kurang tahu," jawab si pembantu, "Saya cuma tahunya begitu,"
Aku sejujurnya orang yang ingin tahu, tetapi aku simpan yang demikian. Ada baiknya aku tanyakan langsung kepada yang bersangkutan.
Saat aku masuk ke dalam rumah yang cukup besar dan kemudian duduk di teras, seperti yang diminta si pembantu, yang boleh kubilang cantik juga, muncullah seseorang dari dalam ruangan. Aku yakin itu Mirna. Dari dalam ruangan yang setengah gelap itu perlahan terlihat dua paha mulus melangkah kemudian diikuti bagian atas yang hanya memakai tank top sederhana. Mirna sungguh berbeda sekali penampilannya dengan pemabantunya. Aku jelas dan jujur terkejut. Setengah dari kulitnya terlihat. Yah, memang cukup merangsang.
"Udah lama?" tanyanya pelan. Aku perhatikan ia tahu bahwa aku seperti terkejut melihatnya. Pertanyaannya jelas membuyarkan lamunanku yang sudah mulai mengarah pada langit ketujuh.
"Eh, sudah, mbak," jawabku kikuk lalu menunduk.
Mirna lalu memanggil pembantunya, yang tidak tahunya bernama Ana, untuk membuatkan jus buah untukku.
"Ke sini naik apa?" tanyanya lagi.
"Oh, saya naik angkot, Mbak," jawabku polos.
"Memang nggak punya kendaraan?" tanyanya lagi.
"Kebetulan, lagi pada dipakai,"
Ia lalu merogoh sebuah rokok dari celana pendeknya.
"Merokok?" tanyanya menawarkan.
"Maaf, Mbak, nggak," ujarku polos kembali.
Ia nyalakan rokok itu dengan pemantik yang juga dari celananya. Asap pun mulai mengepul dan membahana. Sejujurnya, aku kurang atau tidak suka dengan wanita perokok. Aku ada alasannya. Tapi, karena yang di depanku ini adalah surga dunia yah sudah iyakan saja.
"Mbak, saya mau nanya," tanyaku ketika ia tampak menikmati hisapan demi hisapan, "Kok Mbak dipanggilnya tante sih?"
Mendengar aku bertanya itu, ia melepaskan hisapannya dan tersenyum,
"Kenapa?" tanyanya, "Memangnya aku seperti tante ya?"
Aku perhatikan raut wajah yang hendak mengajakku bercanda tersebut. Wajah manis itu.
"Ah, nggak kok, mbak," jawabku, "Mbak masih muda malah,"
"Kamu ini bisa aja,"
Ia lalu menceritakan kepadaku perihal pemanggilan tante itu. Dahulu, ada seseorang, yang enah siapa suka memanggilnya tante hingga itu pun berlanjut ke sana kemari. Mirna sendiri sih tidak masalah. Ia juga menceritakan bahwa ia seorang janda muda. Sudah 2 tahun bercerai dan sejak saat itu tidak ada keinginan menikah lagi. Tetapi iya kalau pacaran. Sayang, banyak yang kandas di tengah jalan.
"Banyak yang belum bisa memuaskan aku," ujarnya sewaktu kutanya mengapa. Ia sendiri tidak mempermasalahkan ganteng tidak ganteng, tetapi kenyamanan.
"Kalau kamu?" tanyanya kemudian.
"Saya...tapi sebelumnya boleh memanggil Tante?" tanyaku.
"Silakan,"
"Saya masih bujang," jawabku, "Sudah lama menjomblo,"
"Bekerja?"
"Sudah lama menganggur, Tante,"
Ia kemudian menghisap lagi rokoknya.
"Sayang yah lelaki kaya kamu kok nganggur? Kebetulan, aku ada pekerjaan. Kamu mau?"
"Pekerjaan apa itu, Tante?"
"Pekerjaannya gampang kok," ujarnya diselingi hisapan dan asap rokok, "Tiap sore sampai esok pagi tolong temani aku. Mau kan?"
Tenggorokanku berbunyi.
\
"Tapi, apa nanti kata orang?"
"Ah, peduli amat! Aku nanti bayar kamu. Kamu mau kan?"
"Wah, mau sekali, Tante," ujarku dengan semangat kalau nyatanya aku dibayar dan mungkin juga...mulailah aku berfantasi.
"Esok sore, datang ya," katanya.
"Iya, Tante,"
Esok sorenya, aku memang datang. Namun seperti ada segudang pertanyaan meragukan muncul dalam diriku. Untuk apa ia menyuruhku menemaniku kalau memang ya memang kesepian. Bukannya ada pembantunya? Apa ia bermaksud...sial! sebaiknya aku tepis saja itu. Aku harus berpikiran positif. Lagi pula aku dibayar kan?
Sore itu, sesampainya di rumah, ia tanpa sungkan menyuruhku masuk. Seperti biasa, ia berpakaian terbuka. Ini sebenarnya sengaja memancingku atau memang ada hal lain? tanyaku dalam hati.
"Nah, kamu nanti malam tidur saja di kamar kosong dekat kamarku," katanya, "Sekarang, aku mau pergi dulu dengan temanku,"
"Dengan pakaian seperti ini, Tante?" tanyaku heran melihat tingkahnya berpakaian.
"Lho, memang kenapa?" tanyanya berbalik.
Aku tidak menjawab. Ia lalu berlalu dari hadapanku kemudian keluar dari rumahnya. Dilihat dari belakang, aduhai. Praktis, aku jadi sendiri. Sebenarnya, sih tidak, ada si Ana, pembantunya yang terlihat muda, yang mungkin ada di ruang lain, saking besarnya rumah ini.
Malam datang, aku masih sendiri, lampu-lampu sudah otomatis menyala. Jam sudah berada di angka 10, dan Tante Mirna belum ada tanda-tanda kembali. Dalam hati aku bertanya, kemanakah gerangan tante muda ini? apalagi dengan pakaian mini seperti itu? apa ia tidak takut dirazia?
Dua jam berikutnya, masih saja ia belum datang. Aku sudah terserang kantuk. Tapi, aku masih bisa menahannya. Ana, si pembantu muda sudah menyuruhku untuk ke kamar, meski terkadang aku menolak. Pada akhirnya, aku ke kamar juga karena memang kantuk benar-benar tidak bisa ditahan.
Di kamar yang cukup luas itu, aku yang menjerembabkan diri pada kasur empuk mulai perlahan terlarut dalam kantuk, masuk ke alam mimpi sampai akhirnya aku terbangun karena ada suara halus membangunkanku.
Aku terkejut. Rupanya ada Tante Mirna tiba-tiba di hadapanku masih dengan pakaian mininya.
"Tenang, Fandi," ujarnya halus sambil memegang diriku.
Belaian tangannya memang halus dan meratai seluruh tubuhku. Aku jadi teransang.
"Tenang, Fandi," ujarnya lagi.
Aku tidak bisa berbicara.
"Sekarang, kamu mengerti kan kenapa aku menyuruh kamu menemani aku?"
Awalnya, aku lemot menanggapi. Tetapi, aku paham. Aku langsung berpikir risikonya. Tetapi, mau bagaimana lagi. Aku pun menyerah dan tertarik lalu terlarut untuk melakukan yang demikian untuk pertama kalinya dengan seseorang yang kuanggap berpengalaman.
Begitulah. Tiap kali aku bertandang ke rumah Tante Mirna selalu tiap alam ia minta kepuasan. Aku sih tidak masalah karena aku seperti ketagihan. Ia memang benar-benar masih muda walau berlabel janda. Aku dan Tante Mirna kemudian mengikat janji menjadi sepasang kekasih. Pada masa-masa ini, kerap aku masih memanggilnya tante dan terkadang ia keberatan.
Entahlah, seperti ada sesuatu yang mengikat, hubunganku dengan Tante Mirna berjalan mulus dan awet. Akan tetapi, ia keberatan ketika aku ingin menikahinya. Ia masih mikir-mikir. Aku santai saja menanggapi walau lama-kelamaan aku merasa curiga kenapa yang demikian harus ditolak.
Tiap malam, sehabis berhubungan badan, Tante Mirna selalu berlalu dari hadapanku. Kalau kucek ke kamarnya, ia tidak ada. Kemana ia, aku tidak tahu.
Saat paginya, ketika hendak kembali ke rumah, aku melihat kabar di televisi ada berita pembunuhan sadis di sebuah kamar hotel. Diberitakan pembunuhan itu sadis karena yang dibunuh seperti disayat-sayat badannya dengan bentuk tanda hati lalu bertulisan bercak darah "INI BALASANKU" di dinding. Aku bergidik ngeri melihatnya. Apalagi korbannya laki-laki. Kalau kata si penyidik, dilihat dari ciri-cirinya, yang membunuhnya adalah perempuan. Aku tambah bergidik ngeri. Rupanya ada perempuan ganas. Aku yakin, yang melakukannya pasti perempuan cantik.
Tiba-tiba Tante Mirna muncul di sampingku dan menyapaku,
"Selamat pagi, sayang," katanya halus, "kayanya serius banget?"
Aku terkejut,
"Eh, kamu," ujarku, "Gimana nggak serius orang yang ngebunuh perempuan,"
"Emang berita tentang apa sih?"
"Pembunuhan,"
Aku lihat wajahnya yang tampak kuyu tetapi masih bisa dibalut dengan manis. Dan seperti biasa selalu ia memakai pakaian mini. Aku sekilas pandangi ia dan badannya. Tiba-tiba saja aku menemui sesuatu yang mencolok di tangannya. Semacam luka.
"Kenapa tanganmu?" tanyaku heran.
"Oh, ini," ia segera menutupnya, "Tadi aku kena sayatan pisau di dapur,"
Mendengar itu, aku menjadi biasa saja. Sayatan pisau meski terlihat besar sekali. Ia lalu berlalu dari hadapanku karena ingin ke kamar mandi. Aku kemudian cabut.
***
Beberapa hari kemudian, ada lagi berita pembunuhan. Korbannya sama dan juga tulisan itu. Tetapi, sayang belum tahu siapa pembunuhnya dan hanya tahu itu yang melakukan perempuan. Ini kok berita pembunuhan malah seperti di film-film? Tetapi, apa peduliku? Yang jelas aku mungkin di luar jangkauan tersebut karena memang aku tiada sangkut-pautnya. Aku sendiri tidak mau berpikir negatif.
Namun, aku malah menjadi merasa curiga. Berita pembunuhan serupa muncul kembali hampir berselang 3 hari. Ini pembunuhan atau pembunuhan sih? Dan aku merasa aneh karena setiap ada berita pembunuhan itu, Tante Mirna selalu tidak ada. Ah, tapi mana mungkin. Ada-ada saja aku berpikir demikian. Kenapa aku jadi berpikir seperti itu? Jadi, aku hilangkan saja.
Suatu hari, saat aku ke rumah Tante Mirna lagi dan berita pembunuhan semakin marak, ada semacam keinginan bagiku untuk masuk ke kamarnya. Entah kenapa. Kebetulan, si empunya tidak ada. Di kamar luas itu, sekali lagi entahlah memang ada yang mendorongku mencari sesuatu. Tanganku mulai mengarah kemana-mana. Ke lemari, laci, dan juga tempat tidur. Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa aku jadi seperti polisi. Apalagi aku melihat luka mencolok di tangan Tante Mirna itu makin hari malah makin membuatku bertanya-tanya.
Ketika apa yang ingin kucari tidak kuemukan, aku sudah pasrah dan berkata dalam hati, buat apa melakukan demikian? sesuatu yang tidak penting. Kenapa ku harus bilang itu dia. Aku yakin ia normal. Aku lalu berbaring dekat meja di kamarnya. Pandanganku mengarah pada meja itu. Sekali lagi entah kenapa. Meja itu menjadi fokusku.
Sesuatu mencolok menarik perhatianku. Seperti sesuatu mengilat namun ada juga kemerah-merahan gelap. Aku segera mengarah ke sana lebih dekat. Aku lihat benda itu dipasangi sekat karet penahan di bawah meja namun seperti ada darah menggumpal. Aku ambil benda itu dan ternyata sebuah pisau yang masih berbalut darah.
Pertanyaan pertamaku, untuk apa benda ini, dan darah bau anyir ini, yang baunya menjijikkan? secara teknis aku tahu pisau untuk apa apalagi yang kupegang itu pisau dapur, tetapi kenapa pisau dapur harus ditaruh di tempat seperti ini, tempat yang tidak wajar? Kalau ditaruh di sini ia digunakan untuk apa? Mana mungkin kan untuk membunuh tikus?
Pada titik ini, aku tidak mengerti.
Pada balik meja itu, aku seperti melihat benda lain. Seperti sebuah buku kecil. Ini menjadi keanehan bagiku mengapa harus ada sebuah buku kecil di balik meja? Buku itu direkatkan dengan dengan sekat karet penahan. Aku melepasnya dengan perlahan lalu kubaca buku kecil itu.
Memang tampak buku kecil itu seperti buku kecil biasa dengan catatan-catatan biasa juga, tetapi rupanya isinya membuatku tercengang. Aku seperti tidak percaya. Buku itu ternyata berisi catatan-catatan pembunuhan terhadap seseorang. Semua dijelaskan dari cara membunuh hingga kemudian membuat tanda hati dan tulisan itu. Pembunuh itu bukankah yang sekarang sedang dicari-cari polisi? dan ia rupanya orang di sekitarku. Tapi, aku masih tidak percaya. Tante Mirna
Jelas, aku masih tidak percaya. Sama sekali tidak percaya. Masa iya dia. Ah, tidak mungkin. Bisa saja ini sabotase atau dugaanku semata. Secantik dan semanis itukah ganas? Ah, sekali lagi tidak mungkin. Tetapi, pisau dan buku ini....
Tiba-tiba saja, ada suara dari belakang pintu. Itu membuatku terkesiap dan segera mengumpat di balik tempat tidur.
Aku lihat dari bawah tempat tidur, empat kaki wanita mulus memasuki kamar. Saat kulihat lebih jelas lagi itu Tante Mirna dan Ana. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.
"Jujur, dia itu baik dan gue nggak ada masalah sama dia, Na," kata Tante Mirna kepada Ana yang berbicara dengan akrabnya tanpa melihat Ana adalah pembantu. Tetapi, jika melihat ini, aku yakin Ana memang bukan pembantu, "Tetapi, memang gue menolak untuk dinikahi cuma kenapa gue harus membunuhnya?"
"Itu sudah komitmen kita kan bahwa setiap lelaki yang pernah bersetubuh dengan lo harus dibunuh," kata Ana.
"Itu kan karena gue sakit hati sama mantan-mantan gue," kata Tante Mirna, "Jadi, mantan aja belum...,"
"Lo harus melakukannya? lo sayang nggak sih sama gue?"
Aku yang mendengar percakapan itu jelas terkejut. Hah? apa-apaan ini? harus dibunuh? komitmen? sayang. Yang aku tidak sangka rupanya Tante Mirna lesbian dengan Ana.
"Gue nggak mau melakukannya!"
"Lo harus melakukan!"
"Gue nggak mau!"
Ketika mereka bertengkar hebat itu, aku beranikan diri muncul dari dalam tempat tidur.
"Gue ada di sini kok," kataku memberanikan, "Kalau mau bunuh, bunuh aja!"
Mereka berdua terkejut.
"Apa kabar, Tante? Kenapa Tante selama ini bohongi aku? Jadi, ini maksud Tante?"
Aku tunjukkan pisau dan buku kecil ke hadapan mereka.
"Fandi, maksudku,"
"Aku nggak menyangka kamu memang sadis ya, Tante. Hanya karena dendam semua mantan kamu kamu habisi!"
"Eh, lo jangan banyak bacot!" tiba-tiba Ana menyela, "Lo emang harus dibunuh. Mirna itu kekasih gue! Paham!"
"Kalau dari awal saya tahu kalian pembunuh dan lesbian saya tidak akan di sini. Brengsek kalian berdua!"
"Sekali lagi lo jangan banyak bacot!" seru Ana emosi dan tiba-tiba mengeluarkan pisau dapur dari balik badannya.
Ia hunus pisau dan hendak hujamkan pada diriku. Aku pun siaga. Tetapi, Tante Mirna berusaha keras mencegahnya sambil berkata,
"Lari! Lari! Dan jangan pernah kembali lagi!"
Aku segera turuti perintahnya. Berlari secepat kilat dari kamar demi menghindari amukan si wanita cantik. Keluar dari rumah itu dan tidak sadar aku tiba-tiba sampai di rumah. Aku ngos-ngosan. Keringat keluar menjalar. Benar-benar seperti dikejar setan.
Saat aku masuk ke rumah, ibuku menyapaku,
lho, kamu kenapa?"
"Eh, nggak apa-apa kok, Ma," jawabku.
Aku kemudian masuk ke kamarku. Berbaring dan benar-benar tidak mengerti apa yang barusan terjadi. Hampir saja aku dibunuh. Hampir saja. Aku berkenalan dengan wanita yang ternyata lesbian dan pembunuh. Wanita itu, sudah kupacari cukup lama, tetapi ia ternyata...Ah, brengsek!
Aku tertipu.
Aku harus menenangkan diri. Harus. Bayangannya harus dihilangkan.
Semenjak kejadian itu, aku trauma untuk kembali bertemu dengannya lagi apalagi bertandang ke rumahnya. Lagipula, ia tidak pernah menghubungiku, dan anehnya pembunuhan yang belakangan marak malah hilang dengan sendirinya. Hanya saja bayangannya masih terus menghantuiku dan cukup menyiksaku, pada awal-awal.
Tante Mirna, wanita itu, entah bagaimana kabarnya, seperti hilang ditelan bumi. Ia hanya muncul selintas dalam pikiranku. Toh, yang penting sekarang aku dapat seseorang yang kuakui dia benar-benar "perempuan" dan bukan pembunuh. Ia juga bukan tante-tante atau janda kembang. Akhirnya, ia menjadi istriku.
"Maaf ya, udah menghalangi waktu kamu,"
"Menghalangi apa, Mbak?" tanyaku heran.
"Yah, mungkin kamu punya kesibukan untuk melakukan kegiatan,"
"Ah, nggak kok, mbak," jawabku tersenyum, "Saya tidak ada kegiatan apa-apa,"
Kemudian ia mengajakku berkenalan,
"Mirna,"
"Fandi,"
Jelas, aku kaget. Mana ada hal yang demikian terjadi, wanita meminta berkenalan lebih dahulu usai ditabrak. Aku jadi ingat iklan parfum terkenal, ah tapi ini bukan iklan, walau memang aku sedang memakainya. Ia lalu menyodorkan sebuah kartu berwarna putih.
"Ini kartu namaku," ujarnya. Aku ambil kartu nama itu dari tangannya. Kartu nama dengan latar putih polos. Hanya bertuliskan nama "Mirna Wulandari" dan alamat rumah, serta nomor handphone.
"Jikalau ada waktu, datanglah ke rumahku,"
"Makasih, Mbak,"
Ia berlalu. Saat berlalu pun wangi tubuhnya benar-benar mendamprat diriku. Aku seperti larut dan terjerembap dalam lautan aroma mewangi. Benar-benar mengagumkan wanita itu. Aku jadinya ingin bertemu dengannya esok. Kebetulan, tidak ada sama sekali kegiatan. Kan jarang-jarang ada yang seperti ini.
Esoknya, karena terpacu wangi dan manis wajahnya, aku bergegas ke rumahnya. Sejujurnya, ada rasa penasaran dan ge-er juga kok mau ya wanita mengundangku ke rumahnya. Apa memang aku ganteng? narsisku mulai muncul. Aku juga tidak berpikir macam-macam kenapa bisa wanita mengundangku. Temanku bilang, aku disuruh hati-hati, jangan-jangan ini semacam upaya penipuan. Namun, jelas aku tepis hal demikian. Masa iya begitu walau dalam hati sadar dan sedikit deg-degan, sebab aku juga tahu pernah ada berita wanita cantik menjadi penipu dengan membobol rekening.
Sesampainya di rumah, seorang wanita muncul. Tetapi, jelas itu bukanlah Mirna. Apa mungkin ia adiknya atau kakaknya?
"Mas yang namanya Fandi?" tanyanya si wanita itu yang berpakaian tertutup.
"Betul," jawabku.
"Silakan masuk, Mas," katanya lagi, "Tante Mirna sudah menunggu,"
Tante? hah? terkejut aku? jangan-jangan ini keponakannya? tapi, masa iya, dia yang wajahnya masih terlihat muda itu masa punya keponakan yang terlihat sama mudanya.
"Maaf, mbak ini keponakannya?" tanyaku heran.
"Bukan, Mas," katanya, "Aku pembantunya,"
Terkejut lagi aku. Pembantu kok tampangnya muda sekali. Aku jadi ingat, zaman sekarang apa-apa maunya yang muda-muda, soalnya muda lebih enak dilihat.
"Lalu kenapa manggilnya Tante Mirna?" tanyaku penasaran kembali.
"Itu karena di sini semuanya memanggilnya seperti itu," jawabnya.
"Kenapa?" tanyaku kembali.
"Maaf, mas saya kurang tahu," jawab si pembantu, "Saya cuma tahunya begitu,"
Aku sejujurnya orang yang ingin tahu, tetapi aku simpan yang demikian. Ada baiknya aku tanyakan langsung kepada yang bersangkutan.
Saat aku masuk ke dalam rumah yang cukup besar dan kemudian duduk di teras, seperti yang diminta si pembantu, yang boleh kubilang cantik juga, muncullah seseorang dari dalam ruangan. Aku yakin itu Mirna. Dari dalam ruangan yang setengah gelap itu perlahan terlihat dua paha mulus melangkah kemudian diikuti bagian atas yang hanya memakai tank top sederhana. Mirna sungguh berbeda sekali penampilannya dengan pemabantunya. Aku jelas dan jujur terkejut. Setengah dari kulitnya terlihat. Yah, memang cukup merangsang.
"Udah lama?" tanyanya pelan. Aku perhatikan ia tahu bahwa aku seperti terkejut melihatnya. Pertanyaannya jelas membuyarkan lamunanku yang sudah mulai mengarah pada langit ketujuh.
"Eh, sudah, mbak," jawabku kikuk lalu menunduk.
Mirna lalu memanggil pembantunya, yang tidak tahunya bernama Ana, untuk membuatkan jus buah untukku.
"Ke sini naik apa?" tanyanya lagi.
"Oh, saya naik angkot, Mbak," jawabku polos.
"Memang nggak punya kendaraan?" tanyanya lagi.
"Kebetulan, lagi pada dipakai,"
Ia lalu merogoh sebuah rokok dari celana pendeknya.
"Merokok?" tanyanya menawarkan.
"Maaf, Mbak, nggak," ujarku polos kembali.
Ia nyalakan rokok itu dengan pemantik yang juga dari celananya. Asap pun mulai mengepul dan membahana. Sejujurnya, aku kurang atau tidak suka dengan wanita perokok. Aku ada alasannya. Tapi, karena yang di depanku ini adalah surga dunia yah sudah iyakan saja.
"Mbak, saya mau nanya," tanyaku ketika ia tampak menikmati hisapan demi hisapan, "Kok Mbak dipanggilnya tante sih?"
Mendengar aku bertanya itu, ia melepaskan hisapannya dan tersenyum,
"Kenapa?" tanyanya, "Memangnya aku seperti tante ya?"
Aku perhatikan raut wajah yang hendak mengajakku bercanda tersebut. Wajah manis itu.
"Ah, nggak kok, mbak," jawabku, "Mbak masih muda malah,"
"Kamu ini bisa aja,"
Ia lalu menceritakan kepadaku perihal pemanggilan tante itu. Dahulu, ada seseorang, yang enah siapa suka memanggilnya tante hingga itu pun berlanjut ke sana kemari. Mirna sendiri sih tidak masalah. Ia juga menceritakan bahwa ia seorang janda muda. Sudah 2 tahun bercerai dan sejak saat itu tidak ada keinginan menikah lagi. Tetapi iya kalau pacaran. Sayang, banyak yang kandas di tengah jalan.
"Banyak yang belum bisa memuaskan aku," ujarnya sewaktu kutanya mengapa. Ia sendiri tidak mempermasalahkan ganteng tidak ganteng, tetapi kenyamanan.
"Kalau kamu?" tanyanya kemudian.
"Saya...tapi sebelumnya boleh memanggil Tante?" tanyaku.
"Silakan,"
"Saya masih bujang," jawabku, "Sudah lama menjomblo,"
"Bekerja?"
"Sudah lama menganggur, Tante,"
Ia kemudian menghisap lagi rokoknya.
"Sayang yah lelaki kaya kamu kok nganggur? Kebetulan, aku ada pekerjaan. Kamu mau?"
"Pekerjaan apa itu, Tante?"
"Pekerjaannya gampang kok," ujarnya diselingi hisapan dan asap rokok, "Tiap sore sampai esok pagi tolong temani aku. Mau kan?"
Tenggorokanku berbunyi.
\
"Tapi, apa nanti kata orang?"
"Ah, peduli amat! Aku nanti bayar kamu. Kamu mau kan?"
"Wah, mau sekali, Tante," ujarku dengan semangat kalau nyatanya aku dibayar dan mungkin juga...mulailah aku berfantasi.
"Esok sore, datang ya," katanya.
"Iya, Tante,"
Esok sorenya, aku memang datang. Namun seperti ada segudang pertanyaan meragukan muncul dalam diriku. Untuk apa ia menyuruhku menemaniku kalau memang ya memang kesepian. Bukannya ada pembantunya? Apa ia bermaksud...sial! sebaiknya aku tepis saja itu. Aku harus berpikiran positif. Lagi pula aku dibayar kan?
Sore itu, sesampainya di rumah, ia tanpa sungkan menyuruhku masuk. Seperti biasa, ia berpakaian terbuka. Ini sebenarnya sengaja memancingku atau memang ada hal lain? tanyaku dalam hati.
"Nah, kamu nanti malam tidur saja di kamar kosong dekat kamarku," katanya, "Sekarang, aku mau pergi dulu dengan temanku,"
"Dengan pakaian seperti ini, Tante?" tanyaku heran melihat tingkahnya berpakaian.
"Lho, memang kenapa?" tanyanya berbalik.
Aku tidak menjawab. Ia lalu berlalu dari hadapanku kemudian keluar dari rumahnya. Dilihat dari belakang, aduhai. Praktis, aku jadi sendiri. Sebenarnya, sih tidak, ada si Ana, pembantunya yang terlihat muda, yang mungkin ada di ruang lain, saking besarnya rumah ini.
Malam datang, aku masih sendiri, lampu-lampu sudah otomatis menyala. Jam sudah berada di angka 10, dan Tante Mirna belum ada tanda-tanda kembali. Dalam hati aku bertanya, kemanakah gerangan tante muda ini? apalagi dengan pakaian mini seperti itu? apa ia tidak takut dirazia?
Dua jam berikutnya, masih saja ia belum datang. Aku sudah terserang kantuk. Tapi, aku masih bisa menahannya. Ana, si pembantu muda sudah menyuruhku untuk ke kamar, meski terkadang aku menolak. Pada akhirnya, aku ke kamar juga karena memang kantuk benar-benar tidak bisa ditahan.
Di kamar yang cukup luas itu, aku yang menjerembabkan diri pada kasur empuk mulai perlahan terlarut dalam kantuk, masuk ke alam mimpi sampai akhirnya aku terbangun karena ada suara halus membangunkanku.
Aku terkejut. Rupanya ada Tante Mirna tiba-tiba di hadapanku masih dengan pakaian mininya.
"Tenang, Fandi," ujarnya halus sambil memegang diriku.
Belaian tangannya memang halus dan meratai seluruh tubuhku. Aku jadi teransang.
"Tenang, Fandi," ujarnya lagi.
Aku tidak bisa berbicara.
"Sekarang, kamu mengerti kan kenapa aku menyuruh kamu menemani aku?"
Awalnya, aku lemot menanggapi. Tetapi, aku paham. Aku langsung berpikir risikonya. Tetapi, mau bagaimana lagi. Aku pun menyerah dan tertarik lalu terlarut untuk melakukan yang demikian untuk pertama kalinya dengan seseorang yang kuanggap berpengalaman.
Begitulah. Tiap kali aku bertandang ke rumah Tante Mirna selalu tiap alam ia minta kepuasan. Aku sih tidak masalah karena aku seperti ketagihan. Ia memang benar-benar masih muda walau berlabel janda. Aku dan Tante Mirna kemudian mengikat janji menjadi sepasang kekasih. Pada masa-masa ini, kerap aku masih memanggilnya tante dan terkadang ia keberatan.
Entahlah, seperti ada sesuatu yang mengikat, hubunganku dengan Tante Mirna berjalan mulus dan awet. Akan tetapi, ia keberatan ketika aku ingin menikahinya. Ia masih mikir-mikir. Aku santai saja menanggapi walau lama-kelamaan aku merasa curiga kenapa yang demikian harus ditolak.
Tiap malam, sehabis berhubungan badan, Tante Mirna selalu berlalu dari hadapanku. Kalau kucek ke kamarnya, ia tidak ada. Kemana ia, aku tidak tahu.
Saat paginya, ketika hendak kembali ke rumah, aku melihat kabar di televisi ada berita pembunuhan sadis di sebuah kamar hotel. Diberitakan pembunuhan itu sadis karena yang dibunuh seperti disayat-sayat badannya dengan bentuk tanda hati lalu bertulisan bercak darah "INI BALASANKU" di dinding. Aku bergidik ngeri melihatnya. Apalagi korbannya laki-laki. Kalau kata si penyidik, dilihat dari ciri-cirinya, yang membunuhnya adalah perempuan. Aku tambah bergidik ngeri. Rupanya ada perempuan ganas. Aku yakin, yang melakukannya pasti perempuan cantik.
Tiba-tiba Tante Mirna muncul di sampingku dan menyapaku,
"Selamat pagi, sayang," katanya halus, "kayanya serius banget?"
Aku terkejut,
"Eh, kamu," ujarku, "Gimana nggak serius orang yang ngebunuh perempuan,"
"Emang berita tentang apa sih?"
"Pembunuhan,"
Aku lihat wajahnya yang tampak kuyu tetapi masih bisa dibalut dengan manis. Dan seperti biasa selalu ia memakai pakaian mini. Aku sekilas pandangi ia dan badannya. Tiba-tiba saja aku menemui sesuatu yang mencolok di tangannya. Semacam luka.
"Kenapa tanganmu?" tanyaku heran.
"Oh, ini," ia segera menutupnya, "Tadi aku kena sayatan pisau di dapur,"
Mendengar itu, aku menjadi biasa saja. Sayatan pisau meski terlihat besar sekali. Ia lalu berlalu dari hadapanku karena ingin ke kamar mandi. Aku kemudian cabut.
***
Beberapa hari kemudian, ada lagi berita pembunuhan. Korbannya sama dan juga tulisan itu. Tetapi, sayang belum tahu siapa pembunuhnya dan hanya tahu itu yang melakukan perempuan. Ini kok berita pembunuhan malah seperti di film-film? Tetapi, apa peduliku? Yang jelas aku mungkin di luar jangkauan tersebut karena memang aku tiada sangkut-pautnya. Aku sendiri tidak mau berpikir negatif.
Namun, aku malah menjadi merasa curiga. Berita pembunuhan serupa muncul kembali hampir berselang 3 hari. Ini pembunuhan atau pembunuhan sih? Dan aku merasa aneh karena setiap ada berita pembunuhan itu, Tante Mirna selalu tidak ada. Ah, tapi mana mungkin. Ada-ada saja aku berpikir demikian. Kenapa aku jadi berpikir seperti itu? Jadi, aku hilangkan saja.
Suatu hari, saat aku ke rumah Tante Mirna lagi dan berita pembunuhan semakin marak, ada semacam keinginan bagiku untuk masuk ke kamarnya. Entah kenapa. Kebetulan, si empunya tidak ada. Di kamar luas itu, sekali lagi entahlah memang ada yang mendorongku mencari sesuatu. Tanganku mulai mengarah kemana-mana. Ke lemari, laci, dan juga tempat tidur. Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa aku jadi seperti polisi. Apalagi aku melihat luka mencolok di tangan Tante Mirna itu makin hari malah makin membuatku bertanya-tanya.
Ketika apa yang ingin kucari tidak kuemukan, aku sudah pasrah dan berkata dalam hati, buat apa melakukan demikian? sesuatu yang tidak penting. Kenapa ku harus bilang itu dia. Aku yakin ia normal. Aku lalu berbaring dekat meja di kamarnya. Pandanganku mengarah pada meja itu. Sekali lagi entah kenapa. Meja itu menjadi fokusku.
Sesuatu mencolok menarik perhatianku. Seperti sesuatu mengilat namun ada juga kemerah-merahan gelap. Aku segera mengarah ke sana lebih dekat. Aku lihat benda itu dipasangi sekat karet penahan di bawah meja namun seperti ada darah menggumpal. Aku ambil benda itu dan ternyata sebuah pisau yang masih berbalut darah.
Pertanyaan pertamaku, untuk apa benda ini, dan darah bau anyir ini, yang baunya menjijikkan? secara teknis aku tahu pisau untuk apa apalagi yang kupegang itu pisau dapur, tetapi kenapa pisau dapur harus ditaruh di tempat seperti ini, tempat yang tidak wajar? Kalau ditaruh di sini ia digunakan untuk apa? Mana mungkin kan untuk membunuh tikus?
Pada titik ini, aku tidak mengerti.
Pada balik meja itu, aku seperti melihat benda lain. Seperti sebuah buku kecil. Ini menjadi keanehan bagiku mengapa harus ada sebuah buku kecil di balik meja? Buku itu direkatkan dengan dengan sekat karet penahan. Aku melepasnya dengan perlahan lalu kubaca buku kecil itu.
Memang tampak buku kecil itu seperti buku kecil biasa dengan catatan-catatan biasa juga, tetapi rupanya isinya membuatku tercengang. Aku seperti tidak percaya. Buku itu ternyata berisi catatan-catatan pembunuhan terhadap seseorang. Semua dijelaskan dari cara membunuh hingga kemudian membuat tanda hati dan tulisan itu. Pembunuh itu bukankah yang sekarang sedang dicari-cari polisi? dan ia rupanya orang di sekitarku. Tapi, aku masih tidak percaya. Tante Mirna
Jelas, aku masih tidak percaya. Sama sekali tidak percaya. Masa iya dia. Ah, tidak mungkin. Bisa saja ini sabotase atau dugaanku semata. Secantik dan semanis itukah ganas? Ah, sekali lagi tidak mungkin. Tetapi, pisau dan buku ini....
Tiba-tiba saja, ada suara dari belakang pintu. Itu membuatku terkesiap dan segera mengumpat di balik tempat tidur.
Aku lihat dari bawah tempat tidur, empat kaki wanita mulus memasuki kamar. Saat kulihat lebih jelas lagi itu Tante Mirna dan Ana. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.
"Jujur, dia itu baik dan gue nggak ada masalah sama dia, Na," kata Tante Mirna kepada Ana yang berbicara dengan akrabnya tanpa melihat Ana adalah pembantu. Tetapi, jika melihat ini, aku yakin Ana memang bukan pembantu, "Tetapi, memang gue menolak untuk dinikahi cuma kenapa gue harus membunuhnya?"
"Itu sudah komitmen kita kan bahwa setiap lelaki yang pernah bersetubuh dengan lo harus dibunuh," kata Ana.
"Itu kan karena gue sakit hati sama mantan-mantan gue," kata Tante Mirna, "Jadi, mantan aja belum...,"
"Lo harus melakukannya? lo sayang nggak sih sama gue?"
Aku yang mendengar percakapan itu jelas terkejut. Hah? apa-apaan ini? harus dibunuh? komitmen? sayang. Yang aku tidak sangka rupanya Tante Mirna lesbian dengan Ana.
"Gue nggak mau melakukannya!"
"Lo harus melakukan!"
"Gue nggak mau!"
Ketika mereka bertengkar hebat itu, aku beranikan diri muncul dari dalam tempat tidur.
"Gue ada di sini kok," kataku memberanikan, "Kalau mau bunuh, bunuh aja!"
Mereka berdua terkejut.
"Apa kabar, Tante? Kenapa Tante selama ini bohongi aku? Jadi, ini maksud Tante?"
Aku tunjukkan pisau dan buku kecil ke hadapan mereka.
"Fandi, maksudku,"
"Aku nggak menyangka kamu memang sadis ya, Tante. Hanya karena dendam semua mantan kamu kamu habisi!"
"Eh, lo jangan banyak bacot!" tiba-tiba Ana menyela, "Lo emang harus dibunuh. Mirna itu kekasih gue! Paham!"
"Kalau dari awal saya tahu kalian pembunuh dan lesbian saya tidak akan di sini. Brengsek kalian berdua!"
"Sekali lagi lo jangan banyak bacot!" seru Ana emosi dan tiba-tiba mengeluarkan pisau dapur dari balik badannya.
Ia hunus pisau dan hendak hujamkan pada diriku. Aku pun siaga. Tetapi, Tante Mirna berusaha keras mencegahnya sambil berkata,
"Lari! Lari! Dan jangan pernah kembali lagi!"
Aku segera turuti perintahnya. Berlari secepat kilat dari kamar demi menghindari amukan si wanita cantik. Keluar dari rumah itu dan tidak sadar aku tiba-tiba sampai di rumah. Aku ngos-ngosan. Keringat keluar menjalar. Benar-benar seperti dikejar setan.
Saat aku masuk ke rumah, ibuku menyapaku,
lho, kamu kenapa?"
"Eh, nggak apa-apa kok, Ma," jawabku.
Aku kemudian masuk ke kamarku. Berbaring dan benar-benar tidak mengerti apa yang barusan terjadi. Hampir saja aku dibunuh. Hampir saja. Aku berkenalan dengan wanita yang ternyata lesbian dan pembunuh. Wanita itu, sudah kupacari cukup lama, tetapi ia ternyata...Ah, brengsek!
Aku tertipu.
Aku harus menenangkan diri. Harus. Bayangannya harus dihilangkan.
Semenjak kejadian itu, aku trauma untuk kembali bertemu dengannya lagi apalagi bertandang ke rumahnya. Lagipula, ia tidak pernah menghubungiku, dan anehnya pembunuhan yang belakangan marak malah hilang dengan sendirinya. Hanya saja bayangannya masih terus menghantuiku dan cukup menyiksaku, pada awal-awal.
Tante Mirna, wanita itu, entah bagaimana kabarnya, seperti hilang ditelan bumi. Ia hanya muncul selintas dalam pikiranku. Toh, yang penting sekarang aku dapat seseorang yang kuakui dia benar-benar "perempuan" dan bukan pembunuh. Ia juga bukan tante-tante atau janda kembang. Akhirnya, ia menjadi istriku.
Senin, 05 Maret 2012
Hitam-Putih
Ada hitam
ada putih
ada putih
ada hitam
hitam di atas putih
putih di atas hitam
hitam menyertai putih
putih menyertai hitam
hitam melawan putih
putih melawan hitam
hitam bisa menyaru putih
Sayang, putih tidak bisa menyaru hitam
maka jadilah hitam-putih
ada putih
ada putih
ada hitam
hitam di atas putih
putih di atas hitam
hitam menyertai putih
putih menyertai hitam
hitam melawan putih
putih melawan hitam
hitam bisa menyaru putih
Sayang, putih tidak bisa menyaru hitam
maka jadilah hitam-putih
Minggu, 04 Maret 2012
Langganan:
Postingan (Atom)