Kemarin Ego bertandang ke rumahku. Menanyakan kembali apakah aku
mau atau tidak. Dan sudah sepersekian kali aku ditanya bahkan diberikan
ombak-ombak tanya seperti itu. Aku bilang tidak. Aku tidak mau karena aku tidak
suka. Lagipula aku belum mengenal siapa Ego itu. Aku hanya mengenalnya
sebentar.
|
rampak-naong.blogspot.com |
Itu terjadi ketika aku sedang berjalan dalam ruang gelap gulita.
Tanpa sekalipun aku membawa penerangan. Telepon genggamku yang dilengkapi
senter itu saja tak bisa kuandalkan. Baterainya sedang tertidur. Jelas saja
dalam keadaan demikian aku malah harus pelan-pelan dan meraba-raba. Kalau sudah
begini aku jadi ingat ucapan mantan dosenku sewaktu kuliah dulu. Dia
mengatakan, “Cinta itu buta karena bisa diraba-raba,”. Jelas aku geli dan
tertawa tetapi itu ada benarnya juga. Hanya masalahnya, siapa yang aku
raba-raba dalam gelap seperti ini. Baiklah kalau itu cinta. Tetapi, kalau
dusta.
Dalam keadaan seperti kakek tua-renta yang harus berjalan dituntun,
tiba-tiba saja ada yang memegang tanganku. Tentu saja dan jelas aku terkejut.
Sebuah sinar lalu tersorot pada sebuah wajah. Kembali aku terkejut dan
berteriak. Tetapi, buru-buru ia menghentikannya,
“Tenang, saya manusia kok bukan setan,” ujarnya pelan disertai
senyum menunjukkan gigi.
Sekilas aku melihat wajahnya mirip denganku. Apa mungkin karena
pengaruh gelap?
Ia lalu menuntun diriku keluar dari gelap itu menuju ke sebuah
jalan terang,
“Oke, sampai di sini dulu saya anterin kamu,” ujarnya kemudian
dengan dirinya yang masih berada di wilayah yang gelap.
“Makasih,” jawabku kemudian segera bertanya, “Siapa namanya?”
“Ego!” jawabnya dan seketika itu juga ia menghilang dalam gelap.
Aku lalu merasa orang ini agak misterius tetapi aku tak mau memikirkan terlalu
lama. Toh, aku harus bergegas pulang.
Semenjak itu, ketika aku tersesat dalam gelap, Ego selalu muncul
untuk menolongku. Aku pun jadi heran juga. Ia menolongku ini entah karena
memang ingin atau karena ada maksud. Lagipula tiap kali menolong selalu ia
berada di ruang yang gelap ketika jalan terang sudah di depan mata lalu
menghilang.
Maka, ketika kamar tidurku kugelapkan, dalam lowong waktu itu aku
tak sengaja berpikir tentang Ego. Wajah, suara, dan gerak-geriknya terlihat
mirip denganku. Tetapi, aku hanya melihatnya sekilas. Hm...apakah ia
kembaranku? Tetapi, sejak kapan aku punya saudara kembar. Aku hanya anak
tunggal. Apa mungkin ia diriku dari dunia paralel? Dunia yang orang-orangnya
sama dengan diri kita namun nasibnya beda. Ah, tak mungkin. Mana ada seperti
itu. Itu hanya di film-film. Ketika berpikir itu lambat-laun aku terlarut dalam
mimpi.
Di dalam mimpi aku melihat sesosok lelaki yang sama denganku. Ia
datang kepadaku sambil memperkenalkan dirinya, “Ego,”. Pakaiannya, kulihat sama
dengan diriku. Saat itu aku berada di tempat tidur dan aku bertanya-tanya,
apakah aku sedang bermimpi atau tidak sama sekali.
“Jangan kaget, kawan,” katanya, “Kenapa harus melihatku dengan
tatapan curiga seperti itu?”
“Aku tidak curiga,” jawabku membela diri, “Aku hanya terkejut,”
Ia lalu melihatku lalu mendekatiku,
“Kita ini saudara, kawan,” ujarnya kemudian duduk di depanku.
“Saudara apa?” tanyaku heran.
“Saudara dalam diri,” jawabnya.
“Maksudnya?” aku malah tambah heran namun seketika itu juga ia
malah menghilang dan aku tiba-tiba terbangun. Sadar aku, tadi itu mimpi. Mimpi
yang aneh dan benar-benar aneh. Jam kulihat menunjukkan pukul 7 pagi. Alamak! Cepat
sekali! Padahal, aku baru tidur sebentar. Tetapi, tiada waktu. Aku harus
bergegas untuk mencari nafkah meski baru untuk diriku sendiri.
Saat hendak menyalakan mobil, tiba-tiba ada yang mendekatiku lagi.
Ia lelaki berkumis tipis tetapi aku melihatnya ia seperti diriku dan berpakaian
juga seperti diriku. Kemeja pendek dengan celana bahan. Ia lalu memperkenalkan
dirinya, “Ego!”
Aku terdiam.
“Apa ada yang aneh?” tanyanya.
“Iya,” jawabku.
“Kau jangan anggap aku ini aneh,” ujarnya lalu menaiki mobilku.
Saat itu aku tersadar,
“Heh, mau apa kau di dalam mobilku?” tanyaku merasa seperti
terganggu.
“Kau mau kerja kan?” tanyanya.
“Iya,” jawabku ketus.
“Ya aku juga,” jawabnya santai melihat diriku yang memang terganggu
kehadiran dirinya.
“Lalu?” tanyaku yang sepertinya dia akan bisa menjawab.
“Aku menumpang,” jawabnya.
“Baiklah,” kataku yang sadar buat apa harus berdebat dengan orang
seperti ini. Lagipula, aku hendak telat.
“Sebut saja alamat kantormu dimana nanti,” kataku sambil
mengendarai mobil.
“Oke,” jawabnya santai. Ia lalu menyebut alamat kantornya yang
katanya berada di Kuningan dekat dengan SMA 3. Namun, saat ke sana lalu
mempersilakan ia turun, aku terkejut dia tidak ada. Hah? Kemanakah ini orang? Bukankah
tadi baru saja ia menuntunku untuk memberi tahu jalannya? Aku tengok ke
belakang. Ia juga tidak ada. Sampai akhirnya, satpam di kantor itu menanyaiku,
“Maaf, mas mau cari siapa?” tanyanya.
“Eh, nggak, Pak,” jawabku, “Tadi saya sama teman saya tapi
tiba-tiba aja menghilang,”
“Boleh tahu siapa nama teman mas?”
“Ego,”
Si satpam lalu diam dan berpikir kemudian berkata,
“Wah, nggak ada mas yang namanya Ego. Mas, salah alamat kali,”
“Iya ya,” kataku seperti orang bodoh,” Saya salah alamat. Makasih,”
Aku lalu menyetir mobilku kembali. Jujur, orang seperti apakah itu.
Tiba-tiba muncul kemudian menghilang. Benar-benar seperti iblis,
“Harusnya kau jangan terkejut dengan diriku,” tiba-tiba saja ada
suara di sampingku. Aku merasa mengenal suara itu. Namun saat menoleh malah
tidak ada. Ah, sepertinya hanya perasaanku saja.
Karena kejadian itu, aku jadi telat ke kantor. Tapi, tidak telat
rapat karena toh rapatnya juga molor dan aku masih mempersiapkan segala
sesuatunya untuk presentasi nanti. Ya, untunglah itu lancar. Sampai aku
kemudian pulang dan merasakan bahwa aku akan tidur nyenyak.
Namun, rupa-rupanya aku tertipu. Bukan nyenyak yang kudapat tetapi
gangguan. Aku bertemu kembali dengan orang yang mirip denganku. Kali ini ia
berpakaian berbeda denganku. Ia berpakaian seperti tukang bangunan dan memegang
gergaji dan yang digergaji adalah tempat tidurku. Aku terkejut lalu berteriak,
“Hei, mau diapakan!” tanyaku.
“Oh, kau,” tanyanya menoleh padaku, “Mari kita kenalan dulu,”
“Tanpa harus mengenal aku sudah tahu siapa namamu. Kau Ego bukan?”
tanyaku
“Betul,” ia lalu menggergaji lagi.
“Tolong jangan rusak tempat tidurku,” kataku setengah memohon
setengah mengancam.
“Siapalah hendak merusak? Aku hanya membetulkan,”
“Apa pun itu jangan dan pergilah!”
“Baik, aku pergi,”
Ia tiba-tiba menghilang seperti dihempas angin. Ketika itu aku
tersadar lagi dari tidurku dan tiba-tiba mendapati ada yang oleng. Saat kusadari
ternyata, tempat tidurku rusak. Aneh? Kenapa bisa begini. Padahal, kemarin
baik-baik saja. Lagipula aku tak pernah macam-macam dengan tempat tidurku.
Sekejap, aku teringat mimpi tadi dan apa ada hubungannya? Aku benar-benar tidak
tahu.
Jujur, aku tiada waktu lagi karena jam kembali menunjukkan pukul 7
pagi. Aku harus bergegas kembali. Lalu berharap semua berjalan lancar karena
toh juga besok akhir pekan. Aku mau menyantai.
Saat esoknya, tiba-tiba ada yang mengunjungiku dan saat kulihat
ternyata dia-dia lagi. Jujur, aku muak kenapa harus dia-dia lagi. Tetapi, mau
bagaimana lagi. Aku persilakan masuk.
“Tolong jangan perkenalkan nama sebab aku sudah tahun siapa namamu,”
“Baiklah,”
“Oke, ke sini mau apa?”
Ia lalu diam lalu menatap diriku lalu berkata singkat,
“Mengajakmu,”
Aku yang mendengar lalu bertanya,
“Apa?”
“Mengajakmu,” ulangnya lagi.
“Mau mengajak apa?” tanyaku, “MLM atau bisnis investasi?”
“Mengajakmu masuk ke dalam diri yang sama,”
Aku yang diberi jawaban seperti itu jelas heran dan bertanya-tanya,
“Maksudnya apa?” tanyaku kemudian mengancam, “Jangan lo buat gue
kebingungan atau nanti gue usir lo dari sini!”
“Eh, santai, kawan,” ujarnya menenangkanku, “Jangan pakai urat.
Kita ini kan saudara dalam diri, kawan,”
“Saudara dalam diri apa? Sekali lagi jangan bingungin gue!”
“Kita ini satu, kawan. Saya ini bagian dari diri kamu dan kamu juga
bagian dari diri saya. Kita nggak boleh berpisah,”
Aku tertawa,
“Macam orang berpacaran saja kau,”
“Apa yang saya katakan benar, kawan. Kita itu satu. Apa kau tak
menyadari bahwa saya selalu ada dalam diri kamu dan menyertai kamu ketika kamu
ada dimana pun. Begitu juga kamu,”
“Maaf, gue nggak pernah kok namanya menyertai. Yang gue tau
menyertai bos gue,”
“Jadi, kamu merasa tak memiliki ego sama sekali,”
“Ego?” tanyaku heran, “Maksudmu memiliki dirimu? Hahaha...saya masih
normal!”
“Kamu manusia atau bukan sih tidak merasa memiliki ego?”
Aku terdiam.
“Baiklah, sampai di sini dulu,” ujarnya menatap tajam padaku, “Nanti
saya ke sini lagi. Ingat kita tidak bisa terpisah,”
Tiba-tiba saja ia menghilang seperti angin mendesir dan aku, jujur,
merasa aneh. Siapalah tadi yang kujumpa? Manusia atau setankah? Berkata-kata
yang menurutku aku tidak mengerti dan sama sekali tidak mengerti. Ah, tapi
sudahlah buat apa aku pikirkan.
Namun, esoknya, lusanya, dan seterusnya ia datang kembali.
Mengajakku untuk ikut. Jujur aku tidak mau. Aku tidak mengerti. Aku tidak paham.
Tetapi, Ego selalu berkata bahwa ia ada di dalam diriku. Dan aku ada dalam
dirinya. Sayang, aku tidak merasakannya.