Pagi belum terang benar, tetapi Firman sudah tampak sibuk menyusuri
jalan-jalan kecil di sekitar rumahnya sambil membawa sebuah kano dan juga
sebuah dayung. Kano itu ia taruh di punggungnya sambil ia pegang ujungnya dan
kemudian diseret. Sedangkan dayung ia pegang erat dan tanpa sekalipun menyentuh
tanah. Dan ia sama sekali tak peduli jikalau pagi masih menyimpan sisa
kegelapan malam.
Sungai kecil di depannya menjadi tujuannya. Ia banting kano itu ke
air lalu ia naiki dan kemudian mendayung. Ia susuri sungai kecil yang terlihat
tenang airnya yang mengarah menuju ke sungai besar. Di sekeliling sungai kecil
dihiasi rumah-rumah penduduk berbentuk panggung. Dan dari rumah-rumah itu sudah
terlihat aktivitas menyambut pagi. Mencuci, mandi, dan juga berkano seperti
dirinya. Firman harus pelan-pelan menyusuri sungai kecil yang seringkali suka
mengambang batang pohon yang habis ditebang dan berasal dari pepohonan di
sekitaran sungai. Seringkali batang pohon itu menjadi penghambat kecil baginya.
Selepas dari sungai kecil, Firman segera menemukan tujuannya
sebenarnya, sebuah sungai besar yang seperti laut. Sungai yang airnya berwarna
kebiruan namun terkadang hijau dan kecoklatan. Sungai yang di atas permukaannya
banyak dilintasi perahu-perahu dari segala macam. Mulai dari yang tak bermotor
hingga bermotor. Mulai dari yang murah hingga yang mahal. Mulai dari yang
sederhana hingga yang mewah.
Tapi, apalah itu semua bagi dirinya yang berniat menyusuri sungai
besar itu untuk latihan mendayung dengan kano yang ia buat sendiri sehari
sebelumnya. Sejujurnya, kano itu bukan buatannya semata, tetapi adalah bekas
dari ayahnya yang telah meninggal yang kemudian ia perbaiki sendiri dan ia
pelitur sesuai seleranya. Begitu juga dayungnya. Yang ia beri warna merah
sebagai tanda keberanian. Juga tanda kemenangan.
Perlahan Firman menjejaki permukaan di sungai besar itu. Cuaca
memang cukup cerah untuk latihan. Latihan untuk mencari dan mendapatkan
kemenangan. Latihan untuk meraih harga diri yang hilang karena kekalahan
beberapa bulan yang lalu di sebuah kejuaraan antarkano di kampungnya, sebuah
kampung di tepi sungai. Kampung yang penduduknya suka membangun rumah panggung
dan berinteraksi dengan air. Kampung yang penduduknya yang membanggakan
seseorang yang jago berkano adalah orang terpandang dan juga pahlawan.
Dan Firman sadar betul akan hal itu. Jika kalah dalam suatu
pertandingan kano maka harga diri adalah taruhan. Para penduduk akan
menyepelekannya dan akan menghormatinya jika ia menang. Maka, ia harus segera
berlatih yang ia tak pernah lewatkan tiap hari.
“Nyalimu bagus juga,” seru suara seseorang dalam kepalanya. Orang
itu bernama Bandi. Dia adalah orang yang mengalahkan Firman pada kejuaraan
beberapa bulan lalu. Bandi, anak dari kepala desa yang kedudukannya sangat
dihormati di kampungnya. Karena kedudukan sebagai anak kepala desa, tak satu
pun yang berani melawan, atau melaporkan jika Bandi melakukan semacam kejahatan
dan perusakan kecil terhadap warung dan fasilitas umum di kampung. Jika ada
yang melaporkan, tak tanggung-tanggung yang melaporkan malah akan dibuat
kebalikannya dan akhirnya masuk hotel prodeo. Sogokan besar dari si kepala desa
menjadi penyebab mengapa para aparat penegak hukum lemah jika ada kasus yang
menyangkut Bandi. Mereka semua akan mengatakan baik-baik saja.
Firman tidak menyukai perilaku anak ini yang kerap meremehkannya.
Suara Bandi terus menggema di kepalanya,
“Lupakan latihan. Tak ada gunanya melawan diriku. Kamu pasti tetap
kalah toh,” Suara itu jelas membuatnya kesal dan membuat memegang erat
dayungnya lalu mengayuhnya mendamprat air. Firman pun seperti tak merasa bahwa
ia sudah melintas hampir satu kilometer. Ketika suara itu hilang, ia merasakan
adanya keletihan dalam dirinya. Peluhnya mulai bermunculan. Mengalir membasahi
tubuhnya. Ditambah dengan sengatan sang surya, semakin menjadilah ia mandi
keringat. Tangannya yang memegang dayung ia renggangkan.
“Sial!” ujarnya tiba-tiba marah sambil mendamprat air dengan
dayung.
Nafas itu terasa terasa patah-patah saat ia melihat sekitarnya
sekarang. Keadaan nampak cukup sepi dan di kejauhan terlihat beberapa orang
yang sedang menaiki perahu bermotor. Namun tanpa disadari perahu bermotor itu
menuju dirinya dan berhenti. Dari dalam perahu itu muncul seseorang yang Firman
mengenalnya. Bandi.
“Lagi latihan ya?” sapa Bandi dengan pertanyaan meremehkan, “Aku
bilang lupakan. Seberapa kuat kamu latihan tetap saja kamu tidak bisa
mengalahkan aku di kejuaraan nanti. Aku ini masih yang terkuat,”
Firman merasa mendidih dengan ucapan demikian. Ucapan yang hendak
menjatuhkan mentalnya,
“Kamu pikir dirimu siapa?” ujar Firman yang menatap tajam.
“Aku tidak berpikir aku siapa,” kata Bandi dengan senyum jahat,
“Aku hanya Bandi. Si raja kano,”
Ia lalu tertawa,
“Buang-buang waktu berbicara denganmu,” katanya kemudian masuk
kembali ke perahu bermotor dan kembali berjalan menyusuri sungai.
“Awas kamu!” kata Firman dengan kesalnya sambil meremas tangan dan
kemudian mendampratkannya ke air. Letih masih menyerangnya, tetapi ia ingin
melanjutkan kembali latihannya dan baginya itu harus. Maka, dengan sekuat
tenaga ia kembali berlatih menyusuri sungai dengan cepat ke arah sebelumnya.
Ketika sampai, ia berkata,
“Cukup,” lalu menepikan kanonya. Bangkit dan duduk di tepian sungai
sambil memandang sungai besar yang terkadang seberangnya hanya nampak sebagian
dari pandangan. Ia ambil batu kecil lalu ia lemparkan ke air.
Batu kecil itu
tenggelam.
“Mengapa dirimu selalu menyebalkan, brengsek?” ujarnya bertanya
tentang sosok yang amat ia tidak sukai, Bandi.
“Seolah-olah kau itu raja dan melebihi Firaun!”
Kembali ia lemparkan batu kecil dan kemudian tenggelam lagi.
“Apa harus demikian melampiaskan kekesalan?” tanya seseorang yang
tiba-tiba muncul di belakangnya. Firman menoleh dan tahu orang itu. Flora.
Teman wanitanya yang semenjak kecil selalu bermain bersamanya.
“Flora?” tanya Firman dengan nada terkejut, “Mau apa kamu ke sini,”
“Aku hanya jalan-jalan saja dari rumahku dan mendapatimu duduk di
tepi sungai,” kata Flora.
“Baiklah, kamu tentu sudah tahu kenapa aku kesal?” tanya Firman
yang tak mau berpanjang lebar mengungkapkan masalahnya.
“Ya aku tahu,” kata Flora, “Karena setiap hari kamu seperti itu,”
“Terus mau kamu apa? Menasihatiku?”
“Tidak,”
Mendengar itu Firman sedikit terkejut,
“Aku sendiri tidak tahu dan bosan aku menasehatimu,”
“Maksudmu apa?”
“Aku cuma bilang kamu itu laki-laki tapi sudah seperti itu aja kamu
loyo. Aku yakin kamu tidak akan pernah menang melawan Bandi jika kamu seperti
ini,”
“Bandi? Ya dia memang susah dikalahkan dan aku rasanya sudah malas
berusaha mengalahkan dia,”
“Jadi ini yang namanya Firman?”
“Iya, kenapa?”
“Maaf, aku kecewa,”
Flora tiba-tiba pergi dari hadapannya tanpa mengatakan apa-apa
lagi,
“Lalu kenapa kalau kamu kecewa? Toh, bukan urusanmu kan?” tanya
Firman setengah berteriak yang sepertinya tidak dihiraukan Flora.
Kembali setelah itu Firman duduk memandang sungai besar di
depannya. Ia bergumam, apa sih yang sebenarnya diharapkan dari kejuaraan itu?
Menang? Prestis? Memangnya tidak ada hal lain untuk mendapatkan hal itu?
Mengapa harus lewat kano? Lalu apa salahnya kalau aku kalah? Bukankah ada hal
yang lebih penting daripada ini?
Ah, sial! Semua tak ada jawabannya.
Kesal, ia kemudian pergi dari tepian sungai sambil memanggul kano
dan memegang dayungnya.
***
“Nak, itu semua sudah menjadi kebiasaan di sini, dan kamu sebagai
yang terlahir dan tinggal di sini harus mengikuti asalkan positif,” begitulah
sang ibu berbicara di depan Firman kala ia melihat Firman tampak pulang dengan
wajah yang kesal.
“Aku tahu, Bu ini kebiasaan dan juga ritual,” kata Firman masih
dengan kesalnya dan tambah kesal karena sudah mengetahui jawaban yang diberikan
ibunya, “Tetapi, kenapa ini seperti menjadi sebuah kewajiban? Bukankah ada
kewajiban lain yang harus dijalankan? Dan nampaknya ibu seperti memaksaku untuk
melakukan ini agar keluarga kita yang sebenarnya tidak terpandang bisa
terpandang di mata orang-orang,”
“Ibu tidak memaksa, Nak,” kata ibunya membela diri, “Ibu hanya ingin
tahu bahwa kamu itu bisa mengalahkan Bandi anak kepala desa,”
“Tetapi, kenapa harus aku?” tanya Firman lagi, “Jangan bilang
karena aku paling besar sementara Erwin dan Johan masih kecil,”
“Kenapa kamu bicaranya seperti itu?” Kini ibunya mulai berubah gaya
bicaranya dan berdiri memandang tajam dirinya, “Kamu senang ya ibu setiap hari
diolok-olok oleh tetangga membicarakan tentang diri kamu dengan negatif.
Senang? Dan kamu senang kalau almarhum ayahmu yang menginginkan kamu jadi
penerusnya kecewa?”
Firman terdiam. Ia tahu kalau sudah begini ia akan malas berdebat
lagi. Ia hanya menundukkan kepala.
Melihat itu, ibunya segera menurunkan tensi,
“Sekarang semua terserah kamu,” kata ibunya kemudian, “Kamu toh
sudah besar. Sudah dewasa. Ibu tidak memaksa kamu. Kamu bisa pilih sendiri
jalan yang terbaik. Maaf, kalau ibu egois,”
Ibunya lalu pergi dari hadapannya. Menuju kamar. Dan Firman setelah
itu malah jadi berpikir tentang ucapan ibunya tadi. Lalu bertanya-tanya sampai
tidak menemukan jawaban sama sekali.
“Ibumu hanya ingin kamu menjadi yang terbaik, Firman,” kata Taufik,
sahabatnya, saat mereka berbicara sambil berperahu di sekitaran sungai besar
esok harinya. Firman sama sekali tidak berlatih kano. Taufik sedang menjalankan
tugasnya. Mencari tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan obat di tepi sungai.
Tetumbuhan holtikultura itu nantinya ia akan setor ke atasannya tempat ia
bekerja.
“Karena kano itu adalah tandanya, wajar jika ia terus menyuruh kamu
untuk bisa menang. Semua orangtua ingin anaknya mendapat yang terbaik, meskipun
itu terkadang ada yang dilakukan dengan tidak wajar. Tetapi, percayalah jika
itu tercapai mereka akan senang. Mereka tidak minta apa-apa darimu kan termasuk
ibumu itu yang sudah berjuang mati-matian melahirkanmu, membesarkanmu sekuat
tenaga. Hanya dengan menjadi juara di perlombaan itu bisa membuatnya bahagia.
Dan kenapa harus berpikir repot dan pusing? Lakukanlah selama ia masih hidup,”
“Dan kamu sendiri, Fik?” tanya Firman.
“Ya kamu tahu aku seperti ini,” kata Taufik, “Aku sudah yatim-piatu
semenjak kecil. Tiada yang memperhatikanku. Kamu beruntung masih diperhatikan.
Jika aku jadi kamu aku akan lakukan selama itu positif untuk diriku,”
***
Malam harinya, Firman merenung di kamarnya. Pikirannya melayang
pada tiga orang yang berusaha memberinya perhatian. Mulai dari Flora, ibunya,
dan Taufik. Mereka benar-benar memberinya semacam penyuntik semangat, terutama
ibunya yang saban hari berusaha mengatakan bahwa ia bisa melakukan. Seseorang
yang menurutnya tiada bosan dalam berkata hingga mulut menjadi lebar demi hal
itu.
Seharusnya aku tak boleh mengecewakan mereka, gumamnya dalam
renungan itu, aku harus bisa membanggakan mereka. Ya harus bisa. Dan Tuhan
pasti senang dengan hambaNya yang berusaha. Baiklah, aku harus memulainya lagi.
***
Esoknya, dengan semangat baru, Firman mengayuh kembali kano itu di
sungai besar yang menjadi tempat latihannya. Ia tak pedulikan ejekan Bandi yang
terkadang melintas. Yang ia pedulikan adalah bagaimana cara mengalahkannya. Itu
saja. Agar Bandi bungkam dan menghormatinya. Ia berlatih dari pagi hingga sore
setiap sore. Terkadang Flora menemaninya sambil memberinya semangat dari atas
perahu yang didayung sendiri. Begitu juga ibunya yang juga menonton dengan
ditemani Flora.
“Aku percaya sebenarnya ia bisa melakukannya asal diberikan
dorongan,” ujar ibunya kepada Flora yang berada di sampingnya.
“Iya, saya juga percaya kok, bu,” kata Flora, “Firman pasti bisa,”
“Kalian berdua cocok,” kata ibunya Firman lagi ke arah pembicaraan
lain, “Aku harap kamu dan dia bisa bersanding di pelaminan?”
“Maksud ibu menikah?”
“Iya,”
Mendengar itu Flora memerah wajahnya,
“Saya sih iya saja,” kata Flora, “Bapak dan ibu saya juga setuju
dan tidak suka dengan jika saya dengan Bandi,”
“Ya sudah,” kata ibunya Firman, “Nanti saja itu dibahas lagi,”
***
“Ibumu menginginkan kita berdua nanti menikah,” kata Flora kepada
Firman saat mereka berdua duduk di pelataran rumah panggung Firman.
Mendengar itu Firman menjadi senang hatinya,
“Benarkah?” tanyanya seperti tidak percaya.
“Iya,” kata Flora.
“Oh, syukurlah,” kata Firman dengan raut senang tetapi kemudian
rautnya berubah, “Tetapi bagaimana dengan Bandi? Bukankah ia menyukaimu?”
“Ah, itu omong kosong!” kata Flora, “Orangtuaku juga tidak setuju
dengannya. Kelakuannya benar-benar tidak mencerminkan anak baik-baik. Dari situ
saja mereka sudah mewanti-wanti agar aku jangan mendekatinya. Dan aku iya saja.
Lagipula ia sudah punya pacar. Lia namanya,”
Firman menarik nafas lega.
“Kenapa?” tanya Flora setelah itu.
“Aku itu dari dulu suka sama kamu,” kata Flora, “Tenanglah,”
Ketika mereka sedang berdua tiba-tiba datanglah perahu bermotor
yang dikendalikan Bandi,
“Pemandangan yang sungguh...sungguh romantis,”
Ia lalu bertepuk tangan.
“Mau apa kau ke sini?” tanya Firman.
“Aku cuma jalan-jalan dan mengingatkan dua hari lagi aku akan mempermalukan
dirimu,”
“Silakan,” kata Firman menantang, “Kita lihat siapa yang terbaik!”
Bandi tertawa-tawa mendengar itu,
“Kubur mimpimu dalam-dalam, bocah ingusan!”
Ia lalu berlalu dengan perahu bermotornya dan kembali menyusuri
sungai kecil.
“Harusnya kamu tadi biarkan saja,” kata Flora kemudian.
“Maaf, aku tadi terpancing,”
“Itulah sifat dalam dirimu yang harus kamu hilangkan,”
***
Dua hari kemudian dan sudah menjadi ajang tahunan, sebuah
perhelatan digelar di tepian sungai besar. Sebuah lomba mendayung dengan kano.
Sebuah lomba yang menjadi pengharapan bagi mereka yang mengikutinya dan bagi
mereka yang menjadikan ini sebagai ritual. Jika menang, tentu dihargai. Jika
kalah, kebalikannya. Tapi, memang begitulah yang terjadi. Karena menang sama
saja menaikkan harga diri dan menjadi terpandang. Sedangkan kalah, maaf,
mungkin akan seperti pecundang.
Dan di perhelatan itu telah siap lima kano yang siap-siap
menyongsong sungai. Para penonton tampak bersorak-sorai tak sabar menantikan
gerak para pendayung kano itu. Di panggung kecil yang dibangun di pinggir
sungai, Pak Kepala Desa memberikan semacam sambutan dan beberapa penonton
tampak mengiyakan dan tidak mau menyorakinya karena pasti akan bermasalah.
Polisi sewaan tampak berjaga-jaga.
Usai memberi sambutan, Pak Kepala Desa membunyikan pistol lomba dan
perlombaan dimulai. Firman yang berada di posisi kedua langsung mengayuhkan
dayungnya dengan cepat, sementara di sebelahnya, Bandi nampak santai dan
meremehkan. Sebelum lomba, Bandi menerornya,
“Harga dirimu sebentar lagi hancur,”
Tetapi, Firman tak menanggapi dan membiarkan. Ia ingat pesan Flora
agar tidak terpancing. Sehari sebelumnya, ibunya memberinya kejutan berupa
sebuah dayung peninggalan ayahnya, yang pernah berjaya semasa mudanya menjadi
pemenang. Dayung itu dipelitur emas. Ibunya menyuruhnya memakai saat
pertandingan esok dengan harapan ada tuah dari dayung itu. Firman menerima dan
mengiyakannya.
Firman terus mengayuh kanonya dengan dayung berpelitur emas itu
tanpa mempedulikan siapa di depan dan belakangnya. Ia hanya ingin menuju titik
finis yang masih terlihat jauh.
“Maaf, aku duluan ya,” kata Bandi tiba-tiba di sampingnya lalu
tertawa dan mendahuluinya.
Firman pun jadi terpacu dan berusaha mendekati Bandi. Ia harus
mengalahkan orang yang sering meremehkannya. Ia kayuh kanonya. Menggerakkan
beberapa kali tangannya tanpa peduli siang panas menyengat. Dan ia pun bisa
mendahului Bandi.
Bandi terkejut didahului. Apalagi ia didahului ketika sudah
beberapa jarak menuju finis.
“Ini nggak bisa dibiarkan,” katanya dalam hati, “Dia harus diberi
pelajaran,”
Memang Firman mendahului Bandi pada saat garis finis tinggal
beberapa jarak lagi dan dengan kecepatan kano, garis finis itu bisa dicapai
hanya dalam waktu dua menit. Bandi merasa akan jatuh harga dirinya kalah bila
Firman bisa mengalahkannya. Dan Firman merasa sudah seperti di ambang
kemenangan.
Mau tak mau, Bandi menyusulnya. Melakukan sebuah tindakan curang.
Ia tubrukkan kanonya ke arah kano Firman saat Firman sudah hampir mendekati
garis finis. Firman terkejut dan terbalik. Semua penonton juga terkejut dan tak
menyangka, termasuk Flora dan sang ibu. Bahkan ada yang berteriak spontan,
“Curang!”
Si Kepala Desa yang mendengar itu segera memperingati lewat
pengeras suara,
“Anak saya tidak curang, saudara-saudara,” ujarnya sambil menutupi
perilaku anaknya.
Bandi tersenyum jahat,
“Harga dirimu hancur, bocah ingusan!”
Ia lalu mengayuh kanonya hingga garis finis dan memenangkan
pertandingan. Sementara Firman yang terbalik hanya bisa melihat dari kejauhan
dengan ratapan pasrah walau hati tidak bisa menerima sebab ini curang.
Bandi mengangkat tangannya sebagai pemenang. Tepuk tangan
menyambutnya, meski itu terpaksa. Firman lalu mengayuh pelan kanonya. Pak
Kepala Desa tersenyum lebar namun tiba-tiba polisi yang mengawal pertandingan
mendatanginya dan memborgolnya lalu membawanya dengan alasan kasus korupsi yang
melibatkan dirinya telah terkuak. Kemudian datang tiga personel polisi yang
lain dan mengatakan pertandingan dibatalkan setelah berkoordinasi dengan
panitia. Penyebabnya adalah kecurangan. Bandi terkejut. Ia segera menepi dan
berlari ke arah polisi yang memborgol bapaknya,
“Bapak saya salah apa, Pak?” tanyanya heran.
“Bapakmu kena korupsi!” kata salah satu polisi ketus.
“Ah, tidak mungkin bapak saya seperti itu,” kata Bandi tak percaya,
“Lepaskan bapak saya!”
Ia berusaha menggaet tangan polisi yang menahan bapaknya, tetapi
salah satu polisi dari belakang menahannya.
“Kamu jangan macam-macam, nak. Mau kamu seperti itu?” ancamnya.
Bandi pun terdiam. Bingung. Membiarkan bapaknya yang tertunduk dan
sama sekali tak melihat dirinya.
Firman mengayuh pelan kanonya lalu menepikannya. Ia berjalan
tertunduk. Lesu. Kalah dan tak peduli ada sebuah peristiwa yang terjadi. Flora
dan ibunya mendekatinya,
“Ibu, Flora,” katanya lesu, “Maaf, aku tidak bisa menang dan maaf
ibu, aku tidak bisa menuruti keinginanmu,”
Ibunya membelai rambutnya, dan berkata,
“Sudahlah, nak,” katanya, “Tidak apa-apa. Kamu memang kalah, tetapi
kamu berhasil buat kami bangga karena akhirnya kamu bisa menaklukkan ketakutanmu
dan keputusasaanmu. Itu lebih baik daripada kamu hanya sekedar menang tetapi
dengan cara yang curang,”
Firman terdiam tak menjawab,
“Aku bangga dengan kemauan kamu, Firman,” kata Flora menyanjung.
“Tetapi, bagaimana dengan harga diri?” tanya Firman.
“Harga diri?” ibunya balik bertanya, “Kamu sudah punya harga diri
itu dan pertandingan ini bukanlah satu-satunya mendapatkan harga diri.
Sekarang, kita sebaiknya balik ke rumah dan membicarakan hal yang lebih penting
untuk masa depan,”
Firman menuruti ibunya. Begitu juga Flora. Tempat pertandingan itu
berangsur-angsur sepi apalagi setelah dinyatakan batal oleh panitia. Namun,
Bandi masih terduduk di situ. Masih heran dengan apa yang terjadi dan terus
bertanya-tanya.