Rel tua di depanku ini seperti
sesuatu yang tak berdaya. Merenta dan rela dirambati ilalang panjang.
Tak satu pun yang hendak menjenguknya walau hanya sebentar. Aku hanya
terduduk diam memandangi nasibnya seperti mereka-mereka yang
terlupakan walau sudah berjasa. Tetapi, aku tak ingin bercerita
mengenai rel tua itu yang terlihat meminta sesuap pertolongan. Aku
ingin bercerita bahwa di atas rel tua itu pernah ada sebuah cerita
yang sudah beberapa musim terlewat dan juga terhempas.
analisadaily.com |
Angin pelan mendesiri wajahku.
Desiran itu bagaikan tangan lembut seorang wanita yang bisa membuatku
tenang. Di atas bangku kayu di depan sebuah stasiun aku duduk.
Menatap rel tua itu dan mengembarakan pikiranku akan cerita di masa
silam. Ini cerita semasa aku menempuh pendidikan di sebuah perguruan
tinggi yang letaknya tak jauh dari rel tua itu. Hanya terpisah oleh
jalan besar dan juga perumahan penduduk tetapi bentuk bangunannya
yang tinggi jelas terlihat.
Dan rel tua itu adalah saksi
bagaimana aku bergumul dengan berlainan jenis. Bercerita mengenai
kehidupan sehari-hari, tentang kuliah, dan juga tentang cinta. Duduk
di atas rel tua dan memetik ilalang-ilalang yang mengganggu sambil
bersua tentang harapan di masa yang akan datang. Namanya pun masih
aku ingat dalam hatiku. Nufus. Cukup sederhana namanya. Sesederhana
seperti orangnya.
Aku mengenal dirinya sewaktu kuliah.
Ia sendiri bukanlah teman sejurusanku, tetapi dari jurusan lain. Aku
sendiri jurusan sastra dan ia filsafat. Aku mengenalnya sewaktu
kami sama-sama menjadi panitia acara di kampus. Sejujurnya, ada
perasaan biasa saja ketika aku mengenalnya. Aku tak menangkap kesan
bahwa ia cantik. Tidak sama sekali. Tetapi, lama-kelamaan aku
menangkap ada kesan itu dan aku menjadi suka dengannya.
Ia yang bertutur lembut dan halus.
Tak pernah sekalipun berkata kasar dan jarang marah. Rasa sabar juga
menjadi pelengkap bagi dirinya yang akhirnya aku anggap ia sempurna.
Ketika berbicara dengannya sehabis kuliah atau jeda, kami akan selalu
mengunjungi sebuah rel tua tak bertuan yang dikelilingi oleh padang
luas seperti sabana dan stepa. Pohon-pohon juga jarang tumbuh.
Rel tua itu, menurutnya, memiliki
sesuatu yang terasa istimewa. Ada yang seolah-olah memanggilnya untuk
terus di rel tua itu kala ia sendiri. Lalu duduk termenung dan
merasakan ketenangan. Dan Nufus tak peduli ketika ada segelintir yang
mengatakannya tak wajar karena kebiasaanya mengunjungi rel tua.
Ketika aku masuk dalam kehidupannya, serta-merta ia mengajakku ke rel
tua itu. Duduk dan merasakan deraian angin lalu membicarakan
kehidupan yang terkadang menjengkelkan.
“Aku sebenarnya ingin sesuatu yang
sederhana saja,” katanya suatu hari padaku, “Bukan sesuatu yang
membuat orang mengerutkan dahi,”
Mendengar itu aku jadi heran dan
bertanya,
“Tetapi, jurusanmu filsafat kan?
Bukannya itu mengerutkan dahi?”
Ia lalu menjawab sambil mematahkan
ilalang dan meremasnya,
“Itu hanya jurusan dan kamu tidak
bisa menjadikan semuanya harus berbanding lurus,”
Aku dan dia lalu terdiam. Memandang
pada langit di atas. Langit yang kebiruan. Kebiruan yang memancarkan
rasa positif.
“Kamu lihat awan-awan yang terbang
di langit biru itu,” kata Nufus kemudian sambil menunjukkan dengan
sebatang ranting pohon.
Aku mengikuti apa yang dia katakan.
“Lihatlah mereka begitu sederhana
kan? Tanpa ada embel macam-macam. Begitu murni,”
Ketika aku mendengar ucapannya,
timbul rasa tidak mengerti dalam diriku,
“Maksudnya?”
“Lihat awan-awan itu berjalan saja
di langit yang biru tanpa harus disuruh ini-itu. Tuhan
memerintahkannya hanya berjalan. Tak lebih. Tetapi, mengapa manusia
suka membuat aturan baru, berlebihan, dan melebihi Tuhan?”
“Lho, bukankah manusia itu makhluk
berpikir?” tanyaku balik, “Dan karena itu pula wajar jika mereka
dengan pikirannya menciptakan dan melakukan ini-itu. Kalau begitu,
kebudayaan tidak akan tercipta,”
“Tidak, manusia harusnya
mengucapkan rasa syukur saja karena sudah diberi nafas kehidupan
tanpa perlu macam-macam,”
“Maksudmu tidak bekerja?”
“Ya seperti itu,”
Aku jelas tertawa-tawa mendengar
ucapannya yang terkesan normatif dan baru kali ini aku mendengarnya.
“Kenapa tertawa?” tanyanya heran.
“Kamu ini aneh,” kataku, “Manusia
diciptakan itu bekerja selain beribadah. Ingat lho beribadah itu
adalah bekerja. Pernah baca “Robohnya Surau Kami”?”
“Bagiku beribadah dan bekerja itu
berbeda,” katanya, “Dan maaf aku belum pernah membacanya,”
Lalu aku ceritakan kisah dalam
“Robohnya Surau Kami”. Tentang seorang pemuka agama yang merasa
dirinya akan masuk surga karena selalu beribadah tetapi malah
menelantarkan keluarganya hingga ia masuk neraka.
“Intinya, bekerja itu perlu,”
kataku, “Kamu akan dapat dari mana untuk menghidupi diri kamu
sendiri kalau tidak bekerja. Tetapi, harus diimbangi dengan ibadah
juga,”
“Ya, aku mengerti kok,” kata
Nufus setelah itu, “Aku cuma mengetes kamu. Ternyata kamu pintar
juga,”
Mendengar itu aku jelas sedikit
terkejut,
“Tes buat apa?” tanyaku
“Buat apa aja,” katanya.
“Dasar kamu aneh,” kataku
mengomentari, “Tetapi, tidak apa-apa. Aku senang kok bisa mengobrol
sama kamu,”
Kami lalu tertawa-tawa bersama.
Berlomba melempar batu. Ya itulah yang tiap hari kami lakukan bahkan
di saat libur kuliah sekalipun. Ketika berpisah, aku merasa ada rasa
rindu ingin bertemu dengannya lagi. Rindu yang terbawa-bawa sampai ke
rumah. Rindu yang kulampiaskan dengan mengirimkan pesan pendek dan
telepon di telepon genggam. Rindu yang kemudian terobati ketika
bertemu lagi, dan rindu yang tiba-tiba hilang ketika aku ingin
mengatakan bahwa aku menyukainya.
Entah mengapa. Apa karena perasaanku
saja. Ia tidak pernah menyapaku lagi ketika bertemu. Meski aku sering
menyapanya. Ketika aku kirimkan pesan pendek tiada jawaban. Ketika
aku telepon juga tidak diangkat, dan ketika aku sambangi rel tua itu
ia juga tidak ada di situ. Perlahan tapi pasti, aku merasakan duniaku
hilang. Seperti seseorang yang kenikmatannya diambil satu per satu.
Aku merasakan kesepian karena tiada lagi teman untuk curhat dan juga
tiada lagi teman spesial. Ia telah berubah sikap entah kenapa. Tanpa
aku tahu sebabnya.
Begitulah. Ini terbawa sampai lulus
kuliah. Saat wisuda aku tak melihat dirinya sama sekali. Apalagi saat
aku ke jurusan filsafat. Teman-temannya bahkan tidak tahu sama
sekali. Pada akhirnya, perlahan semua menghilang dan terlupakan
begitu saja.
***
Kini di depan rel tua itu, aku hanya
iseng berkunjung. Sekedar bernostalgia walau sebentar dari
hiruk-pikuk pekerjaan. Aku lalu ke rel tua itu dan duduk di atasnya.
Merasakan lagi kehangatan rel itu semasa kuliah dahulu. Bagiku ia
sama sekali tidak berubah walau beberapa musim sudah terlewati. Aku
mengelusnya. Ini sama seperti yang aku lakukan dahulu ketika duduk
berdampingan dengan dirinya yang entah di mana. Sejujurnya, aku tahu
ia di mana. Dari Facebook dan Twitter. Ia sama sekali tidak berubah
dari penampilannya dan tetap seperti itu-itu saja meski musim sudah
banyak dilewati. Dan aku tidak tahu ini sudah berapa musim. Aku coba
menjadikan ia teman dan mengikutinya di dua jejaring sosial itu.
Tapi, tiada reaksi. Apakah ia tahu kalau itu adalah aku yang dulu
sempat begitu akrab dengannya bahkan intim. Sehingga ada rasa segan
dalam dirinya untuk kembali berhubungan denganku lagi?
Tapi, ya sudahlah. Bagiku tiada
masalah. Aku hanya mencoba berniat baik.
Angin mendesir pelan. Aku
menikmatinya. Seperti diterbangkan ke masa silam, ada yang memanggil
namaku,
“Rudi,”
Aku menatap ke depan. Ada sesosok
wanita. Ia tersenyum padaku. Rambutnya berkibar pelan tertiup angin.
Aku pun melihat jelas wajahnya,
“Nufus!” ujarku
Dan angin kembali berdesir. Ilalang
bergoyang.
0 komentar:
Posting Komentar