Bicara tentang Mesir, pasti semua tertuju ke piramida. Ya, piramida. Semua tentu sudah tahu. Benda berbentuk segitiga berukuran raksasa yang berdiri megah di tengah-tengah gurun pasir yang menyengat. Jika bicara piramida, maka tempat lain di muka bumi juga tidak mau kalah. Sebut saja itu Amerika Tengah dan Latin yang termashyur dengan kebudayaan-kebudayaan sebelum datangnya conquistadores, Aztek, Maya, dan Inka. Salah satu dari kebudayaan itu mempunyai piramida, yang untuk membedakannya dengan piramida Mesir disebut dengan piramida Maya. Tak hanya nama akhir yang dibedakan, tetapi juga bentuk bangunan dan fungsinya. Piramida Mesir disebut-sebut sebagai bangunan untuk makam sang Firaun, sedangkan Maya untuk pemujaan dan persembahan korban kepada dewa matahari dalam mitologi Maya.
Kedua-duanya dipandang sebagai hasil karya manusia yang mengagumkan. Penggabungan ilmu pengetahuan yang kala itu termasuk canggih dan terbatas, dan hanya segelintir pihak, termasuk raja dan arsitek yang mengetahui. Namun kekaguman itu tentu harus dibayar mahal ketika pembangunannya menyerap banyak darah dan pengorbanan. Piramid karya Ismail Kadare bisa menjadi contoh bagaimana piramida yang di kemudian hari dijadikan kebanggaan nasional Mesir rupa-rupanya menyerap banyak darah yang menjadi kulinya.
Lepas dari itu, standar piramida yang harus berbentuk segitiga rupanya telah mengaum di mana-mana. Sampai-sampai piramida modern seperti Museum Nasional Louvre di Paris, Prancis dan Hotel Luxor di Las Vegas, Amerika Serikat harus mengadopsi bentuk standar tersebut, yang kebanyakan mengacu pada piramida Mesir. Maka, tak mengherankan jika di Indonesia tersebar berita ada piramida di Cianjur yang dinamakan Gunung Padang atau Sadahurip di Garut. Bayangan orang yang sudah teracu pada piramida Mesir seketika mengharapkan bahwa piramida itu mirip piramida Mesir. Kenyataannya, tidak. Piramida yang ditemukan itu berpunden berundak, suatu ciri khas bangunan megalitikum khas Indonesia. Ciri khas demikian pun juga ada pada bangunan-bangunan yang disebut dengan candi, di antaranya, Candi Borobudur.
Tak semua orang tahu Candi Borobudur digolongkan sebagai piramida. Jika ditarik garis lurus dari atas ke bawah maka akan terlihat bentuk dasar bangunan yang menyerupai piramida. Tepatnya piramida punden-berundak atau step pyramid. Maka, bisa disimpulkan jauh sebelumnya, Indonesia sudah mempunyai piramida berupa candi-candi yang tersebar di sebagian besar Nusantara. Hanya saja, karena pengaruh piramida Mesir yang mengglobal, jadilah candi-candi itu bukan disebut sebagai piramida.
Nah, masih mengenai piramida, yang katanya bisa dijadikan ukuran tertinggi peradaban suatu bangsa. Yang menjadi puncak investasi pemikiran akan sebuah bangunan yang mengarah langsung kepada Sang Pencipta. Yang juga menjadi kebanggaan nasional. Semua terasa percuma jika piramida-piramida yang ada dalam suatu bangsa, terutama Indonesia, hanya menjadi perlambang sebuah strata sosial, seperti dalam istilah sosiologi. Yang dalam strata itu, pada tingkat atas, tingkat penguasa atau katakanlah pejabat, makin berkuasa kepada tingkat di bawahnya, terutama yang paling bawah, orang-orang tak berpunya. Bisa dibilang, yang berada di atas menikmati banyak hasil tetapi sedikit bekerja. Sedangkan yang di bawah kebalikannya dan menderita. Kemudian tak terlihat dan hilang.
Dan memang jika melihat kembali kepada Piramid-nya Ismail Kadare, bahwa yang dinamakan kebanggaan haruslah dimulai dari pengorbanan yang kemudian hilang dimakan zaman.
0 komentar:
Posting Komentar