Udin
lari tergopoh-gopoh. Seperti dikejar setan, tanpa henti ia menggerakkan kedua
kakinya dengan cepat. Tak peduli apa yang diinjak, bahkan kotoran sekalipun.
Nafas terengah-engah pun muncul ketika ia sudah berhenti di tempat yang akan
ditujunya, warung kopi Bu Bariyah. Warung kopi itu merupakan warung kopi
favorit warga tempat Udin tinggal. Hampir setiap malam warung itu selalu ramai,
terutama oleh para lelaki yang sudah menjadi bapak-bapak. Kebetulan di warung
sedang ada Pak RT. Biasanya, Pak RT jarang berkumpul dengan warganya di warung
kopi. Kebanyakan hanya berkumpul di rumahnya. Tentunya sambil minum kopi juga.
Plus gorengan.
Malam
memang belum larut. Jarum jam di warung menunjuk ke angka 9. Udara terasa sejuk
meski terkadang terasa panas. Kedatangan Udin yang demikian tentu saja
mengagetkan mereka yang sedang kongkow di warung. Berbicara tentang masalah
ini-itu yang dicampur-campur seperti koktail.
“Bujug!
Kenapa lo, Din?” tanya Imran, salah satu yang berada di warung. Imran merupakan
tetangga samping rumah Udin. Ia nampak heran dengan kedatangan Udin yang
benar-benar mengejutkan, “Ketemu setan lo?”
Keringat
bermunculan deras di muka Udin. Dalam keadaan seperti itu, jelas Udin belum
bisa menjawab pertanyaan Imran. Karena itu, muncul pertanyaan lain,
“Ada
yang kemalingan ya, Din?” tanya Bang Ogi, salah satu orang yang dianggap senior
di tempat Udin tinggal.
Udin
mengelap keringatnya. Lalu mengatur nafas dan perlahan melihat mereka semua,
terutama Pak RT.
“Ayo,
Din, duduk dulu,” ajak Pak RT kepadanya, “Minum air putih dulu biar kamu
tenang,”
“Makasih,
Pak RT,” jawab Udin kemudian duduk di tempat yang masih kosong. Tepatnya di
sebelah Ridwan. Ia lalu meminum air putih yang disediakan Ningsih, anak
perempuan Bu Bariyah. Setelah meminum dan terlihat tenang, Pak RT pelan
menanyakannnya,
“Nah,
Udin,” ujar Pak RT pelan memulai pertanyaan, “Malam begini kamu kenapa
berlari-lari kencang sekali sampai-sampai semua yang ada di warung heran? Coba
kamu ceritakan,”
“Iya,
Din,” ujar Rizal menyahut, “Kita tuh heran lho,”
Udin
yang mulai tenang perlahan bercerita. Ia pandangi dulu orang-orang di warung
sebelumnya,
“Putih,”
kata Udin.
Perkataan
Udin yang demikian jelas menimbulkan pertanyaan para warga yang berada di
warung,
“Putih
apa, Din?” tanya Imran penasaran, “Kuntilanak?”
“Pocong?”
“Ah,
putih susu kali,”
Melihat
tanya yang seperti itu membuat Udin segera berkata,
“Bukan,
saudara-saudara,” katanya, “Tunggu saya selesai dulu bilangnya. Kan saya belum
selesai eh langsung dipotong,”
“Lagi
elonya ngomong kaya orang sepatah-dua kata,” kata Imran, “Ya, dianggapnya
selesai,”
Mendengar
itu, Pak RT berusaha menengahi,
“Semuanya,
mari kita coba dengarkan Udin bercerita,”
Mereka
menuruti perkataan Pak RT.
Udin
kemudian bercerita lagi,
“Semuanya
tadi saya melihat putih, buaya putih di kali,”
Sontak
semua terkejut mendengar pernyataan Udin.
“Ah,
ngaco lo!” komentar Edi, “Mana ada buaya hidup di kali yang kotor banyak tai
gitu?”
“Iya
nih,” kata Irwan menyahut, “Kali Ciliwung mah mana ada buayanya. Mabok nih
orang,”
Ia
lalu tertawa disambut yang lain sehingga warung kopi marak dengan tertawaan
sampai-sampai penunggu pohon besar di seberang warung risih karena tertawaan
manusia itu mengalahkan tertawaan dirinya.
Udin
merasa seperti tak dihargai karena apa yang ia ceritakan seperti dianggap
lelucon,
“Yang
saya ceritakan ini benar, bapak-bapak. Saya tadi melihat ada buaya putih di
kali. Beneran saya lihat. Saya nggak bohong. Demi Allah,”
Tetap
saja semua mengganggap apa yang dikatakan Udin itu bohong dan hanya lelucon
dari seorang bujang yang sehari-harinya cuma memancing dan sesekali mengayuh
rakit di sungai yang biasa disebut sebagai kali. Tentu saja sungainya Sungai
Ciliwung. Sungai yang berwarna coklat keruh. Sampah mengalir di atasnya
berombongan. Di atas aliran sampah menyembul ikan sapu-sapu yang nampaknya
menikmati sekali keruhnya Ciliwung.
“Lo
kebanyakan nonton film horor kali,” ujar Imran yang tahu kebiasaan Udin,
menonton film horor, terutama film horornya Suzanna.
“Atau
waktu ngegetek, minum bir oplosan jadi mabuk,” sahut Ridwan, “Mabuk lagi, mabuk
lagi,”
Nyanyian
Ridwan langsung disambut tawa. Udin pun merasa malas dan kemudian beranjak
tanpa berkata-kata,
“Yah,
ngambek,” ujar Irwan, “Payah dah,”
“Biarin
aja,” kata Bang Ogi, “Datang-datang bawa berita ada-ada aja. Kan lebih baik
kita cerita soal tv datang ke kampung kita. Bukan begitu, Pak RT?”
“Betul,”
ujar Pak RT.
Dari
kejauhan, Udin tampak kesal dengan orang-orang di warung yang mengganggap
ceritanya hanyalah cerita bohong. Ia sendiri betul-betul melihat buaya itu.
Ketika ia sedang sendirian mengayuh rakit sekalian menangkap sapu-sapu yang ia
ingin jual. Kepalanya, badannya, ekornya. Jelas ia melihat. Buaya itu besar dan
berwarna putih. Hendak mendekat kepadanya tetapi kemudian berbelok dan
menghilang. Udin yang awalnya tidak sadar segera menepikan rakitnya dan berlari
kencang ke warung. Hendak mengabarkan kepada warga. Tapi, hasilnya, ya seperti
itu tadi.
***
Sebuah
ketukan di pintu terdengar kencang. Ketukan itu membangunkan Udin yang sedang
terlelap. Matahari sudah memunculkan wajahnya namun bagi Udin ini adalah waktu
yang masih enak untuk tidur setelah ia mabuk-mabukan sendirian sampai Subuh.
Berceracau tidak jelas kepada orang-orang yang mengganggap ceritanya lelucon
dan bohong.
“Din,
din,” ujar sebuah suara di balik pintu, “Bangun, Din!”
Udin
yang masih dalam keadaan mengantuk berat hanya berserapah dalam hati. Ia
perlahan bangun dengan keadaan serbamalas kemudian menuju pintu. Dilihatnya
dalam keadaan samar ada 2 orang berdiri di depan pintu. Sepertinya Imran dan
Ridwan.
“Molor
aja lo kerjaan!” kata Imran, “Nggak malu lo sama matahari!”
“Bawel
lo!” sahut Udin kesal, “Nggak tau orang lagi tidur apa?”
“Lo
mabuk ya, Din?” tanya Ridwan yang nampak mencium aroma bir oplosan dari mulut
Udin.
Udin
diam saja.
“Ampun
dah nih orang,” kata Imran, “Ayo dah kita seret!”
Segera
kedua orang itu menyeret Udin. Udin jelas saja terkejut dan bertanya-tanya,
“Eh,
lo berdua mau apain gue?”
“Kita
mau bawa lo ke Pak RT,” kata Imran.
“Mau
ngapain emang?” tanya Udin penasaran yang seketika mabuknya hilang.
“Nanti
lo tau sendiri,” kata Ridwan, “Yang pasti ada hubungannya dengan tadi malam,”
“Mang
tadi malam gue ngapain?”
“Nih
lo lupa atau pura-pura lupa?” tanya Imran.
“Apaan
sih, gue nggak tau,”
“Mabok
aja sih lo kerjaan,”
***
Cuaca
cukup terik. Membuat mereka yang berhadapan dengannya ingin segera mengambil
air dan meminum. Begitu juga dengan orang ini. Sebut saja Henk. Itulah namanya.
Wajah putihnya nampak tidak kuat berhadapan dengan sengitnya matahari tropis.
Begitu juga tubuhnya. Ia selalu kehausan tiap beberapa menit. Dan haus ini
sudah kesekian kalinya sejak ia menjejakkan kaki di Pelabuhan Tanjung Priok
dari sebuah kapal yang membawanya dari Rotterdam. Henk tentu saja terkejut.
Rotterdam yang biasa ia hadapi dingin kini berganti dengan Batavia yang panas.
Di
tengah kehausan itu ia melihat sungai yang mengalir tenang di Batavia. Henk
tidak tahu namanya. Lantas ia bertanya kepada orang-orang yang melintas di
dekat sungai tersebut. Mereka menyebutnya Ciliwung. Henk dengan cepat
mengingatnya, aliran sungai yang ia susuri semenjak dari Kota Lama dengan trem.
Sungai
Ciliwung yang masih terlihat jernih itu nampak menggiurkan bagi Henk yang
kehausan. Ia ingin nyemplung di sungai itu untuk meminum airnya. Apalagi ia
melihat ada penduduk lokal sedang meminum air Ciliwung langsung di samping ada
yang mandi dan mencuci. Pemandangan yang jarang ia temukan di Belanda. Namun,
dari kejauhan, tepatnya di bawah bambu yang rindang, mata Henk menangkap dua makhluk
besar sedang beristirahat. Makhluk itu makhluk melata. Kedua-duanya sedang
membuka mulut lebar-lebar. Henk tahu itu buaya, predator melata cukup ganas di
sungai. Meski ia jarang melihat buaya, ia mengetahuinya dengan membaca biologi
ketika masih sekolah.
Henk
lalu berpikir, apa para penduduk lokal itu tidak ketakutan mereka beraktivitas
di sungai tetapi dari kejauhan bahaya mengintai. Ia segera mengurungkan niatnya
turun ke sungai dan mencari kedai minuman di pinggir jalan. Ia berpikir lebih
baik tak perlu mencari maut jika masih ada kesempatan hidup.
***
“Kemarin
kamu bilang lihat buaya di kali, benar?” tanya Pak RT kepada Udin begitu ia
sampai dengan kedua temannya. Di samping Pak RT nampak seorang tua, berjanggut
putih, berpeci, dan hanya memakai kaos putih. Lelaki tua itu nampak tersenyum
melihat Udin yang masih setengah sadar
“Betul,
pak,” kata Udin yang kini matanya tampak seperti melotot ketika melihat lelaki
tua itu. Ia merasa seperti digerakkan oleh lelaki tua itu.
“Nah,
kamu sekarang bicara dengan Daeng,” ujar Pak RT sembari menyebut nama lelaki
yang dipanggil Daeng tersebut.
Udin
menatap Daeng dengan melotot. Daeng hanya tersenyum sambil mengelus-elus sebuah
tasbih di tangannya. Pelan ia memulai pembicaraan dengan Udin,
“Jadi,
kemarin kamu melihat buaya di kali?”
“Iya,
Pak,” jawab Udin, “Buaya putih,”
Daeng
kemudian menggangguk-angguk. Tasbih itu terus dielus-elus dan kemudian
dibaca-bacai.
“Syukurlah
kalau kamu melihatnya,” kata Daeng, “Ia hanya ingin memperingatkan kalian untuk
segera bersiap-siap menghadapi bencana,”
Daeng
lalu menoleh ke Pak RT,
“Anda
sebagai pemimpin warga di sini seharusnya tidak menganggap ini lelucon,” Daeng
memperingatkan.
“Maaf,
Daeng, sebelumnya, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya tidak percaya ada
buaya di kali. Apalagi itu Kali Ciliwung. Daeng kan tahu kali Ciliwung seperti
apa?”
“Itu
bukan alasan untuk buaya yang dilihat warga Anda ini berada. Buaya ini tahan
terhadap segala macam sungai. Mulai dari yang bersih hingga kotor. Tenang
hingga deras,”
“Lalu
apa yang sebenarnya ingin Anda katakan?” tanya Pak RT yang ingin ke inti.
“Saya
cuma ingin mengatakan bahwa kedatangan buaya itu bermaksud memberi tahu bahwa
sebentar lagi tempat Anda ini akan terkena bencana, yaitu banjir,”
Mendengar
itu, Pak RT malah tertawa-tawa,
“Ini
sudah zaman modern, Daeng,” kata Pak RT, “Mengapa harus percaya begituan
segala,”
“Terserah
Anda,” kata Daeng kemudian mengelus janggutnya, “Yang penting anak saya sudah
datang untuk memberi tahu,”
“Siapa
anak Daeng?”
“Buaya
putih yang warga Anda lihat,”
***
Siang
terik memang sukses membuat Henk meminum sebuah limun di sebuah kedai di
pinggir jalan. Satu tegukan limun cukup membuat tenggorokannya lega. Kini ia
ingin beristirahat sejenak sebelum melanjutkan kembali perjalanan di Batavia
yang baru dikenalnya setengah hari. Namun belum sempat beristirahat terjadi
kehebohan. Beberapa warga berbondong-bondong berlarian menuju ke sebuah tempat.
Tampaknya sebuah rumah dan di belakang rumah mengalir Sungai Ciliwung, sungai
yang baru ia kenal semenjak di Batavia.
Penasaran,
Henk pun kemudian bertanya kepada salah seorang yang sepertinya berkulit sama
dengannya dan juga berbahasa sama,
“Wat
is er aan de hand?” tanya Henk
“Er
is een krokodil in Mevrouw Julia huis,”
“Krokodil?”
“Ya,
dan sekarang sedang akan ditangani oleh seorang Bugis,”
Henk
buru-buru mengikuti orang yang mengabarkan peristiwa itu ke sebuah rumah besar
putih. Ia mengikuti orang itu sampai halaman belakang dan dari halaman belakang
tepat di bawah terdapat sebuah halaman kosong yang berbatasan langsung dengan
sungai. Di halaman kosong itu nampak sebuah buaya besar dan seorang kulit sawo
matang sedang memegang pisau.
Ramai
nian orang berbicara tentang apa yang terjadi di bawah. Henk tidak mengerti
mengapa sampai ada buaya di sebuah halaman kosong sebuah rumah besar yang cukup
tinggi dari sungai. Henk kemudian mendengarkan pembicaraan orang-orang itu
hingga ia pun tahu. Jadi, si pemilik rumah bernama Nyonya Julia ingin membuka
kebun di halaman belakang rumahnya yang kosong dan berbatasan dengan sungai.
Namun keinginan itu harus berbenturan dengan kenyataan bahwa halaman belakang
rumahnya kerap menjadi peristirahatan para buaya. Nyonya Julia pun sadar makhluk
berbahaya ini harus disingkirkan jika keinginannya terpenuhi. Lalu ia panggil
seorang Bugis melalui temannya yang punya banyak kenalan pribumi. Jamak
diketahui, orang Bugis adalah pembunuh buaya paling andal.
Henk
lalu melihat si Bugis bertarung dengan buaya. Si Bugis ini nampak sudah
berpengalaman. Buaya itu diajaknya ke sungai lalu mereka bertarung di dalamnya.
Satu sayatan, dua sayatan, tiga sayatan, si Bugis berhasil membunuh si buaya
besar yang kemudian ia lempar ke tanah di pinggir sungai. Orang-orang yang
menyaksikan lalu bertepuk tangan. Si Bugis lalu membersihkan diri. Nyonya
Julia, si pemilik rumah lalu turun dan memberikan beberapa gulden. Si Bugis
nampak berterima kasih kemudian beranjak menaiki tangga dan melewati
orang-orang termasuk Henk. Nyonya Julia lalu menyuruh para jongosnya untuk
membuang bangkai buaya ke sungai supaya jadi santapan ikan. Henk sungguh takjub
melihat pertarungan tadi.
***
Air
menggenang setinggi 100 cm. Rumah-rumah terendam oleh air yang tinggi itu. Ya,
rupanya banjir datang melanda Rawa Hijau, sebuah tempat yang berdekatan dengan
Sungai Ciliwung. Para warga tak menyangka tempat mereka yang sebelumnya tidak
pernah dijamah banjir tiba-tiba menjadi terdampak banjir. Mereka yang tidak
tahu apa-apa tentang banjir harus merelakan dan menerima dengan terpaksa dan
ikhlas harta bendanya terendam. Sungguh mereka terkejut. Terutama Pak RT yang
tidak habis pikir mengapa bisa datang banjir ke tempatnya.
Dari
sebuah tingkat, Udin nampak memperhatikan air yang menggenang semua rumah
warga, tanpa terkecuali rumahnya. Akan tetapi, Udin bisa bernapas lega karena
ia sempat mengangkat semua barangnya ke lantai atas. Sebuah suara gaib setelah
bertemu Daeng yang menyuruhnya mengangkat barang-barang. Daeng yang lekat
dengan buaya putih yang dilihatnya seperti bersuara di telinganya,
“Kamu
adalah orang yang mau mendengarkan nasihat orangtua ketika bahaya akan datang,”
Teringatlah
Udin di tempatnya dahulu, dari cerita para orangtua, kehadiran buaya, terutama
buaya putih merupakan pertanda datangnya banjir. Sebuah peringatan dari sebuah
makhluk yang sesungguhnya tak pernah terlihat lagi di Sungai Ciliwung sehingga
dianggap remeh oleh para warga. Mengingat itu, Udin merasa berterima kasih dan
tersenyum sambil menunggu banjir surut.