Siapa yang tidak mengenal Marah Rusli? Sastrawan Indonesia asal Minangkabau yang tersohor melalui sebuah roman percintaan Sitti Nurbaya. Sebuah roman yang menjadi peletak dasar kesusasteraan Indonesia modern sekaligus melahirkan roman-roman Balai Pustaka atau Pujangga Baru di masa-masa setelahnya. Juga roman yang menggegerkan karena berupaya melawan adat suatu suku yang dianggap ketinggalan zaman, dan tidak memberi kebebasan serta tidak memihak kepada manusia di dalamnya. Sitti Nurbaya pun menjadi bacaan wajib di sekolah hingga sekarang. Ia juga digunakan untuk melihat konteks emansipasi di masa lalu, kini, dan yang akan datang.
Kini, berpuluh-puluh tahun setelah kematiannya, Marah Rusli telah kembali. Bukan melalui karya-karya yang direproduksi semacam Sitti Nurbaya atau Anak dan Kemenakan. Melainkan melalui sebuah karya yang baru diterbitkan pada 2013 oleh Qanita Mizan setelah lebih dari lima puluh tahun disimpan rapat-rapat, Memang Jodoh. Ya, karya anyar Marah Rusli ini merupakan karya terakhir sang sastrawan. Namun tidak diterbitkan karena situasi dan kondisi yang dihadapi sang penulis. Memang Jodoh yang ditulis pada medio 1950-an, berpuluh tahun setelah Sitti Nurbaya yang dianggap fenomenal sesungguhnya adalah sebuah karya berbentuk semi autobiografi. Di dalam karya ini tersirat kehidupan sang penulis dalam menghadapi cobaan dan rintangan hidup hanya karena lebih memilih pernikahan beda suku, bukan dengan sesama suku, karena alasan adat yang dianggap membelenggu.
Memang Jodoh berkisah mengenai seorang pemuda asal Bukittinggi bernama Hamli. Ia adalah anak seorang bangsawan terkemuka di daerahnya. Gelar bangsawannya adalah Marah. Seperti kebiasaan orang-orang Minangkabau yang suka merantau mencari penghidupan, dan itu karena tuntutan adat, Hamli pun disekolahkan oleh ayahnya, Sultan Bendahara, ke Bogor, tepatnya di sebuah sekolah pertanian. Ayahnya berharap ketika lulus Hamli dapat pulang ke Minangkabau kemudian menikah dengan gadis Minangkabau yang sudah ditentukan oleh kalangan adatnya. Hal inilah yang tidak disukai Hamli. Ia pun lebih suka merenung, menyendiri, dan berceracau. Hal yang demikian membuat neneknya, Khatijah, yang ikut dengannya, risau dan khawatir. Ia lantas mengungkapkan semua hal itu kepada kerabatnya di Bandung. Disarankan agar Hamli mencari pasangan yang berasal dari Tanah Parahyangan atau atas keinginannya sendiri. Ketika dalam proses seperti itu, tanpa sengaja bertemulah Hamli dengan Din Wati, seorang gadis Sunda berdarah bangsawan. Hamli pun terpikat oleh gadis itu. Begitu juga Din Wati. Keduanya lantas menjalin hubungan percintaan. Namun di sinilah masalah muncul. Baik orangtua Hamli maupun orangtua Din Wati tidak menyetujui. Alasannya, darah biru dan masalah kesukuan. Baik pihak Hamli maupun Din Wati lebih menyukai perkawinan sesama suku dan kasta dengan alasan untuk melestarikan warisan nenek moyang.
Hamli yang berpendidikan Barat jelas tidak menyetujui cara pandang bahwa pernikahan harus ditentukan oleh adat, tetapi harus oleh yang bersangkutan. Dari sinilah Hamli banyak mendapat pertentangan yang berakibat ia putus hubungan dengan sukunya lantas dibuang, dan tidak dianggap sebagai bagian dari klan. Namun ia sendiri, walau sedih, tidak merasa pusing sebab ia merasa bahwa apa yang diputuskannya harus dipertahankan bulat-bulat, dan ia bisa mempertanggungjawabkan keputusannya itu.
Memang Jodoh sebagai sebuah semi autobiografi Marah Rusli terlihat ingin menunjukkan, kalau dipandang dalam eksitensialisme, bahwa manusia harus bisa menentukan dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, baik dalam tingkah laku maupun perbuatan. Hamli sebagai tokoh utama yang menentang pemikiran kolot sebenarnya juga ingin mengatakan bahwa pernikahan yang diatur oleh adat tidak akan membawa kebahagiaan di dalamnya sebab ada campur tangan dari luar. Akibatnya, pernikahan itu hanyalah sesuatu yang semu, yang diadakan karena keinginan kelompok-kelompok tertentu atas nama adat. Kelompok-kelompok ini, atas nama adat, bertindak pragmatis dan lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri. Di dalamnya ada orang-orang yang mengincar harta, uang, dan tahta. Namun untuk implementasinya harus mengorbankan generasi di bawah mereka. Dan selanjutnya seperti itu sehingga terjadi “balas dendam”.
Jika dikaitkan dengan Sitti Nurbaya, secara historis Memang Jodoh adalah semacam prekuel tidak langsung. Sitti Nurbaya yang melambungkan nama Marah Rusli merupakan roman yang sebenarnya berdasarkan pengalaman hidup Marah Rusli ketika hendak dinikahkan paksa oleh kaumnya dengan sesama suku Minangkabau. Namun pernikahan itu bukan karena dasar cinta, melainkan demi prestis yang ingin dicapai kaumnya. Dari Sitti Nurbaya-lah, Marah Rusli terbesit ingin menuliskan pengalaman hidupnya dalam Memang Jodoh. Hal ini supaya diketahui generasi selanjutnya bahwa pernikahan paksa itu tidak baik. Semua peristiwa, tokoh, dan tempat kejadian sebenarnya sama dengan dialami penulis. Namun, disamarkan. Semata-mata si penulis tetap ingin menjaga kehormatan kaumnya. Memang Jodoh diterbitkan terlambat setelah kematiannya juga karena ingin menjaga perasaan kaumnya yang masih tidak menerima tindakan Marah Rusli melawan adat. Ketika dituliskan, perasaan kuat kesukuan masih terasa sehingga Memang Jodoh urung diterbitkan.
Meskipun begitu, dalam konteks Republik Indonesia, perasaan kesukuan masih kuat terasa terutama dalam pernikahan. Masih banyak yang ingin pernikahan sesama suku, bukan beda suku. Alasan utama, jelas, prasangka negatif atas suku-suku tertentu sehingga menimbulkan kesan subjektif yang mengakar ke generasi-generasi berikutnya. Kesan subjektif seperti itu memang suatu hal yang tidak bisa dihindari dalam lingkup heteregonisme Indonesia. Ya, bisa disimpulkan Memang Jodoh, walaupun ditulis pada dekade 50-an, tetap menjadi sesuatu yang relevan dalam konteks kekinian. Apalagi jika dikaitkan dalam konteks kebhninekaan dan agama. Selain prasangka negatif, juga suksesi atau kelangsungan hidup dalam dunia bisnis juga berperan.
Seperti halnya novel-novel Marah Rusli yang lain atau novel-novel Pujangga Baru, akan ditemukan gaya bahasa yang kaku namun masih dapat dimengerti. Selain itu, ciri khas Marah Rusli ialah selalu menyisipkan pantun dan gaya tutur yang panjang, yang bisa mencapai 3-4 halaman. Ditengarai gaya tutur itu berasal dari gaya bahasa lisan tradisional Minangkabau yang kerap didengar sang penulis di masa kecilnya. Bagi pembaca yang lebih menyukai gaya tutur pendek dan to the point, bernapas pendek, atau kekinian, bersiaplah merasakan kebosanan dalam membaca novel setebal 536 halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar