Perang Dunia Kedua yang terjadi pada kurun waktu 1939-1945 merupakan perang yang melibatkan dua kubu, Sekutu dan Poros.
Seperti kita ketahui bahwa di kubu Sekutu terdapat Amerika
Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Cina. Sementara di kubu Poros terdapat
Jerman, Italia, dan Jepang.
Di luar negara-negara utama blok masing-masing terdapat
Prancis, Belanda, Australia, Kanada, Selandia Baru, Ghana, Brasil, dan
Yugoslavia untuk Sekutu. Untuk Poros sendiri terdapat Prancis Vichy, Thailand,
Rumania, Finlandia, dan Hongaria.
Yang menarik adalah di negara utama Sekutu terdapat Cina.
Tentu sampai hari ini masih banyak orang yang belum tahu dan bertanya mengapa
Negara Tirai Bambu ini termasuk Sekutu utama dalam perang global yang
menewaskan ratusan ribu jiwa di awal Abad ke-20 tersebut?
Sederhananya, Cina menjadi salah satu negara Sekutu utama
karena perannya yang ternyata cukup penting pada Perang Dunia Kedua di teater
Asia.
Berawal dari Ulah Jepang
Tidak seperti Perang Dunia Pertama yang kebanyakan terjadi
di Eropa sehingga juga disebut sebagai Perang Eropa, Perang Dunia Kedua adalah
perang yang benar-benar bersifat global karena terjadi di hampir semua tempat
dunia termasuk juga Kutub Utara.
Di Asia, perang ini seperti halnya di Eropa melibatkan
banyak negara termasuk para negara Eropa yang mempunyai koloni di Benua Kuning.
Namun, teater di Asia awalnya hanya melibatkan dua negara,
yaitu Cina dan Jepang. Konflik bilateral ini mulai terjadi pada dekade 30-an,
tepatnya pada 1937 melalui Perang Cina-Jepang Kedua.
Beberapa sejarawan kontemporer meyakini bahwa perang kedua
negara itulah yang sebenarnya memulai PD II, dan bukan seperti yang selama ini
diketahui berdasarkan serangan kilat Jerman ke Polandia, 1 September 1939.
Terlibatnya Cina dalam perang melawan Jepang adalah karena
tindakan mengada-ngada Jepang melalui insiden di Jembatan Marco Polo sebagai
alasan bagi Jepang untuk bisa menyerang Cina demi kebutuhan sumber daya alam
dalam negeri.
Jepang sendiri di Cina sejak 1931 dengan menduduki Manchuria
melalui Semenanjung Korea, dan mendirikan negara boneka, Manchukuo.
Cina sendiri ketika berperang dengan Jepang sedang disibukkan dengan konflik internal yang tidak kunjung usai sejak berdirinya Republik Cina pada 1911 setelah meruntuhkan dinasti terakhir, Qing.
Dimulai dari perang dengan para panglima perang hingga kaum
Komunis membuat negeri tersebut porak poranda.
Namun datangnya musuh dari luar bernama Jepang pada akhirnya
membuat kaum Nasionalis yang memegang kekuasaan akhirnya mau bersatu dengan
Komunis untuk melawan Jepang.
Jepang sendiri dinilai cukup kejam dan biadab dalam usahanya
untuk menguasai Cina sebagai bagian dari Hakko Ichiu, dan juga sebagai akses
untuk melawan Uni Soviet.
Dalam beberapa pertempuran, Jepang tidak segan-segan
menggunakan cara-cara brutal untuk menghabisi nyawa. Tidak peduli militer atau
sipil bahkan orang tua, perempuan, dan anak-anak semua kena. Nanjing menjadi
puncak kekejaman tersebut.
Hal itulah yang membuat Cina bersatu untuk bisa mengalahkan
dan mengusir Jepang. Meski sudah digempur berkali-kali dan tampak kewalahan,
Cina sama sekali tidak menyerah, dan terus melawan, baik secara terang-terangan
maupun gerilya.
Hal inilah yang membuat Jepang frustrasi. Apalagi datang
tekanan internasional terutama dari AS yang melakukan embargo minyak buntut
tenggelamnya USS Panay dan 3 kapal minyak
pada 1937 di Sungai Kuning oleh para pengebom Jepang.
Peran yang Krusial
Tidak menyerahnya Cina sama sekali terhadap berbagai
gempuran Jepang yang menewaskan warga sipil merupakan peran yang cukup krusial
dalam teater Asia.
Rana Mitters, sejarawan kontemporer asal Inggris menyebut
apabila Cina menyerah, hal itu akan menjadi jalan bagi Jepang untuk bisa dengan
mudah menyerang Uni Soviet atau India untuk mendapatkan sumber daya alam yang
lebih. Karena itu, jalannya perang akan menjadi berbeda ke depannya.
Kegigihan Cina untuk bertahan dan terus melawan pada akhirnya menimbulkan banyak simpati internasional untuk membantu mereka termasuk dari AS dan Inggris yang mulai mengirimkan bantuan dan menjadikan Cina sebagai sekutu utama di Asia.
Ketika terjadi Perang Dunia di teater Pasifik melalui
serangan Jepang ke Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, rasa kebersamaan untuk
melawan semakin menjadi yang kemudian berakhir pada menyerahnya Jepang
September 1945.
Meski begitu, peran Cina sendiri tidak terlalu banyak
diingat sampai hari ini terutama di kalangan Barat. Hal inilah yang membuat
Cina cukup kesal.
Cina memang diberi penghargaan berupa balasan sebagai salah satu
anggota tetap Dewan Keamanan PBB bersama dengan para Sekutu di masa perang.
Namun sebagian kalangan di Barat hanya melihat bahwa Cina di
masa perang adalah Cina Nasionalis pimpinan Chiang Kai-Shek yang kemudian
diusir ke Taiwan setelah kalah perang sipil pada 1949.
Cina Komunis pimpinan Mao Zedong yang berhasil menguasai
seluruh daratan Cina setelah menang perang sipil memang tidak mau menaruh
perhatian besar terhadap yang dilakukan kaum Nasionalis sebagai front utama
perlawanan terhadap Jepang.
Barulah setelah pada dekade 80-an, pemerintah komunis Cina
mulai mengizinkan untuk melibatkan secara penuh kaum nasionalis dalam sejarah
negara tersebut demi kepentingan nasional.
Hal-hal tabu yang ada pada masa Perang Dingin mulai
dihilangkan. Cina memberi perhatian dengan juga menghormati para pejuang dari
kaum Nasionalis dalam setiap perayaan peringatan kemenangan melawan Jepang di
Perang Dunia Kedua.
Penghormatan dan penghargaan itu juga terlihat dalam
film-film negara tersebut terutama yang bertemakan perang terhadap Jepang yang
disebut sebagai perang melawan fasisme. Para pejuang kaum Nasionalis diberi
peran yang cukup dan sesuai dalam film.
Penilaian ulang secara positif ini bertujuan menyadarkan
dunia Barat bahwa Cina juga memiliki kontribusi penting untuk menghadirkan
kekalahan pada Jepang. Apalagi merekalah yang pertama kali melawan Jepang
bahkan dengan susah payah.
Sebab, selama ini AS-lah yang dianggap oleh banyak orang
untuk mengalahkan Jepang melalui pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, dan hal itu
diperkuat pada menyerahnya Jepang secara formal di USS Missouri, 2 September
1945.
Sekutu yang Kurang Menguntungkan
Selain lebih pada cara pandang Barat yang melihat Cina melawan Jepang adalah kaum
nasionalis, hal lainnya adalah Cina sebenarnya kurang menguntungkan terutama
dari sumber daya dan peran politis negara tersebut di masa perang.
Kebijakan AS dan Inggris yang lebih mengutamakan Europe first untuk melawan teror Nazi di Eropa juga menjadi penyebab tidak begitu menariknya Cina dalam pandangan kedua negara terutama pada gaya kepemimpinan Chiang Kai-Shek yang kurang disukai para pemimpin Barat.
Gayanya yang kaku dan diktatoris dalam berbagai hal
membuatnya kurang bisa diterima para pemimpin Barat. Apalagi Chiang sendiri
mencurigai bantuan yang diberikan Sekutu terutama AS.
Hal ini berbeda dari Josep Stalin yang benar-benar
diperhitungkan untuk dijadikan sebagai sekutu dalam melawan Poros di Eropa.
AS dan Inggris melihat bahwa Uni Soviet pimpinan Stalin
adalah sekutu sekaligus ancaman bagi keberlangsungan demokrasi di Eropa Barat terutama pada saat perang berakhir karena ideologi komunisme negara tersebut.
Karena itu, AS memang tidak segan-segan memberikan bantuan
persenjataan kepada Uni Soviet dalam perlawanan terhadap Jerman, dan menuruti
kemauan Stalin untuk membuka front di Barat melalui D-Day agar mengurangi beban
Soviet di front timur.
Sebagai gantinya Soviet pun bersedia membantu Sekutu melawan
Jepang di Manchuria pada Agustus 1945 setelah pembatalan pakta non-agresi
terhadap Jepang.
Barat menyadari juga bahwa Uni Soviet adalah negara yang
kaya akan sumber daya alam dan punya letak strategis sehingga benar-benar
menguntungkan.
0 komentar:
Posting Komentar