Asap rokok itu mengepul. Satu per satu keluar dari mulut yang menghembuskannya. Seperti anak yang baru lahir dia tumbuh dari kecil hingga membesar kemudian menghilang dan seterusnya begitu. Seisi ruangan penuh oleh asap yang terus direproduksi. Tatapan mata tajam tersingkap dari balik asap. Seperti hendak mencari mangsa tatapan itu terus memperhatikan gerak wajah orang di hadapannya yang kebetulan juga merokok.
Dalam ruangan persegi empat dengan latar belakang tembok berwarna coklat krem disertai dengan penerangan lampu remang-remang yang tergantung menjulur dari langit-langit, kedua orang yang berada di dalamnya saling duduk berhadap-hadapan dengan media sebuah meja jati coklat berbentuk kotak lebar. Di atas meja itu tersusun rapi beberapa data dan tumpukan buku. Asap rokok dari keduanya pun juga demikian.
“Jadi, bagaimana keputusan Anda sekarang?” tanya si perokok satu yang terlihat memakai baju militer berwarna hijau toska polos dengan jahitan bendera merah putih di lengan kanannya. Wajahnya yang coklat oval serta berkumis memang terlihat begitu serius ketika mengeluarkan pertanyaan itu bahkan sebelum itu keluar raut serius memang sudah ditampilkannya mengingat ia adalah seorang perwira militer. Di depannya ini juga bukan orang biasa sepertinya. Dengan tatapan yang sama tajam, bentuk muka kotak dan berpadu dengan mata yang terkesan sipit dan memakai sebuah seragam loreng hijau abu-abu dengan sebuah badge bergambar anjing hitam berlatar oranye di lengan kanannya. Terlihat juga ia adalah seorang perwira militer. Dari balik tatapan mata tajamnya tersimpan pikiran di kepalanya yang tampak bimbang dan belum bisa menjawab.
Sudah sekitar dua jam mereka berada di ruangan tersebut. Ruangan yang diluarnya dijaga oleh dua pasukan TNI dengan senapan laras panjang. Di luarnya lagi ada beberapa pasukan yang siap siaga dengan beberapa persenjataan seperti senapan, pistol, granat, dan juga meriam. Beberapa senjata yang sepertinya ditujukan untuk perlawanan dan pertahanan diri dari serangan musuh yang memakai tank dan pesawat tempur dan musuh mereka adalah Belanda yang memang sedang giat-giatnya melancarkan agresi militer untuk merebut kembali tanah jajahannya yang sebenarnya secara de facto sudah merdeka, Indonesia.
Beberapa jam sebelumnya sekitar 10 kilometer dari markas tentara ini terjadi tembak-menembak antara kedua belah pihak. Pertempuran tersebut terjadi di sebuah bukit. Pertempuran ini sebenarnya tidak disengaja. Pihak TNI yang sedang giat berpatroli tanpa diduga bertemu dengan pihak Belanda yang juga demikian. Tanpa banyak kata kedua-duanya melancarkan serangan. Senapan berentet, perluru mendesing, darah bercucuran dimana-mana, dan granat ikut serta juga menambah ketegangan. Pihak Belanda yang memang persenjataannya lebih canggih walaupun terdesak masih saja bisa meminta bantuan udara. Maka datanglah beberapa pesawat tempur seperti spitfire dan katty hawk menguing-nguing lalu menembakkan senapan yang terpasang di kedua sayap. Beberapa pihak TNI terkena namun ada juga yang berhasil menghindar dengan tiarap dan bersembunyi di balik pepohonan rindang. Ketika pesawat-pesawat itu menghilang mereka pun muncul dari persembunyian meninggalkan medan pertempuran dengan serta merta membawa sang komandan tentara Belanda yang berhasil ditangkap.
Komandan ini wajahnya seperti pribumi dan ketika ditangkap ia disumpahi serapah oleh beberapa anggota TNI dan warga di sekitar markas dengan sebutan “Andjing Belanda”. Kemudian ia yang diikat kedua tangannya dibawa menghadap Kolonel Sardjono, komandan yang bertugas di markas tersebut. Nama komandan Belanda pribumi itu adalah Jan Alberts Soputan. Ia lalu menceritakan tentang dirinya di hadapan Kolonel Sardjono.
***
Andjing Belanda. Memang aku andjing Belanda seperti yang kalian bilang. Jujur, aku tak peduli dengan sebutan itu sebab yang kukerjakan adalah demi kejayaan Koninkrijk der Nederlanden di dunia ini. Namaku Jan Alberts Soputan dan asalku dari Minahasa, Celebes. Keluargaku termasuk penganut Protestan taat dan juga mempunyai status gelijkgesteld dan hampir semua orang di Minahasa mempunyai status tersebut. Kenapa kami bisa mendapatkan status tersebut? Itu dikarenakan loyalitas kami terhadap Belanda yang memang pada awalnya sempat menghancurkan kampung kami dalam sebuah perang. Tetapi, toh itu tak aku pedulikan sama sekali. Setelah perang itu pun orang-orang di Minahasa malah diberi kesempatan hidup dalam berbagai bidang setelah dibaptis menjadi Protestan terutama dalam pendidikan dan olahraga. Bahkan Belanda yang terkesan dengan daya tempur kami yang pantang menyerah malah memberi kesempatan kepada kami untuk masuk ke dalam satuan tempurnya yang bernama KNIL.
Kami bersama dengan beberapa orang-orang Ambon dan Jawa ditempatkan dalam kesatuan elit KNIL, marsose untuk melawan orang-orang Aceh yang terkenal licin. Namun, toh kelicinan itu bisa diimbangi dengan semangat pantang menyerah orang-orang Minahasa. Mereka bersembunyi di sebuah tempat yang tak bisa dijangkau oleh orang-orang Belanda malah bisa kami jangkau sebab kami tahu medan persis medan tersebut.
Kakekku, Pieter Willem Soputan yang pertamakali menjadi orang dalam keluarga kami masuk dalam KNIL. Semasa menjadi KNIL kehidupan keluarga kami menjadi bahagia apalagi setelah status gelijkgesteld itu kami dapatkan langsung dari pemerintah Belanda bersama dengan yang lainnya. Kami jauh sekali dari kata diskriminasi. Tak ada larangan ini-itu di sekitar kami. Keluarga kami benar-benar seperti orang Belanda. Hampir setiap hari kami ikuti kebiasaan Belanda dan berbicara bahasa Belanda. Selain kakekku, adik dari kakekku juga mendapatkan hal yang sama. Ia malah bisa bersekolah di fakultas hukum Leiden dan kemudian tinggal di Belanda dan menikahi wanita Belanda. Bahkan bibiku juga dinikahi seorang pengusaha swasta Belanda.
Imbasnya juga sampai kepada ayahku. Akan tetapi ia tak mengikuti jejak kakekku. Ia lebih memilih menjadi pedagang yang pro-Belanda. Jadi, aku dibesarkan dalam lingkungan pedagang yang pro-Belanda dan sikap itu memang sudah ditanamkan sejak kecil. Ketika aku sudah berada di dunia dalam usia mendekati 7 tahun aku langsung dimasukkan ke sekolah Belanda dan lihat teman-temanku kebanyakan orang-orang Eropa. Karena warna kulitku yang putih sama dengan mereka serta tingkah lakuku yang sudah seperti orang Eropa, tak pernah mereka menanyakan aku ini dari mana dan apa mempunyai status gelijkgesteld. Begitu juga saat aku mencoba mengikuti jejak kakekku, tak pernah juga si inspektur pendaftar menanyai hal tersebut dan bahkan tak ada keraguan dalam dirinya mengenai aku saat aku menyebut nama.
Karena status itu keluarga kami menjadi sombong dan itu menular pada diriku. Kami merendahkan mereka yang tidak seperti kami. Mereka itu adalah para pribumi yang terlihat nasibnya begitu mengenaskan dan selalu menjadi babu atau jongos. Pernah aku yang sedang berada di sebuah restoran untuk makan bersama teman-temanku terkejut ketika salah seorang jongos menumpahkan air ke bajuku. Dengan bahasa Belanda aku marahi dan aku maki dia dengan beberapa umpatan seperti aap dan zwart. Teman-temanku malah tertawa-tawa dan terkadang mereka berujar, “Bagus, Jan! Pukul saja! Dia itu memang tidak beradab!” Babu itu hanya bisa bilang, “Maaf, Tuan, saya tidak sengaja,” Tetapi, aku tak peduli dan kemudian datang pemilik restoran yang juga ikut meminta maaf dan kemudian membawa babu itu entah kemana. Kata temanku ia akan disiksa karena lalai. Tetapi, apa pedulinya aku.
Saat masuk KNIL tugas kami sebenarnya tak lebih dari menghancurkan para pribumi yang mencoba melawan Belanda. Tetapi, aku ingin tertawa saja dalam hati karena dalam kenyataannya aku melawan mereka para pribumi yang rendah itu yang hanya bersenjatakan pisau dan parang. Senjata macam apa itu? Sudah sejak lama keluargaku meninggalkan yang seperti itu dan hanya berguna ketika di dapur atau memotong tebu. Tentu saja itu tidak efektif dibandingkan pistol serta senapan. Jadi, dengan senjata seperti itu saja mereka pun di lapangan tak mampu melawan kami yang senjatanya boleh dibilang membanggakan. Selain pistol dan senapan ada juga panser untuk membuat mereka kacau-balau. Kalau keadaannya seperti ini terus tentu saja Belanda tak akan bisa dilawan.
Saat di KNIL juga selain bertugas dari pangkat awal opsir kemudian naik hingga menjadi letnan kolonel aku juga merasakan berbagai kenikmatan. Dengan status gelijkgesteld yang kusandang, bukanlah hal yang sulit juga untuk bisa menikmati tubuh putih wanita-wanita Belanda. Mereka ternyata sama kuatnya dengan lelakinya dan kuakui aku terkesan. Mereka sebaliknya juga demikian terhadap diriku bahkan aku karenanya mempunyai seorang terlacur kesukaanku bernama Renata yang kemudian aku jadikan kekasih. Sebenarnya mengenai hal ini aku agak ragu mengingat aku dari keluarga penganut Protestan yang taat. Namun, temanku yang mengajakku terus memaksaku seraya berkata “Cobalah sekali-kali. Nanti, minggu bisa ditebus,” Aku yang awalnya ragu akhirnya mau juga. Selain itu, aku mulai mencoba-coba merokok yang ternyata pada akhirnya begitu nikmat.
Aku menjalin hubungan dengan Renata hanya sampai ketika Jepang datang. Renata mengikuti temannya untuk segera ke Eropa padahal di sana sudah berkobar perang dan bahkan Belanda yang memang negaraku malah berhasil diduduki Nazi Jerman. Katanya ia di sana bersama dengan orang-orang Belanda lainnya bergabung dengan gerakan bawah tanah melawan pendudukan Jerman. Awalnya, aku tak bisa menerima jika ia ingin pergi. Namun, aku harus rela melepasnya sebab ia merasa berhutang ingin membalaskan dendam kepada Jerman yang telah menghabiskan keluarganya. Sedangkan aku harus menghadapi serbuan Jepang bersama tentara KNIL yang lainnya. Kali ini pangkatku sudah kolonel.
Awalnya aku dan beberapa teman-temanku meremehkan kemampuan Jepang. Alasannya, mereka adalah orang-orang Asia yang bertubuh pendek dan pasti berotak kecil. Jika dengan keadaan fisik yang seperti itu tentulah mereka kalah walau sebelum perang mereka berhasil mengalahkan Rusia di Tsushima dan mendapatkan persamaan hak dengan orang-orang Eropa, tetap saja aku tidak yakin. Apalagi peralatan tempur mereka yang terlihat kecil kebanyakan adalah barang bekas yang dimodifikasi dan tentu tak akan mampu bersaing dengan peralatan tempur yang kami punya.
Namun, setelah penyerangan mendadak Pearl Harbour dan beberapa pertempuran di Filipina, Semenanjung Melayu serta Indochina menunjukkan mereka bukan lawan sembarangan. Mereka begitu cekatan dan karena itu pula kami menganggapnya sebagai lawan serius. Lima jam setelah Pearl Harbour diserang, Hindia-Belanda dalam keadaan mencekam seusai pidato mendadak yang singkat dari Gubernur Jenderal Tjarda. Aku yang sedang menikmati liburan di Bandung bersama Renata mendadak esok harinya dipanggil juga ke Batavia untuk mempersiapkan pasukan. Renata terlihat kecewa tetapi ia juga memaklumi. Maka, sebelum meninggalkan dia kutitipkan ia di sana pada temanku. Beberapa hari kemudian dia mendatangiku di Batavia untuk pamitan pulang ke Belanda.
Sehubungan dengan serangan Jepang, beberapa amunisi baru didatangkan seperti pesawat dan tank. Namun, ternyata itu tak ada artinya. Selain terlambat juga tidak cukup karena Jepang mengandalkan kekuatan tempurnya juga dari lautan. Secara mendadak dibentuklah ABDACOM untuk mengimbangi dan pada saat itu aku dan yang lainnya sesaat tersadar betapa selama ini ada kesalahan pada diri kami karena hanya bergantung pada prinsip defentie grondslagen. Namun, bagiku itu sangat terlambat. Semua sudah harus dihadapi.
Ketika Jepang hendak menguasai Hindia-Belanda, ia terlebih dahulu menghadapi kekuatan laut yang memagari Hindia Belanda. Namun, karena kurang kompak dan koordinasi satu per satu hancur dan tenggelam di Laut Jawa. Kemudian Jepang berhasil menguasai beberapa daerah di Jawa. Ketika di Jawa pun yang kemudian dikuasai adalah Banten dan sebelumnya kekuatan udara Jepang berhasil memporak-porandakan pangkalan laut Surabaya. Pergerakan seperti itu yang membuat kami di Batavia terus waspada karena beberapa KNIL di daerah berhasil ditangkap setelah menyerah. Siang-malam aku tak bisa tidur dan terus-terusan mempersipakan dan memobilisasi pasukan begitu juga yang lainnya. Semua meriam, panser, dan senapan mesin di belakang kami yang berjaga di obyek-obyek penting. Gubernur Jenderal tetap berada di kediamannya di Buitenzorg. Jika Batavia jatuh maka habislah juga Buitenzorg.
Jepang pun datang dengan iring-iringan pesawat tempur terlebih dahulu dan mulai menembakkan tembakan ke arah pasukan di bawah dan membom . Hal tersebut dibalas dengan rentetan tembakan dari senapan dan meriam. Semua terdengar di mana-mana. Cucuran darah muncrat dan mengalir. Bahkan ketika pasukan Jepang datang dari arah Tanjung Priok mereka terlihat dengan gagah menenteng senapan plus bayonet di depan. Mereka memang terlihat kecil seperti ayam kate tetapi itu bukan penghalang mereka. Orang-orang Belanda yang berbadan tinggi saja bisa mereka lawan dan mereka habisi. Kami pun terdesak. Aku yang dalam keadaan seperti itu bersama yang lainnya menyingkir ke pinggiran Batavia yang masih berupa hutan lebat. Batavia pun jatuh dan kemudian Gubernur-Jenderal tertangkap. Di hutan kami bertahan beberapa hari lalu mendapatkan kabar bahwa akan ada pemberangkatan ke Australia melalui Sukabumi. Tentu itu bukanlah tempat yang jauh namun sekarang menjadi jauh karena jalur jalan utama dan jalur kereta sudah pasti dikuasai Jepang. Maka, kami putuskan melalui hutan. Setelah berjalan dua hari dua malam sampailah kami di dermaga kecil di Sukabumi yang jauh dari pantauan Jepang. Dengan sebuah kapal sedang kami berangkat ke Australia. Meninggalkan Hindia-Belanda untuk sejenak dan berharap bisa kembali untuk merebutnya lagi.
Selama Perang, KNIL dibubarkan dan digantikan NICA yang berkedudukan di Australia. Selama di Australia untuk menyambung hidupku aku menjadi kuli pelabuhan pada pagi hingga siang dan sore hingga malam administrasi di NICA. Di tempat yang sepi oleh perang inilah aku mendapat kabar bahwa Renata tewas oleh pasukan Nazi Jerman setelah tertangkap dalam sebuah aksi penyerbuan mendadak. Tentu saja aku sedih mendengarnya karena diriku takkan pernah menemuinya lagi. Padahal ketika ia hendak pulang ke Belanda, ia berjanji akan kembali menemuiku dan berkomitmen untuk menjadi istriku. Sayang, semua menjadi berantakan. Aku terus teringat wajahnya yang terakhir kali kulihat saat di Tanjung Priok. Wajah yang begitu sedih, penuh tekad, dan juga tersenyum. Ia bahkan yang menyemangatiku untuk terus berjuang mempertahankan Hindia-Belanda demi kejayaan Koninkrijk der Nederlanden. Akibat kematian Renata aku sempat depresi sebelum akhirnya temanku menyadariku bahwa ada yang lebih penting ketika nanti perang berakhir: merebut kembali Hindia-Belanda.
Perang berakhir setelah tragedi bom atom. Tentu kami sangat senang dan bergembira. Sebuah strategi disiapkan untuk merebut Hindia-Belanda kembali. NICA kemudian dibubarkan namun tetap dipakai ketika pendaratan kembali bersama tentara sekutu yang dipimpin Inggris. Beberapa hari setelah perang di sebuah radio Australia, tiba-tiba kudengar sebuah pidato singkat dalam bahasa Melayu yang menyatakan bahwa ada sebuah negara merdeka yang bernama Indonesia dan itu berada di Hindia-Belanda dan diakhir pidato singkat berjudul “proklamasi” itu dibacakan juga nama: Soekarno-Hatta. Tentu saja aku tak menerima. Itulah yang kurasakan ketika pidato itu selesai dibacakan. Aku marah dan muak. Aku langsung berujar bahwa Hindia-Belanda bukan Indonesia dan Hindia-Belanda masih milik Belanda. Persetan dengan pribumi!
Menjelang keberangkatan kembali ke Hindia-Belanda dengan semangat menggebu oleh pimpinan NICA aku kembali diaktifkan menjadi kolonel dan bersamaan dengan itu KNIL dihidupkan kembali. Dari Sydney kami berangkat dan mendarat di Surabaya yang tetap saja terik. Suasana berbeda kudapatkan di sana. Di sepanjang jalan di kota itu dari pelabuhan menuju markas kami coret-coretan di tembok dalam bahasa Melayu dan Inggris begitu mencolok. Intinya coret-coretan itu meminta merdeka. Selain itu beberapa pemuda juga terus meneriakkan kata-kata tersebut sambil membawa beberapa bendera berwarna merah-putih dan senapan yang sepertinya rampasan Jepang. Dalam hati aku muak melihatnya dan ingin menghabisi saja mereka. Sesampainya di markas kami yang juga dipenuhi beberapa orang gurkha, pimpinan militer Inggris meminta kepada beberapa prajuritnya untuk bertindak hati-hati dalam menginternir beberapa tentara Jepang sebab di sini telah berdiri sebuah negara namun de facto.
Selama di Surabaya beberapa konflik antara pasukan sekutu dan pemuda terjadi. Kedua-duanya saling baku tembak. Tentu saja aku tak mau melewatkan kesempatan ini. Dengan ingin mencari perhatian para pemuda yang sepertinya gampang tersulut emosinya aku tembakkan senapanku ke beberapa tembok rumah warga dan juga ke coretan-coretan merdeka yang kemudian juga kuludahi. Tentu saja mereka panik dan berhamburan. Para pemuda itu dengan beberapa senjata keluar dan kemudian mengarahkan senapan rampasan mereka ke truk patroli tentara sekutu. Konflik pun pecah. Aku yang berada di belakang terlihat begitu senang dengan sesekali menembakkan senapanku ke arah mereka.
Karena sering konflik, pemerintah komando sekutu meminta para pemuda mengumpulkan senjatanya beserta bendera merah putih atau tidak Surabaya akan digempur. Tentu saja mereka ogah. Akibatnya muncullah sebuah pertempuran dahsyat. Surabaya digempur dari berbagai arah. Namun, rupanya membutuhkan 6 minggu untuk menaklukkan Surabaya dan tidak seperti perkiraan awal. Para pemuda yang gampang tersulut emosinya itu rupanya nekat juga menghadang artileri berat sekutu yang lumayan canggih walau akhirnya mereka mati dengan darah bersimbah di Surabaya yang tetap terik. Sayang, aku tak di sana ketika kejadian karena keburu ditarik ke tempat lain di Banyumas.
Di tempat ini kami membangun sebuah markas baru dengan bantuan orang-orang Inggris. Namun, pembangunan ini juga ada hambatannya yaitu serangan membabi-buta para pribumi bersenjata. Walaupun mereka berhasil diatasi namun serangan berikutnya datang kembali. Sekitar tahun 1946-1948 aku akhirnya mendapatkan kesempatan pertama kalinya ke Belanda untuk mendapatkan pendidikan militer di Breda. Negara itu memang dingin dan karenanya pakaian tebal selalu menyelimuti tubuhku. Selama di sana pula aku melihat keadaan Belanda yang hancur akibat perang dan juga munculnya gerakan anti penjajahan dari beberapa mahasiswa. Kulihat beberapa di antara mereka ada terdapat orang-orang pribumi. Dalam hati aku berkata, pasti orang-orang ini yang memotori aksi ini. Sialan!. Lalu aku berkata lagi, memangnya kalian dijajah? Aku saja tidak merasa!
Akhir 1948 bersama dengan beberapa prajurit Belanda lainnya aku berangkat kembali menuju Hindia-Belanda dalam sebuah aksi polisionil yang kedua. Akan tetapi, orang-orang pribumi di Hindia-Belanda tidak mengatakan demikian namun menyebutnya agresi militer. Memang aksi yang kami lakukan adalah untuk mengamankan namun juga untuk memberantas mereka-kaum republik pembangkang. Setibanya di Hindia-Belanda yang masih tegang, aku diperintakan panglimaku untuk menempati sebuah markas di dekat Malang yang kebetulan basis aman dan bukan daerah tentara republik. Namun, walau begitu kewaspadaan tetap harus ada karena kini mereka mengadakan sistem gerilya.
Lima hari kemudian aku mengadakan patroli pertamaku. Dengan dua jip Willis dan beberapa pasukan di dalamnya kami berpatroli sambil ditemani pemandangan yang begitu indah di kiri dan kanan. Pemandangan tersebut berupa bukit dan pohon-pohon rindang. Namun, di balik keindahan itu rasa waspada harus tetap dipegang karena bisa saja tentara republik menyerang.
Entah sudah beberapa kilometer jalan kami lalui dan keadaan aman-aman saja. Maka dari itu aku putuskan untuk kembali ke markas. Namun, belum sempat untuk kembali tiba-tiba di depan kami muncul serombongan tentara republik. Tentu saja kami terkejut. Mereka yang melihat kami segera berkata “Belanda! Serang!” Rentetan senapan pun tak tertahankan. Beberapa yang tidak siap pun terkena peluru dan tewas. Beberapa lagi merunduk di dekat jip dan di balik pepohonan dan tumbuh-tumbuhan membalas serangan. Aku yang berada di depan segera menyingkir dari jip dan mulai menembakkan pistolku. Beberapa tentara republik pun jatuh tertembak. Begitu juga kami. Pertempuran terlihat imbang dan sepertinya kami terdesak. Karena itulah aku dengan cekatan aku ambil radio komunikasi di mobil untuk meminta bantuan udara di antara desingan peluru dan teriakan kematian. Beberapa menit kemudian bantuan datang. Pesawat-pesawat itu menembaki posisi tentara republik. Beberapa tewas dan beberapa membalas.
Kemudian keadaan menjadi sepi kembali ketika iring-iringan pesawat meninggalkan pertempuran. Aku yang sedari tadi merunduk lalu berdiri. Aku lihat semua anakbuahku tewas bergelimpangan di jip dan tanah. Dalam hati aku berujar, brengsek! Tunggu pembalasanku. Setelah menyingkirkan yang tewas di jip aku nyalakan jip. Aku harus kembali ke markas untuk menyiapkan strategi balasan. Namun, belum sempat aku ingin menjalankan roda sebuah todongan pistol berada di belakang tengkukku. Aku terkejut dan sebuah suara berada di belakangku, “Angkat tangan Anda, Meneer,” Kuangkat tanganku perlahan. Lalu ia berseru kepada kawan-kawannya, “Kalian ikat dia!”
Beberapa orang dan rupanya dari tentara republik yang tersisa mengikat tangan dan kakiku lalu menaruh aku di belakang jok. Tadi beberapa dari mereka sempat berkata padaku,
“Ada andjing Belanda rupanya,” ujarnya ketika melihat perawakanku yang walau berwajah putih tetapi fisik seperti pribumi.
“Pasti dari Ambon atau Minahasa. Orang-orang yang seperti ini yang tidak tahu diri. Senang bangsanya dijajah!” ujar temannya menimpali.
“Iya, dan orang-orang ini yang kelakuannya begitu sok karena menjadi andjing Belanda. Seharusnya kita kirim saja dia ke neraka!” ujar temannya yang lain ikut menanggapi lalu yang satu lagi berkata,
“Jangan! Kita lihat saja nanti dia nanti mau kita apakan,”
Kemudian jip tempat mengikat diriku berjalan disusul jip lainnya. Aku sepintas melihat beberapa anakbuahku yang bergelimpangan di jalanan disingkirkan ke pinggir jalan. Selama perjalanan itu aku sempat berteriak-teriak kepada mereka,
“Apa yang kalian inginkan dari aku? Uangkah? Tenang saja. Aku akan beri. Tetapi, lepaskan aku dulu!”
Mereka tak menggubris.
“Kalian para pribumi bajingan! Kalian memang tidak beradab! Cepat lepaskan aku! Ingat tidak ada yang namanya Indonesia! Tetapi Hindia-Belanda! Hidup Belanda!”
Tiba-tiba saja salah seorang tentara republik menoleh sambil menorehkan pistol dengan tatapan tajam,
“Kau juga pribumi kan, bung! Tetapi, kau malah berkhianat! Kau sama bajingannya dengan Belanda!”
Lalu aku balas,
“Aku bukan Pribumi! Aku Belanda!”
“Sekali lagi kau bicara,” Tiba-tiba saja lagi pistol dimasukkan ke mulutku, “Ini akan menghajarmu, andjing Belanda!”
Aku pun terdiam akhirnya.
Di markas tentara republik aku langsung dibawa ke sebuah ruangan dengan iring-iringan cacian dari mereka yang terlihat kesal kepadaku,
“Bakar saja andjing Belanda! Dia sudah membunuh keluargaku!” seru seseorang dengan emosional.
Seorang perwira dengan baju hijau toska duduk di depan meja ketika aku dibawa masuk oleh dua tentara ke ruangan. Ia tampak tersenyum melihatku.
“Lapor, Pak,” kata salah satu tentara yang membawaku, “Ini adalah salah satu tentara musuh yang berhasil kami tangkap saat patroli tadi,”
“Terimakasih, Gus,” kata si perwira memanggilnya Gus, “Sekarang kalian berdua kembali ke pos kalian masing-masing. Buat strategi baru. Ingat, kita tetap harus waspada!”
“Siap, Pak!” kata mereka berdua dengan sigap, “Laksanakan!”
Mereka berdua lalu meninggalkan ruangan. Kini tinggal aku berdua dengan si perwira.
“Anda merokok?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk. Ia lalu menyodorkan rokok beserta koreknya. Aku lalu hisap rokok itu. Begitu nikmat. Begitu juga dia. Ia lalu memperkenalkan dirinya,
“Saya Kolonel Sardjono, komandan di markas ini,”
Ia lalu menyuruhku memperkenalkan namaku. Setelah kuperkenalkan ia tampak sedikit terkejut,
“Oh, Anda dari Celebes rupanya dan sama-sama kolonel kita ini,”
Dan ia kemudian tertawa. Kolonel Sardjono kemudian menceritakan dirinya bahwa ia adalah tentara bekas PETA dan sebelumnya pernah menjadi Seinendan ketika masa pendudukan Jepang. Setelah Jepang tiada, ia bersama mantan PETA yang lain bergabung dengan BKR yang kemudian berubah menjadi TNI. Setelah itu ia menyuruhku menceritakan tentang diriku. Sambil menghembus rokok aku bercerita panjang-lebar dan kemudian…
“Banyak sekali mantan KNIL mau bergabung dengan TNI setelah negara ini terbentuk. Anda pasti tahu Oerip Soemohardjo?”
“Ya, saya tahu,” kataku singkat.
“Kenapa lantas Anda tidak bergabung sama kami?” tanyanya kembali
“Buat apa saya bergabung, Pak? Saya ini orang Belanda bukan Pribumi. Jadi, saya berbeda dengan kalian semua!” ujarku emosional.
“Yang Belanda itu kan cuma identitas Anda saja tetapi kelakuan dan fisik sama seperti Pribumi!”
“Siapa bilang? Kelakuan saya dan juga fisik sama seperti Belanda. Saya orang Minahasa selalu loyal kepada Belanda!”
Ucapanku yang rada emosional itu hanya ditanggapi dengan tenang dan sedikit tertawa. Orang ini membuatku ingin menghabisinya saja. Namun, jika aku habisi selanjutnya nyawaku yang akan melayang. Jadi, kutahan saja.
“Saya punya dua penawaran untuk Anda,” ucapnya kemudian dengan rokok yang kemudian ditaruh di asbak. Ia lalu menggerakkan jari-jarinya untuk menunjukkan sebuah gestur,
“Pertama, bergabunglah dengan kami jika Anda ingin terus hidup,”
“Memang jika tidak bergabung saya mati? Begitu?” tanyaku emosional,
“Ya, Anda akan mati. Itu pilihan kedua. Jika Anda memilih itu saya akan menyiapkan pasukan untuk mengeksekusi Anda di hadapan para prajurit saya sebagai pelajaran bahwa berkhianat bukan jalan terbaik!”
Sialan! Diam-diam orang yang terlihat ramah di depanku ini begitu menekan di belakangnya. Bisa-bisanya ia mengajukan dua hal yang cukup sulit bagiku untuk mengatakan “saya pilih yang pertama atau yang kedua” Sebuah opsi hidup-mati. Aku berpikir jika aku memilih opsi pertama berarti aku telah mengkhianati keluargaku, Renata, Sri Ratu, Pangeran Oranje yang itu semua aku khianati negaraku dan rasanya itu adalah sebuah penghinaan bagi diriku sendiri karena bergabung dengan mereka yang telah menjadi musuhku lalu akan menjadi kawanku. Jika aku pilih opsi kedua tentu aku akan mati. Tetapi, aku belum mau mati. Masih banyak kesenangan dunia yang belum kudapat. Lagipula aku takut mati. Benar-benar sialan!
“Jadi, bagaimana keputusan Anda sekarang?” tanya kolonel Sardjono dan dia terus menterntirku.
Kini aku benar-benar bingung harus memilih yang mana? Aku sungguh tak punya daya lagi untuk memilih.