Hujan turun begitu deras. Seketika juga semuanya bubar mencoba
mencari tempat berlindung meski terlihat 1-2 orang tidak beranjak. Mungkin
menganggap hujan itu berkah. Ada baiknya harus dinikmati. Di depan mereka yang
nampak menikmati hujan, bangunan itu tetap berdiri tegak. Pasrah menerima hujan
dari Sang Pencipta.
Hujan itu bisa dibilang, bagi bangunan itu, mungkin sudah ribuan
kali. Hujan itu bisa dibilang juga sudah menjadi teman akrab. Tetapi tidak bagi
para pengunjung yang senantiasa datang untuk melihatnya. Bangunan itu, Candi
Cangkuang, terlihat begitu tabah dan gagah ketika hujan datang menerpa dia dan
sekitarnya. Air langit merambah setiap celah-celah bangunannya yang berbatu
kemudian menetes ke tanah. Batu-batu nampak begitu mengilap terterpa hujan yang
masih disertai sedikit sinar matahari. Batu-batu mengilap itu juga terlihat di
makam seseorang yang dipercaya oleh warga sekitar candi dan juga si penjaga
candi sebagai penyebar Islam di Cangkuang.
Cangkuang merupakan sebuah candi yang terletak di Kampung Pulo,
Desa Cangkuang, Leles, Garut, Jawa Barat. Berada di atas sebuah bukit dan dikelilingi sebuah situ
yang juga diberi nama sesuai tempat, membuat Cangkuang menjadi sebuah candi
yang letaknya begitu unik. Dahulu, menurut Jiji, sang juru kunci, wilayah
sekitar candi merupakan pulau. Situ yang berada di dekat candi mengelilingi
sampai wilayah belakang candi yang di situ terdapat kompleks pemakaman umum.
Namun seiring berjalannya waktu, situ bagian belakang itu banyak ditumbuhi
tanaman air, dan akhirnya mendangkal. Maka, tak salah jika kampung di sekitar
candi yang dipercaya sebagai tempat tinggal penduduknya disebut sebagai Kampung
Pulo.
Berbicara mengenai Candi Cangkuang, tentu berbicara mengenai
keunikannya. Bagaimana tidak ternyata di samping candi Hindu ini ada sebuah
makam penyebar Islam. Embah Dalem Arief
Muhammad, nama penyebar Islam itu. Asalnya dari Mataram Islam. Datang ke
Cangkuang karena malu pulang ke Mataram setelah gagal mengusir VOC di Batavia.
Begitu kata Jiji lagi pada saya. Memang pada masa ketika sang penyebar Islam ke
Batavia, Mataram Islam diperintah oleh Sultan Agung Hanyarakusuma yang kadung
terkenal dan diangkat menjadi salah satu pahlawan nasional di republik ini.
Pada masanya ia begitu berang ketika tahu ada VOC di Batavia. Kehadiran VOC
sama saja menggangu kekuasaannya sebagai penguasa Pulau Jawa ketika itu, dan
juga maskapai dagang multinasional asal Belanda ini pasti akan menguasai Jawa
dalam waktu dekat. Maka, diseranglah VOC dalam dua kali penyerangan. Sayang,
semua gagal. Apalagi ada perintah dari sultan bahwa kegagalan sama saja malu
dan pantas mendapatkan hukuman mati. Akibat titah itu, banyak punggawa Mataram
yang ogah kembali ke Mataram dan malah menetap di wilayah-wilayah yang aman.
Nah, Cangkuang salah satunya.
Sejarahnya, ketika sang penyebar Islam datang, warga di Cangkuang
masih menganut agama Hindu. Melihat itu, Embah Arief Muhammad berniat
mengislamkan penduduk, namun dengan cara-cara yang halus. Maka, diikutilah
kebiasaan-kebiasaan penduduk di situ dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam
hingga kemudian penduduk di Cangkuang memeluk Islam. Naskah-naskah
nahwu-shorof yang berada di museum dekat candi bisa menjadi bukti
penyebaran Islam itu selain makam. Naskah-naskah itu berasal dari abad ke-17.
Awalnya berada di rumah-rumah penduduk yang merupakan rumah-rumah adat. Di
rumah-rumah adat itu, karena sakralnya, naskah-naskah itu disimpan di atas
genteng.
Toleransi memang begitu kental di Cangkuang. Saya sempat tanyakan lagi
pada Jiji mengenai hal itu. Di Cangkuang memang semuanya Islam, namun tetap ada
yang memegang adat lama yang berasal dari masa pra-Islam. Hal yang demikian ini
masih terlihat ketika ada ritual pemandian benda pusaka saat tanggal 14 Maulud.
Ritual ini sebelumnya diawali dengan zikir di makam Embah Arief Muhammad. Jiji
menyatakan, amat sulit bagi penduduk setempat melepaskan hal-hal tersebut
meskipun hal yang demikian dilarang dalam Islam. Ia mengibaratkannya seperti
seorang anak yang berpisah dari orangtuanya lalu membawa kepribadian dalam
keluarganya. Ketika di dalam keluarga lain, otomatis ia juga harus menyesuaikan
dengan kepribadian keluarga tersebut supaya tujuannya tercapai.
Konon, menurut cerita, candi yang berada di lokasi itu jumlahnya
tidak hanya satu, tetapi delapan. Kata Jiji lagi kepada saya bahwa yang tujuh
itu entah kemana. Apa secara legenda dilenyapkan oleh sang Embah ke dalam tanah
atau malah hilang karena pengaruh alam. Memang, ada legenda yang mengatakan
ketika candi dibangun, tepatnya abad ke-8, oleh seorang pemuka Pajajaran, salah
seorang abdinya menyatakan tidak setuju sebab candi-candi itu akan runtuh oleh
agama baru. Ya, candi Cangkuang ini dibangun pada abad ke-8, dan oleh para
arkeolog yang menemukannya disebut sebagai candi pengisi kekosongan sejarah
antara Tarumanegara dan Pajajaran.
Yang pertama kali menemukan dan meneliti candi ialah Uka
Tjandrasasmita dari UI. Penemuan itu berdasarkan laporan dari Vorderman dalam Notulent
Bataviaasch Genootschap bertahun 1893. Laporan itu menyebutkan adanya arca
Syiwa dan sebuah makam kuno. Ketika diketemukan, arca syiwa dan makam memang
ada, namun ditemukan juga reruntuhan bangunan. Atas dasar tersebut muncul
asumsi bahwa reruntuhan bangunan itu pastilah merupakan bangunan candi. Maka
dilakukalah penelitian dan pemugaran pada 1960-an hingga 1970-an. Candi
Cangkuang pun menjadi candi pertama yang ada di Jawa Barat. Namun mengenai
bentuk bangunan, ketika dilakukan penelitian dan pemugaran hanya 40% yang
berasal dari batuan asli candi sehingga dilakukanlah pemugaran dengan batuan-batuan
lain dan adukan semen. Ini menyebabkan struktur bangunan di Cangkuang ini tidak
sepenuhnya asli. Menanggapi hal itu, Jiji sembari menunjuk kepada makam yang
berada di belakang museum mengatakan, “Ya batu-batu itu kebanyakan dipakai oleh
penduduk untuk dijadikan nisan. Kan penduduk nggak tahu itu batu candi
atau bukan.”
Meskipun ada unsur rekayasanya, tetaplah Candi Cangkuang menjadi
bangunan yang enak dan elok dipandang. Bersanding dengan hijaunya pepohonan di
sekitarnya. Membuat yang melihatnya merasakan kesejukan dan kedamaian hati.
Suara-suara burung makin menambah kesyahduan itu. Angin yang berembus dari
gunung-gunung sekitar candi seperti Haruman, Guntur, Kaledong, dan Mandalawangi
membuat suasana menjadi ayem dan tenang. Penat pun seakan lepas. Meskipun,
dalam keadaan itu, saya tidak melihat sama sekali pohon cangkuang (Pandanus
furcatus) yang menjadi asal muasal penamaan tempat.
Hujan pun reda. Keadaan seperti sediakala. Angin tetaplah berembus.
Di bawah bukit terlihatlah 1-2 rakit menepi di pinggiran situ sementara
beberapa orang sedang menikmati memancing ikan. Di bawah bukit itu juga tampak
anak-anak kecil bermain pedang-pedangan di pasar yang menjual oleh-oleh. Senyum
polos begitu terpancar di wajah mereka. Begitu indah. Seindah toleransi di
Candi Cangkuang.