Judul: Cerita Etnis 5 Negara Serumpun
Penyusun: Free Hearty dan Handoko F. Zainsam
Jumlah Halaman: 290
Penerbit: Wohai, Juni 2013
Melayu bersatu? atau serumpun bersatu? Secara politik dan ekonomi rasanya tidak mungkin jika melihat kondisi negara-negara berbahasa Melayu saat ini yang boleh dikatakan timpang. Namun secara budaya dan adat-istiadat masih bisa apalagi jika itu disatukan dalam karya tulis berupa cerpen yang memang merupakan produk budaya. Dan di dalam cerpen-cerpen itu juga menceritakan perilaku-perilaku manusianya yang berbahasa Melayu meskipun berlatar belakang dari etnis yang berbeda-beda.
Inilah yang disajikan di dalam Cerita Etnis 5 Negara Serumpun, sebuah buku berisi kumpulan cerpen dari negara-negara berbahasa Melayu. Antara lain Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, tepatnya Thailand Selatan. Di dalamnya terdapat 26 cerpen karya para cerpenis dari masing-masing negara dan kebanyakan, jika melihat dari profilnya, sudah mempunyai nama dan malang-melintang di dunia cerpen negara masing-masing atau dalam karya-karya serumpun. Sebut saja Phaosan Jehwae dari Thailand, Rosmiaty Shaari dan Jaya Ramba dari Malaysia, M. Raudhah Jambak dan Syarifuddin Arifin dari Indonesia, Brahim A.H.T dari Brunei Darussalam. Nama terakhir termahsyur sebagai sastrawan papan atas negeri kecil di Kalimantan tersebut.
Kebanyakan tema cerita yang ditampilkan dalam antologi cerpen serumpun ini tidaklah lepas dari kehidupan dan permasalahan sehari-hari yang bisa dibilang sederhana. Namun dari kesederhanaan itu, ada sesuatu yang sejujurnya hendak diungkapkan oleh para cerpenis ini. Dalam Anak-Anak Dewa, Phaosan Jehwae memang bercerita dengan sederhana tentang kehidupan anak-anak Melayu di Thailand Selatan bernama Rafi dan Rafat, dua bersaudara yang tinggal bersama neneknya. Dalam cerpen satu-satunya dari Thailand itu, penulis yang mempunyai nama Melayu Che Wan Fauzan bin Che Wan Yusoff itu menyinggung tentang keadaan bangsa Pattani sebagai bangsa Melayu yang tinggal di Thailand Selatan dan menjadi minoritas. Ada semacam kegusaran dan kekhawatiran dari sang penulis mengenai anak-anak muda Patani, yang diwakili Rafi, yang gemar mengonsumsi obat-obat terlarang alias narkoba. Obat-obatan terlarang itu dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah Thailand yang malah lebih sibuk menangkap orang-orang yang dicurigai akan memerdekakan diri. Perlu diketahui, sejak lama Patani memang menginginkan kemerdekaan dari Thailand dan wilayah di selatan negara itu sudah lama dirundung konflik. Simaklah kegusaran tersebut,
"Jika kita tinjau dari segi ekonomi, jika seorang penagih membelanjakan 500 bath seorang, bagaimana jika 90% pemuda di Patani penagihnya. Bangsa Patani hanya akan tinggal dalam catata sejarah saja, tentang kebesaran ratu-ratu dan ulama-ulama bertaraf dunia. Nampaknya tidak ada tindakan apa-apa dari pihak kerajaan untuk membasmi secara sungguh-sungguh fenomena yang sedang berlaku. Sikit-sikit masalah puak-puak yang menuntut kemerdekaan. Sebenarnya apa motif dan kehendak mereka?" (hal.4).
Selain isu kemerdekaan, isu politik juga kental dalam salah satu antologi cerpen serumpun ini. Djazlam Zainal dalam Panas menceritakan tentang politik di Malaysia setiap menjelang pemilihan umum atau pilihan raya, istilah di sana. Dalam Panas, terlihat sang cerpeni berusaha mengkritik kebijakan UMPURNO ---plesetan dari UMNO--- yang dianggap mendiskriminasi pihak pembangkang atau oposisi yang diwakili Parti Dakapan Suci, yang bisa jadi merupakan koalisi yang digalang oleh Anwar Ibrahim dan PAS. Untuk menunjukkan bahwa Malaysia terdiri dari semua unsur, sang cerpenis melakukannya dengan sebuah diskusi politik sederhana antara para tokohnya yang terdiri dari Melayu, India, dan Cina.
Sementara dari Indonesia, isu-isu keetnisan lebih terasa menonjol. Bagaimana Dhenok Kristianti dalam Sejengkal Tanah, Sebilah Keris menceritakan dengan detail tentang adat-istiadat Bali mengenai penggunaan tanah mewakili dan nampak memperlihatkan kondisi Bali selepas menjadi tujuan utama wisata Indonesia dan internasional. Ada semacam pertentangan antara kaum muda yang diwakili Gung Wira dan Bli Gung yang mewakili kaum muda. Pertentangan antar-etnis juga terasa dan terlihat pada Alek Baralek dari Free Hearty, yang menceritakan kisah orangtua tokoh utama bernama Galuh, yang berbapak Minang, tetapi beribu Jawa. Dalam cerpen ini, diceritakan masa lalu kedua orangtua Galuh yang sempat mengalami cibiran dan pertentangan karena orangtua laki-lakinya menikahi perempuan Jawa. Dan yang tak boleh dilewatkan bagaimana seorang M. Raudhah Jambak dengan detail menceritakan keterbelakangan kehidupan di Indonesia Timur, tepatnya di Papua dalam Mbirokateya.
Sementara dari dua negara terakhir, Brunei Darussalam dan Singapura, isu-isu religius lebih terasa. Inin terlihat pada Sungai Pendaruan Mengalir Lesu karya Firdaus H.N dan Wawancara di Nazareth karya Pengiran Metassan. Di yang pertama menceritakan seorang lulusan sebuah universitas ternama di Brunei, Universiti Brunei Darussalam, yang hanya disebut dengan kata ganti "kau" dan "ia". Dalam cerpen ini juga oleh cerpenis diberitahukan tentang Brunei Darussalam, sebuah negara kecil yang berfalsafah Melayu Islam Beraja, setiap kemerdekaan selalu membaca Yassin dan tahlil sebagai ungkapan rasa syukur karena kemerdekaan yang diraih sejak 1984. Sedangkan dalam Wawancara di Nazareth, Pengiran Metassan, ingin mengungkapkan sebuah perjumpaan religius dengan Sitti Maryam, ibunda Nabi Isa di Nazareth. Di dalamnya terlihat bagaimana seorang Maryam yang berusaha memberi banyak peringatan dan wejangan kepada tokoh utama yang disebut dengan "aku" tentang umat Islam dan Kiamat. Terlihat ada upaya untuk menghidupkan Maryam meski hanya melalui hitam di atas putih. Selain isu-isu religius, cerita fabel berjudul Kucing dari Sosonjan A. Khan patut disimak sebab menceritakan tentang para kucing yang selalu menjadi objek kesalahan binatang-binatang lain.
Terakhir, dari "negeri singa", Singapura, isu religius terlihat pada Malam Kita Lupakan Ranjang dari Chempaka Aizim. Cerpen ini menceritakan kisah pertobatan tentang seorang mucikari yang tentu taubatnya itu membuat terkejut tokoh utama.
Sekilas, cerpen-cerpen yang ditulis dalam bahasa Melayu itu bisa dimengerti meskipun terdapat perbedaan, baik dari ejaan dan makna. Kata-kata seperti mahu, sahaja masih bisa dimengertikan sebagai mau dan saja. Tetapi, kata nenek, yang seharusnya untuk orangtua perempuan dari ayah/ibu, bisa berarti sebagai orangtua laki-laki dari ayah/ibu. Perbedaan itu memang terkadang membuat pembaca bahasa Indonesia bisa tidak nyaman. Tapi inilah yang sesungguhnya hendak disajikan dalam cerpen-cerpen ini. Literasi serumpun yang diutujukan untuk mempererat persaudaraan seperti yang dituturkan dalam kata pengantar di buku ini. Sehingga bisa dibilang untuk meminimalisasi konflik-konflik yang belakangan terjadi antara negara-negara serumpun seperti Indonesia dan Malaysia yang terjadi belakangan.
Konflik-konflik yang demikian terjadi karena seringnya kesalahpahaman antara pihak-pihak yang bertikai. Dan apa karena hal tersebut kedua negara menjadi penyumbang terbanyak daripada negara-negara Melayu lainnya? Apapun itu, antologi ini patut diapresiasi.
Penyusun: Free Hearty dan Handoko F. Zainsam
Jumlah Halaman: 290
Penerbit: Wohai, Juni 2013
Melayu bersatu? atau serumpun bersatu? Secara politik dan ekonomi rasanya tidak mungkin jika melihat kondisi negara-negara berbahasa Melayu saat ini yang boleh dikatakan timpang. Namun secara budaya dan adat-istiadat masih bisa apalagi jika itu disatukan dalam karya tulis berupa cerpen yang memang merupakan produk budaya. Dan di dalam cerpen-cerpen itu juga menceritakan perilaku-perilaku manusianya yang berbahasa Melayu meskipun berlatar belakang dari etnis yang berbeda-beda.
Inilah yang disajikan di dalam Cerita Etnis 5 Negara Serumpun, sebuah buku berisi kumpulan cerpen dari negara-negara berbahasa Melayu. Antara lain Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, tepatnya Thailand Selatan. Di dalamnya terdapat 26 cerpen karya para cerpenis dari masing-masing negara dan kebanyakan, jika melihat dari profilnya, sudah mempunyai nama dan malang-melintang di dunia cerpen negara masing-masing atau dalam karya-karya serumpun. Sebut saja Phaosan Jehwae dari Thailand, Rosmiaty Shaari dan Jaya Ramba dari Malaysia, M. Raudhah Jambak dan Syarifuddin Arifin dari Indonesia, Brahim A.H.T dari Brunei Darussalam. Nama terakhir termahsyur sebagai sastrawan papan atas negeri kecil di Kalimantan tersebut.
Kebanyakan tema cerita yang ditampilkan dalam antologi cerpen serumpun ini tidaklah lepas dari kehidupan dan permasalahan sehari-hari yang bisa dibilang sederhana. Namun dari kesederhanaan itu, ada sesuatu yang sejujurnya hendak diungkapkan oleh para cerpenis ini. Dalam Anak-Anak Dewa, Phaosan Jehwae memang bercerita dengan sederhana tentang kehidupan anak-anak Melayu di Thailand Selatan bernama Rafi dan Rafat, dua bersaudara yang tinggal bersama neneknya. Dalam cerpen satu-satunya dari Thailand itu, penulis yang mempunyai nama Melayu Che Wan Fauzan bin Che Wan Yusoff itu menyinggung tentang keadaan bangsa Pattani sebagai bangsa Melayu yang tinggal di Thailand Selatan dan menjadi minoritas. Ada semacam kegusaran dan kekhawatiran dari sang penulis mengenai anak-anak muda Patani, yang diwakili Rafi, yang gemar mengonsumsi obat-obat terlarang alias narkoba. Obat-obatan terlarang itu dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah Thailand yang malah lebih sibuk menangkap orang-orang yang dicurigai akan memerdekakan diri. Perlu diketahui, sejak lama Patani memang menginginkan kemerdekaan dari Thailand dan wilayah di selatan negara itu sudah lama dirundung konflik. Simaklah kegusaran tersebut,
"Jika kita tinjau dari segi ekonomi, jika seorang penagih membelanjakan 500 bath seorang, bagaimana jika 90% pemuda di Patani penagihnya. Bangsa Patani hanya akan tinggal dalam catata sejarah saja, tentang kebesaran ratu-ratu dan ulama-ulama bertaraf dunia. Nampaknya tidak ada tindakan apa-apa dari pihak kerajaan untuk membasmi secara sungguh-sungguh fenomena yang sedang berlaku. Sikit-sikit masalah puak-puak yang menuntut kemerdekaan. Sebenarnya apa motif dan kehendak mereka?" (hal.4).
Selain isu kemerdekaan, isu politik juga kental dalam salah satu antologi cerpen serumpun ini. Djazlam Zainal dalam Panas menceritakan tentang politik di Malaysia setiap menjelang pemilihan umum atau pilihan raya, istilah di sana. Dalam Panas, terlihat sang cerpeni berusaha mengkritik kebijakan UMPURNO ---plesetan dari UMNO--- yang dianggap mendiskriminasi pihak pembangkang atau oposisi yang diwakili Parti Dakapan Suci, yang bisa jadi merupakan koalisi yang digalang oleh Anwar Ibrahim dan PAS. Untuk menunjukkan bahwa Malaysia terdiri dari semua unsur, sang cerpenis melakukannya dengan sebuah diskusi politik sederhana antara para tokohnya yang terdiri dari Melayu, India, dan Cina.
Sementara dari Indonesia, isu-isu keetnisan lebih terasa menonjol. Bagaimana Dhenok Kristianti dalam Sejengkal Tanah, Sebilah Keris menceritakan dengan detail tentang adat-istiadat Bali mengenai penggunaan tanah mewakili dan nampak memperlihatkan kondisi Bali selepas menjadi tujuan utama wisata Indonesia dan internasional. Ada semacam pertentangan antara kaum muda yang diwakili Gung Wira dan Bli Gung yang mewakili kaum muda. Pertentangan antar-etnis juga terasa dan terlihat pada Alek Baralek dari Free Hearty, yang menceritakan kisah orangtua tokoh utama bernama Galuh, yang berbapak Minang, tetapi beribu Jawa. Dalam cerpen ini, diceritakan masa lalu kedua orangtua Galuh yang sempat mengalami cibiran dan pertentangan karena orangtua laki-lakinya menikahi perempuan Jawa. Dan yang tak boleh dilewatkan bagaimana seorang M. Raudhah Jambak dengan detail menceritakan keterbelakangan kehidupan di Indonesia Timur, tepatnya di Papua dalam Mbirokateya.
Sementara dari dua negara terakhir, Brunei Darussalam dan Singapura, isu-isu religius lebih terasa. Inin terlihat pada Sungai Pendaruan Mengalir Lesu karya Firdaus H.N dan Wawancara di Nazareth karya Pengiran Metassan. Di yang pertama menceritakan seorang lulusan sebuah universitas ternama di Brunei, Universiti Brunei Darussalam, yang hanya disebut dengan kata ganti "kau" dan "ia". Dalam cerpen ini juga oleh cerpenis diberitahukan tentang Brunei Darussalam, sebuah negara kecil yang berfalsafah Melayu Islam Beraja, setiap kemerdekaan selalu membaca Yassin dan tahlil sebagai ungkapan rasa syukur karena kemerdekaan yang diraih sejak 1984. Sedangkan dalam Wawancara di Nazareth, Pengiran Metassan, ingin mengungkapkan sebuah perjumpaan religius dengan Sitti Maryam, ibunda Nabi Isa di Nazareth. Di dalamnya terlihat bagaimana seorang Maryam yang berusaha memberi banyak peringatan dan wejangan kepada tokoh utama yang disebut dengan "aku" tentang umat Islam dan Kiamat. Terlihat ada upaya untuk menghidupkan Maryam meski hanya melalui hitam di atas putih. Selain isu-isu religius, cerita fabel berjudul Kucing dari Sosonjan A. Khan patut disimak sebab menceritakan tentang para kucing yang selalu menjadi objek kesalahan binatang-binatang lain.
Terakhir, dari "negeri singa", Singapura, isu religius terlihat pada Malam Kita Lupakan Ranjang dari Chempaka Aizim. Cerpen ini menceritakan kisah pertobatan tentang seorang mucikari yang tentu taubatnya itu membuat terkejut tokoh utama.
Sekilas, cerpen-cerpen yang ditulis dalam bahasa Melayu itu bisa dimengerti meskipun terdapat perbedaan, baik dari ejaan dan makna. Kata-kata seperti mahu, sahaja masih bisa dimengertikan sebagai mau dan saja. Tetapi, kata nenek, yang seharusnya untuk orangtua perempuan dari ayah/ibu, bisa berarti sebagai orangtua laki-laki dari ayah/ibu. Perbedaan itu memang terkadang membuat pembaca bahasa Indonesia bisa tidak nyaman. Tapi inilah yang sesungguhnya hendak disajikan dalam cerpen-cerpen ini. Literasi serumpun yang diutujukan untuk mempererat persaudaraan seperti yang dituturkan dalam kata pengantar di buku ini. Sehingga bisa dibilang untuk meminimalisasi konflik-konflik yang belakangan terjadi antara negara-negara serumpun seperti Indonesia dan Malaysia yang terjadi belakangan.
Konflik-konflik yang demikian terjadi karena seringnya kesalahpahaman antara pihak-pihak yang bertikai. Dan apa karena hal tersebut kedua negara menjadi penyumbang terbanyak daripada negara-negara Melayu lainnya? Apapun itu, antologi ini patut diapresiasi.
Trims....
BalasHapus