Pages

Senin, 23 September 2013

Nuk*

Matahari masih menggantung di ufuk barat. Sebentar lagi cahaya terbesar alam semesta itu akan menenggelamkan diri, merayap bagian bumi lainnya yang siap menerima cahayanya. Langit memerah menguning. Gelap sudah mulai terasa. Siluet burung-burung nampak beterbangan mencoba menjadi latar bagi senja yang selalu berulang setiap hari. Potret senja itu jelas menjadi santapan bagi mereka yang menyukai senja untuk diabadikan ke dalam kamera, baik digital atau kamera. Selanjutnya diunggah ke dalam jejaring sosial untuk menyatakan dan membagi betapa indahnya senja itu. Apalagi senja yang dimaksud berlatar depan sebuah bangunan megah dari masa lampau, Candi Borobudur. Sungguh tak seorang pun mau melewatkan ini. Bisa dipastikan kilatan cahaya menyambangi pendaran cahaya senja itu.

Bagi Rudi, pemandangan senja itu merupakan hal yang biasa. Tiap hari ia melihat senja itu dari tempat kerjanya, sebuah hotel di kawasan dekat candi Buddha terbesar di Asia Tenggara itu. Di hotel itu ia bekerja sebagai seorang pegawai hotel yang diikhususkan mengantar para turis ke kawasan Borobudur. Tak hanya mengantar, ia juga memandu mereka ke candi tersebut. Menjelaskan asal mula candi itu, sejarahnya dari zaman baheula hingga sekarang. Berulang kali ini ia lakukan sampai-sampai ia menjadi di luar kepala dan bisa dengan caranya sendiri mengatur untuk menjelaskan setiap detail-detail dan sejarah Borobudur. Tentu saja ada perasaan bosan dan ia ingin rehat sejenak dari pekerjaan ini dengan pergi ke pantai. Menikmati alunan ombak dan pasir putih. Tetapi, di dalam rehat pun ia merindukan dan ingin secepatnya kembali. Apalagi atasannya menjanjikan ia tambahan gaji jika ia bisa meningkatkan kinerjanya supaya lebih baik.

Tiap kali mengantar dan memandu, tiap kali ia juga berhadapan dengan banyak wajah dari berbagai bangsa. Coklat, sawo matang, hitam, putih, bahkan kuning. Menjelaskan dengan sabar sejarah Borobudur meski terkadang tak begitu ditanggapi. Membiarkan diri diterpa dengan siang yang menyengat yang membuat tenggorokan minta diairi. Tapi, itulah risiko dari pekerjaannya. Pekerjaan yang sebenarnya bukan pekerjaan idaman selepas lulus kuliah dari sebuah universitas di Solo. Ia sebenarnya ingin menjadi diplomat. Tapi, apa daya syarat menjadi diplomat cukup berat dan harus menunggu umur 45. Kemampuan berbahasa Inggris yang dimilikinya, selain bahasa-bahasa asing lainnya membuat ia mau dan menyanggupi untuk bekerja di salah satu hotel di Borobudur ketika hotel itu membuka lowongan pekerjaan.

Tiap kali mengantar dan memandu juga, ia berkenalan dengan banyak wajah dari berbagai dunia yang juga mmepunyai banyak karakter. Ada yang antusias sampai begitu aktif bertanya-tanya. Ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang tak terlalu begitu antusias dan kagum alias masa bodoh. Dari banyak wajah itu, turis-turis dari Asia Timur yang paling sering berceloteh sedangkan turis-turis dari Barat diam namun mengamati, dan turis-turis dari Mediterania sesekali tertawa. Rudi tak begitu menangkap kesan istimewa di antara mereka walaupun turis-turis, terutama para wanita, memakai pakaian terbuka yang cukup membelalakkan mata apalagi di siang yang menguras tenaga. Lagipula mereka yang gemar memakai pakaian terbuka harus menutup bawahannya supaya terlihat sopan.

Hanya saja ada yang harus membuatnya terkesan dari sekian wajah yang banyak ia jumpai. Seorang wanita membuatnya terpikat dan jatuh cinta walaupun bukan pada pandangan pertama. Ya, Rudi menganggap ia biasa-biasa saja seperti turis lainnya namun lama-kelamaan ia merasa tertarik pada wanita itu. Arruny nama wanita itu. Parasnya putih. Rambut panjang. Pendek, dan enak diajak bicara. Adalah sebuah kesalahan dilakukan Arruniy. Kesalahan ini yang membuat Rudi berinteraksi dengannya. Di dalam sebuah rombongan yang terdiri dari 10-15 orang, Rudi merasa ada yang tertinggal di dalam rombongannya setelah berkeliling Borobudur. Ia kemudian mengabsen satu per satu turis-turis yang ada di dalam rombongannya. Kebanyakan dari Eropa, Amerika, serta Asia Timur, dan satu Asia Tenggara. Ketika di daftar absen itu ada nama Arruny Chantou dan berasal dari Kamboja, ia lalu memanggilnya, tak ada jawaban, ia segera mencari-cari dan meminta turis-turis yang lain untuk menetap di titik temu yang ditetapkan, bagian candi yang menghadap ke Bukit Menoreh. Supaya aman, ia meminta salah satu rekannya agar segera datang menjaga turis-turis itu selagi ia mencari si turis asal Kamboja.

Ketika temannya, Aryo datang, Rudi segera bergegas dan mulai mencari-cari di bagian candi yang lain. Ia berteriak-teriak lalu bertanya kepada pemandu yang lain tentang sosok yang dicarinya. Namun tak ada yang tahu. Ia bertanya dalam hati, kemanakah gerangan ini orang? kenapa harus menghilang segala. Rasa kesal muncul di dalam dirinya. Huh, menyusahkan saja. Ia kemudian mencari lagi. Kali ini malah ke arah Candi Mendut alias sudah mau keluar dari kawasan candi. Ia berpikir pasti turis itu ada di desa di sekitar candi. Berjalanlah ia ke desa yang jarak sekira 1 kilometer itu. Cukup lelah memang tetapi mau bagaimana lagi. Turis itu menjadi tanggung jawabnya. Kalau hilang bisa-bisa ia bakal kehilangan pekerjaannya.
"Ini turis kok kaya hantu? hilang begitu saja," ujarnya kesal pada diri sendiri.
Rasa lelah menghantuinya. Ia mau tidak mau harus mencari bahan bakar berupa air minum. Sebuah warung terdekat disinggahinya. Ia pesan sebuah minuman dingin.
"Capek banget le sepertinya," kata si pemilik warung.
"Iya, bu," jawabnya, "Ada turis hilang dari rombongan saya. Nyusahin aja,"
Ia teguk minuman dingin yang dipesannya dan merasakan dahaga yang kemudian hilang.
"Kok bisa le?" tanya si pemilik warung.
"Tidak tahu, bu," jawab Rudi sambil meneguk lagi, "Orang saya sudah bilang jangan pisah dari rombongan. Tapi dia ini nakal,"
Ketika mereka sedang berbincang, tiba-tiba muncullah suara dari belakang. Suara itu berkata dalam bahasa Inggris,
"Sorry, do you know which way to Borobudur?"
Rudi segera membalikkan badan. Dan terkejutlah ia ternyata suara itu berasal dari orang yang tengah ia cari-cari, Arruny. Ia segera berdiri dan berkata dalam bahasa Inggris,
"Kemana saja kamu, hei? Saya mencari-cari kamu,"
Arruny yang sadar bahwa yang dihadapinya itu adalah pemandunya hanya tersenyum lalu berkilah,
"Maaf, tadi saya hanya mencoba keluar untuk memotret-motret desa di sini. Kelihatannya lebih menarik daripada Borobudur,"
"Ya apa pun itu kamu hampir membuat saya kehilangan pekerjaan," ujar Rudi yang nampaknya kesal namun gembira, "Ayo kita kembali ke rombongan,"
Rudi lalu membawa Arruny berjalan kembali ke rombongan setelah sebelumnya membayar uang minuman dingin.
"Ingat lho saya harus bertanggung jawab terhadap turis yang saya bawa dan tolong jangan seperti itu lagi,"
"Iya, maaf, saya hanya mengikuti naluri saja,"
"Apa pun itu, tanpa seizin saya, tidak boleh,"
"Iya,"

Kejadian itulah yang membuatnya harus terus berinteraksi dengan Arruny. Ketika di hotel pun, Arruny membuat masalah lagi karena kehilangan kunci kamarnya. Hal yang membuat Rudi menjadi geram dan memperingatkan Arruny agar berhati-hati supaya tidak ceroboh. Kehilangan kunci bisa membuat Arruny didenda puluhan ribu rupiah, atau kalau tidak Rudi yang harus bertanggung jawab. Untungnya, kunci hotel itu ketemu. Ia terselip di bawah pintu kamar.
"Jaga baik-baik dan jangan sampai hilang," ujar Rudi setelah itu.
"Iya, maaf ya merepotkan," jawab Arruny dengan senyum, "Terima kasih,"
Arruny segera masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

Esok pagi, ketika sedang tidak ada pekerjaan, Arruny tiba-tiba mendekatinya. Memintanya diantarkan. Rudi menyanggupi. Salah satu temannya, Heri, berkata,
"Cantik tuh cewek, bro. Sayang dianggurin,"
"Maksudmu apa?"
"Ya, pacarin aja,"
"Sembarangan kamu,"
Heri hanya tertawa-tawa.

Maka, diantarlah Arruny oleh Rudi keliling Borobudur dengan mobil dan kemudian ke arah Yogyakarta. Rudi sembari menjelaskan tiap daerah yang dilewati dengan gaya pemandu.
"Kamu dari tadi bicara mulu memangnya tidak capek," ujar Arruny yang kemudian ikatan rambutnya hingga terurai panjang. Saat itulah, Rudi melihat pesona dari wanita Khmer ini. Oh, cantik rupanya, ujarnya dalam hati.
"Capek memang," kata Rudi kaku.
"Kalau begitu berhentilah," ujar Arruny, "Saya ingin menikmati alam di sini tanpa harus mendengar panduan,"
"Baiklah," ujar Rudi menurut.

Arruny lalu memperkenalkan dirinya secara jelas. Ia berasal dari Kamboja, tepatnya dari Siem Reap, sebuah kota kecil yang terkenal dengan situs warisan dunianya, Angkor Wat. Mendengar Angkor Wat, Rudi hanya mengingat tentang Tomb Raider yang katanya pernah melakukan proses syuting di situ. Ya, candinya lumayan besar. Itu juga yang ia ingat kala melihat di internet. Ia pun teringat setelahnya bahwa Borobudur dan Angkor Wat mempunyai hubungan historis di masa lalu mengingat salah satu raja di Angkor, Jayawarman II pernah menetap di Jawa di masa dinasti Syailendra, dinasti pendiri Borobudur. Di masa lalu itu antara Indonesia yang diwakili Jawa dan Kamboja yang diwakili Khmer sering terjadi banyak interaksi terutama di perdagangan. Bukankah Khmer dahulunya merupakan bagian dari Jawa?

Dan pertemuan dengan Arruny ini seperti membuka tabir masa lalu.

"Saya ke Borobudur ingin mengetahui Borobudur itu seperti apa dan bagaimana relasi historis antara Angkor Wat dan Borobudur. Ya ini seperti sebuah perjalanan historis antara bangsa pendiri kedua candi,"
"Dan kamu sudah tahu kan Borobudur itu seperti apa?" tanya Rudi.
"Ya saya sudah tahu," kata Arruny, "Cukup besar tetapi tidak sebesar Angkor Wat,"
"Maksudmu?"
"Angkor Wat sejujurnya bukan merupakan satu candi tetapi banyak candi dalam satu kompleks. Apa kamu tahu Angkor Wat itu berarti kota besar? Boleh dibilang Angkor Wat dan candi-candi lainnya adalah sebuah permukiman bangsa Khmer di masa lalu. Nanti ketika kamu ke sana kamu akan tahu betapa luasnya candi-candi yang kami miliki dan kebanyakan berada di dalam hutan,"
"Hutan? Maksudnya kita berjalan ke dalam hutan untuk melihat semuanya,"
"Iya, dan ini bukan perjalanan sehari tetapi bisa dua atau seminggu,"
"Saya malah jadi penasaran,"

Arruny hanya tersenyum. Senyumnya membuat Rudi seketika takluk. Oh, begitu cantiknya wanita Khmer ini. Ia merasa jatuh cinta.Saking merasa jatuh cinta, Rudi yang mabuk itu bertanya tentang arti namanya. Arruny menjawab bahwa arti namanya adalah matahari terbit. Di saat itulah Rudi menggombal,
"Oh, pantas wajahmu selalu berseri. Aku suka itu,"

Arruny hanya tersipu. Ia tahu Rudi menyukainya. Sesuatu yang ia harapkan. Ia juga menyukai Rudi. Namun mencoba memancing supaya terlihat.

Seharian itu Rudi mengantarnya keliling Yogyakarta. Menjelaskan secara detail kota Yogyakarta mulai dari sejarah hingga tempat-tempat wisatanya juga kulinernya.

"Kota yang tenang dan adem ayem seperti di Siem Reap," komentar Arruny ketika mereka berada di Malioboro, "Orang-orang yang ramah. Saya sungguh suka,"
"Oh, terima kasih," kata Rudi, "Itulah kami. Tetapi saya jadi penasaran dengan Siem Reap,"
"Datanglah ke kotaku dan saya akan menyambut kamu di sana dengan ramah. Kamu akan merasakan keramahan khas Kamboja,"
"Ya, semoga ada waktu dan saya akan ke sana,"

Rasa jatuh cinta dibarengi dengan keinginan menyambangi langsung Siem Reap membuat Rudi merasa harus menyatakan cintanya ketika tahu lusa Arruny harus kembali ke Kamboja via Kuala Lumpur. Maka, pada esok malamnya, di sebuah tempat sepi di hotel, berhadapan dengan kolam ikan dan ditemani nyanyian jangkrik, Rudi menyatakan cintanya pada Arruny. Arruny yang tahu hal itu pura-pura terkejut lalu mencoba mengetes Rudi mengenai apa yang dikatakannya. Rudi mencoba meyakinkan sampai akhirnya Arruny mau menerima cintanya dan menjadikan Rudi sebagai pacarnya. Malam itu, selepas berikrar menjadi pasangan satu sama lain mereka bermesra-mesraan. Esok harinya, hari terakhir Arruny di Yogyakarta, Rudi mengantarnya ke Gunung Merapi. Di sanalah Arruny merasakan keterpesonaan panorama indah gunung itu. Di sanalah keduanya kembali bermesra-mesraan untuk terakhir kalinya. Ketika akan berpisah esoknya, keduanya seakan tak mau berpisah. Tetapi, Arruny harus kembali sebab ia harus bekerja. Begitu juga Rudi. Keduanya saling berucap sayang dan rindu. Rudi merasa waktunya cepat sekali harus berpisah.

Selepas berpisah, keduanya terus mengintensifkan komunikasi melalui Whatsapp. Sayang dan rindu selalu terucap ketika memulai dan mengakhiri pembicaraan. Rudi merasa harus mencari waktu yang tepat untuk bisa berlibur ke Kamboja, tepatnya ke Siem Reap. Membayangkan ia akan bertemu Arruny, melepas rindu lalu berjalan bersama ke dalam Angkor Wat. Oh, sungguh indah!

"Sudah samperi saja pacarmu itu," kata Heri, "Pergilah ke Kamboja,"
"Besok aku pergi kok," kata Rudi, "Sudah bilang ke atasan dan membolehkan,"
"Bagus dong," kata Heri senang, "Jangan lupa oleh-olehnya,"
"Pasti lah, bro,"

Di senja itulah dari hotel, Rudi menerawang. Membayangkan wajah Arruny yang tersenyum bersanding dengan siluet Borobudur. Rasa rindu itu tak bisa ditahan. Jawabannya hanyalah bertemu. Maka, leburlah rindu itu. Ia berharap esok bisa ke lancar terbang dari Yogyakarta ke Kuala Lumpur lalu ke Siem Reap. Sebuah relasi historis yang lama terpendam muncul kembali ketika cinta meruak di lubuk.

*bahasa Khmer: Kangen


0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran