Judul: The Fall of Khilafah: Perang Besar yang Meruntuhkan Khilafah Ustmaniyah dan Mengubah Selamanya Wajah Timur Tengah
Penulis: Eugene Rogan
Jumlah Halaman: 589 halaman
Terbit: Agustus 2016
--------------------------------------
Tanggal 2 Agustus 1990, sebuah invasi secara cepat dilancarkan oleh Irak ke Kuwait. Irak yang kala itu dipimpin Saddam Hussein tanpa kesulitan menguasai Kuwait yang kemudian dijadikan bagian dari Negeri 1.001 malam tersebut. Alasan penyerangan bersifat ekonomis, yaitu jatah minyak Irak yang diserobot Kuwait, yang menyebabkan anjloknya perekenomian di negara itu. Apalagi, dua tahun sebelumnya Irak berperang dengan negara tetangganya, Iran, selama delapan tahun. Selain alasan ekonomis, Irak juga mengklaim bahwa Kuwait secara historis masuk wilayah Irak di zaman Kekhalifahan Ustmaniyah. Ketika itu, Kuwait merupakan bagian dari Basrah, salah satu kota penting di Irak selain Baghdad. Akibat perjanjian antara Kekhalifahan Ustmaniyah dan Inggris pada 1913, Kuwait kemudian lepas dan menjadi bagian dari Inggris. Invasi itu menyebabkan pemimpin Kuwait, Syekh Jaber Al Ahmed Al Sabah, melarikan diri. Banyak negara termasuk Amerika Serikat kemudian mengecam dan segera melancarkan serangan berkoalisi atas Irak sehingga pecahlah Perang Teluk.
Perang Teluk yang terjadi di masa awal dekade 90-an merupakan salah satu rangkaian konflik yang terjadi di Timur Tengah pasca Perang Dunia Kedua atau masa ketika kolonialisme Eropa berakhir secara fisik di Asia dan Afrika. Di Timur Tengah, kolonialisme Eropa masuk ketika penguasa wilayah itu selama ratusan tahun sebelumnya, Kekhalifahan Ustmaniyah, didepak. Terdepaknya Ustmaniyah ini tak lepas dari keikutsertaan negara itu dalam Perang Dunia Pertama. Bergabung dengan Jerman dan Austria dalam Blok Sentral, keputusan Ustmaniyah untuk mengikuti perang sebenarnya dibayang-bayangi ketidakpastian situasi, baik dalam negeri maupun luar negeri. Ustmaniyah adalah sebuah kekhalifahan dengan beragam etnis dan agama yang tersebar dari Eropa Timur, Afrika Utara, hingga Asia Barat. Kekhalifahan dari Asia Tengah yang didirikan oleh Usman pada 1280 adalah salah satu kekhalifahan yang cukup disegani, baik di dunia Islam maupun oleh Barat, terutama dari segi kemiliteran. Apalagi setelah Konstantinopel berhasil direbut dari Byzantium, dan diubah nama menjadi Istanbul, Barat bertambah waspada. Akan tetapi akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Ustmaniyah mulai tidak menunjukkan taringnya lagi dan lemah setelah beberapa wilayahnya di Balkan memberontak dan melepaskan diri. Sampai-sampai kekhalifahan ini pun diberi julukan pesakitan dari Eropa.
Dengan keragaman yang dimiliki, praktis membuat Kekhalifahan Ustmaniyah mengalami banyak permasalahan, seperti memberontaknya orang-orang Armenia dan Arab. Belum lagi Ustmaniyah juga rentan akan serangan Rusia dan negara-negara Barat yang menginginkan wilayah Kekhalifahan ini di Laut Hitam, Kauskasus, Anatolia, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Keadaan ini mau tidak mau melahirkan reformasi di Ustmaniyah pada 1908, dengan dipimpin oleh Turki Muda yang membatasi kekuasaan sultan. Turki Mudalah yang membawa Ustmaniyah memasuki peperangan yang pada akhirnya malah membawa kesengsaraan. Selepas Perang Dunia I, Ustmaniyah yang kalah harus merelakan wilayahnya lepas dan dibagi-bagi oleh pihak pemenang, Inggris dan Prancis. Hal inilah yang terjadi di wilayah Ustmaniyah di Timur Tengah, yang membentang dari Suriah hingga Yaman. Berawal dari Revolusi Arab yang digelorakan oleh pemimpin Mekkah, Sharif Husain, terhadap pemerintahan Ustmaniyah akibat Turkifikasi, Arab pun akhirnya berhasil merdeka dari Ustmaniyah dengan bantuan persenjataan dari Inggris. Akan tetapi selepas kemerdekaan itu melalui perjanjian damai di Versailles pada 1919, kontradiksi mulai terlihat. Beberapa wilayah yang disepakati murni untuk Arab diserobot Inggris dan Prancis. Dua negara ini pun melanggar perjanjian yang dibuat dengan Faisal sebagai perwakilan Arab. Akibatnya, Timur Tengah pun ibarat keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya.
Timur Tengah pasca Perang Dunia I juga harus menyaksikan ketika Palestina yang sebelumnya damai mulai terusik dengan kedatangan imigran Yahudi dari AS dan Eropa yang hendak menegakkan zionisme. Ini berawal dari Deklarasi Balfour pada 1917 yang salah satu poinnya mengizinkan pendirian negara Yahudi di Palestina oleh Inggris. Akibatnya, bisa ditebak. Selepas Inggris hengkang dari Palestina pasca Perang Dunia Kedua, timbullah konflik antara negara-negara Arab (Palestina) dan Israel, negara Yahudi yang didirikan pada 1948. Konflik itu berlanjut hingga sekarang meskipun sudah beberapa kali dihasilkan resolusi untuk kedua pihak. Selain konflik Palestina-Israel, konflik-konflik lain bermunculan di wilayah Timur Tengah lainnya seperti Perang Sipil Lebanon, Perang Irak, Perang Suriah, Perang Yaman, Perang Teluk, dan Arab Spring, dan belakangan ISIS.
Konflik-konflik yang lahir itu ditengarai beberapa pihak akibat sukuisme yang masih kuat dalam orang-orang Arab, ditambah dengan pragmatisme orang-orang Arab, terutama Badui dalam melihat kekuatan yang pantas didukung kala terjadi konflik, serta perbedaan sektarian. Inilah yang menyebabkan mengapa konflik-konflik di Timur Tengah tidak pernah bisa terselesaikan meskipun yang berkonflik itu satu iman. Adapun selepas Ustmaniyah tidak lagi menguasai wilayah itu, belum terlihat lagi kekuatan yang bisa meredakan konflik. Memang pernah muncul beberapa pemimpin yang ingin mempersatukan Arab seperti Gamal Abdul Nasser Saddam Hussein, dan Muammar Ghadaffi. Tetapi kemunculan mereka malah ditanggapi dengan keegoisan suku sehingga Arab tidak bisa bersatu. Bahkan pendirian Liga Arab pada 1945 juga tidak bisa mempersatukan orang-orang Arab hingga sekarang. Di masa Ustmaniyah boleh dibilang Timur Tengah dalam keadaan aman. Konflik yang ada bisa diredam dengan cepat seperti pemberontakan kaum Wahhabi yang ingin mendirikan negara Saudi.
Inilah yang sepertinya menjadi benang merah dalam buku yang ditulis oleh Eugene Rogan ini. Dengan gaya bertutur naratif, sejarawan kontemporer Inggris ini berhasil mengungkapkan peristiwa yang terjadi di masa lalu dan masa sekarang di Timur Tengah. Tanah kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Islam itu memang selalu bergejolak. Gejolak itu diperparah dengan masuknya pihak-pihak luar seperti AS, Eropa, dan Rusia, yang hanya mengincar sumber daya yang dimiliki kawasan itu, minyak, demi kelangsungan hidup mereka. Karena itu, tak mengherankan apabila AS begitu bernafsu menguasai Irak hanya karena minyak lantas menyebar isu senjata pemusnah massal atau Rusia yang begitu getol membela Bashar Al-Assad demi kepentingan strategis semata. Jadilah Timur Tengah kawasan yang dikoyak-koyak tak beraturan. Belum lagi konflik itu sekali lagi karena sukuisme dan sektarianisme malah membuat orang-orang di dalamnya saling berperang.
Rogan sepertinya dalam buku ini ingin mengatakan bahwa Revolusi Arab adalah revolusi yang terburu-buru dikobarkan untuk melepaskan diri dari Ustmaniyah. Apalagi, revolusi itu disusupi pihak asing yang memberikan janji politis namun akhirnya malah diingkari setelah semua tercapai sehingga memunculkan penderitaan baru yang harus dialami oleh para penerus yang mengobarkan revolusi itu. Padahal, pihak Ustmaniyah sudah akan memberikan otonomi penuh kepada bangsa Arab jika terus berada dalam lingkungan Kekhalifahan. Apalagi pihak Ustmaniyah mati-matian mempertahankan wilayah Arab seperti dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah, agar tidak jatuh ke pihak asing yang tidak seiman. Tetapi seperti sifat bangsa Arab yang pragmatis, hal itu tidak berlaku meskipun yang memberikan adalah saudara seiman.