Semua berawal dari
pedalaman dekat Timika, Papua. Belantara yang tadinya hening dan
senyap seketika berubah menjadi ramai oleh riuh desang-desing peluru.
Menyasar tubuh-tubuh yang berlindung di balik pepohonan besar dan
semak-semak belukar lebat. Tak kena. Hanya satu berhasil menembus.
Itu pun cuma di bagian lengan. Dan dia yang terkena diselamatkan
rekan-rekannya, bermuka hitam, berwajah Melanesia. Khas orang Papua.
Selagi diselamatkan, salah satu rekannya menembak untuk memberikan
perlindungan ke arah lawan, para tentara yang dilengkapi helm,
kacamata tempur, rompi anti-peluru, serta senapan serbu buatan dalam
negeri yang cukup menjanjikan, dan bahkan bisa mengalahkan M-16 dan
Uzi, SS1. Tentu keadaan ini berbeda dari lawan mereka di hadapan yang
melepaskan timah-timah panas dari balik pepohonan dan tanaman-tanaman
hutan. Mereka yang oleh para tentara itu diidentifikasi sebagai
kelompok separatis pengacau keamanan hanya bermodalkan AK-47, senjata
legendaris dari Uni Soviet untuk membalas.
pixabay |
Ya, tembak-menembak
antara separatis dan tentara terjadi akibat kelompok separatis yang
dipimpin Josef Maower, tiba-tiba meneror dan memburu para pekerja
Freeport di Timika. Mereka membunuh para pekerja itu yang dianggap
bekerja untuk kepentingan penjajah, Indonesia dan Amerika Serikat.
Bahkan, para pekerja yang asli Papua pun mereka bantai karena
dianggap sebagai pengkhianat. Tentu saja kejadian di Timika ini
membuat gempar semua orang, termasuk Presiden Imran Salampessy,
Presiden kedua dalam sejarah Indonesia yang berasal dari Indonesia
Timur setelah B.J. Habibie. Sama seperti Habibie, ia juga punya darah
Jawa dari sang ibu. Suatu hal yang tetap dapat membuatnya terpilih
sebagai Presiden.
Sang Presiden, yang
sebelumnya merupakan perwira di Angkatan Udara dengan pangkat
marsekal madya, dan penerbang Sukhoi-30 ketika menjabat kapten,
segera memerintahkan TNI-Polri melancarkan operasi militer gabungan
memburu dan kalau bisa menghabisi kelompok separatis itu sampai ke
akar-akarnya. Lagi pula Josef Maower memang buronan nomor satu
pemerintah. Aksi-aksinya kerap meresahkan warga, terutama di Timika.
Presiden Imran sepertinya geram dengan tingkah laku orang ini yang
licin bak belut kala akan ditangkap. Ia meminta setiap angkatan di
TNI dan Polri menerjunkan pasukan-pasukan khusus yang dilatih untuk
membasmi dan menangkap separatis dan teroris.
Dan, beberapa jam
setelahnya, setelah teror terjadi, dengan cepat pasukan-pasukan
khusus yang terdiri dari Kopassus, Kopaska, Paskhas, dan Brimob,
diterjunkan ke belantara Papua yang terlihat perawan dari atas
Hercules. Sedangkan pasukan yang lain diterjunkan ke Timika untuk
bergerak dan bergabung dengan rekan-rekan mereka yang telah mendarat
di hutan. Situasi ini mengingatkan akan Operasi Trikora pada dekade
awal 1960-an. Para tentara dan polisi itu diterjunkan sebagai unit
lintas udara ke hutan-hutan Papua untuk penyusupan demi membebaskan
Papua dari Belanda. Hanya saja musuh yang dihadapi bukan lagi
Belanda, melainkan kelompok separatis yang menginginkan Papua merdeka
dari Indonesia.
Pertempuran sengit kedua
kubu berlangsung sengit. Kelompok separatis, meski hanya berjumlah 20
orang, ternyata amat sulit ditaklukkan oleh para tentara yang
berjumlah 5 peleton alias ratusan personel. Keadaan alam memang cukup
membantu kelompok separatis itu. Mereka mengenal lebih dalam
seluk-beluk. Padahal dalam peleton itu ada anak asli Papua, Prajurit
Dua Robertus Wanggai. Ia ini yang sering dimintai saran oleh
komandannya, Letnan Dua Andri Syuhada. Bahkan ia diminta untuk
memimpin 5-10 rekan-rekannya maju ke pusat gerakan separatis yang
konon, melalui pengamatan drone, berada di tengah-tengah bukit
lapang, yang di semua sisi dibatasi oleh hutan-hutan lebat. Markas
itu berupa rumah rumbai, rumah khas Papua, dengan tanah lapang untuk
melatih para anggota.
Akan tetapi, bukan
tentara namanya, apalagi tentara Indonesia kalau tidak bisa
menaklukkan belantara. Bukannya dahulu tentara Indonesia adalah para
gerilyawan yang melawan kekuatan-kekuatan asing seperti Inggris dan
Belanda? Seharusnya sikap dasar itu tetap melekat. Apalagi tentara
Indonesia punya sosok bernama Abdul Haris Nasution yang menulis
tentang perang gerilya dan dijadikan rujukan tentara di seluruh
dunia, termasuk di Amerika. Namun, yang sukses mengejawantahkan itu
adalah Vietnam dalam perang melawan Amerika. Jikalau begitu, mengapa
untuk kelompok separatis yang mengandalkan taktik gerilya saja tidak
bisa?
"Ingat, kita semua
dahulu adalah gerilyawan," kata kepala pimpinan operasi
gabungan, Jenderal Musa Heryawan kepada para pimpinan pasukan khusus
saat briefing sebelum keberangkatan di Jakarta. Jenderal Musa adalah
lulusan terbaik Akmil di Magelang. Seorang yang cukup ambisius dan
selalu mengingatkan pentingnya akar sejarah TNI sebagai tentara
rakyat yang siap bergerilya dan menyusup ke dalam masyarakat jikalau
ada peperangan. Ada yang mengatakan ia ambisius karena berupaya ingin
menjadi Presiden dalam pemilu mendatang. Namun, ia menepis itu bahwa
sifatnya itu karena sudah turunan.
"Sebab, kita dahulu
adalah gerilyawan. Buat musuh seolah-olah mereka sedang menghadapi
gerilyawan. Tanamkan ruh Jenderal Soedirman di diri kalian
masing-masing. Ini bukan operasi biasa. Ini operasi untuk
menghancurkan musuh negara yang berupaya merusak NKRI. Paham!"
begitulah Jenderal Musa selalu berkata dengan nada tegas dan ambisius
di tiap mengadakan briefing. Ada yang menyukainya. Ada juga yang
tidak. Seperti Kolonel Laut Ivan Guntur dari Kopaska. Ia jujur tidak
menyukai keambisiusan Jenderal Musa. Ia mencium gelagat politik
jenderal kepala botak ini yang sepertinya mengincar kursi RI-1.
Makanya, ada semacam kebanggaan untuk bisa menyukseskan operasi
sebagai langkah awal ke Istana.
"Ini sudah tidak
murni lagi untuk NKRI," ujarnya berkomentar dalam hati sambil
memandang tajam si jenderal, "Mirip MacArthur saja," Ya,
Kolonel Ivan membayangkan bahwa Jenderal Musa mirip dengan Douglas
MacArthur, Jenderal Amerika yang populer pada masa Perang Dunia Kedua
dan Perang Korea. Kepopuleran itu ternyata sebagai bahan kampanye
sang jenderal untuk menuju Gedung Putih. Namun, kenyataannya tidak
berhasil.
Memang, tentara Indonesia
berembrio dari gerilyawan. Dan, semangat itulah yang dibawa-bawa kala
menghadapi separatis. Perlahan tapi pasti perlawanan separatis
berhasil dipadamkan. Mendekati malam, para tentara dan polisi
berhasil mendekati pusat gerakan. Disinyalir di markas itu 50 orang
lebih bersiaga menunggu kehadiran para aparat. Jenderal Musa sebagai
pimpinan dari balik meja menginginkan pengepungan dari segala arah
supaya para separatis terisolasi. Permintaan yang sulit mengingat
rimba Papua lebih ganas daripada Aceh dan Kalimantan. Ini yang
dikeluhkan salah satu perwira lapangan dari Kopassus, Kolonel Bintang
Timur.
"Pak, untuk
pengepungan saya rasa sulit, Pak," kata Kolonel Bintang
mengungkapkan rasa tidak setujunya terhadap permintaan Jenderal Musa,
"Medan di sini berbukit curam tajam. Bahkan, anak buah saya
melaporkan melalui pengamatan dari drone, ada jurang di depan.
Tentunya ini berbahaya bagi semua pasukan,"
"Sulit? Kamu bilang
itu sulit?" Jenderal Musa dengan nada tidak terima mulai berkata
pedas kepada anak buahnya itu, "Heh, kamu itu tentara, Bintang!
Segitu saja kamu bilang sulit! Rasanya kamu tidak pantas mengenakan
baret merah. Baret merah itu untuk jiwa liar dan pemberani. Bukan
penakut seperti kamu!"
Kolonel Bintang jelas
saja terkejut dengan pernyataan Jenderal Musa yang seperti menusuk
hati. Ia dalam hati benar-benar tidak terima apalagi ia berasal dari
keluarga prajurit. Kakeknya seorang bekas Peta yang kemudian menjadi
tentara di Divisi Siliwangi. Ayahnya seorang perwira menengah di
Angkatan Laut berpangkat mayor, dan sudah pensiun. Kakak dan adiknya
perwira polisi dan Angkatan Udara. Ia benar-benar tidak terima kala
dikatakan penakut oleh seorang jenderal yang hanya berlatar belakang
keluarga petani miskin.
"Maaf, Pak,"
kata Kolonel Bintang berupaya membalas dengan nada sabar dan tidak
emosi, "Bukannya saya penakut. Tapi, situasi di medan tidak
memungkinkan untuk kita melakukan pengepungan dari segala penjuru.
Saya sudah diskusikan dengan para perwira dari angkatan lain dan
kepolisian. Mereka juga mengatakan hal yang sama, Pak. Bahkan lihat
polisi saja yang sering berurusan dengan separatis berkata seperti
itu,"
"Saya tidak peduli,
Bintang!" kata Jenderal Musa menaik emosinya, "Saya
inginkan pengepungan. Kamu itu kan anak buah saya? Harusnya kamu
patuh! Kamu mau melawan? Kamu mau saya copot jabatan kamu, heh?
Keluar dari Baret Merah dan cuma menjadi instruktur saja, hah?"
Mendengar ancaman yang
demikian, Kolonel Bintang terdiam dan bingung. Ia terjebak dalam
dilema. Di satu sisi ia tak mau kebanggaannya posisinya sebagai
perwira Kopassus dicopot begitu saja hanya karena tidak mematuhi
perintah. Namun, di sisi lain ia harus mengorbankan banyak anak
buahnya. Pada akhirnya ia menuruti keinginan atasannya dengan berat
hati. Ia lalu mengutarakan hasil pembicaraan dengan Jenderal Musa
kepada para perwira lapangan lainnya. Ya, mereka mau tidak mau
menyetujui. Kemudian mengumumkannya ke anak buah masing-masing.
Dan pengepungan pun
dimulai.
Sebuah pengepungan yang
tidak biasa. Harus berhati-hati. Apalagi keadaan sudah gelap. Lampu
dan kacamata riben anti-gelap serta inframerah digunakan untuk
membantu penglihatan plus bantuan satelit melalui laptop untuk
memindai posisi musuh. Semua harus senyap dan bergerak bagai hantu.
Dar-der-dor
Tembak-menembak kembali
terjadi. Mereka yang berada di pusat gerakan terkejut kala dihujani
tembakan beruntun dan roboh satu per satu. Yang selamat segera
mengokang senapannya dan membalas. Bahkan ada yang berlari mencari
perlindungan lalu menembakkan peluru dari situ. Salah satu tentara
kemudian melempar granat. Dan teranglah suasana markas oleh ledakan.
Josef Maower yang tertidur segera terbangun. Mendapati markasnya
setengah hancur dan dalam suasana tempur. Ia segera mengambil
senapannya lalu menembakkan ke para penyerbu. Satu tentara terkena
bahunya dan meringis kesakitan. Teman di sampingnya segera menolong
sembari mengambil obat-obatan penenang dan pengoles luka. Sedangkan
yang lain melindungi sambil menembak.
Kini posisi musuh
benar-benar terkepung. Dari 50 lebih hanya tersisa Maower dan 10
pengikutnya. Mereka tetap mengadakan perlawanan dengan membabi buta.
Menembakkan peluru ke sana-sini. Mengenai para tentara walau tak
sampai tewas. Para komandan peleton menyuruh anak buahnya tetap
tenang dan jangan terpancing emosi sembari perlahan mendekati Maower.
Para perwira lapangan meminta perlunya negosiasi dengan musuh sebagai
soft power. Namun sepertinya itu hal yang sulit. Maower dan para
pengikutnya tetap mengadakan perlawanan. Sepertinya peluru mereka
tidak ada habis-habisnya. Menjelang larut malam keadaan masih tegang.
Sepertinya jika dibiarkan bisa sampai pagi. Padahal, permintaan
Jenderal Musa adalah sebelum fajar. Melihat kondisi demikian
sepertinya tidak mungkin.
Namun, dalam kondisi
seperti itu tiba-tiba muncullah seseorang yang menawarkan diri untuk
menghabisi pemberontak satu per satu.
"Kamu siapa?"
tanya Letnan Dua Andri Syuhada terhadap sosok itu. Ia lalu mengarah
ke depan. Membuat semua heran termasuk juga Kolonel Bintang,
"Hei, kamu siapa?
Jangan gegabah!" begitu Kolonel Bintang bertanya dan
memperingatkan.
"Anda tidak perlu
tahu saya siapa," jawab sosok itu tegas yang membuat Kolonel
Bintang terkejut dan terdiam tetapi tak sengaja matanya melihat bunga
dua di lencananya beserta nama di rompi anti-peluru: Safaruddin.
"Letnan Kolonel.
Safaruddin," ujar Kolonel Bintang dalam hati. Ia lantas
bertanya-tanya dari mana asal orang ini. Ia merasa tak punya anak
buah bernama Safaruddin dengan pangkat kolonel. Apa dari angkatan
lain?
Letnan Kolonel Safaruddin
segera bergerak laju dan cepat ke arah tembakan tanpa kenal takut. Ia
serbu para pemberontak dengan senapan. Satu per satu pun tersungkur.
Begitu juga Maower yang terkejut ditusuk dengan pisau setelah
senjatanya berhasil dirampas. Suasana pun berubah sepi. Kolonel
Bintang yang melihat situasi itu segera meminta anak buahnya bergerak
perlahan. Melalui radio ia juga meminta para perwira lapangan lainnya
menggerakkan anak buahnya ke markas pemberontak. Mereka semua
mendekat dan mendapati Maower beserta pengikutnya telah tewas. Tetapi
di manakah sosok itu yang diingat Kolonel Bintang sebagai Letnan
Kolonel Safaruddin? Ia mencari-cari sosok itu dan bertanya kepada
perwira lapangan lain dari AL, AU, dan Polri. Tetapi mereka malah
heran dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan Kolonel Bintang.
"Sudahlah, Kolonel,"
Kata Kolonel Udara Rudi Frans, "Sepertinya Kolonel sudah capek.
Bisa jadi itu fatamorgana,"
"Ah, iya kau benar
juga Kolonel Rudi," kata Kolonel Bintang mengiyakan.
"Mari kita istirahat
habis ini, Kolonel," kata Ivan Guntur menimpali, "Melepaskan
lelah dari keinginan ambisius si botak,"
"Ya, benar, Kolonel
Ivan," kata Kolonel Bintang menjawab, "Jujur, saya sudah
muak dengan tingkahnya. Benar-benar keras kepala,"
"Itu benar,
Kolonel," kata Ajun Komisaris Besar Ridwan Samosir, "Miriplah
dia dengan Jenderal Wawan, atasan saya yang dulu. Sepertinya mereka
cocok disandingkan bak Romeo dan Juliet,"
Keempat perwira menengah
itu tertawa-tawa. Anak buah mereka mengikuti. Tawa untuk melepas
ketegangan karena akhirnya bisa menyelesaikan operasi dengan Maower
tewas.
Beberapa hari setelah
operasi, kegemparan pun terjadi lagi. Kali ini bukan karena aksi
separatis merajalela kembali. Melainkan karena sosok Letnan Kolonel
Safaruddin yang terungkap dari bibir Kolonel Bintang ketika
diwawancarai awak media massa. Sosok itu juga yang mengherankan
Presiden Imran dan Jenderal Musa. Apalagi sosok yang bersangkutan itu
tidak ada di dalam angkatan mana pun. Bahkan di kepolisian. Sebab,
sosok inilah yang membunuh Josef Maower. Segera kegemparan itu
merebak. Berupaya mencari sosok Letnan Kolonel Safaruddin. Pusat
Sejarah TNI pun segera dimintai tolong untuk melacak sosok itu.
Media-media massa menjadikannya berita untuk mengerek keuntungan
belaka. Mereka pun juga bereferensi dari Pusat Sejarah TNI. Kolonel
Bintang pun sekejap menjadi bintang karena beberapa kali diundang
oleh televisi dan radio karena keberhasilannya membunuh Josep Maower
sehingga dipastikan separatisme di Papua usai. Josef Maower adalah
pimpinan terakhir kelompok itu. Jenderal Musa pun cemburu. Ia yang
ingin diundang dan diwawancarai demi ambisi menjadi RI-1.
Setelah menelisik dan
menelusuri, Pusat Sejarah TNI akhirnya dalam konferensi pers
mengumumkan bahwa Letnan Kolonel Safaruddin yang bernama panjang
Safaruddin Basari adalah seorang tentara yang pernah berjuang di
Pertempuran 10 November melawan Inggris dan melawan Belanda dalam
Agresi Militer Pertama tahun 1947. Dan di Agresi Militer itulah, ia
diketahui tewas terkena meriam Belanda saat memimpin pasukannya
bertempur menyerbu tangsi Belanda di Purworejo. Untuk meyakinkan
diperlihatkan foto sang letnan kolonel. Pertama, foto tahun 1945,
tanpa kumis. Kemudian, foto tahun 1947, dengan kumis. Foto itu
merupakan hasil pindaian dan bantuan grafis komputer. Ketika melihat
foto itu, Kolonel Bintang terkejut. Sebab, foto itu mirip dengan
sosok yang ia lihat ketika operasi di Papua. Hanya saja, sosok yang
ia lihat memakai helm berkacamata. Sedangkan, di foto hanya memakai
topi. Kembalilah ia bertanya-tanya siapakah sosok ini yang sepertinya
misterius, muncul sekejap, dan menghilang bagai hantu? Apakah ini
malaikat atau sosok lintas waktu? Bingung juga Kolonel Bintang
memikirkannya. Ia kemudian bergumam, ah sudahlah yang penting Maower
sudah tewas. Capek juga saya meladeni separatis satu itu.
Ketika Pusat Sejarah TNI
telah mengumumkan hasilnya ke publik, dan disiarkan ke media massa,
muncul beberapa klaim yang menyatakan pernah melihat sosok Letnan
Kolonel Safaruddin. Ada yang pernah melihat ia pada saat operasi
menumpas DI/TII, PRRI/Permesta, Andi Azis, terjun di Operasi Trikora
dan Dwikora, menghabisi kaum komunis pada 1965, bertempur di Operasi
Seroja, dan terakhir di Aceh pada 2003. Tentu saja yang berkata
demikian adalah para veteran. Mereka mengatakan bahwa sosok yang
mereka lihat sama seperti foto dan yang dilihat Kolonel Bintang.
Muncul tiba-tiba dan menghilang sekejap begitu tembak-menembak usai.
Klaim-klaim itu jelas ada yang menyangsikan. Namun ada juga yang
tidak. Malah menambah kesemarakan sekaligus kunci untuk mengetahui
sosok misterius ini.
Berita tentang Letnan
Kolonel Safaruddin pada akhirnya menjadi konsumsi publik selama
berminggu-minggu. Berita ini bahkan mengalahkan berita-berita artis
dan politik. Sampai-sampai rakyat kalangan bawah bergumam,
"Heran ya memang
siapa sih itu Letnan Kolonel Safaruddin? Kok orang jadi rame begini?"
begitu pertanyaan salah satu warga yang suka mangkal di pangkalan
ojek.
"Iya, gue juga nggak
ngerti. Nggak tau juga siapa dia. Bukan urusan gue lah. Yang penting
kita mah dapat makan," sahut warga yang lain.
"Dia itu ya manusia
lintas sejarah soalnya muncul di banyak pertempuran," kata warga
lainnya lagi sembari melihat hape.
"Ah, peduli amat
dah. Yang penting gue bisa makan. Kasih uang ke bini. Biayain anak,"
"Ya, iya lo bisa
makan. Tapi jangan masa bodoh gitu dong. Negara lo diserang, keluarga
lo kena, lo juga gitu,"
"Ya, itu mah beda,"
"Nah, makanya
sesekali tahulah beginian. Nih, kan lumayan jadi berita. Daripada
berita korupsi sama wakil rakyat mulu. Bosan,"
Begitulah sosok sang
prajurit misterius itu yang jadi buah bibir selama berminggu-minggu
itu. Akan tetapi setelah itu pemberitaannya memudar lalu menghilang.
Jalur pemberitaan kembali ke sediakala. Sampai akhirnya sosok itu
kembali menjadi pemberitaan ketika seorang perwira lapangan dari
Brimob melihatnya dan berkata kepadanya,
"Kamu tidak perlu
tahu siapa saya. Yang jelas saya akan menyertai kalian yang berkorban
demi NKRI,"
Itu terjadi pada saat
operasi penyergapan teroris di hutan-hutan Poso. Dan, kata perwira
kepolisian itu, para teroris dihabisi oleh sosok itu dengan sekejap.
Kembali pemerintah segera harus membuat penelusuran dan penelitian
mengenai Letnan Kolonel Safaruddin, si prajurit misterius.
0 komentar:
Posting Komentar