Belakangan begitu ramai pembangunan transportasi angkut cepat yang dipercaya mampu mengurangi kemacetan. Ya, setelah menyadari bahwa pembangunan jalan tol ternyata tidak mampu memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi kemacetan, pemerintah akhirnya menyadari bahwa transportasi berbasis rel yang sebenarnya bisa meminimalkan atau mengatasi kemacetan. Kesadaran ini muncul sejak tumbangnya rezim Orde Baru yang getol mendoktrin masyarakat agar mempunyai mobil supaya terlihat lebih bergengsi daripada angkutan massal seperti kereta api yang dianggap hanya untuk kelas bawah. Mulailah layanan yang berhubungan dengan kereta api diperbarui, diperbagus, dan direvitalisasi fungsinya. Terutama yang berada di perkotaan. Dimulai dari KRL Jabodetabek yang dianggap sebagai angkutan murah dan merakyat. Adalah Ignasius Jonan yang melakukan perubahan di semua lini KRL. Armada-armada diperbagus, dipercantik, di-retrofit walaupun kebanyakan bekas buatan Jepang. Gelandang, pengemis, dan pedagang asongan disingkirkan. Kios-kios di stasiun dirubuhkan untuk dijadikan lahan parkir. Stasiun-stasiun dipercantik, dan sistem pembayaran menggunakan kartu elektronik. Perlahan tapi pasti KRL Jabodetabek kembali seperti aslinya sebagai kereta penumpang sehingga menarik kembali minat masyarakat untuk menaiki kereta komuter yang aman dan nyaman meskipun untuk kecepatan belum jadi jaminan.
Akan tetapi, itu saja belum cukup. Rupa-rupanya kehadiran KRL yang ada sejak zaman Belanda itu belum dirasakan oleh mereka yang tak terjangkau jaringan KRL sehingga ke mana-mana tetap harus menggunakan kendaraan pribadi roda dua atau roda empat. Akibatnya, kemacetan tetap merajalela. Menanggapi hal itu, pemerintah yang memang baru benar-benar menyadari arti penting transportasi massal berbasis rel memutuskan membangun sebuah transportasi angkut cepat terutama di kawasan Jabodetabek. Kawasan ini diprediksi dalam lima tahun mendatang akan mengalami lonjakan penduduk yang besar, dan hal itu berpotensi menambah kemacetan apabila tidak diakomodasi oleh sistem transportasi angkut cepat massal. Seolah ingin menanggapi dan menghidupkan kembali ide Bung Karno pada dekade 60-an tentang pentingnya sistem transportasi massal bawah tanah, dan juga meneruskan kembali proyek yang pernah dicanangkan pada era 80-an, barulah pada 2013, Pemprov DKI Jakarta mengimplementasi sistem itu dengan nama MRT Jakarta atau Angkutan Cepat Terpadu Jakarta. Pembangunan moda transportasi yang punya nama beken metro ini sebenarnya boleh dibilang cukup terlambat mengingat beberapa negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, telah lebih dahulu mempunyai moda transportasi tersebut. MRT Jakarta yang dibangun ini direncanakan akan beroperasi pada 2018-2019 dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI lalu lanjut ke Kampung Bandan pada 2020. Selain MRT, dibangun juga moda transportasi rel bernama LRT Jabodetabek yang direncanakan beroperasi pada 2019 dari daerah-daerah penyangga seperti Bogor dan Bekasi ke pusat-pusat bisnis dan keuangan di Jakarta. Selain di Jabodetabek, juga tengah dibangun LRT Palembang untuk menyambut Asian Games 2018, dan Metro Kapsul di Bandung, yang seperti kata Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, untuk mengatasi atau meminimalkan kemacetan yang semakin parah di Kota Kembang.
Namun pembangunan yang sebenarnya bertujuan untuk kehidupan masyarakat urban yang lebih baik itu bukannya tanpa halangan jikalau itu berhubungan dengan permasalahan pembebasan lahan. Mengingat agak telat, pembebasan lahan pun menjadi mahal harganya seiring berjalannya waktu. Harga tanah pun meningkat per meter menjadi beberapa kali lipat. Apabila ini dilaksanakan pada waktu ketika harga tanah masih murah tentu hal demikian tidak akan terjadi. Tetapi saya di sini tidak akan membahas mengenai hal itu. Saya akan membahas perbedaan antara KRL, MRT, dan LRT.
Sebenarnya secara fisik ketiganya tidak terlalu mencolok. Sama-sama berbentuk kereta api dengan gerbong (rolling stock) alias tanpa lokomotif, dan sama-sama dialiri listrik pada bagian atasnya melalui pantograf. Belum lagi untuk ukuran rel, terutama di Indonesia, akan menggunakan ukuran rel 1.067 mm seperti di Jepang. Fungsi ketiganya pun sama, mengangkut massal penumpang secara bolak-balik di wilayah urban. Namun, jika diamati, ketiganya mempunyai perbedaan dalam jalur, pelayanan, dan gerbong. Ketika MRT Jakarta dibangun, muncul anggapan bahwa moda transportasi ini sebenarnya sama dengan KRL mengingat bentuk badan dan ukuran rel yang sama sehingga ada yang mengatakan untuk apa membuat MRT jika KRL sebenarnya sudah bisa menjadi MRT, dan yang ada malah menjadi pemborosan. Saya pun berpikiran sama awalnya. Namun setelah diamati ternyata terdapat perbedaan tak kasat mata dalam dua moda transportasi ini.
Sebagaimana diketahui, KRL merupakan moda transportasi rel yang umumnya melintas di permukaan tanah (surface). Karena melintas di permukaan tanah itulah sering dalam lintasan KRL ditemui banyak lintasan sebidang untuk penyeberangan mobil, motor, atau pejalan kaki. Lintasan-lintasan sebidang itu ada yang besar namun ada juga yang kecil seperti jalan tikus atau tembus. Inilah yang sering menyebabkan kecelakaan seperti tabrakan atau perjalanan KRL terhambat. Selain itu, lintasan KRL harus berbagi dengan kereta antarkota, kereta lokal, atau kereta barang. Hal seperti ini yang membuat perjalanan KRL menjadi terlambat karena harus mengalah ketika kereta dengan lokomotif lewat. Untuk panjang lintasan, KRL bisa mencapai hingga 200 km karena menjangkau sampai wilayah suburban atau uncivilized. Contohnya, KRL Jabodetabek meluaskan pelayanannya hingga Rangkasbitung yang jaraknya 70 km dari Tanah Abang. Lintasan-lintasan dalam KRL juga merupakan rel yang sudah ada atau existing rail mengingat ini adalah rel-rel yang dibangun dari zaman Belanda. Belanda sendiri awalnya membuat KRL untuk kepentingan ekonominya hingga ke luar kota, dan belum memikirkan bahwa di sekitar rel itu harus dibangun properti dan pusat perbelanjaan. Untuk jumlah gerbong KRL bisa mencapai hingga 20 gerbong. Namun di Indonesia maksimal 12 gerbong.
Sedangkan untuk MRT dan LRT, keduanya merupakan bagian dari sistem angkutan cepat massal yang lintasannya dibangun secara melayang (elevated) atau bawah tanah (underground). Karena sifat lintasan yang demikian, sehingga tidak akan ditemui lintasan sebidang. Hal inilah yang menjadi kelebihan keduanya karena bisa mencapai stasiun dengan stasiun lainnya dalam tempo lima menit. Selain itu, jalur keduanya merupakan jalur khusus yang tidak boleh dimasuki kereta antarkota, kereta lokal, dan barang. Apalagi keduanya tidak memakai jalur yang sudah ada, melainkan membangun jalur yang baru. Ini semua karena keduanya dikhususkan mempunyai sifat frekuensi angkut yang cepat, dan tidak seperti KRL yang lambat. Baik MRT maupun LRT, harus dialiri listrik. Sedangkan kereta komuter, dengan KRL di dalamnya, ada juga yang bermesin diesel atau KRD seperti yang banyak ditemui di luar Jabodetabek. Untuk area operasi, keduanya sebatas di wilayah urban alias tidak mencapai suburban. Karena itu, jumlah lintasannya maksimal 20-40 km. Perbedaan lainnya dengan KRL atau kereta komuter, keduanya dibangun berdasarkan dekat dengan tempat perbelanjaan, properti, dan pusat keuangan sehingga boleh dikatakan terencana dan mendetail. Namun untuk gerbong, baik MRT maupun LRT mempunyai perbedaan. MRT bisa seperti KRL dengan jumlah 6-8 gerbong sedangkan LRT hanya tiga gerbong sehubungan dengan jumlah penumpang yang diangkutnya maksimal 628 orang. Kecepatan keduanya demikian. MRT 60-80 km/jam, LRT 30-60 km/jam. Untuk LRT, ia adalah model peningkatan dari trem.
Nah, itulah beberapa perbedaan antara KRL, MRT, dan LRT. Tulisan saya ini sebenarnya bukan tergolong baru mengingat sudah ada banyak tulisan semacam ini. Namun saya cuma menambahkan dari beberapa sumber yang saya baca. Dengan demikian, perbedaan ini tidak akan membuat orang salah kaprah dan sebut antara ketiganya hanya karena sama-sama dijalankan di atas rel.
kontan.co.id |
Akan tetapi, itu saja belum cukup. Rupa-rupanya kehadiran KRL yang ada sejak zaman Belanda itu belum dirasakan oleh mereka yang tak terjangkau jaringan KRL sehingga ke mana-mana tetap harus menggunakan kendaraan pribadi roda dua atau roda empat. Akibatnya, kemacetan tetap merajalela. Menanggapi hal itu, pemerintah yang memang baru benar-benar menyadari arti penting transportasi massal berbasis rel memutuskan membangun sebuah transportasi angkut cepat terutama di kawasan Jabodetabek. Kawasan ini diprediksi dalam lima tahun mendatang akan mengalami lonjakan penduduk yang besar, dan hal itu berpotensi menambah kemacetan apabila tidak diakomodasi oleh sistem transportasi angkut cepat massal. Seolah ingin menanggapi dan menghidupkan kembali ide Bung Karno pada dekade 60-an tentang pentingnya sistem transportasi massal bawah tanah, dan juga meneruskan kembali proyek yang pernah dicanangkan pada era 80-an, barulah pada 2013, Pemprov DKI Jakarta mengimplementasi sistem itu dengan nama MRT Jakarta atau Angkutan Cepat Terpadu Jakarta. Pembangunan moda transportasi yang punya nama beken metro ini sebenarnya boleh dibilang cukup terlambat mengingat beberapa negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, telah lebih dahulu mempunyai moda transportasi tersebut. MRT Jakarta yang dibangun ini direncanakan akan beroperasi pada 2018-2019 dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI lalu lanjut ke Kampung Bandan pada 2020. Selain MRT, dibangun juga moda transportasi rel bernama LRT Jabodetabek yang direncanakan beroperasi pada 2019 dari daerah-daerah penyangga seperti Bogor dan Bekasi ke pusat-pusat bisnis dan keuangan di Jakarta. Selain di Jabodetabek, juga tengah dibangun LRT Palembang untuk menyambut Asian Games 2018, dan Metro Kapsul di Bandung, yang seperti kata Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, untuk mengatasi atau meminimalkan kemacetan yang semakin parah di Kota Kembang.
KAORI Nusantara |
Namun pembangunan yang sebenarnya bertujuan untuk kehidupan masyarakat urban yang lebih baik itu bukannya tanpa halangan jikalau itu berhubungan dengan permasalahan pembebasan lahan. Mengingat agak telat, pembebasan lahan pun menjadi mahal harganya seiring berjalannya waktu. Harga tanah pun meningkat per meter menjadi beberapa kali lipat. Apabila ini dilaksanakan pada waktu ketika harga tanah masih murah tentu hal demikian tidak akan terjadi. Tetapi saya di sini tidak akan membahas mengenai hal itu. Saya akan membahas perbedaan antara KRL, MRT, dan LRT.
Sebenarnya secara fisik ketiganya tidak terlalu mencolok. Sama-sama berbentuk kereta api dengan gerbong (rolling stock) alias tanpa lokomotif, dan sama-sama dialiri listrik pada bagian atasnya melalui pantograf. Belum lagi untuk ukuran rel, terutama di Indonesia, akan menggunakan ukuran rel 1.067 mm seperti di Jepang. Fungsi ketiganya pun sama, mengangkut massal penumpang secara bolak-balik di wilayah urban. Namun, jika diamati, ketiganya mempunyai perbedaan dalam jalur, pelayanan, dan gerbong. Ketika MRT Jakarta dibangun, muncul anggapan bahwa moda transportasi ini sebenarnya sama dengan KRL mengingat bentuk badan dan ukuran rel yang sama sehingga ada yang mengatakan untuk apa membuat MRT jika KRL sebenarnya sudah bisa menjadi MRT, dan yang ada malah menjadi pemborosan. Saya pun berpikiran sama awalnya. Namun setelah diamati ternyata terdapat perbedaan tak kasat mata dalam dua moda transportasi ini.
Citraland Cibubur |
Sebagaimana diketahui, KRL merupakan moda transportasi rel yang umumnya melintas di permukaan tanah (surface). Karena melintas di permukaan tanah itulah sering dalam lintasan KRL ditemui banyak lintasan sebidang untuk penyeberangan mobil, motor, atau pejalan kaki. Lintasan-lintasan sebidang itu ada yang besar namun ada juga yang kecil seperti jalan tikus atau tembus. Inilah yang sering menyebabkan kecelakaan seperti tabrakan atau perjalanan KRL terhambat. Selain itu, lintasan KRL harus berbagi dengan kereta antarkota, kereta lokal, atau kereta barang. Hal seperti ini yang membuat perjalanan KRL menjadi terlambat karena harus mengalah ketika kereta dengan lokomotif lewat. Untuk panjang lintasan, KRL bisa mencapai hingga 200 km karena menjangkau sampai wilayah suburban atau uncivilized. Contohnya, KRL Jabodetabek meluaskan pelayanannya hingga Rangkasbitung yang jaraknya 70 km dari Tanah Abang. Lintasan-lintasan dalam KRL juga merupakan rel yang sudah ada atau existing rail mengingat ini adalah rel-rel yang dibangun dari zaman Belanda. Belanda sendiri awalnya membuat KRL untuk kepentingan ekonominya hingga ke luar kota, dan belum memikirkan bahwa di sekitar rel itu harus dibangun properti dan pusat perbelanjaan. Untuk jumlah gerbong KRL bisa mencapai hingga 20 gerbong. Namun di Indonesia maksimal 12 gerbong.
Sedangkan untuk MRT dan LRT, keduanya merupakan bagian dari sistem angkutan cepat massal yang lintasannya dibangun secara melayang (elevated) atau bawah tanah (underground). Karena sifat lintasan yang demikian, sehingga tidak akan ditemui lintasan sebidang. Hal inilah yang menjadi kelebihan keduanya karena bisa mencapai stasiun dengan stasiun lainnya dalam tempo lima menit. Selain itu, jalur keduanya merupakan jalur khusus yang tidak boleh dimasuki kereta antarkota, kereta lokal, dan barang. Apalagi keduanya tidak memakai jalur yang sudah ada, melainkan membangun jalur yang baru. Ini semua karena keduanya dikhususkan mempunyai sifat frekuensi angkut yang cepat, dan tidak seperti KRL yang lambat. Baik MRT maupun LRT, harus dialiri listrik. Sedangkan kereta komuter, dengan KRL di dalamnya, ada juga yang bermesin diesel atau KRD seperti yang banyak ditemui di luar Jabodetabek. Untuk area operasi, keduanya sebatas di wilayah urban alias tidak mencapai suburban. Karena itu, jumlah lintasannya maksimal 20-40 km. Perbedaan lainnya dengan KRL atau kereta komuter, keduanya dibangun berdasarkan dekat dengan tempat perbelanjaan, properti, dan pusat keuangan sehingga boleh dikatakan terencana dan mendetail. Namun untuk gerbong, baik MRT maupun LRT mempunyai perbedaan. MRT bisa seperti KRL dengan jumlah 6-8 gerbong sedangkan LRT hanya tiga gerbong sehubungan dengan jumlah penumpang yang diangkutnya maksimal 628 orang. Kecepatan keduanya demikian. MRT 60-80 km/jam, LRT 30-60 km/jam. Untuk LRT, ia adalah model peningkatan dari trem.
Nah, itulah beberapa perbedaan antara KRL, MRT, dan LRT. Tulisan saya ini sebenarnya bukan tergolong baru mengingat sudah ada banyak tulisan semacam ini. Namun saya cuma menambahkan dari beberapa sumber yang saya baca. Dengan demikian, perbedaan ini tidak akan membuat orang salah kaprah dan sebut antara ketiganya hanya karena sama-sama dijalankan di atas rel.
0 komentar:
Posting Komentar