Belakangan
ini sedang santer berita mengenai pembakaran bendera tauhid pada acara Hari
Santri Nasional di Garut, 22 Oktober kemarin. Kejadian itu lantas terekam dalam
video yang kemudian disinyalir bahwa yang membakar adalah Banser, ormas milik
NU sehingga kemudian muncul petisi untuk membubarkan ormas yang dianggap tidak
ramah terhadap umat Islam.
Republika.co.id |
Namun
pihak NU juga Banser menyanggah bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah untuk
menyelamatkan NKRI sebab bendera yang dibakar bukanlah bendera tauhid melainkan
bendera salah satu organisasi yang terlarang, HTI. Banser yang berpandangan
nasionalis-religius berpegang pada prinsip bahwa apa pun yang akan mengancam
kesatuan Republik Indonesia harus segera ditindak.
Akan
tetapi hal demikian disanggah balik oleh HTI yang menyatakan bahwa itu bukan
bendera HTI melainkan bendera tauhid atau ar-rayah,
bendera atau panji yang digunakan semenjak zaman Nabi Muhammad SAW. Polemik
pembakaran ini terus berlanjut meskipun para tersangka telah ditangkap, dan
kemudian disusul dengan aksi bela tauhid pada Jumat, 26 Oktober kemarin.
Kejadian
“tidak mengenakkan” terhadap bendera di dunia ini bukan sekali ini terjadi.
Tetapi semenjak puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun yang silam. Mengapa saya
sebut tidak mengenakkan? Karena bendera yang seharusnya menjadi instrumen untuk
dihormati malah diperlakukan dengan tidak wajar. Pembakaran hanyalah salah satu
contoh. Selain itu, ada perobekan, penginjakan, atau malah membuat bendera itu
terbalik seperti yang dilakukan pihak Malaysia terhadap bendera Indonesia pada
SEA Games 2017.
Dari
gambaran-gambaran di atas akan timbul pertanyaan mengapa bendera menjadi begitu
penting dan sakral padahal ia hanyalah sebuah kain berbentuk persegi panjang
yang kemudian dibubuhi warna-warna beserta simbol-simbol? Untuk urusan warna
dan simbol coba saja serahkan pada anak-anak TK tentu mereka akan semangat
memberi warna yang bermacam-macam mulai dari mejikuhibiniu hingga warna yang
acak-acakan dan tak beraturan. Dan untuk simbol mereka tentu akan dengan senang
hati menggambar benda-benda yang mereka suka seperti mobil-mobilan,
orang-orangan, benda-benda langit, perahu, atau burung.
Tentu
saja bendera yang sebenarnya hanya sebuah kain menjadi sakral dan harus
dihormati, serta dijunjung bahkan disimpan dalam sebuah tempat khusus oleh
karena adanya tatanan khayalan dalam diri manusia itu sendiri. Tatanan
khayalan, istilah yang saya ambil dari buku Sapiens
karangan Yuval Noah Harari ini, adalah sebuah jejaring berupa imajinasi
yang diciptakan oleh manusia untuk mencapai sebuah tujuan. Perlu diingat bahwa
manusia itu berbeda dari makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang secara
biologis tidak mempunyai struktur gen dan DNA yang komplit. Dua hal inilah yang
memungkinkan semut dan lebah bisa bekerja sama karena mempunyai gen dan DNA
yang sama, dan seekor lebah pun bisa menjadi seekor lebah ratu jika diberikan
makanan yang sudah sesuai dengan gen dan DNA.
Manusia
yang tidak punya struktur-struktur yang sekomplit itu tentu membutuhkan hal
lain untuk bisa melaksanakan pekerjaan demi mencapai tujuan. Tapi bagaimana
caranya? Jika semut, lebah, kawanan domba dan serigala bisa bekerja sama hanya
karena mereka tahu bahwa itu kawanannya bukan yang lain, manusia yang tidak
mengenal satu sama lain itu bisa melakukannya oleh karena terikat pada jejaring
imajinasi atau tatanan khayalan. Tatanan ciptaan manusia ini melingkupi
ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dengan tatanan ini manusia akan
mempercayai segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau mustahil.
Mitos
adalah salah satunya. Cerita-cerita mengenai ketidakrasionalan atau di luar
akal ini merupakan hal-hal yang harus dipatuhi oleh manusia jika ingin tujuan
tercapai. Mitos, baik di zaman Yunani Kuno maupun zaman posmodern, akan selalu
mengikat manusia untuk selalu mematuhinya langsung atau pun tidak. Apabila
tidak dipatuhi tentu saja akan dijatuhi hukuman, dan karena itu harus
dipercayai. Bila di zaman Yunani Kuno selalu ada ungkapan jangan terbang
mendekati matahari, dan pada zaman postmodern ini adalah persamaan hak dan
kewajiban beserta emansipasi.
Inilah
yang terjadi pada bendera, kain persegi panjang yang sebenarnya tidak lebih
sebagai hiasan. Ada cerita atau mitos di dalamnya yang merupakan hasil tatanan
khayali yang dibentuk oleh manusia. Seperti mengutip Roland Barthes dalam Mitologi tentang makna menjadi bentuk,
mitos dari imajinasi manusia yang sudah berbentuk tatanan itu mewujud menjadi
hal-hal yang bisa dijustifikasi baik secara hukum, agama, sosial, politik,
ekonomi, dan budaya. Ketika dia mewujud semua orang, siapa pun itu, meski
mereka tidak mengenal satu sama lain, namun terikat oleh semacam perjanjian
berupa solidaritas akan berupaya membela bahkan menghujat. Dan tentu saja juga akan
ada imbalan bagi yang melakukannya, dihormati sebagai patriotik atau dilaknat
sebagai pecundang.
Itulah
mengapa kita sekarang tidak perlu heran jika ada orang-orang yang bereaksi
begitu besar kala bendera yang telah menjadi sebuah identitas hasil dari sebuah
tatanan khayalan manusia diperlakukan tidak semestinya atau malah kita juga
menjadi paranoid kala ada bendera yang dianggap membahayakan sehingga harus
ditindak.
0 komentar:
Posting Komentar