Sekitar pertengahan dekade yang lalu saya mendengar diskusi teman-teman kantor sewaktu masih ngantor di Kalibata. Diskusi itu membicarakan kenyamanan berjalan kaki di Bogor dan Depok. Mantan atasan saya yang merupakan orang Solo tapi menetap di Bogor bertanya pada temannya wartawati junior yang baru kerja di situ.
Ia bertanya: Lebih enak mana jalan kaki di Bogor atau Depok? Bogor kan?
Si wartawati itu mengiyakan. Lalu mantan atasan saya itu melanjutkan, kalo di Bogor itu jalan kaki bawaannya tenang dan segar. Kalau di Depok kayaknya gimana gitu, waswas.
Dari diskusi di atas itu saya jadi tergelitik ingin menulis tentang kedua kota dari sudut pandang pribadi. Keduanya merupakan bagian dari megapolitan Jabodetabek dan penyokong penting Jakarta sebagai pusat kehidupan urban.
Saya mulai saja dulu dari Bogor...
Saya mulai kenal Bogor dari usia 4 tahun atau waktu saya di TK. Kenal karena selama masa-masa TK hingga SD sering ke Kota Hujan itu. Namun bukan ke Kebun Raya yang menjadi markah tanah kota tetapi ke rumah kakek-nenek saya yang berada di Ciapus yang letaknya di lereng Gunung Salak. Kenapa bisa ada di Ciapus yang masuk wilayah Kabupaten Bogor? Itu karena kakek-nenek yang asli Surabaya-Mojokerto memutuskan pindah dari rumah di Kebon Baru, Tebet ke Ciapus untuk menghabiskan masa-masa senja di sana.
Pilihan yang cukup tepat karena dengan ke sana sekaligus berlibur. Dan, itulah yang saya lakukan saat liburan caturwulan SD tiba. Suasana Ciapus yang begitu asri, tampilan Gunung Salak yang begitu memukau serta empang dan sawah, siapa yang tidak akan tergugah. Apalagi Ciapus masih dingin tidak seperti sekarang. Saya sering ke Ciapus hingga kakek-nenek saya wafat di akhir 90-an.
Karena ke Ciapus harus lewat Bogor mulai dari stasiun lalu ke arah Kebun Raya, Ramayana, Empang dengan dua kali naik angkot, secara tidak langsung saya mengenal kota tersebut, yang menurut saya rindang, banyak pepohonan tinggi dan besar di tepi jalan, dan kebanyakan dari dalam Kebun Raya yang memang letaknya di tengah kota. Kebun Raya bagi saya adalah semacam alun-alun dan nyawa Bogor hingga sekarang.
Kondisi yang demikian itu tidak berubah sampai sekarang namun ada beberapa perubahan seperti jalur yang diubah jadi satu jalur mulai dari stasiun hingga sekitaran Kebun Raya untuk menghindari macet di depan Ramayana yang jadi BTM, lalu ada penataan beberapa fasilitas publik seperti Lapangan Sempur dan Taman Musik, wilayah pinggir Kebun Raya dijadikan sebagai jalur pejalan kaki dan sepeda. Begitu juga di seberangnya. Hal ini tentu saja nyaman untuk berjalan kaki karena Bogor sudah seperti kota kebun.
Apalagi Wali Kota Bogor, Bima Arya, yang doyan berlari itu membangun sebuah monumen bernama Tepas Lawang Salapan yang berhadapan dengan Tugu Kujang sebagai markah tanah baru sehingga ke Bogor tidak melulu ke Kebun Raya.
Belakangan ini, sebuah fasilitas publik baru dbangun, yaitu Alun-alun Kota Bogor yang letaknya berhadapan dengan Stasiun Bogor. Ternyata alun-alun itu dibangun di atas Taman Topi, sebuah taman hiburan yang saya pernah ke dalamnya selama 2-3 kali sewaktu tinggal di Ciapus pada 1992 hingga 1993 hanya karena bersekolah TK di sana.
Karena itu, saya agak heran dengan alun-alun tersebut awalnya, dan ketika tahu itu dibangun di bekas Taman Topi, baru saya ngeh. Kondisi alun-alun yang berada di depan Stasiun Bogor lebih kepada kesan bagi penumpang KRL yang turun di Stasiun Bogor akan mendapati kota ini merupakan kota yang hijau sekali yang jaringannya sampai daerah Bogor Selatan karena jalan-jalan di kota terutama Jalan Pajajaran mempunyai kanopi alami berupa pohon-pohon besar sehingga membuat siapa pun yang berjalan atau olahraga akan merasa adem dan sejuk.
Apalagi Bogor sendiri itu sudah seperti kota plesiran karena tiap akhir pekan akan selalu ada orang-orang Jakarta dan wilayah Detabek bertandang ke Bogor, yang kini tidak hanya ke Kebun Raya namun juga wisata kuliner murah meriah di kota tersebut bahkan ada juga yang menginap sembari berharap bisa melihat Gunung Salak di kejauhan.
Ya, karena itulah Belanda di masa pembangunan jalur kereta api di Jawa memasukkan Bogor sebagai salah satu pemberhentian karena adanya Istana Gubernur Jenderal (Istana Bogor) dan Kebun Raya. Bahkan Belanda memasukkan Bogor sebagai salah satu tujuan wisata karena Kebun Raya tersebut.
Kini Bogor yang terlihat semakin menghijau masih terus berbenah. Setelah alun-alun, Pemkot Bogor berencana menata alun-alun di Empang kemudian kota ini sedang membangun jalur ganda kereta api Bogor-Sukabumi, yang kemungkinan besar menjadi jalur KRL, dan tentu saja proyek LRT terusan dari Cibubur serta trem. Untuk saat ini Bogor sudah merevitalisasi transportasi massalnya untuk atasi kemacetan akibat banyaknya angkot dengan Biskita TransPakuan.
Nah, itu tentang Bogor yang sebenarnya sampai sekarang cuma punya satu stasiun KRL, Stasiun Bogor karena Stasiun Sukaresmi yang direncanakan sejak lama masih di awang-awang, dan stasiun-stasiun lainnya, Batu Tulis dan Ciomas masuk stasiun KA Pangrango, lalu bagaimana dengan Depok?
Ceritanya cukup berbeda dan kebalikannya....
Saya kenal Depok sejak SD karena pernah ke sana untuk acara di rumah teman kantor orang tua saya. Saya ingat Depoknya berada di Depok 1, dan saya ingat ada di perumahan, dan panas. Tapi saya baru kenal Depok ketika kuliah di Universitas Indonesia dari 2005 hingga 2010. Kesan yang saya dapatkan adalah Depok adalah kota yang panas, berdebu, pohon-pohon tidak ada, macet, dan trotoar yang tidak manusiawi. Itulah yang saya lihat dari Jalan Margonda sampai arah Depok Lama hingga Citayam.
Bangunan-bagunan beton, ruko, mal, hotel restoran semua memadat di pinggiran jalan, dan tidak menyisakan ruang hijau sama sekali. Dan, Kampus UI Depok adalah pengecualian karena jika sudah begitu saya lebih baik ke dalam UI menghindari Depok yang tidak manusiawi.
Kalau saya ke Depok, jawaban saya cuma satu: UI karena di situlah rasa manusiawi benar-benar ada. Pohon rindang, jalanan yang rapi, danau, dan lainnya siapa sih yang tidak mah ke dalam kampus sekadar jalan-jalan atau berolahraga? Pada akhirnya, Depok hanya lebih dikenal karena UI-nya, yang sewaktu saya kuliah ada yang nyeletuk sebagai Kebun Raya Depok.
Padahal, Depok bukan UI saja. Secara historis, Depok punya nilai lebih seperti halnya Bogor, yang dimulai dari kawasan Depok Lama tenpat Cornelis Chastelein mendirikan perkampungan khusus para mantan budaknya. Namun sayang hal tersebut seperti terabaikan karena Depok semenjak memisahkan diri dari Bogor pada 1999 menjadi kota mandiri benar-benar lupa akan jati dirinya sebagai kota padepokan mencari ilmu. Pembangunan pesat tapi tidak melihat tata ruang semua dibabat hingga akhirnya berantakan, dan korbannya adalah rumah kapitan di Pondok Cina yang jadi kafe di area Margo City. Hal lainnya adalah pembangunan tidak memerhatikan trotoar, dan jadilah Depok kota tidak ramah trotoar.
Tidak seperti Bogor yang memang ingin jadi kota taman, Depok sebaliknya. Bahkan alun-alunnya pun seperti asal bangun saja, dan letaknya cukup jauh dari Margonda. Paling dekat ke alun-alun adalah dari Stasiun Citayam lanjut naik ojol dan angkot, dan tentu saja akan berpikir banyak jika jalan kaki ke sana karena tentu tidak ada yang mau jalan kaki di kota yang disebut tidak ramah trotoar atau tidak serindang Bogor.
Padahal, Depok letaknya cukup strategis, menempel langsung dengan Jakarta. Depok pun punya 5 stasiun KRL dan 1 stasiun LRT yang memudahkan warganya memobilisasi diri. Di zaman Belanda, Depok juga dimasukkan dalam jalur kereta api karena faktor Cornelis Chasteleinnya lalu di zaman Orde Baru Depok jadi tempat perumnas pertama, dan wilayah yang cukup strategis menopang beban Jakarta karena perkembangannya. Tapi, letak yang strategis itu membuat Depok keluar dari jalurnya hingga sekarang.
Jadi, seperti di awal tulisan, lebih enak mana jalan kaki di Bogor atau Depok, tentu saya pilih Bogor yang memang super rindang. Tak salah juga jika teman kuliah saya dari Malang pada 2006 pernah bilang ke saya lebih enak jalan kaki di Bogor daripada di Bandung.