Belakangan ini nama Dukuh Atas sedang begitu terkenal sebagai sebuah kawasan berorientasi transit yang dikembangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat sejak 2019. Disebut demikian karena kawasan yang terhampar di Jakarta Pusat dan Selatan merupakan titik pertemuan antara berbagai moda transportasi di Ibu Kota, yaitu KRL Jabodetabek, TransJakarta, Kereta Bandara Soekarno-Hatta, dan MRT Jakarta.
Pada Agustus 2022 kawasan ini akan bertambah lagi satu moda transportasi, yaitu LRT Jabodebek yang mempunyai jalur dari Cibubur dan Bekasi, dan Pemprov DKI pun melalui para BUMD transportasinya (MITJ dan MRT Jakarta) sedang membangun Simpang Temu Dukuh Atas yang akan menghubungkan Stasiun LRT Jabodebek dan Stasiun KRL Sudirman di seberang Waduk Setiabudi. Simpang Temu yang direncanakan mempunyai 11 lantai itu juga akan terhubung dengan Halte TransJakarta Dukuh Atas 2 di bawahnya serta di situ terdapat juga jalur pejalan kaki dan sepeda.
Kehadiran fasilitas penunjang mobilitas untuk transportasi terintegrasi di Jakarta ini merupakan yang kedua setelah Terowongan Jalan Kendal di bawah Jalan Jenderal Sudirman diubah menjadi jalur pejalan kaki yang begitu luas untuk memudahkan mobilitas para kaum penglaju Ibu Kota yang hendak berpindah antarmoda seperti dari Stasiun KRL Sudirman ke Stasiun MRT Dukuh Atas dengan aman.
Kawasan Segitiga Emas Jakarta
Dukuh Atas sendiri sebenarnya merupakan bagian dari kawasan Segitiga Emas Jakarta yang di dalamnya terdapat Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, SCBD, Senayan, Rasuna Epicentrum, dan Mega Kuningan. Kawasan yang berisikan banyak gedung pencakar langit yang dimaksudkan sebagai distrik bisnis, ekonomi, dan perdagangan Jakarta hari ini merupakan sebuah kawasan yang dikonsepkan sejak dekade 90-an. Awal mulanya konsep ini berawal dari perkembangan Jakarta pasca kemerdekaan terutama di tahun 1950-an dan 1960-an, yang kemudian sekarang berkembang menjadi kawasan yang supermegah dan mewah, dengan jarak sekitar 19,01 km.
Pada hari di kawasan ini terutama dari arah Bundaran HI hingga Bundaran Senayan terlihat banyak revitalisasi fasiltas publik mulai dari halte hingga JPO yang dibuat futuristik demi memancarkan keindahan kota. Hal tersebut pun berkelindan dengan adanya stasiun-stasiun bawah tanah MRT di jalur tersebut.
Ketika di masa sekarang kawasan yang sedang mencuri perhatian adalah sepanjang Jalan Jenderal Soedirman dan M.H. Thamrin yang benar-benar mencirikan sebagai nyawa ekonomi Ibu Kota apakah hal yang sama pernah ada di masa Jakarta masih bernama Batavia yang merupakan ibu kota Hindia-Belanda, nama historis Indonesia sampai 1949 menurut pandangan orang Belanda?
Jawabannya tentu saja ada. Bahkan sebenarnya di masa Batavialah integrasi moda transportasi sudah dilakukan dengan berbagai moda transportasi yang ada pada masa itu, yaitu trem, kereta listrik, dan bus. Namun kawasan yang menjadi pusat perdagangan dan perekonomian di zaman Belanda itu berada di sebelah timur jika ditarik dari Dukuh Atas sekarang, dan kawasan itu bernama Senen.
Kawasan Segitiga Senen
Nama Senen tentu sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang Jakarta atau dari luar Jakarta terutama dari Cirebon dan Tanah Jawa yang sering naik kereta api dari tempat asalnya kemudian turun di Stasiun Pasar Senen yang merupakan salah satu stasiun terbesar di Jakarta selain Gambir dan Jatinegara. Pada kawasan yang masuk administrasi Jakarta Pusat ini juga terdapat Terminal Bus Senen sebagai salah satu terminal bus untuk mudik dari pusat kota ke daerah.
Kawasan Senen yang berdekatan langsung dengan Cempaka Putih, Johar Baru di timur serta Menteng dan Kwitang di barat merupakan kawasan yang cukup termasyhur di masa Batavia. Letak kawasan ini yang cukup strategis karena hanya satu jalan lurus saja dari Arah Ancol dan Gunung Sahari di utara serta Salemba dan Jatinegara di selatan membuatnya berada di pertengahan titik pertemuan. Apalagi di kawasan ini juga terdapat Pasar Senen yang dibangun sejak abad ke-18 oleh Justus Vinck setelah membeli beberapa hektare tanah dari Cornelis Chastelein yang terkenal memilki tanah dari Jatinegara hingga Depok di masa ketika VOC sudah mulai ada di Jakarta.
Seperti halnya Dukuh Atas, kawasan Senen juga merupakan salah satu dari poros ekonomi Jakarta di masa Batavia. Di kawasan ini banyak bermunculan toko-toko orang Cina setelah pasar, tempat hiburan berupa bioskop dan gelanggang seni, dan lain-lain. Bahkan karena ramai dan padatnya kawasan ini disebut juga dengan Segitiga Senen karena memang jika dilihat dari peta bentuknya seperti segitiga yang di dalamnya terdapat toko dan fasilitas publik lainnya serta pasar yang sampai sekarang masih ada serta pusat perbelanjaan Mal Atrium.
Di Senen pulalah banyak lahir para seniman gelanggang yang disebut dengan seniman Senen seperti Chairil Anwar dan Misbach Yusa Biran yang memang sering berkumpul di tempat-tempat seni dan hiburan di kawasan itu seperti bioskop Rivoli (dahulu Asia) dan Rex yang sekarang sudah tutup serta berganti nama Grand Theater Senen. Tak hanya di tempat seni dan hiburan, para seniman itu juga sering berkumpul dekat Stasiun Pasar Senen sampai kemudian pusat kebudayaan dan seni di Jakarta dipindahkan ke Taman Ismail Marzuki pada dekade akhir 1960-an.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kawasan Senen yang cukup populer di masa Batavia dan pada dekade-dekade awal kemerdekaan sebenarnya merupakan salah satu dari poros ekonomi, bisnis, dan perdagangan yang diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda di Batavia. Kawasan ini berawal dari Weltevreden (sekarang kawasan Monas) lalu ke Salemba, dan berakhir di Jatinegara yang kala itu bernama Meester Cornelis sebagai batas poros di selatan yang mengarah ke Bekasi.
Awal munculnya poros ini karena keinginan orang-orang Belanda yang lama menetap di Batavia sejak abad ke-17 untuk membuat kembali distrik perdangangan dan ekonomi sekeluarnya mereka dari kawasan benteng yang sekarang berada di Kota Tua akibat permasalahan kesehatan seperti malaria, sesak napas karena udara dalam rumah-rumah di kawasan itu yang pengap akibat dibangun mengikuti Amsterdam, serta udara tropis yang tidak bersahabat. Kondisi kota benteng Batavia yang tidak sehat tersebut menyebabkan banyak penghuninya meninggal hampir setiap harinya, dan setiap harinya pula Kali Besar di kawasan itu akan selalu ada peti jenazah yang menuju ke pemakaman Tanah Abang (sekarang Museum Taman Prasasti).
Dari kawasan benteng inilah kemudian mereka ke beneden stad atau kota bawah yang dianggap lebih sehat serta masih mempunyai suhu yang menyejukkan sehingga kemudian disebut dengan Weltevreden hingga Belanda hengkang dari Indonesia selama-lamanya. Permukiman baru seketika muncul dan tumbuh dengan pesat meskipun Batavia dikuasai Inggris pada 1811-1816. Di Weltevreden inilah mulailah dibangun banyak bangunan publik seperti Gedung Harmoni yang sekarang menjadi lapangan parkir Sekretariat Negara, Gedung Schouwburg yang sekarang menjadi Gedung Kesenian Jakarta, Museum Batavia yang sekarang adalah Museum Nasional, Gereja Katedral, Gereja Immanuel, serta Istana Weltevreden yang sekarang menjadi gedung Kementerian Keuangan yang berada di sebelah timur Waterlooplein atau sekarang Lapangan Banteng.
Massifnya perkembangan kawasan di Weltevreden terutama di sebelah timur berlanjut hingga ke kawasan-kawasan di bawahnya, Senen, Salemba, dan Jatinegara. Selain kawasan Senen yang sudah disebutkan di awal juga ada kawasan Kwitang yang di dalamnya terdapat gedung Stovia yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional kemudian ke Salemba terdapat Sekolah Kedokteran STOVIA yang baru untuk menggantikan gedung STOVIA lama di Kwitang. Selain fasilitas pendidikan di Kwitang dan Salemba juga berdiri banyak toko dan perkantoran, dan hal itu berlanjut hingga Jatinegara via Matraman, yang mulai berkembang pesat menjadi gemeente atau kotamadya pada awal abad ke-20 seiring dengan adanya Stasiun Jatinegara dan jalur trem yang mengarah dari Pasar Ikan. Poros ekonomi masa Batavia ini juga semakin berkembang setelah adanya perumahan tropis khusus orang Eropa di kawasan Menteng dan Gondangdia yang terhubung oleh jalur trem dari Pasar Ikan ke Menteng serta Harmoni ke Pasar Senen dan kereta api dari Stasiun Batavia BEOS (sekarang Stasiun KRL Jakarta Kota) ke Buitenzorg (Bogor). Di sepanjang jalur Salemba-Matraman integrasi antara trem dan kereta yang sudah dialiri listrik pada 1925 ada di viaduk Matraman. Di situlah trem yang mengarah ke Meester Cornelis bertemu dengan kereta di Stasiun Matraman di atasnya.
Gambaran mengenai poros ekonomi, bisnis, dan perdagangan di kala Jakarta masih bernama Batavia ini banyak disebutkan dalam beberapa karya sastra Indonesia seperti para sastrawan Balai Pustaka yang dalam novel-novel seperti Salah Asuhan selalu menyebutkan Kwitang sebagai asrama bagi para mahasiswa kedokteran yang kuliah di STOVIA serta menyaksikan gemerlapnya poros ekonomi tersebut atau Jejak Langkah bagian dari Tetralogi Pulau Buru yang juga menyebut kawasan-kawasan di poros ini seperti Kwitang, Salemba, Kramat, bahkan Jatinegara sebagai latar belakang tokoh Minke yang kuliah di STOVIA.
Bergeser ke barat
Perkembangan kota Jakarta di masa kolonial dari abad ke-18 hingga awal abad ke-20 sebelum Perang Dunia Kedua mengindikasikan jika perkembangan kota hanya berada di sebelah timur saja setelah turun dari utara sementara di luar perkembangan berarti adalah pinggiran kota yang berisi kampung-kampung yang tidak terjamah oleh gemerlap pembangunan di timur yang lebih banyak ditujukan bagi orang Eropa. Hal ini berdasarkan peta-peta Jakarta zaman dahulu yang di dalamnya juga sudah ada jalur trem dan kereta api.
Karena poros tersebut dianggap sebagai bentuk keangkuhan Belanda di masa kolonial, di masa-masa awal kemerdekaan terutama setelah pengakuan kedaulatan pada 1949, Bung Karno sebagai Presiden mulai memikirkan poros ekonomi baru untuk Jakarta yang mulai berkembang sekaligus meninggalkan kesan kolonial yang kejam dan diskriminatif. Pada dekade 1950-an dan 1960-an mulailah ia merancang poros dari kawasan Monas sebelah barat hingga ke Kebayoran Baru dengan membangun jalan-jalan baru penghubung kawasan tua dan baru Jakarta , yaitu Jalan M.H. Thamrin dan Jenderal Sudirman dengan beberapa bangunan monumental di sekitarnya, yaitu Monas, gedung Sarinah, patung selamat datang di bundaran HI, Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Jembatan Semanggi, hingga Kompleks Olahraga Bung Karno yang bisa dibilang berupaya mengangkangi arsitektur-arsitektur dan infrastruktur kolonial di sebelah timur, dan seiring perkembangan zaman poros dari Monas hingga ke Kebayoran Baru ini menjadi kawasan bisnis utama Jakarta hingga saat ini.
Foto dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar