Keduanya adalah kota taman pertama di Jakarta, juga Indonesia yang saya dengar dan tahu sejak kecil. Perkenalan saya dengan kedua kawasan ini juga tiba-tiba. Pertama, saya akan memulai dari Menteng terlebih dahulu.
Dewasa ini Menteng merupakan salah satu kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Pusat yang terdiri dari 5 kelurahan, yaitu Menteng, Gondangdia, Cikini, Pegangsaan, dan Kebon Sirih. Masing-masing kelurahan tersebut punya tempat yang bisa dikunjungi secara massal dan komersial. Misal, Cikini. Di kelurahan ini ada Taman Ismail Marzuki, pusat seni dan budaya di Jakarta, dan yang di dalam kompleks seni dan budaya ini ada Planetarium, observatorium pertama di Jakarta. Atau di Pegangsaan terdapat Taman dan Monumen Proklamasi yang dulu merupakan tempat Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Pada kecamatan ini juga terdapat tiga stasiun kereta api listrik atau KRL, yaitu Cikini, Gondangdia, dan Sudirman. Dua dari tiga stasiun tersebut, Cikini dan Gondangdia, melayani Lin Sentral dan Lin Cikarang sedangkan Sudirman melayani Lin Lingkar. Ketiganya pun juga teintegrasi dengan moda transportasi lain seperti TransJakarta dan MRT Jakarta.
Perkenalan saya dengan Menteng sebenarnya berawal dari seringnya saya di masa kecil diajak ke kantor bapak dan ibu saya yang kebetulan memang terletak di Jalan Raya Menteng yang masuk Kelurahan Cikini. Kantor itu sendiri merupakan sebuah kantor pelayanan jasa dan kontraktor yang letaknya di sebelah Gedung Tedja Buana dan Gedung Joeang 45 di sebelahnya lagi. Belakangan saya mengetahui bahwa kantor bapak dan ibu saya itu sebenarnya bukanlah termasuk kawasan Menteng mengingat letaknya yang berada di Kalipasir dan di belakang kantor terdapat Sungai Ciliwung yang membatasi dengan Kelurahan Kwitang yang masuk Kecamatan Senen.
Saya mengetahui hal itu setelah membaca halaman awal dari buku yang ditulis oleh Adolf Heuken berjudul Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia. Itu berarti wilayah-wilayah lain yang berada dalam Kecamatan Menteng seperti Gondangdia dan Cikini merupakan hasil perluasan. Soalnya juga yang saya dapat dari buku tersebut Jalan Raya Menteng tempat lokasi kantor bapak dan ibu saya itu disebut sebagai Jalan Menuju Menteng yang mengarah ke Jalan Cut Meutia, dan di jalan tersebut terdapat Gedung Boplo yang sekarang menjadi Masjid Cut Meutia.
Lalu sebenarnya seperti apa Menteng tersebut pada awalnya?
Dari beberapa sumber yang saya ketahui dari internet, Menteng awalnya merupakan tanah partikelir atau pribadi milik beberapa tuan tanah Belanda dan Timur Asing. Tanah partikelir yang terhampar di luar Weltevreden itu mulai dari Kebon Sirih kemudian dibeli oleh pemerintah kolonial untuk dijadikan kawasan pemerintahan dan perdagangan seiring dengan meluasnya Jakarta di era kolonial setelah banyak kolonis awal meninggalkan kawasan kota benteng di Kota Tua karena banyaknya gangguan kesehatan.
Jadi, bisa dibilang Menteng itu awalnya memang berkaitan dengan perluasan kota itu sendiri pada abad ke-19 dan ke-20 yang kemudian meningkat seiring dengan dibangunnya infrastruktur-infrastruktur pendukung seperti jalan raya, jalur trem, dan kereta api. Hal ini memang didukung juga dengan letak Menteng yang merupakan bagian dari poros ekonomi kolonial, yang bermula dari Weltevreden hingga Meester Cornelis atau Jatinegara.
Menteng yang dibangun pada dekade 1910 oleh P.AJ. Mooijen, seorang arsitek dan anggota Dewan Kota Batavia itu mempunyai batas berupa kali kecil, yaitu Kali Gresik yang merupakan sebuah selokan untuk drainase. Kali itulah yang menjadi batas alami antara Menteng di selatan dan Gondangdia di utara. Awalnya, oleh Mooijen Menteng disebut dengan Nieuw Gondangdia namun lama kelamaan disebut Menteng sesuai dengan kebiasaan penduduk lokal yang menamai kawasan tersebut dengan nama buah menteng, buah tropis yang banyak tumbuh di kawasan tersebut.
Selain Kali Gresik, pada sebelah selatannya Menteng dibatasi oleh Kanal Banjir Barat dan jalur kereta dari Manggarai menuju Tanah Abang. Sedari awal, kawasan ini memang dirancang sebagai sebuah kota taman atau tuinstad atau garden city, sebuah konsep yang begitu menggema oleh arsitek urban asal Inggris, Ebenezer Howard di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Yang dimaksud dengan kota taman adalah bahwa dalam wilayah tersebut harus didominasi oleh taman-taman publik yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dan untuk mendapatkan kesehatan yang lebih baik. Taman-taman ini pun harus melingkari kota. Meski begitu, Menteng oleh para perancangnya adalah kota taman yang tidak berdiri sendiri melainkan terhubung dengan wilayah-wilayah sekitarnya. Karena itu, tak mengherankan jika Anda jalan-jalan ke kawasan Menteng sudah pasti Anda akan banyak melihat taman-taman yang besar maupun kecil serta pepohonan rindang dan setu-setu di dalamnya berkat para perancang urban yang tak hanya Mooijen, tetapi juga Kubatz dan Ghijssels.
Kota taman pertama di Indonesia ini tentunya membuat decak kagum banyak pihak yang melihatnya seperti Thomas Karsten, salah satu arsitek art-deco kenamaan di Hindia-Belanda, yang menilai Menteng merupakan sebuah kota taman dengan perpaduan elegan antara Eropa dan tropis yang layak dihuni. Memang, Menteng tetap didesain dengan konsep Eropa pada tata kawasan yang meliputi jalan, permukiman, dan tamannya. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya bulevar pada kawasan seperti Oranje Boulevard yang sekarang menjadi Jalan Diponegoro. Namun ada satu hal yang berbeda pada bentuk rumah-rumah di dalamnya yang didesain dengan khas tropis seperti rumah-rumah besar dengan lubang udara dan ventilasi yang lebar, jendela yang besar serta berhalaman luas. Hal inilah yang akan membuat penghuni rumah akan selalu merasa sejuk dan tidak pengap. Ini tentunya supaya tidak ada lagi kesalahan dalam membuat permukiman seperti di Kota Tua.
Kondisi yang demikian membuat Menteng menjadi kawasan perumahan-villa orang Eropa di negara tropis yang cukup tersohor serta banyak diminati para penduduk kulit putih di Batavia untuk menempatinya. Kawasan Menteng pun menjadi role model untuk pembangunan kota-kota taman seperti di Surabaya, Semarang, dan Malang. Kondisi ini mencapai puncaknya sebelum Perang Dunia Kedua meletus di Asia dan Pasifik pada 1942-1945. Ketika Jepang datang ke Jakarta pada 1942, mereka pun cukup kagum dengan arsitektural Menteng sehingga menempatkan beberapa pejabatnya untuk tinggal di kawasan tersebut selama masa perang seperti Laksamana Tadashi Maeda yang kediamannya dijadikan sebagai tempat untuk merumuskan teks proklamasi dan sekarang dijadikan Museum Perumusan Teks Proklamasi.
Setelah Indonesia merdeka terutama setelah Belanda benar-benar hengkang seusai kesepakatan pengakuan kedaulatan pada 1949, berbondong-bondong para pejabat dan kantor pemerintahan bertempat tinggal di Menteng yang masih memancarkan pesonanya. Tak hanya para aparatur pemerintahan dalam negeri, para kedutaan besar pun menempatkan perwakilan mereka di kota taman tersebut.
Di masa setelah kemerdekaan pulalah terutama pada 1965 terjadilah peristiwa penculikan dan penembakan para jenderal AD di rumah mereka masing-masing yang kebanyakan ada di Menteng. Contohnya adalah Jenderal Ahmad Yani yang ditembak mati oleh kesatuan Cakrabirawa yang loyal pada PKI, dan kemudian dibuang ke Lubang Buaya. Di rumah tempat Ahmad Yani gugur itu kemudian dijadikan sebagai Museum Sasmita Loka. Atau peristiwa-peristiwa lainnya seperti Kudatuli 1996 dan penggusuran cagar budaya Stadion Persija di Lapangan Vios yang dijadikan sebagai Taman Menteng pada 2007.
Lalu bagaimana dengan Kebayoran Baru?
Jika Menteng saya mengenalnya karena ada kantor bapak ibu saya di Jalan Raya Menteng, kalau Kebayoran Baru ini karena awalnya berasal dari Blok M, yang di masa saya kecil begitu tersohor sebagai terminal bus dan mal. Memang hingga sekarang pun di Blok M masih ada terminal dan mal yang lebih dari satu, yaitu Mal Blok M, Blok M Square, Blok M Plaza, dan Pasaraya Blok M. Kemudian di kawasan ini sekarang juga ada Stasiun MRT Blok M BCA dan tempat nongkrong baru anak muda bernama M Bloc yang tempatnya mengambil tempat bekas perumahan Peruri.
Koleksi pribadi
Blok M sendiri memang merupakan bagian dari Kebayoran Baru, dan tepatnya merupakan kawasan di Kelurahan Melawai. Kawasan ini memang paling populer di Kebayoran Baru karena merupakan tempat nongkrong anak muda pada era 80 dan 90-an. Karena populernya tidaklah mengherankan jika Blok M menjadi latar belakang video klipnya Denny Malik, "Jalan-jalan Sore". Bahkan saya semasa SMA dan kuliah sering main ke Blok M untuk sekadar ke Blok M Plaza lalu menonton film di bioskop dalam mal tersebut. Apalagi di Blok M juga ada dua SMA yang cukup terkenal dan sering tawuran, SMA 6 dan SMA 70. Kondisi yang demikian membuat Blok M adalah magnet untuk tempat pergaulan di masa muda.
Tentunya kehadiran Blok M ini memang tidak akan lepas dari penciptaan sebuah kawasan bernama Kebayoran Baru pada 1948. Secara administratif, Kebayoran Baru adalah sebuah kecamatan dalam Kota Administrasi Jakarta Selatan. Adapun kecamatan ini terdiri dari 10 kelurahan, yaitu Senayan, Gunung, Selong, Rawa Barat, Kramat Pela, Melawai, Petogogan, Gandaria Utara, Pulo, dan Cipete Utara. Wilayah ini merupakan pecahan dari Kebayoran Lama di sebelah barat yang juga dibatasi Kali Grogol sebagai batas alami.
Seperti halnya Menteng, Kebayoran Baru juga mempunyai ciri khas pada beberapa kelurahannya, yaitu Melawai yang kental dengan Blok M atau Senayan yang kental dengan kawasan distrik bisnis, SCBD. Pada kecamatan ini juga terdapat 4 stasiun kereta api MRT, yaitu Senayan, ASEAN, Blok M BCA, dan Blok A. Keempat stasiun ini melayani jalur Lin Utara-Selatan dari Jakarta Kota ke Lebak Bulus.
Kebayoran Baru merupakan kota taman kedua di Indonesia setelah Menteng yang pada awalnya merupakan sebuah perkampungan di Afdeeling Meester Cornelis pada era Hindia-Belanda yang masuk district Kebajoran dengan ibu kota berada di Kebayoran Lama. Awalnya Kebayoran Baru dirancang sebagai kota satelit Batavia setelah Perang Dunia Kedua ketika Belanda datang kembali ke Indonesia seusai menyerahnya Jepang.
Kota taman ini dirancang oleh H. Moh. Soesilo, murid Thomas Karsten, dan dikerjakan oleh CSW, yang tentu masih populer namanya bagi yang ingin ke Blok M, dan nama ini sekarang dijadikan sebagai nama Halte TransJakarta koridor 13 dan sebuah bangunan integrasi antara TransJakarta dan MRT Jakarta.
Pengerjaan kota taman Kebayoran Baru oleh CSW sebenarnya sama dengan pengerjaan Menteng oleh NV Bouwploeg atau Boplo. Pengambilan tema kota taman berdasarkan tren yang terjadi pada awal abad ke-20 dan pasca Perang Dunia Kedua. Kebayoran Baru sendiri dirancang sebagai kota satelit untuk mengakomodasi kebutuhan akan permukiman di Jakarta kala itu yang bagi pemerintah Belanda dirasa sangat mendesak karena Batavia kota inti sudah tidak bisa menampung banyak orang lagi.
Pengerjaan kota taman ini dimulai pada 1949 setahun setelah perancangan, dan di saat Indonesia masih terus mempertahankan kemerdekaan dengan berbagai pertempuran melawan Belanda di luar Jakarta. Ketika Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia lewat KMB, pengerjaan kota taman satelit Kebayoran Baru tidak terpengaruh hingga akhirnya kelar pada 1955.
Meskipun merupakan kota taman, kenyataannya Kebayoran Baru dirancang secara heterogen pada permukimannya dengan berbagai bentuk tipe, dan dibuat dengan blok-blok, yaitu blok A, O, dan P yang masuk Kelurahan Pulo, Blok B, C, D yang masuk Kelurahan Kramat Pela, Blok M dan N yang masuk Kelurahan Melawai, Blok Q yang masuk Kelurahan Petogogan, dan Blok R dan S yang masuk Kelurahan Rawa Barat. Pada akhirnya blok-blok ini menjadi lebih populer daripada nama kelurahannya seperti Blok M, Blok A, dan Blok S.
Dalam perkembangannya, Kebayoran Baru yang terdiri blok-blok tersebut mencakup beberapa wilayah seperti Senayan, Cipete Utara, dan Gandaria Utara sebagai bagian dari perluasan wilayah. Ketika kota satelit ini selesai pada 1955, terjadilah permasalahan lain yang berkaitan dengan letaknya yang cukup jauh dari pusat kota Jakarta yang berada di kawasan Monas. Walaupun Belanda sudah membangun jalan penghubung berupa jembatan dari Menteng dari Jalan Teluk Betung menyeberangi Sungai Ciliwung, hal tersebut belumlah cukup sehingga pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno membuat sebuah jalan baru yang lebih luas serta memanjang dari Medan Merdeka Barat ke Sisingamangaraja. Jalan itu dinamai Jalan M. H. Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman sepanjang 13 kilometer.
Tak hanya itu, Bung Karno juga membangun kompleks olahraga di Senayan dan jembatan di Semanggi yang memudahkan orang-orang bermobilisasi dari utara ke selatan tepatnya ke Kebayoran Baru. Pembangunan bangunan-bangunan monumental itu seiring dengan keinginan Bung Karno membuat Jakarta menjadi mercusuar dunia yang ia manfaatkan lewat Asian Games 1962 sekaligus membuat poros ekonomi baru dari Thamrin hingga Sudirman yang tetap eksis hingga kini.
Dalam perjalanan sejarahnya kawasan Kebayoran Baru yang juga merupakan kawasan elite di Jakarta pernah punya sejarah kelam, yaitu penculikan dan penembakan Jenderal D.I. Panjaitan oleh para tentara loyalis Soekarno yang pro-PKI di rumahnya di Jalan Hasanuddin seberang Terminal Blok M pada 1965. Sang jenderal yang tewas itu langsung dibawa ke Lubang Buaya. Peristiwa ini seperti halnya pada Menteng sehingga kedua kota taman ini ada keterkaitan peristiwa historis yang sama pada 1965.
Kesimpulan
Menteng dan Kebayoran Baru merupakan dua kota taman pertama di Jakarta yang menjadikan keduanya sebagai pelopor kawasan yang asri, sejuk, dan terintegrasi. Tentunya dari gambaran di atas Menteng adalah kawasan permukiman yang identik dengan gaya hidup kolonial yang gemerlap pada awal abad ke-20, dan karena kolonial kawasan ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa di masa penjajahan sedangkan Kebayoran Baru walaupun dikerjakan oleh biro Belanda, pada akhirnya menjadi kawasan permukiman yang identik dengan orang-orang Indonesia pascakolonial, yang tentunya masih begitu membara semangat nasionalismenya.
Dewasa ini kita melihat kedua kawasan ini masih tetap eksis meskipun ada perubahan struktur bangunan di dalamnya yang tentu saja bisa mengaburkan pandangan historis keduanya. Menteng di masa pasca kolonial ini menjadi tempat tinggal bagi para pejabat, kantor partai-partai ternama, lembaga-lembaga pemerintahan, dan kedutaan besar negara-negara asing.
Sedangkan Kebayoran Baru yang mempunyai distrik bisnis dan serta pusat perbelanjaan menjadi tempat lembaga-lembaga pemerintahan seperti Polri, PLN, Kejaksaan Agung, Kantor Walikota Jakarta Selatan serta Sekretariat Jenderal ASEAN. Keduanya juga merupakan ibu kota kota administrasi masing-masing sehingga bisa dibilang keduanya masih sangat istimewa, dan berbicara mengenai perluasan kota Jakarta tidak akan bisa dilepaskan dari keduanya.
0 komentar:
Posting Komentar