Aku terbang tinggi di angkasa. Melesat menembus awan bagaikan jet tempur supersonik dengan kekuatan hampir 3 mach. Langit begitu cerah seperti halnya hari-hari kemarin. Tampak memang garis-garis putih membusur dari atas ke bawah. Aku terbang tanpa ada yang bisa menghalangi atau menandingi bahkan burung elang sekalipun. Sungguh nikmat rasanya bisa melesat tanpa batasan-batasan. Benar-benar seperti manusia bebas yang punya kehendak mengatur dirinya sendiri tanpa perlu bergumul dalam sebuah lingkup yang pada akhirnya mencederai keberadaan diri sendiri.
Aku juga adalah yang tidak perlu jadi menjadi objek yang harus ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Aku adalah subjek, dan mereka yang berkuasa adalah objekku. Aku bukanlah realita yang dibentuk mereka para objek itu karena aku sendiri yang menentukan realita itu. Dan, kini langit-langit ini adalah objekku. Begitu juga sekelilingnya. Aku yang membentuk mereka dan merasai mereka lewat ucapan yang aku tuturkan. Pada, intinya, akulah sang penguasa itu.
Dan, kini dalam duniaku yang tanpa batas ini, aku melihat di bawahku sebuah pemandangan indah yang memukau batinku. Ada gunung, pepohonan, juga air terjun. Semua bersembunyi di bawah cerahnya awan yang diselingi oleh kabut tipis. Memberi kesan mistis yang sungguh memesona. Warna-warna kehijauan di bawahku yang seperti samudra terasa menyegarkan mataku. Aku merasa ada kesyahduan alam yang tercipta. Benar-benar sebuah kenikmatan yang tidak dapat didustakan.
Gunung-gunung tinggi kehijauan gradasi biru itu seakan menyambutku masuk ke alam raya ini. Mereka seperti pintu gerbang yang selalu dibuka lebar-lebar. Aku lantas turun untuk coba mengetahui kondisi yang ada di bawah. Sebuah kondisi yang ada di tepi sungai besar yang selalu mengalir tiada henti bermuara pada lautan di kejauhan. Barisan pohon kelapa yang melambai-lambai seakan menambah sebuah simfoni alam itu. Benar-benar menakjubkan.
Aku lalu turun, dan melihat sebuah keramaian, dengan banyak orang berlalu-lalang. Ada yang membawa kayu besar dua batang dengan gerobak, ada yang naik motor untuk mengangkut sayur-mayur hasil bumi lalu ada yang tampak berbelanja. Tak jauh dari situ ada sebuah truk besar untuk mengangkut bermacam rempah yang belum diolah. Sepertinya ini sebuah pasar, kataku. Aku kemudian mencoba melihat lagi lebih dekat. Dan, memang. Sebuah pasar tradisional yang cukup ramai, yang rupanya tidak jauh dari gunung-gunung besar yang kulewati tadi sebagai sebuah latar belakang sebuah lukisan realisme karya para naturalis yang selalu memuji keindahan alam lewat goresan-goresan kuasnya.
Aku lantas coba masuk ke dalam pasar itu. Jika di luar saja ramai, bagaimana jika di dalam? Oh, ternyata semakin ramai. Transaksi jual-beli terjadi membentuk sebuah orkestra kehidupan yang tidak habis-habis. Ada yang menjual sayuran. Ada yang menjual daging lalu ada yang menjual bumbu-bumbu dapur serta protein, dan tak lupa juga kue-kue. Tampak seperti sebuah etalase yang beragam namun melebur.
Aku kelilingi tiap sudut pasar itu, dan ketika puas aku keluar. Aku lihat gunung-gunung di kejauhan itu masih tersenyum padaku seolah mengatakan padaku untuk berpuas-puas bermain di pasar ini. Saat itu pula dari arah berlawanan ada seorang perempuan muda dengan paras yang cantik dan kulit kuning langsat datang tiba-tiba kepadaku. Ia kulihat sedang membawa sebuah tas untuk berbelanja sepertinya.
"Mas, wartawan?" tanyanya membuka sebuah percakapan denganku. Aku lihat matanya mengarah kamera yang aku bawa.
Aku yang sadar akan pertanyaan dan lirikannya itu segera berkata,
"Nggak, saya cuma pemotret kehidupan," jawabku sembari berusaha tersenyum.
"Ah, Mas, jawabnya pakai kiasan segala," ujarnya yang kemudian menatap tajam padaku beserta sebuah bibir yang berubah kecut disertai dengan nada bicara yang tampak curiga kepadaku. Aku merasakannya seperti orang yang berupaya membongkar diriku.
"Mas, wartawan, kan?" sekali lagi ia bertanya seperti itu. Sebuah pengulangan yang berupa penegasan menuntut sebuah jawabanku dariku yang masih samar baginya. Dan, ini seperti sesuatu yang sudah tidak bisa ditawar-tawar.
Aku yang mendapat todongan pertanyaan seperti itu berupaya menahan diriku, mengendalikan diriku yang terkejut, juga bergetar. Aku tatap dia. Si makhluk cantik yang sepertinya bukan sembarang cantik tetapi ini melebihi cantik. Seketika wajah cantik itu berubah jadi seperti wajah polisi yang menakutkan yang selalu bertanya dengan penuh intimidasi demi sebuah pengakuan. Pujianku jadi buyar. Aku bergidik. Aku berusaha mengatur napas yang terasa sesak di dada dan membuatku terhenyak. Aku merasa tidak bisa berkata-kata.
"Lho kok, Mas, Masnya jadi panik gitu?" tanyanya yang mengubah nada bicaranya setelah ia melihat aku dalam keadaan panik. Ya, benar, aku memang panik. Aku rasakan ada keringat keluar dari tubuhku. Sialan, gumamku, kenapa baru kali ini aku merasa sangat panik ditanya sesuatu yang sebenarnya sederhana tapi malah membuat mulut ini terkunci. Apa karena aku terpesona oleh perempuan di depanku ini atau aku tertekan oleh cara bicaranya yang perlahan menusuk hatiku.
"Tapi, Mas memang wartawan ya?" Lagi-lagi ia berucap sesuatu yang tampaknya sudah merupakan penegasan namun hanya membutuhkan kepastian kecil. Aku kembali terdiam. Aku mematung. Batinku berkata, kenapa aku yang tadi bebas di angkasa malah jadi tak berdaya olehnya. Apa aku salah tempat? Atau aku salah ajak bicara orang?
Aku pandangi lagi dia yang kecantikannya memudar karena pertanyaannya. Aku kini berusaha menjawab semampuku. Aku tarik napas, dan ketika lega aku langsung berkata,
"Saya bukan wartawan, Mbak," jawabku berusaha tenang, "Saya pemotret kehidupan. Saya hanya ingin mengetahui saja kondisi di luar dan dalam pasar ini. Saya tertarik melihatnya saat dari atas,"
Ia yang mendapat jawaban dariku segera memajukan kepalanya ke mukaku. Tampak ia seperti ingin berciuman bibir. Terlihat dari dekat alisnya yang tipis hitam, jidat yang tampak polos namun seperti orang yang sering berpikir, bola mata yang berwarna hitam kecoklatan yang kembali menatap tajam padaku, dan bibir tipis merah muda yang dari dalamnya keluar kata-kata,
"Jangan bohong, Mas" ia berucap pelan dengan menekan, "Mas, itu memang wartawan. Buat apa, Mas, pakai ke segini segala kalau tidak ada maksud tertentu,"
Setelah ia mundurkan kepalanya dan kini tersenyum. Aku yang diperlakukan seperti itu jadi merasa tertekan batinku apalagi ketika ia tersenyum yang menurutku palsu.
"Saya sebenarnya tidak ada masalah Mas mau meliput di sini," ujarnya setelah itu berusaha akrab denganku, dan kini tampak seperti perempuan cantik yang dari awal aku lihat, yang selalu tersenyum meski dalam sebuah bingkai, dan selalu tersiram oleh kilatan cahaya foto para fotografer.
"Tapi, ingat, jangan macam-macam ya. Kalau macam-macam tahu sendiri akibatnya" ujarnya setelah itu dengan nada bicara yang diubah kembali dengan pelan, dan menyelipkan sebuah ancaman. Aku lagi-lagi bergidik. Ucapan itu ucapan yang benar-benar serius. Aku perhatikan di sekelilingku beberapa mata menatapku tajam. Seolah mengatakan hal yang sama dengan si perempuan ini. Mereka tampak bersiap-siap menghajarku jika aku macam-macam. Aku yang melihatnya kembali merasa terintimidasi.
"Baik," kataku pelan mencoba menanggapi ancaman darinya, "Saya tidak akan macam-macam. Saya hanya ingin tahu kehidupan di sini. Tidak lebih dari itu,"
Perempuan muda itu membesarkan bola matanya. Raut mukanya seolah tidak percaya dengan jawabanku yang masih dirasa tidak memberikan sebuah jawaban. Ia memandangku dengan sinis.
"Jangan terlalu normatif menjawab, Mas," ujarnya lagi setelah itu, "Kami yang ada di pasar ini bukan orang-orang bodoh yang bisa diatur seenaknya dari atas kemudian seperti masakan diberi bumbu sana-sini supaya enak dipandang. Nah, kalau sudah dipandang kami dibuang,"
Aku kali ini tidak menjawab sanggahannya yang begitu dalam. Ia dan orang-orang ini ternyata di luar dugaanku. Mereka cukup cerdas walau tampak polos dalam berpakaian dan bertindak sehingga ada kesan mudah dibodohi. Sepertinya memang aku salah masuk sebuah dunia. Dunia yang tampak indah bagai sebuah lukisan pemandangan alam yang selalu berwarna-warni. Goresan-goresan yang selalu menonjolkan sebuah objek untuk dijadikan sebagai bahan melihat, dan orang-orang di dalamnya tak lebih dari sebuah pelengkap yang terkadang atau sering dilupakan daripada benda-benda mati di dalamnya. Padahal, merekalah inti lukisan itu.
Tapi benarkah aku yang selalu bebas ini berada dalam sebuah lukisan ketika aku menyadari mereka tampak nyata secara dimensi? Raut wajahnya seperti sebuah kenyataan. Begitu juga lekuk tubuh, dan cara bicaranya apalagi orang-orang yang berada di dalam dan luar pasar. Lalu aku melihat gunung-gunung yang menjadi gerbang pembuka aku masuk ke pasar ini. Ia yang sedari tenang aku perhatikan ada gejala seperti ingin melepaskan sesuatu. Ada asap keluar terus-menerus dari dalam kawahnya kemudian disusul dengan lontaran api dan bebatuan. Firasatku, gunung ini akan meletus. Aku lantas berpaling ke perempuan di depanku yang sedari tadi jadi lawan bicaraku. Ia tampak diam. Masih menatapku dengan tajam. Aku ajak ia bicara tetapi ia cuma diam. Posenya berdiri tegak. Aku merasakan ada keanehan. Begitu juga dengan orang-orang di sekitarku. Ada apa ini? Kenapa semua tidak bergerak? Kenapa semua mematung?
Dari kejauhan suara gemuruh gunung menggelegar layaknya petir yang menyambar bumi berulang kali. Langit tiba-tiba berubah gelap. Matahari dimakan Sang Kala. Aku yang melihat itu merasakan ada sesuatu yang mengancam diriku, juga dia dan mereka. Ternyata, benar, gunung-gunung itu meletus. Ia sudah memuntahkan lahar yang sekarang mengalir seperti sungai, dan dengan cepat menuju ke arahku berdiri.
Kalau sudah begini sudah saatnya bagiku untuk beranjak. Namun, aku merasa tidak bisa terbang sendirian. Aku harus membawa si perempuan ini juga. Aku harus menyelamatkannya. Karena, bagaimanapun ia adalah objek yang tidak boleh rusak sedikit pun apalagi oleh gunung meletus. Ia harus terus ada dalam pandanganku agar aku bisa terus berbincang sekaligus mengawasinya. Dia cantik tetapi berbahaya.
Ketika aku berusaha membawanya dengan memegang tangannya yang halus, secara refleks ia mendorongku jatuh ke tanah. Aku pun terkejut. Lalu dengan nada marah, ia berkata mengecamku,
"Mas jangan bawa saya pergi dari sini cuma buat kepuasan Mas!" Ia lalu melihat gunung-gunung yang meletus itu, "Biarlah gunung-gunung yang kami anggap sebagai ibu itu memakan saya daripada saya harus ikut dalam bingkai yang Mas buat!"
Setelah itu nada bicaranya berubah kencang dan menggelegar seperti petir.
"Pergi kau, Mas! Pergi ke atas sana! Kami di sini adalah orang-orang merdeka yang tidak bisa diatur-atur seenak perut!"
Aku yang melihatnya kembali merasakan ketakutan. Matanya memancarkan kemarahan seperti Calon Arang. Kemarahan yang sangat luar biasa yang membuat aku tunduk. Aku lantas bangkit dan terbang. Terbang meninggalkan dia yang menatapku tajam kemudian menolehkan pandangan ke arah lahar gunung yang mengalir ke arahnya. Begitu juga orang-orang sekelilingnya. Mereka tampak menyambut gembira aliran lahar itu, dan membiarkan diri diterpa dan tenggelam di dalamnya tanpa merasakan sakit yang sangat perih. Perlahan aku lihat tangannya masih tampai ke atas kemudian mulai tenggelam oleh lahar, dan ketika itu pula pada jari-jarinya bergerak dengan mengacungkan jari tengah kepadaku. Setelah itu, barulah lenyap. Aku yang melihat gestur menantang itu terhenyak, dan menyadari memang ada perlawanan di dalamnya.
Aku segera terbang meninggi. Meninggalkan situasi itu yang terlihat seperti sebuah kebakaran hutan dengan asap di mana-mana. Perlahan warna hijau dan keramaian itu sirna sudah tak berbekas. Aku kemudian benar-benar terbang tinggi di langit meninggalkan kondisi itu yang sebenarnya adalah sebuah diorama, dan aku hanyalah sebuah drone yang bertugas mengamati kehidupan itu.
0 komentar:
Posting Komentar