Selasa, 26 Juni 2012
Kantuk Dalam Siang
Mata masih memberat dan teringat lirik dari lagu Sheila On 7,
"Berjuta ton pemberat di mata indahku"
Seperti masih terbangun dari dunia awang-awang,
Merasa masih bukanlah dari dunia kenyataan
Selimut waktu yang tadi membungkusnya,
perlahan tapi pasti menenggelamkannya dalam impian terpendam
terbang di mayapada fana,
tergiur dan termabuk keindahan alam bawah sadar
Sesuatu yang memang menjadi campur aduk,
seperti halnya memakan dan meminum es campur,
warna-warni itu terpadu,
namun tak mendukung
Lambat melaun haruslah sekali lagi mengakui bahwa itu hanyalah pekerjaan rutin di pulau kapuk,
dan itulah yang tersaji ketika kantuk masih tersesap di siang murung
"Berjuta ton pemberat di mata indahku"
Seperti masih terbangun dari dunia awang-awang,
Merasa masih bukanlah dari dunia kenyataan
Selimut waktu yang tadi membungkusnya,
perlahan tapi pasti menenggelamkannya dalam impian terpendam
terbang di mayapada fana,
tergiur dan termabuk keindahan alam bawah sadar
Sesuatu yang memang menjadi campur aduk,
seperti halnya memakan dan meminum es campur,
warna-warni itu terpadu,
namun tak mendukung
Lambat melaun haruslah sekali lagi mengakui bahwa itu hanyalah pekerjaan rutin di pulau kapuk,
dan itulah yang tersaji ketika kantuk masih tersesap di siang murung
Label:
Puisi
Sabtu, 23 Juni 2012
Weekend
Weekend
Selalu terdengar di telingaku tiap kali Jumat berakhir
Ketika weekend menjelang terasa hati senang
melepaskan diri dari jeratan kesibukan
mencoba meluangkan waktu meski hanya bersifat fana
Weekend
Sudah menjadi kata yang sakral bagi mereka
yang hendak menikmati
seperti anggur yang memabukkan
lalu terbayanglah semua keindahan
mengawang-awang, melayang meninggalkan detak-detik kepenatan
Sayang, bagiku weekend hanyalah seperti lintasan waktu yang berlari cepat
Datang kemudian pergi lagi
pergi kemudian datang lagi
Seperti angan-angan yang terhempas
Label:
Puisi
Jumat, 22 Juni 2012
Kalong-Kalong
Kelelawar itu mengatupkan sayapnya erat-erat sehingga membungkus
tubuhnya. Hanya kepalanya yang terlihat. Matanya tampak menatap tajam pada
sesuatu yang sebenarnya cukup jauh dari tempat ia berada, di akar sebuah pohon.
Kedua kakinya tampak mencengkram erat akar pohon yang tampak kokoh itu.
Sekelebat kemudian ia melepaskan diri dari akar pohon itu dan mengembangkan
sayapnya yang lebar lalu terbang. Hendak menyusur benda yang sedari tadi
menjadi perhatiannya dan menjadi mangsanya.
Aku yang melihatnya biasa saja dalam sebuah acara televisi semacam Discovery
Channel, tetapi tidak dengan Irna. Ia malah menjerit ketakutan seperti
melihat hantu.
“Matiin!” teriaknya padaku, “Gue bilang matiin!”
“Mang kenapa sih?” tanyaku heran, “Gue nggak mau!”
“Yee..matiin!” kata Irna kembali berteriak, “mana remotenya?”
Aku ambil remote itu secepat mungkin,
“Salah lo sendiri,” kataku sambil memegang remote erat-erat, “Kan
gue tadi udah bilang kalo nggak mau liat jangan nonton. Udah tau ini edisi
tentang kalong,”
“Eh...jangan nyebut-nyebut ya,” katanya malah marah padaku, “Mau
kalong kek, kelelawar kek atau batman sekalipun!”
“Suka-suka gue dong!” kataku acuh.
Tiba-tiba saja Irna yang terlihat kesal dan geram itu maju ke arah
televisi dan mematikan si kubus visual tersebut. Aku jelas terkejut.
“Oke deh, tontonannya usai sudah,” ujarnya setelah itu dengan raut
muka puas.
“Lo apa-apaan sih?” tanyaku heran sekaligus geram.
Ia tidak menjawab pertanyaanku tetapi malah ngeloyor pergi ke
kamarnya di tingkat atas. Ketika ia hendak ke sana, aku berseru,
“Liat aja ada kalong lho ntar di sana. Siap-siapa aja lo dihisap
darahnya!”
“Bodoh,” jawabnya enteng.
lovebats.soup.io
Jujur, aku masih tak habis pikir kenapa Irna, sepupuku itu, rada
ketakutan bila melihat tayangan kelelawar atau kalong, tapi aku lebih suka
menyebutnya kalong, di televisi. Apalagi jika si kalong sedang terbang di
kegelapan malam. Memang sepintas terlihat seram. Dengan wajah yang didesain
menyeramkan. Gigi bertaring. Tangan yang menyatu dengan sayap, dan kaki yang
pendek. Ya karena sukanya terbang di malam hari apalagi bentuknya seperti itu
banyak yang mengaitkannya dengan berbagai mitos. Salah satunya mitos tentang
drakula, si makhluk penghisap darah, atau saudaranya, si vampir. Ah, tapi itu
kan akal-akalan saja. Soalnya, ketika cara berpikir manusia masih dalam tahap
meraba-raba dan melihat sesuatu yang berada di luar kebiasaan, mereka akan
mengaitkannya dengan sesuatu hal yang menyeramkan dan bersifat magis. Salah
satunya ya, kelelawar yang dikaitkan dengan makhluk-makhluk jadi-jadian
penghisap darah. Meski, dalam kenyataannya ada juga kalong penghisap darah.
Tetapi, untuk kasus Irna agak beda. Ia takut melihat kalong karena
kalong itu adalah perwujudan dari seorang lelaki yang pernah menjumpainya
kemudian pernah bersemayam di dalam kehidupannya. Katanya, lelaki itu amat
sangat ganteng, rupawan, dan ya mirip dengan Cristiano Ronaldo, si pesepakbola
tersohor yang digandrungi banyak kaum hawa. Aku yang mendengarnya merasa agak
aneh saja ketika ia menceritakannya pada suatu malam.
***
Irna tampak sendiri berjalan di sebuah gang sepi. Waktu itu sudah
malam hari. Bahkan larut dan pekat. Orang kebanyakan sudah menjadi kepompong
dan sedang meraih kenikmatan di pulau kapuknya masing-masing. Suasananya agak
seram karena Irna melewati daerah yang cukup sepi dan angker. Tetapi, ia tidak
peduli. Mau ada setan kek atau nggak sama saja, begitu gumamnya. Ia terpaksa
harus berjalan kaki malam larut itu usai asyik berpesta di sebuah klub malam
dan tiada kendaraan sama sekali. Ya, Irna memang suka sekali dugem. Kebanyakan
ia melakukannya sendirian dan jarang bersama-sama.
Memang di tempat itu sepi dan angker karena banyak penunggu
halusnya, namun bukan itu rupanya yang ditemui Irna. Dua orang berbadan ceking
menghadangnya lalu menyodorkan pisau tajam sambil bergestur dengan tangan
meminta uang. Irna tahu siapa yang di depannya itu. Mereka hendak merampoknya.
Apalagi, dirinya juga memakai pakaian yang mengundang nafsu. Mampus deh gue,
gumamnya panik.
“Siapa suruh jalan di sini sendirian!” kata si perampok yang
satunya. Wajahnya tirus. Ia nampak nafsu melihat Irna. Matanya membesar.
“Enak nih bos kayanya,” ujar si perampok yang satunya lagi.
Wajahnya rada bulat.
“Eh, lo kira gue makanan!” ujar Irna membalas, “Pergi nggak lo
berdua atau gue teriak!”
“Teriak aja!” kata si tirus, “Nggak ada yang dengerin kok,” Ia lalu
terkekeh-kekeh.
Mereka berdua mendekat dan Irna terpojok ke sebuah tembok dekat
dengan pohon pisang. Mulutnya komat-kamit, aduh gue masih mau jadi perawan,
gumamnya lagi.
“Ya beraninya sama cewek doang!” ujar suara tiba-tiba di belakang.
Nampaknya suara lelaki. Irna dan dua perampok itu jelas terkejut. Kedua-duanya
menoleh. Dilihatnya, sesosok lelaki tegap dan rupawan seperti bintang film.
Irna, yang mungkin masih dalam pengaruh minuman, terpesona melihatnya.
“Wah, kaya di film aja nih,” kata si tirus, “Ada jagoannya,”
“Ah, udah bos,” kata si bulat, “Hajar aja!”
Mereka berdua segera berlari ke arah si lelaki itu sambil
menyodorkan pisau. Tetapi, si lelaki tampak tenang dan malah bisa membuat kedua
perampok itu jatuh dan terkapar hingga pingsan.
Irna yang melihatnya tambah terpesona. Wah, kaya superhero, ujarnya
dalam hati. Ia mendekati Irna dan kemudian bilang,
“Nggak apa-apa kan, mbak?” tanyanya.
“Nggak apa-apa kok,” kata Irna. Tetapi, seperti ada yang
membisikinya, Irna langsung bertanya curiga,
“Jangan bilang ya mereka itu teman-teman lo?”
“Teman apa?” tanya si lelaki heran, “Saya aja nggak kenal,”
Irna bergumam,
“Gue kira teman-teman lo,” katanya, “Tapi, kalo emang teman-teman
lo harusnya gue udah kenal lo,”
Ia lalu menyodorkan tangan,
“Irna,”
Si lelaki itu membalas dengan menyodorkan tangan,
“Rifki,”
“Ganteng seperti orangnya,”
“Mbak bisa aja. Mari kita tinggalkan tempat ini,”
Mereka berdua meninggalkan tempat itu dengan dua perampok yang
masih nampak pingsan dengan nikmat setelah dibogem.
Usai pertemuan dengan Rifki, Irna nampak begitu senang dan ceria. Lelaki
itu memang ganteng dan Irna menyukainya. Ia ingin sekali bertemu dengan lelaki
itu lagi. Sayang, ia lupa meminta nomor Rifki. Saking senangnya, ia ceritakan
itu kepada Andrea, sahabatnya. Andrea hanya berkata,
“Hati-hati lo, Na. Bisa jadi itu cowok jadi-jadian soalnya lo
ketemu dan kenalan sama dia di malam hari,”
“Nah, mulai deh lo ngomongnya ngaco,” ujar Irna.
Hampir setiap hari, ia membayangkan wajah Rifki yang rupawan itu.
Irna ingin bertemu dengannya tetapi sayang tiada kontak yang ia punya darinya.
Ah, coba gue waktu itu minta, gumamnya. Sampai ketika ia merasa tak akan bisa
lagi bertemu dan pasrah dan pada suatu malam di dekat klub malam tempat ia bisa
berdugem, ia bertemu dengan Rifki. Betapa senangnya ia. Ia ajak Rifki berdugem
dengan diiringi hentakan suara musik dari sang disc jockey. Namun, tampak Rifki
kurang menyukai dan mulai menarik diri. Irna mengejarnya.
“Maaf, lo nggak suka ya dengan beginian?” tanya Irna yang raut di
wajahnya mengandung kekhawatiran.
“Iya,” kata Rifki, “Buang-buang tenaga aja,”
“Apa lo dari keluarga alim?” tanya Irna.
“Bukan,” kata Rifki, “Ya gue nggak suka aja sama dugem, diskotik,”
“Oh, maaf deh,”
“Kok maaf?”
“Ya, maaf, udah ngajakin lo ke sana,”
“Gue yang harusnya minta maaf karena tadi pergi begitu aja,”
Mereka berdua kemudian memutuskan meninggalkan diskotik dan menuju
ke sebuah tempat sepi yang berada di tepi danau tak jauh dari diskotik,
“Lo suka sama yang sepi-sepi ya?” tanya Irna lagi.
“Nggak hanya sepi tapi tenang,” jawab Rifki pelan.
Saat mereka berdua itu Irna mulai menanyakan nomor kontak Rifki dan
Rifki memberinya. Hanya saja, Rifki bilang dirinya hanya bisa ditemui pada
malam hari bukan siang hari. Ketika ditanya mengapa, Rifki hanya bungkam dan
bilang seadanya,
“Ya nanti lo nggak akan mengerti,”
Irna mengiyakan saja dalam hati walau ia bertanya-tanya.
Semenjak itu, mereka berdua selalu bertemu di malam hari. Bahkan
pada malam yang larut. Awalnya, Irna tampak menikmati saja tetapi lama-kelamaan
ia bertanya-tanya mengapa harus malam hari dan bukan siang hari. Saat bertanya
itu lagi jika mereka bertemu, Rifki selalu menjawab dengan jawaban yang sama.
Ketika ia sms dan telepon pada siang harinya, selalu tiada jawaban. Irna jadi
bertanya-tanya keheranan. Ia ingin sekali bertandang ke tempat Rifki. Namun, ia
juga tidak tahu di mana tempatnya. Kalau ditanya soal tempat, Rifky hanya
menjawab,
“Tempat gue jauh,”
Namun tidak diketahui jauhnya seperti apa.
Irna yang statusnya belum berpacaran dengan Rifky juga mencoba
mengajak ciuman. Sayang, Rifki menolak dengan alasan,
“Gue lagi sariawan,”
Tetapi, jikalau tidak sariawan,
“Mulut gue bau karena nggak gosok gigi,”
Lalu jika tidak gosok gigi,
“Bibir gue kering jadi jelek buat diemut,”
Dan begitulah alasan yang membuat Irna tambah heran dan heran.
Sampai-sampai ia berpikir dan beranggapan, kali tuh cowok bukan buat gue kali.
Secara gue kaya begini. Pada akhirnya, Irna kembali pasrah dan tidak banyak
meminta jika bertemu pada malam hari.
Dan pada suatu siang, Irna tidak sengaja melewati daerah kos-kosan.
Ketika melewati salah satu kamar kos-kosan, ia tampak melihat ada sebuah sinar.
Lalu ia beranggapan, paling tuh sinar orang lagi nonton bokep. Tapi, sinar itu
membuatnya penasaran. Kuning dan agak rapih. Irna mendekatinya. Lalu diintipnya
perlahan apa yang terjadi di kamar itu. Ada seorang lelaki dan juga sayap
besar. Apa? Sayap? Lelaki yang dilihatnya bersayap dan ia melihat wajah lelaki
itu: Rifki?
Ia segera masuk dan melihat Rifky dalam sebuah sosok yang lain.
Rifki yang sedang telanjang dada tampak terkejut. Sayap di kedua punggungnya
merekah.
“Rifky,” kata Irna terkejut.
“Halo, Irna,” kata Rifki.
“Si..siapa lo sebenarnya?”
“Gue malaikat, Irna,” kata Rifki, “Mungkin lo nggak akan percaya
dengarnya,”
“Jadi kenapa lo selalu menolak bertemu di siang hari karena ini,”
“Betul. Harap lo maklum. Makanya, gue nggak bisa jelasin ke lo
karena nanti lo nggak akan mengerti,”
“Gue ngerti kok! Tapi, jangan kaya gitu dong caranya. Kenapa lo
ngebohongin gue?”
Rifky terdiam dan kemudian berkata,
“Gue ini malaikat, Irna,” katanya, “Malaikat jatuh yang diusir
karena mempunyai nafsu dengan malaikat perempuan,”
“Malaikat kan nggak punya nafsu?” tanya Irna heran.
“Tapi, gue punya,” kata Rifki, “Dan gue dikutuk untuk tidak boleh
kembali dan harus ke bumi mencari wanita manusia. Tapi, sayang, gue hanya bisa
berada di malam hari karena unsur malaikat gue masih ada dan gue belum
sepenuhnya menjadi manusia,”
“Dan lo kemudian ketemu kan dengan wanita manusia itu?”
“Ya, dan itu lo. Gue berharap lo mau jadi pasangan hidup gue,”
“Gue sih mau aja. Sayang, lo udah ngebohongin gue,”
“Tolong, Irna. Itu biar lo nggak kaget. Tolong mengerti,”
“Lalu bagaimana kalo gue nggak mau?”
“Gue akan berubah menjadi kalong,”
Irna tertawa-tawa,
“Lo memang kalong karena suka muncul di malam hari,”
“Ini serius, Irna,”
Rifki menatap tajam Irna,
“Gue akan berubah menjadi kalong,”
“Ah, peduli amat! Kenapa juga harus gue bukan yang lain,”
Tampak raut wajah Rifki berubah sedih dan pada saat itu berkata,
“Baiklah, kalo itu mau lo,”
Asap tiba-tiba muncul dan menyelimuti seluruh tubuh Rifky. Dalam
sekejap tubuh yang terselimuti asap itu mengecil dan kemudian muncullah sesosok
mamalia hitam dari dalam asap itu. Sebuah kelelawar besar yang tengah
mengepakkan sayapnya dan kemudian melaju dengan kecepatan tinggi melewati Irna
melesat keluar.
Irna yang melihatnya terkejut dan tidak percaya. Seperti ada yang
menamparnya, ia pun pingsan dan kemudian
mendapati sudah berada di kamarnya. Tampak Andrea berada di sampingnya,
“Eh, sudah sadar,” kata Andrea, “Selamat datang kembali ke dunia
nyata,”
“Ia, gue kok bisa di sini?” tanya Irna.
“Ya iyalah,” kata Andrea, “Na, lo tuh pingsan dari kemarin siang.
Ada yang dapatin lo di sebuah kosan terus langsung lo dibawa ke sini begitu
dilihat KTP lo sama orang-orang. Lo kenapa sih?”
Irna yang ditanyai seperti itu langsung terdiam dan tiba-tiba
teringat suatu kejadian,
“Ceritanya panjang, Ia,” katanya, “Susah gue ceritain dan jelasin,”
“Ya udah sekarang lo istirahat aja dulu,” kata Andrea yang kemudian
meninggalkannya. Setelah Andrea pergi dari kamarnya, tiba-tiba bulu kuduk Irna
merinding dan ia segera menutupi tubuhnya dengan selimut.
***
Begitulah cerita yang kudapat dari dirinya. Cukup aneh bukan? Masa
takut kalong hanya karena perwujudan dari seorang pria tampan. Udah gitu
malaikat lagi. Kalo drakula atau vampir ya wajar. Zaman sekarang kok orang
malah aneh-aneh ya ketakutannya. Aku teruskan saja menonton televisi dan ada
yang mengebel pintu. Siapa sih malam-malam begini? Tanyaku. Aku tanpa pikir
panjang segera menuju ke pintu dan membukanya. Kulihat ada sesosok lelaki
rupawan.
“Irnanya ada, mas?”
“Oh, ada sebentar ya?”
Ketika aku hendak berbalik untuk memanggil Irna kulihat ia sudah di
depanku dan wajahnya berubah ketakutan,
“Na, lo kenapa?”
Ia lari ketakutan menuju kamarnya. Ketika aku hendak berbalik lagi
ke arah pintu, lelaki itu sudah menghilang. Nah lho, cepat sekali. Saat itu aku
langsung seperti dihinggapi rasa takut. Bulu romaku berdiri. Jangan-jangan,
gumamku. Aku langsung berlari menuju kamar tempat Irna berada. Dan pintu pun
masih terbuka
Minggu, 17 Juni 2012
Sang Kekasih Sejati
“Tolong, jangan mendekat padaku!” teriak seorang lelaki tua di
pinggiran jalan kepada seseorang yang hendak memberinya sedekah. Ya, lelaki tua
itu memang pengemis. Pengemis yang butuh dikasihani. Bajunya compang-camping
tidak karuan. Muka yang keriput dan dekil serta badannya yang agak kurus
kerempeng menunjukkan bahwa ia sudah lepas dari yang namanya perawatan dan
jarang makan. Akan tetapi, ia selalu berteriak seperti jikalau ada yang
mendekati.
Pak Tua itu memang selalu menjadi pemandangan sehari-hariku. Aku
sendiri hanyalah seorang pedagang kios kecil yang menjual makanan dan minuman
ringan plus rokok. Dari sinilah aku menggantungkan hidup. Berdagang di
pinggiran jalan yang tidak terlalu lebar dan sempit dan tepatnya di depan
sebuah rumah milik seseorang yang mengizinkan aku berdagang dan ia tidak
meminta imbalan apa-apa dariku. Rasanya enak dan aman saja berdagang tanpa
dimintai apa-apa. Padahal, dulu sering ada preman yang minta uang keamanan. Ia
mengaku orang di sekitar tempatku berdagang padahal bukan. Sampai akhirnya, itu
preman dipukul ramai-ramai sama warga karena meresahkan dan tewas. Aduh, nasibnya
sungguh-sungguh kasihan. Sudah berbuat jahat, matinya malah bukan dalam keadaan
dia mau tobat. Tapi, toh aku tak berani mengatakan ia akan diapakan di alam
sana. Itu kan urusan Tuhan.
Mengenai si Pak Tua, dia itu muncul sekitar kurang lebih 3 tahun
yang lalu. Ketika aku hendak membuka kios, di seberang jalan yang sekarang
menjadi tempat mangkalnya, aku melihat dia tertidur. Aku perhatikan ada nampak
wajah mengigil ketakutan. Aku merasa kasihan saja. Aku ingin memberinya makan
dari yang aku jual di kiosku. Lagipula yang kuberi ke dia kan juga termasuk
dapat pahala walaupun aku tak memikirkan itu.
Aku segera ambil makanan dan bangunkan dia dengan pelan,
“Pak, pak,” kataku membangunkannya. Ia masih dalam keadaan terlelap
kulihat saat aku menyentuhnya. Tapi, aku lihat kemudian di wajahnya, matanya
perlahan bergerak dan terbuka. Seperti orang bingung ia melihat ke sekeliling
dan mendapati diriku. Sontak ia berkata dengan raut dan tatapan keheranan,
“Siapa kamu?” tanyanya, “Jangan dekati aku. Pergi!”
“Saya orang, Pak,” kataku, “Masa iya setan,”
“Iya, kamu memang setan,” ujarnya, “Pergi!”
“Aduh, bapak ini kenapa?” tanyaku heran, “Saya melihat bapak tidur
dan ini saya bawakan makanan ala kadarnya,”
Ia lalu menatap apa yang aku bawa dan telah di dekatnya. Dua buah
roti dan segelas minuman ringan dari gelas plastik. Ia tatap itu dengan heran
dan tajam lalu menatapku lagi dengan tatapan yang sama,
“Dasar setan!” katanya, “Pergi kamu!”
Aku malah tambah heran dan aneh,
“Bapak ini kenapa sih? Sudah gila ya?”
“Pergi kamu!”
“Iya, saya pergi! Lagipula saya masih banyak urusan. Ditolongin kok
malah aneh-aneh aja!”
Aku segera kembali ke kiosku. Melihat ia dari kejauhan. Kulihat ia
sedang menatap makanan dan minuman pemberianku. Lalu ia pegang dan nampak ia
berbicara yang aku tidak mendengarnya. Tetapi, kemudian malah melepas makanan
dan minuman itu dan memojokkan diri seperti orang ketakutan. Dalam hati aku
bertanya keheranan, ini orang gila kali ya? Kenapa zaman sekarang banyak orang
gila?
Ya itulah, perjumpaan dan perkenalan pertamaku dengan si Pak Tua.
Hampir tiap hari aku melihat seperti itu. Kelakuannya malah kian aneh. Ia
selalu mengataiku setan tiap kali aku memberinya makan dan minuman.
Sampai-sampai aku emosi. Ia juga berkata demikian pada orang yang lewat dan
mendekatinya lalu mengusir mereka. Sampai-sampai yang hendak memberinya uang
sedekah malah melempar saja uang itu ke mukanya karena diteriaki seperti orang
ketakutan.
Aku merasa heran kenapa si Pak Tua seperti itu. Apa ia ada masalah di
keluarganya sehingga lari atau mungkin ada hal lain yang membuatnya ketakutan.
Aku benar-benar tidak tahu. Sampai ada seseorang yang memberi tahu diriku
perihal perilaku si Pak Tua. Orang itu tampak sangat alim dan mengaku-ngaku
sebagai saudara si Pak Tua. Lantas aku bertanya, kalau kau saudaranya kenapa
tidak bawa saja. Orang itu hanya menjawab, Ah, buat apa? Dia saja selalu
menolak untuk diajak pulang. Saya aja capek membujuknya. Yah, jawaban yang bisa
diterima meskipun masih bertanya-tanya dalam hati. Orang itu bercerita kepadaku
mengapa si Pak Tua seperti itu dan ketika ia bercerita si Pak Tua dari kejauhan
teriak-teriak, Setan! Enyah kau! Tapi,
kami tak pedulikan.
Si Pak Tua, menurut orang alim ini, dulunya adalah seorang yang
ahli ibadah. Ia selalu tidak pernah alpa dalam mengerjakan ibadah dan berbuat
amal baik. Segala sesuatu yang dilarang Tuhan, selalu ia patuhi. Bahkan dalam
berbagai acara ia selalu diundang untuk menyampaikan ceramah keagamaan.
Ceramahnya tergolong enak didengar dan halus, serta tidak menghakimi.
“Dia itu adalah semacam kyai di kampung kami,” kata si orang alim, “Meski
nyatanya ia belum pernah pergi haji atau menyantren demi mendapatkan ilmu
keagamaan yang luas,”
“Lalu ia bisa alim demikian karena apa?” tanyaku.
“Ia punya guru,” jawab si orang alim.
“Guru?” tanyaku lagi.
“Ya, guru,” kata si orang alim menegaskan, “Guru itu yang
mengajarinya bertindak alim dan baik, serta menjadi panutan hidup di masyarakat.
Intinya, seperti yang dilakukan nabi,”
“Oo...,” kataku demikian.
“Gurunya itu, kalau dilihat dari perawakannya, memang seperti ulama
besar. Jikalau berjalan selalu ada satu-dua pengikutnya di kiri dan kanan. Tiap
ada orang yang bertemu dengannya selalu memberikan salam dan meminta doa untuk mendapatkan
keberkahan. Ia sendiri amat mengagumi gurunya itu,”
“Lalu apa hubungannya dengan perilakunya? Bukankah harusnya ia
tidak seperti itu?” tanyaku heran kembali.
“Ceritanya agak aneh,” kata si orang alim, “Tapi, takutnya sampeyan
tidak mengerti jika saya ceritakan,”
“Ceritakan saja, Pak,” kataku, “Ya sembari mengisi kejenuhan
menjaga kios,”
“Baiklah,” Mulailah si orang alim bercerita.
***
“Sang Kekasih Sejati,” demikian si Ahmad memanggil gurunya yang
nama aslinya tidak diketahui. Panggilan itu atas permintaan gurunya sendiri
yang menyuruh kepada Ahmad, salah satu muridnya. Ahmad awalnya heran mengapa
harus memanggilnya demikian. Sebuah panggilan yang rasa-rasanya itu adalah
panggilan yang sombong karena baginya tiada seorang ulama pun yang meminta
dipanggil demikian kecuali ada yang memanggilnya.
“Lho, memangnya kamu Tuhan?” tanya si gurunya, “Tuhan saja tidak
masalah. Kok malah kamu yang bermasalah?”
“Maafkan saya, Sang Kekasih Sejati, “ kata Ahmad, “Saya hanya heran
saja,”
“Untuk apa kamu heran dan tidak ada yang perlu diherankan,”
Semenjak itu, si Ahmad selalu memanggilnya demikian walau di hati
terasa mengganjal. Tetapi, ia tidak mau pedulikan itu. Toh, yang terpenting ia
mendapatkan ilmu agama yang melimpah dari gurunya itu, seorang ulama yang
nampak seperti sufi, yang gemar menyanyikan pujian-pujian dan zikir-zikir untuk
Sang Pencipta. Ahmad hanyalah seorang biasa yang secara tidak sengaja bisa
berguru kepada seseorang yang dianggap punya ilmu tinggi yang bisa bercengkrama
dengan Tuhan langsung. Ia mengenal gurunya itu dari seorang temannya yang
mengajaknya ke sebuah pertemuan jauh dari kampungnya. Di pertemuan itu ia
diperkenalkan. Ditanya mengenai dirinya satu per satu oleh sang guru yang
kemudian menyuruhnya menginap untuk diajak berdendang dan kemudian dibaiat. Ia
dikenalkan oleh sang guru cara mengenal Sang Pencipta dan sang guru menyuruhnya
untuk berdakwah. Sejak saat itu, Ahmad jadi giat berdakwah di kampungnya dan
menjadi orang alim.
Ketika dalam kesendirian, ia selalu berdendang dan berzikir kepada
Sang Pencipta. Mensyukuri atas nikmat dan anugerahNya, terutama nikmat bernafas
dalam setiap waktu. Ketika berdendang, burung-burung selalu mengikutinya
bernyanyi dan langit tampak ceria. Ia sendiri pun mempunyai dua murid, Ridwan
dan Azmir. Dua muridnya ini selalu mendengarkan apa yang diucapnya dan meniru
apa yang dilakukannya. Sampai kemudian ia mengirim dua muridnya untuk belajar
langsung kepada sang guru karena merasa tidak ada lagi yang bisa diajarkan.
Setiap hari ia berdendang, beribadah, dan berzikir. Ia lupakan
segala urusan duniawi demi mendapatkan cintaNya. Ia juga mengagumi gurunya yang
ia anggap sebagai kekasihNya. Itu berlangsung cukup lama sampai ia hendak berbau
tanah.
Suatu hari, gurunya memanggilnya. Ia tampak senang ketika akan
menemui gurunya. Mereka bertemu di sebuah tempat sepi. Di dalam sebuah hutan.
“Ada apa Sang Kekasih Sejati memanggil saya?” tanyanya begitu ia
sampai di depan gurunya. Sang guru tampak duduk bersila dengan tenang sambil
bertasbih.
“Ada yang ingin kusampaikan pada dirimu, muridku,” katanya.
“Apa itu, Sang Kekasih Sejati?”
Sang guru menatap tajam dan serius ke arah Ahmad. Ahmad hanya
menatap biasa saja ketika ditatap demikian. Namun, ia melihat ada sesuatu yang
amat serius dari gurunya.
“Sekarang ceritakan apa yang kau dapat dariku selama berguru
kepadaku?” tanya sang guru,
“Saya banyak mendapat ilmu dari Sang Kekasih Sejati,” jawabnya
polos.
“Ilmu apa?” tanya sang guru lagi.
“Ilmu untuk bersyukur kepadaNya, ilmu untuk giat beribadah. Yang
jelas ilmu yang diajarkan Sang Kekasih Sejati kepada saya sangat bermanfaat
karena mengajarkan kebaikan,”
“Jadi, aku mengajarimu untuk menjadi baik saja bagi dirimu?”
“Maksud Sang Kekasih Sejati?”
“Kau tidak memintaku untuk mengajarimu ilmu yang tidak bermanfaat
dan menimbulkan kejahatan?”
“ Lho, bukankah setiap ilmu
yang diajarkan itu harus bermanfaat untuk nanti di dunia dan akhirat,”
“Jadi, ilmu yang mengandung kejahatan tidak ada manfaatnya
maksudmu,”
“Maaf, Sang Kekasih Sejati, saya kurang mengerti. Yang saya tahu
setiap ilmu itu diajarkan agar orang itu menjadi baik,”
Sang guru tertawa,
“Dasar manusia bodoh!”
Ahmad pun keheranan.
“Sejak kapan kau beranggapan seperti itu? Sempit sekali pikiranmu,”
“Kan Sang Kekasih Sejati sendiri yang bilang dan saya hanya
mengikuti,”
“Lalu kau mengikutiku tanpa dipikir-pikir lagi? Benar-benar manusia
bodoh!”
“Maksud Sang Kekasih Sejati apa?” Ahmad merasa mulai emosi karena
semakin tidak mengerti apa yang sang guru bicarakan.
“Inilah yang aku tidak suka dari manusia, terutama dirimu,” kata
sang guru kemudian, “Sejak awal aku sudah tidak suka kalau Ia menciptakan
makhluk seperti ini untuk menjadi penghuni surga. Makhluk yang sungguh bodoh
dan mudah ditipu dan ternyata memang benar,”
“Maaf, saya kurang mengerti dengan apa yang Sang Kekasih Sejati
bicarakan?”
“Karena bodohnya kau mau memanggil diriku Sang Kekasih Sejati,” Ia
lalu tertawa-tawa, “Sama saja kau seperti moyangmu, Adam dan Hawa. Mudah
dikibuli,”
“Sekali lagi saya tidak mengerti apa yang Sang Kekasih Sejati
bicarakan? Kalau Anda guru saya, jangan buat saya bingung,”
“Apa? Guru? Sejak kapan aku menjadi gurumu? Aku ini bukan gurumu.
Paham!”
“Lalu apa?”
“Itu yang hendak kutunjukkan,”
Tiba-tiba angin berembus kuat di dalam hutan. Langit menjadi gelap
dan tanah bergetar. Sang guru yang berada di depan Ahmad perlahan-perlahan
memunculkan api di tubuhnya dan kemudian berwarna kemerahan. Muka sang guru
perlahan berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan dan berpandangan picik dengan
senyum jahat. Tanduk muncul di kedua jidatnya. Kuku-kuku panjang muncul di jari
tangan dan kaki. Dan kemudian muncullah buntut panjang dengan ujung tajam. Api
menyelimuti dirinya. Ahmad yang melihatnya terkejut.
“Dasar manusia bodoh!” suara sang guru yang berubah wujud di
depannya menggelegar, “Mudah saja bagi kalian semua, makhluk rendah untuk
kutipu dan itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Kau lihat, aku
adalah iblis, makhluk yang mengusir dua moyangmu yang bodoh itu. Aku tidak rela
mereka menjadi penghuni surga. Apa-apaan itu? Dan Dia benar-benar tidak mau
mendengar keluhanku ketika mereka ada. Aku lebih mulia dari mereka. Sebab aku
iblis, Sang Kekasih Sejati, yang selalu memujaNya. Karena mereka, aku menjadi
seperti ini!”
Ahmad tiba-tiba merasa seperti diperlihatkan tontonan menyeramkan.
Ia sendiri tidak bisa berkata-kata. Keringat mengucur deras dari tubuhnya.
Tangan dan kakinya bergemetar karena melihat sosok merah yang membara dengan
sayap lebar dan buntut panjang hendak mengarah kepadanya. Sosok itu
perlahan-lahan membesar.
Ahmad merasa ingin kabur saja. Tenggorokannya seperti merasa
ditusuk. Ia seperti tidak percaya bahwa selama ini orang yang mengajarinya
adalah iblis, si makhluk terkutuk yang menyesatkan manusia supaya menemaninya
di neraka.
“Dasar manusia bodoh!” ujar iblis dengan suara menggelegar, “Sebentar
lagi kau akan menemaniku bersama dengan mereka yang telah kutipu,” Ia lalu
tertawa-tawa dan saat itu juga Ahmad secara spontan bangkit dan berlari. Ia
berlari kencang tanpa peduli ke arah mana ia berkehendak. Tawa iblis
menggelegar menggema di belakangnya. Menghantuinya.
***
Ya itulah cerita yang kudapatkan dari si orang alim itu. Jadi, ia
tertipu iblis yang rupanya menyamar menjadi gurunya. Aku sendiri memang kurang
mengerti dengan cerita seperti itu. Yang aku tahu iblis itu jahat. Sudah itu
saja. Kalau soal dia itu adalah ahli ibadah, aku tidak mengerti. Sewaktu si
orang alim bercerita, si Pak Tua terus berteriak dan kemudian bangkit lalu
mengarah pada kiosku,
“Pergi kau, setan!”
Saat aku hendak menoleh ke si orang alim, ia ternyata sudah tidak
ada. Padahal, aku merasa ia masih di sampingku, bahkan ketika si Pak Tua
berteriak mengusir. Aku sendiri malah heran kemana perginya orang yang tadi di
sampingku.
“Aku bilang kau jangan didatangi dia lagi,” kata si Pak Tua, “Dia
itu setan, iblis!”
“Bapak ini ngomong apa?” tanyaku heran, “Jangan berburuk sangka
terhadap orang,”
“Dia itu iblis, setan!” katanya, lalu berbalik ke tempatnya.
Dalam hati aku berujar, dasar Pak Tua aneh.
Dan begitulah. Si Pak Tua terus berteriak aneh dan mengusir bila
ada yang mendekatinya. Ya rasa-rasanya kurang masuk akal juga penyebabnya.
Ditipu dan bertemu iblis. Apalagi iblisnya menyapa sebagai gurunya sendiri.
Tapi, yang jelas itu bukan urusanku. Yang penting, aku bekerja mencari nafkah,
meski dari kios kecil ini. Toh, Ia juga senang melihatnya.
“Masih seperti itu aja itu orang?” tanya seseorang yang kemudian
muncul di sampingku. Aku menoleh dan terkejut. Orang yang di sampingku ternyata
yang pernah datang ke kiosku dan bercerita perihal si Pak Tua. Ha? Dari mana ia
datang? Sekejap pun tak kudengar
jejaknya.
Dan Pak Tua di seberang kembali berteriak ketika si orang alim ada
di kiosku,
“Heh, enyah kau setan!”
Jujur, aku malah tidak mengerti.
Sabtu, 16 Juni 2012
Waiueossss...................
Wass....................
Wiss....................
Wuss.....................
Wess.........................
Woss.............................
Wiss....................
Wuss.....................
Wess.........................
Woss.............................
Langganan:
Postingan (Atom)