“Tolong, jangan mendekat padaku!” teriak seorang lelaki tua di
pinggiran jalan kepada seseorang yang hendak memberinya sedekah. Ya, lelaki tua
itu memang pengemis. Pengemis yang butuh dikasihani. Bajunya compang-camping
tidak karuan. Muka yang keriput dan dekil serta badannya yang agak kurus
kerempeng menunjukkan bahwa ia sudah lepas dari yang namanya perawatan dan
jarang makan. Akan tetapi, ia selalu berteriak seperti jikalau ada yang
mendekati.
Pak Tua itu memang selalu menjadi pemandangan sehari-hariku. Aku
sendiri hanyalah seorang pedagang kios kecil yang menjual makanan dan minuman
ringan plus rokok. Dari sinilah aku menggantungkan hidup. Berdagang di
pinggiran jalan yang tidak terlalu lebar dan sempit dan tepatnya di depan
sebuah rumah milik seseorang yang mengizinkan aku berdagang dan ia tidak
meminta imbalan apa-apa dariku. Rasanya enak dan aman saja berdagang tanpa
dimintai apa-apa. Padahal, dulu sering ada preman yang minta uang keamanan. Ia
mengaku orang di sekitar tempatku berdagang padahal bukan. Sampai akhirnya, itu
preman dipukul ramai-ramai sama warga karena meresahkan dan tewas. Aduh, nasibnya
sungguh-sungguh kasihan. Sudah berbuat jahat, matinya malah bukan dalam keadaan
dia mau tobat. Tapi, toh aku tak berani mengatakan ia akan diapakan di alam
sana. Itu kan urusan Tuhan.
Mengenai si Pak Tua, dia itu muncul sekitar kurang lebih 3 tahun
yang lalu. Ketika aku hendak membuka kios, di seberang jalan yang sekarang
menjadi tempat mangkalnya, aku melihat dia tertidur. Aku perhatikan ada nampak
wajah mengigil ketakutan. Aku merasa kasihan saja. Aku ingin memberinya makan
dari yang aku jual di kiosku. Lagipula yang kuberi ke dia kan juga termasuk
dapat pahala walaupun aku tak memikirkan itu.
Aku segera ambil makanan dan bangunkan dia dengan pelan,
“Pak, pak,” kataku membangunkannya. Ia masih dalam keadaan terlelap
kulihat saat aku menyentuhnya. Tapi, aku lihat kemudian di wajahnya, matanya
perlahan bergerak dan terbuka. Seperti orang bingung ia melihat ke sekeliling
dan mendapati diriku. Sontak ia berkata dengan raut dan tatapan keheranan,
“Siapa kamu?” tanyanya, “Jangan dekati aku. Pergi!”
“Saya orang, Pak,” kataku, “Masa iya setan,”
“Iya, kamu memang setan,” ujarnya, “Pergi!”
“Aduh, bapak ini kenapa?” tanyaku heran, “Saya melihat bapak tidur
dan ini saya bawakan makanan ala kadarnya,”
Ia lalu menatap apa yang aku bawa dan telah di dekatnya. Dua buah
roti dan segelas minuman ringan dari gelas plastik. Ia tatap itu dengan heran
dan tajam lalu menatapku lagi dengan tatapan yang sama,
“Dasar setan!” katanya, “Pergi kamu!”
Aku malah tambah heran dan aneh,
“Bapak ini kenapa sih? Sudah gila ya?”
“Pergi kamu!”
“Iya, saya pergi! Lagipula saya masih banyak urusan. Ditolongin kok
malah aneh-aneh aja!”
Aku segera kembali ke kiosku. Melihat ia dari kejauhan. Kulihat ia
sedang menatap makanan dan minuman pemberianku. Lalu ia pegang dan nampak ia
berbicara yang aku tidak mendengarnya. Tetapi, kemudian malah melepas makanan
dan minuman itu dan memojokkan diri seperti orang ketakutan. Dalam hati aku
bertanya keheranan, ini orang gila kali ya? Kenapa zaman sekarang banyak orang
gila?
Ya itulah, perjumpaan dan perkenalan pertamaku dengan si Pak Tua.
Hampir tiap hari aku melihat seperti itu. Kelakuannya malah kian aneh. Ia
selalu mengataiku setan tiap kali aku memberinya makan dan minuman.
Sampai-sampai aku emosi. Ia juga berkata demikian pada orang yang lewat dan
mendekatinya lalu mengusir mereka. Sampai-sampai yang hendak memberinya uang
sedekah malah melempar saja uang itu ke mukanya karena diteriaki seperti orang
ketakutan.
Aku merasa heran kenapa si Pak Tua seperti itu. Apa ia ada masalah di
keluarganya sehingga lari atau mungkin ada hal lain yang membuatnya ketakutan.
Aku benar-benar tidak tahu. Sampai ada seseorang yang memberi tahu diriku
perihal perilaku si Pak Tua. Orang itu tampak sangat alim dan mengaku-ngaku
sebagai saudara si Pak Tua. Lantas aku bertanya, kalau kau saudaranya kenapa
tidak bawa saja. Orang itu hanya menjawab, Ah, buat apa? Dia saja selalu
menolak untuk diajak pulang. Saya aja capek membujuknya. Yah, jawaban yang bisa
diterima meskipun masih bertanya-tanya dalam hati. Orang itu bercerita kepadaku
mengapa si Pak Tua seperti itu dan ketika ia bercerita si Pak Tua dari kejauhan
teriak-teriak, Setan! Enyah kau! Tapi,
kami tak pedulikan.
Si Pak Tua, menurut orang alim ini, dulunya adalah seorang yang
ahli ibadah. Ia selalu tidak pernah alpa dalam mengerjakan ibadah dan berbuat
amal baik. Segala sesuatu yang dilarang Tuhan, selalu ia patuhi. Bahkan dalam
berbagai acara ia selalu diundang untuk menyampaikan ceramah keagamaan.
Ceramahnya tergolong enak didengar dan halus, serta tidak menghakimi.
“Dia itu adalah semacam kyai di kampung kami,” kata si orang alim, “Meski
nyatanya ia belum pernah pergi haji atau menyantren demi mendapatkan ilmu
keagamaan yang luas,”
“Lalu ia bisa alim demikian karena apa?” tanyaku.
“Ia punya guru,” jawab si orang alim.
“Guru?” tanyaku lagi.
“Ya, guru,” kata si orang alim menegaskan, “Guru itu yang
mengajarinya bertindak alim dan baik, serta menjadi panutan hidup di masyarakat.
Intinya, seperti yang dilakukan nabi,”
“Oo...,” kataku demikian.
“Gurunya itu, kalau dilihat dari perawakannya, memang seperti ulama
besar. Jikalau berjalan selalu ada satu-dua pengikutnya di kiri dan kanan. Tiap
ada orang yang bertemu dengannya selalu memberikan salam dan meminta doa untuk mendapatkan
keberkahan. Ia sendiri amat mengagumi gurunya itu,”
“Lalu apa hubungannya dengan perilakunya? Bukankah harusnya ia
tidak seperti itu?” tanyaku heran kembali.
“Ceritanya agak aneh,” kata si orang alim, “Tapi, takutnya sampeyan
tidak mengerti jika saya ceritakan,”
“Ceritakan saja, Pak,” kataku, “Ya sembari mengisi kejenuhan
menjaga kios,”
“Baiklah,” Mulailah si orang alim bercerita.
***
“Sang Kekasih Sejati,” demikian si Ahmad memanggil gurunya yang
nama aslinya tidak diketahui. Panggilan itu atas permintaan gurunya sendiri
yang menyuruh kepada Ahmad, salah satu muridnya. Ahmad awalnya heran mengapa
harus memanggilnya demikian. Sebuah panggilan yang rasa-rasanya itu adalah
panggilan yang sombong karena baginya tiada seorang ulama pun yang meminta
dipanggil demikian kecuali ada yang memanggilnya.
“Lho, memangnya kamu Tuhan?” tanya si gurunya, “Tuhan saja tidak
masalah. Kok malah kamu yang bermasalah?”
“Maafkan saya, Sang Kekasih Sejati, “ kata Ahmad, “Saya hanya heran
saja,”
“Untuk apa kamu heran dan tidak ada yang perlu diherankan,”
Semenjak itu, si Ahmad selalu memanggilnya demikian walau di hati
terasa mengganjal. Tetapi, ia tidak mau pedulikan itu. Toh, yang terpenting ia
mendapatkan ilmu agama yang melimpah dari gurunya itu, seorang ulama yang
nampak seperti sufi, yang gemar menyanyikan pujian-pujian dan zikir-zikir untuk
Sang Pencipta. Ahmad hanyalah seorang biasa yang secara tidak sengaja bisa
berguru kepada seseorang yang dianggap punya ilmu tinggi yang bisa bercengkrama
dengan Tuhan langsung. Ia mengenal gurunya itu dari seorang temannya yang
mengajaknya ke sebuah pertemuan jauh dari kampungnya. Di pertemuan itu ia
diperkenalkan. Ditanya mengenai dirinya satu per satu oleh sang guru yang
kemudian menyuruhnya menginap untuk diajak berdendang dan kemudian dibaiat. Ia
dikenalkan oleh sang guru cara mengenal Sang Pencipta dan sang guru menyuruhnya
untuk berdakwah. Sejak saat itu, Ahmad jadi giat berdakwah di kampungnya dan
menjadi orang alim.
Ketika dalam kesendirian, ia selalu berdendang dan berzikir kepada
Sang Pencipta. Mensyukuri atas nikmat dan anugerahNya, terutama nikmat bernafas
dalam setiap waktu. Ketika berdendang, burung-burung selalu mengikutinya
bernyanyi dan langit tampak ceria. Ia sendiri pun mempunyai dua murid, Ridwan
dan Azmir. Dua muridnya ini selalu mendengarkan apa yang diucapnya dan meniru
apa yang dilakukannya. Sampai kemudian ia mengirim dua muridnya untuk belajar
langsung kepada sang guru karena merasa tidak ada lagi yang bisa diajarkan.
Setiap hari ia berdendang, beribadah, dan berzikir. Ia lupakan
segala urusan duniawi demi mendapatkan cintaNya. Ia juga mengagumi gurunya yang
ia anggap sebagai kekasihNya. Itu berlangsung cukup lama sampai ia hendak berbau
tanah.
Suatu hari, gurunya memanggilnya. Ia tampak senang ketika akan
menemui gurunya. Mereka bertemu di sebuah tempat sepi. Di dalam sebuah hutan.
“Ada apa Sang Kekasih Sejati memanggil saya?” tanyanya begitu ia
sampai di depan gurunya. Sang guru tampak duduk bersila dengan tenang sambil
bertasbih.
“Ada yang ingin kusampaikan pada dirimu, muridku,” katanya.
“Apa itu, Sang Kekasih Sejati?”
Sang guru menatap tajam dan serius ke arah Ahmad. Ahmad hanya
menatap biasa saja ketika ditatap demikian. Namun, ia melihat ada sesuatu yang
amat serius dari gurunya.
“Sekarang ceritakan apa yang kau dapat dariku selama berguru
kepadaku?” tanya sang guru,
“Saya banyak mendapat ilmu dari Sang Kekasih Sejati,” jawabnya
polos.
“Ilmu apa?” tanya sang guru lagi.
“Ilmu untuk bersyukur kepadaNya, ilmu untuk giat beribadah. Yang
jelas ilmu yang diajarkan Sang Kekasih Sejati kepada saya sangat bermanfaat
karena mengajarkan kebaikan,”
“Jadi, aku mengajarimu untuk menjadi baik saja bagi dirimu?”
“Maksud Sang Kekasih Sejati?”
“Kau tidak memintaku untuk mengajarimu ilmu yang tidak bermanfaat
dan menimbulkan kejahatan?”
“ Lho, bukankah setiap ilmu
yang diajarkan itu harus bermanfaat untuk nanti di dunia dan akhirat,”
“Jadi, ilmu yang mengandung kejahatan tidak ada manfaatnya
maksudmu,”
“Maaf, Sang Kekasih Sejati, saya kurang mengerti. Yang saya tahu
setiap ilmu itu diajarkan agar orang itu menjadi baik,”
Sang guru tertawa,
“Dasar manusia bodoh!”
Ahmad pun keheranan.
“Sejak kapan kau beranggapan seperti itu? Sempit sekali pikiranmu,”
“Kan Sang Kekasih Sejati sendiri yang bilang dan saya hanya
mengikuti,”
“Lalu kau mengikutiku tanpa dipikir-pikir lagi? Benar-benar manusia
bodoh!”
“Maksud Sang Kekasih Sejati apa?” Ahmad merasa mulai emosi karena
semakin tidak mengerti apa yang sang guru bicarakan.
“Inilah yang aku tidak suka dari manusia, terutama dirimu,” kata
sang guru kemudian, “Sejak awal aku sudah tidak suka kalau Ia menciptakan
makhluk seperti ini untuk menjadi penghuni surga. Makhluk yang sungguh bodoh
dan mudah ditipu dan ternyata memang benar,”
“Maaf, saya kurang mengerti dengan apa yang Sang Kekasih Sejati
bicarakan?”
“Karena bodohnya kau mau memanggil diriku Sang Kekasih Sejati,” Ia
lalu tertawa-tawa, “Sama saja kau seperti moyangmu, Adam dan Hawa. Mudah
dikibuli,”
“Sekali lagi saya tidak mengerti apa yang Sang Kekasih Sejati
bicarakan? Kalau Anda guru saya, jangan buat saya bingung,”
“Apa? Guru? Sejak kapan aku menjadi gurumu? Aku ini bukan gurumu.
Paham!”
“Lalu apa?”
“Itu yang hendak kutunjukkan,”
Tiba-tiba angin berembus kuat di dalam hutan. Langit menjadi gelap
dan tanah bergetar. Sang guru yang berada di depan Ahmad perlahan-perlahan
memunculkan api di tubuhnya dan kemudian berwarna kemerahan. Muka sang guru
perlahan berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan dan berpandangan picik dengan
senyum jahat. Tanduk muncul di kedua jidatnya. Kuku-kuku panjang muncul di jari
tangan dan kaki. Dan kemudian muncullah buntut panjang dengan ujung tajam. Api
menyelimuti dirinya. Ahmad yang melihatnya terkejut.
“Dasar manusia bodoh!” suara sang guru yang berubah wujud di
depannya menggelegar, “Mudah saja bagi kalian semua, makhluk rendah untuk
kutipu dan itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Kau lihat, aku
adalah iblis, makhluk yang mengusir dua moyangmu yang bodoh itu. Aku tidak rela
mereka menjadi penghuni surga. Apa-apaan itu? Dan Dia benar-benar tidak mau
mendengar keluhanku ketika mereka ada. Aku lebih mulia dari mereka. Sebab aku
iblis, Sang Kekasih Sejati, yang selalu memujaNya. Karena mereka, aku menjadi
seperti ini!”
Ahmad tiba-tiba merasa seperti diperlihatkan tontonan menyeramkan.
Ia sendiri tidak bisa berkata-kata. Keringat mengucur deras dari tubuhnya.
Tangan dan kakinya bergemetar karena melihat sosok merah yang membara dengan
sayap lebar dan buntut panjang hendak mengarah kepadanya. Sosok itu
perlahan-lahan membesar.
Ahmad merasa ingin kabur saja. Tenggorokannya seperti merasa
ditusuk. Ia seperti tidak percaya bahwa selama ini orang yang mengajarinya
adalah iblis, si makhluk terkutuk yang menyesatkan manusia supaya menemaninya
di neraka.
“Dasar manusia bodoh!” ujar iblis dengan suara menggelegar, “Sebentar
lagi kau akan menemaniku bersama dengan mereka yang telah kutipu,” Ia lalu
tertawa-tawa dan saat itu juga Ahmad secara spontan bangkit dan berlari. Ia
berlari kencang tanpa peduli ke arah mana ia berkehendak. Tawa iblis
menggelegar menggema di belakangnya. Menghantuinya.
***
Ya itulah cerita yang kudapatkan dari si orang alim itu. Jadi, ia
tertipu iblis yang rupanya menyamar menjadi gurunya. Aku sendiri memang kurang
mengerti dengan cerita seperti itu. Yang aku tahu iblis itu jahat. Sudah itu
saja. Kalau soal dia itu adalah ahli ibadah, aku tidak mengerti. Sewaktu si
orang alim bercerita, si Pak Tua terus berteriak dan kemudian bangkit lalu
mengarah pada kiosku,
“Pergi kau, setan!”
Saat aku hendak menoleh ke si orang alim, ia ternyata sudah tidak
ada. Padahal, aku merasa ia masih di sampingku, bahkan ketika si Pak Tua
berteriak mengusir. Aku sendiri malah heran kemana perginya orang yang tadi di
sampingku.
“Aku bilang kau jangan didatangi dia lagi,” kata si Pak Tua, “Dia
itu setan, iblis!”
“Bapak ini ngomong apa?” tanyaku heran, “Jangan berburuk sangka
terhadap orang,”
“Dia itu iblis, setan!” katanya, lalu berbalik ke tempatnya.
Dalam hati aku berujar, dasar Pak Tua aneh.
Dan begitulah. Si Pak Tua terus berteriak aneh dan mengusir bila
ada yang mendekatinya. Ya rasa-rasanya kurang masuk akal juga penyebabnya.
Ditipu dan bertemu iblis. Apalagi iblisnya menyapa sebagai gurunya sendiri.
Tapi, yang jelas itu bukan urusanku. Yang penting, aku bekerja mencari nafkah,
meski dari kios kecil ini. Toh, Ia juga senang melihatnya.
“Masih seperti itu aja itu orang?” tanya seseorang yang kemudian
muncul di sampingku. Aku menoleh dan terkejut. Orang yang di sampingku ternyata
yang pernah datang ke kiosku dan bercerita perihal si Pak Tua. Ha? Dari mana ia
datang? Sekejap pun tak kudengar
jejaknya.
Dan Pak Tua di seberang kembali berteriak ketika si orang alim ada
di kiosku,
“Heh, enyah kau setan!”
Jujur, aku malah tidak mengerti.
0 komentar:
Posting Komentar