Kelelawar itu mengatupkan sayapnya erat-erat sehingga membungkus
tubuhnya. Hanya kepalanya yang terlihat. Matanya tampak menatap tajam pada
sesuatu yang sebenarnya cukup jauh dari tempat ia berada, di akar sebuah pohon.
Kedua kakinya tampak mencengkram erat akar pohon yang tampak kokoh itu.
Sekelebat kemudian ia melepaskan diri dari akar pohon itu dan mengembangkan
sayapnya yang lebar lalu terbang. Hendak menyusur benda yang sedari tadi
menjadi perhatiannya dan menjadi mangsanya.
Aku yang melihatnya biasa saja dalam sebuah acara televisi semacam Discovery
Channel, tetapi tidak dengan Irna. Ia malah menjerit ketakutan seperti
melihat hantu.
“Matiin!” teriaknya padaku, “Gue bilang matiin!”
“Mang kenapa sih?” tanyaku heran, “Gue nggak mau!”
“Yee..matiin!” kata Irna kembali berteriak, “mana remotenya?”
Aku ambil remote itu secepat mungkin,
“Salah lo sendiri,” kataku sambil memegang remote erat-erat, “Kan
gue tadi udah bilang kalo nggak mau liat jangan nonton. Udah tau ini edisi
tentang kalong,”
“Eh...jangan nyebut-nyebut ya,” katanya malah marah padaku, “Mau
kalong kek, kelelawar kek atau batman sekalipun!”
“Suka-suka gue dong!” kataku acuh.
Tiba-tiba saja Irna yang terlihat kesal dan geram itu maju ke arah
televisi dan mematikan si kubus visual tersebut. Aku jelas terkejut.
“Oke deh, tontonannya usai sudah,” ujarnya setelah itu dengan raut
muka puas.
“Lo apa-apaan sih?” tanyaku heran sekaligus geram.
Ia tidak menjawab pertanyaanku tetapi malah ngeloyor pergi ke
kamarnya di tingkat atas. Ketika ia hendak ke sana, aku berseru,
“Liat aja ada kalong lho ntar di sana. Siap-siapa aja lo dihisap
darahnya!”
“Bodoh,” jawabnya enteng.
lovebats.soup.io
Jujur, aku masih tak habis pikir kenapa Irna, sepupuku itu, rada
ketakutan bila melihat tayangan kelelawar atau kalong, tapi aku lebih suka
menyebutnya kalong, di televisi. Apalagi jika si kalong sedang terbang di
kegelapan malam. Memang sepintas terlihat seram. Dengan wajah yang didesain
menyeramkan. Gigi bertaring. Tangan yang menyatu dengan sayap, dan kaki yang
pendek. Ya karena sukanya terbang di malam hari apalagi bentuknya seperti itu
banyak yang mengaitkannya dengan berbagai mitos. Salah satunya mitos tentang
drakula, si makhluk penghisap darah, atau saudaranya, si vampir. Ah, tapi itu
kan akal-akalan saja. Soalnya, ketika cara berpikir manusia masih dalam tahap
meraba-raba dan melihat sesuatu yang berada di luar kebiasaan, mereka akan
mengaitkannya dengan sesuatu hal yang menyeramkan dan bersifat magis. Salah
satunya ya, kelelawar yang dikaitkan dengan makhluk-makhluk jadi-jadian
penghisap darah. Meski, dalam kenyataannya ada juga kalong penghisap darah.
Tetapi, untuk kasus Irna agak beda. Ia takut melihat kalong karena
kalong itu adalah perwujudan dari seorang lelaki yang pernah menjumpainya
kemudian pernah bersemayam di dalam kehidupannya. Katanya, lelaki itu amat
sangat ganteng, rupawan, dan ya mirip dengan Cristiano Ronaldo, si pesepakbola
tersohor yang digandrungi banyak kaum hawa. Aku yang mendengarnya merasa agak
aneh saja ketika ia menceritakannya pada suatu malam.
***
Irna tampak sendiri berjalan di sebuah gang sepi. Waktu itu sudah
malam hari. Bahkan larut dan pekat. Orang kebanyakan sudah menjadi kepompong
dan sedang meraih kenikmatan di pulau kapuknya masing-masing. Suasananya agak
seram karena Irna melewati daerah yang cukup sepi dan angker. Tetapi, ia tidak
peduli. Mau ada setan kek atau nggak sama saja, begitu gumamnya. Ia terpaksa
harus berjalan kaki malam larut itu usai asyik berpesta di sebuah klub malam
dan tiada kendaraan sama sekali. Ya, Irna memang suka sekali dugem. Kebanyakan
ia melakukannya sendirian dan jarang bersama-sama.
Memang di tempat itu sepi dan angker karena banyak penunggu
halusnya, namun bukan itu rupanya yang ditemui Irna. Dua orang berbadan ceking
menghadangnya lalu menyodorkan pisau tajam sambil bergestur dengan tangan
meminta uang. Irna tahu siapa yang di depannya itu. Mereka hendak merampoknya.
Apalagi, dirinya juga memakai pakaian yang mengundang nafsu. Mampus deh gue,
gumamnya panik.
“Siapa suruh jalan di sini sendirian!” kata si perampok yang
satunya. Wajahnya tirus. Ia nampak nafsu melihat Irna. Matanya membesar.
“Enak nih bos kayanya,” ujar si perampok yang satunya lagi.
Wajahnya rada bulat.
“Eh, lo kira gue makanan!” ujar Irna membalas, “Pergi nggak lo
berdua atau gue teriak!”
“Teriak aja!” kata si tirus, “Nggak ada yang dengerin kok,” Ia lalu
terkekeh-kekeh.
Mereka berdua mendekat dan Irna terpojok ke sebuah tembok dekat
dengan pohon pisang. Mulutnya komat-kamit, aduh gue masih mau jadi perawan,
gumamnya lagi.
“Ya beraninya sama cewek doang!” ujar suara tiba-tiba di belakang.
Nampaknya suara lelaki. Irna dan dua perampok itu jelas terkejut. Kedua-duanya
menoleh. Dilihatnya, sesosok lelaki tegap dan rupawan seperti bintang film.
Irna, yang mungkin masih dalam pengaruh minuman, terpesona melihatnya.
“Wah, kaya di film aja nih,” kata si tirus, “Ada jagoannya,”
“Ah, udah bos,” kata si bulat, “Hajar aja!”
Mereka berdua segera berlari ke arah si lelaki itu sambil
menyodorkan pisau. Tetapi, si lelaki tampak tenang dan malah bisa membuat kedua
perampok itu jatuh dan terkapar hingga pingsan.
Irna yang melihatnya tambah terpesona. Wah, kaya superhero, ujarnya
dalam hati. Ia mendekati Irna dan kemudian bilang,
“Nggak apa-apa kan, mbak?” tanyanya.
“Nggak apa-apa kok,” kata Irna. Tetapi, seperti ada yang
membisikinya, Irna langsung bertanya curiga,
“Jangan bilang ya mereka itu teman-teman lo?”
“Teman apa?” tanya si lelaki heran, “Saya aja nggak kenal,”
Irna bergumam,
“Gue kira teman-teman lo,” katanya, “Tapi, kalo emang teman-teman
lo harusnya gue udah kenal lo,”
Ia lalu menyodorkan tangan,
“Irna,”
Si lelaki itu membalas dengan menyodorkan tangan,
“Rifki,”
“Ganteng seperti orangnya,”
“Mbak bisa aja. Mari kita tinggalkan tempat ini,”
Mereka berdua meninggalkan tempat itu dengan dua perampok yang
masih nampak pingsan dengan nikmat setelah dibogem.
Usai pertemuan dengan Rifki, Irna nampak begitu senang dan ceria. Lelaki
itu memang ganteng dan Irna menyukainya. Ia ingin sekali bertemu dengan lelaki
itu lagi. Sayang, ia lupa meminta nomor Rifki. Saking senangnya, ia ceritakan
itu kepada Andrea, sahabatnya. Andrea hanya berkata,
“Hati-hati lo, Na. Bisa jadi itu cowok jadi-jadian soalnya lo
ketemu dan kenalan sama dia di malam hari,”
“Nah, mulai deh lo ngomongnya ngaco,” ujar Irna.
Hampir setiap hari, ia membayangkan wajah Rifki yang rupawan itu.
Irna ingin bertemu dengannya tetapi sayang tiada kontak yang ia punya darinya.
Ah, coba gue waktu itu minta, gumamnya. Sampai ketika ia merasa tak akan bisa
lagi bertemu dan pasrah dan pada suatu malam di dekat klub malam tempat ia bisa
berdugem, ia bertemu dengan Rifki. Betapa senangnya ia. Ia ajak Rifki berdugem
dengan diiringi hentakan suara musik dari sang disc jockey. Namun, tampak Rifki
kurang menyukai dan mulai menarik diri. Irna mengejarnya.
“Maaf, lo nggak suka ya dengan beginian?” tanya Irna yang raut di
wajahnya mengandung kekhawatiran.
“Iya,” kata Rifki, “Buang-buang tenaga aja,”
“Apa lo dari keluarga alim?” tanya Irna.
“Bukan,” kata Rifki, “Ya gue nggak suka aja sama dugem, diskotik,”
“Oh, maaf deh,”
“Kok maaf?”
“Ya, maaf, udah ngajakin lo ke sana,”
“Gue yang harusnya minta maaf karena tadi pergi begitu aja,”
Mereka berdua kemudian memutuskan meninggalkan diskotik dan menuju
ke sebuah tempat sepi yang berada di tepi danau tak jauh dari diskotik,
“Lo suka sama yang sepi-sepi ya?” tanya Irna lagi.
“Nggak hanya sepi tapi tenang,” jawab Rifki pelan.
Saat mereka berdua itu Irna mulai menanyakan nomor kontak Rifki dan
Rifki memberinya. Hanya saja, Rifki bilang dirinya hanya bisa ditemui pada
malam hari bukan siang hari. Ketika ditanya mengapa, Rifki hanya bungkam dan
bilang seadanya,
“Ya nanti lo nggak akan mengerti,”
Irna mengiyakan saja dalam hati walau ia bertanya-tanya.
Semenjak itu, mereka berdua selalu bertemu di malam hari. Bahkan
pada malam yang larut. Awalnya, Irna tampak menikmati saja tetapi lama-kelamaan
ia bertanya-tanya mengapa harus malam hari dan bukan siang hari. Saat bertanya
itu lagi jika mereka bertemu, Rifki selalu menjawab dengan jawaban yang sama.
Ketika ia sms dan telepon pada siang harinya, selalu tiada jawaban. Irna jadi
bertanya-tanya keheranan. Ia ingin sekali bertandang ke tempat Rifki. Namun, ia
juga tidak tahu di mana tempatnya. Kalau ditanya soal tempat, Rifky hanya
menjawab,
“Tempat gue jauh,”
Namun tidak diketahui jauhnya seperti apa.
Irna yang statusnya belum berpacaran dengan Rifky juga mencoba
mengajak ciuman. Sayang, Rifki menolak dengan alasan,
“Gue lagi sariawan,”
Tetapi, jikalau tidak sariawan,
“Mulut gue bau karena nggak gosok gigi,”
Lalu jika tidak gosok gigi,
“Bibir gue kering jadi jelek buat diemut,”
Dan begitulah alasan yang membuat Irna tambah heran dan heran.
Sampai-sampai ia berpikir dan beranggapan, kali tuh cowok bukan buat gue kali.
Secara gue kaya begini. Pada akhirnya, Irna kembali pasrah dan tidak banyak
meminta jika bertemu pada malam hari.
Dan pada suatu siang, Irna tidak sengaja melewati daerah kos-kosan.
Ketika melewati salah satu kamar kos-kosan, ia tampak melihat ada sebuah sinar.
Lalu ia beranggapan, paling tuh sinar orang lagi nonton bokep. Tapi, sinar itu
membuatnya penasaran. Kuning dan agak rapih. Irna mendekatinya. Lalu diintipnya
perlahan apa yang terjadi di kamar itu. Ada seorang lelaki dan juga sayap
besar. Apa? Sayap? Lelaki yang dilihatnya bersayap dan ia melihat wajah lelaki
itu: Rifki?
Ia segera masuk dan melihat Rifky dalam sebuah sosok yang lain.
Rifki yang sedang telanjang dada tampak terkejut. Sayap di kedua punggungnya
merekah.
“Rifky,” kata Irna terkejut.
“Halo, Irna,” kata Rifki.
“Si..siapa lo sebenarnya?”
“Gue malaikat, Irna,” kata Rifki, “Mungkin lo nggak akan percaya
dengarnya,”
“Jadi kenapa lo selalu menolak bertemu di siang hari karena ini,”
“Betul. Harap lo maklum. Makanya, gue nggak bisa jelasin ke lo
karena nanti lo nggak akan mengerti,”
“Gue ngerti kok! Tapi, jangan kaya gitu dong caranya. Kenapa lo
ngebohongin gue?”
Rifky terdiam dan kemudian berkata,
“Gue ini malaikat, Irna,” katanya, “Malaikat jatuh yang diusir
karena mempunyai nafsu dengan malaikat perempuan,”
“Malaikat kan nggak punya nafsu?” tanya Irna heran.
“Tapi, gue punya,” kata Rifki, “Dan gue dikutuk untuk tidak boleh
kembali dan harus ke bumi mencari wanita manusia. Tapi, sayang, gue hanya bisa
berada di malam hari karena unsur malaikat gue masih ada dan gue belum
sepenuhnya menjadi manusia,”
“Dan lo kemudian ketemu kan dengan wanita manusia itu?”
“Ya, dan itu lo. Gue berharap lo mau jadi pasangan hidup gue,”
“Gue sih mau aja. Sayang, lo udah ngebohongin gue,”
“Tolong, Irna. Itu biar lo nggak kaget. Tolong mengerti,”
“Lalu bagaimana kalo gue nggak mau?”
“Gue akan berubah menjadi kalong,”
Irna tertawa-tawa,
“Lo memang kalong karena suka muncul di malam hari,”
“Ini serius, Irna,”
Rifki menatap tajam Irna,
“Gue akan berubah menjadi kalong,”
“Ah, peduli amat! Kenapa juga harus gue bukan yang lain,”
Tampak raut wajah Rifki berubah sedih dan pada saat itu berkata,
“Baiklah, kalo itu mau lo,”
Asap tiba-tiba muncul dan menyelimuti seluruh tubuh Rifky. Dalam
sekejap tubuh yang terselimuti asap itu mengecil dan kemudian muncullah sesosok
mamalia hitam dari dalam asap itu. Sebuah kelelawar besar yang tengah
mengepakkan sayapnya dan kemudian melaju dengan kecepatan tinggi melewati Irna
melesat keluar.
Irna yang melihatnya terkejut dan tidak percaya. Seperti ada yang
menamparnya, ia pun pingsan dan kemudian
mendapati sudah berada di kamarnya. Tampak Andrea berada di sampingnya,
“Eh, sudah sadar,” kata Andrea, “Selamat datang kembali ke dunia
nyata,”
“Ia, gue kok bisa di sini?” tanya Irna.
“Ya iyalah,” kata Andrea, “Na, lo tuh pingsan dari kemarin siang.
Ada yang dapatin lo di sebuah kosan terus langsung lo dibawa ke sini begitu
dilihat KTP lo sama orang-orang. Lo kenapa sih?”
Irna yang ditanyai seperti itu langsung terdiam dan tiba-tiba
teringat suatu kejadian,
“Ceritanya panjang, Ia,” katanya, “Susah gue ceritain dan jelasin,”
“Ya udah sekarang lo istirahat aja dulu,” kata Andrea yang kemudian
meninggalkannya. Setelah Andrea pergi dari kamarnya, tiba-tiba bulu kuduk Irna
merinding dan ia segera menutupi tubuhnya dengan selimut.
***
Begitulah cerita yang kudapat dari dirinya. Cukup aneh bukan? Masa
takut kalong hanya karena perwujudan dari seorang pria tampan. Udah gitu
malaikat lagi. Kalo drakula atau vampir ya wajar. Zaman sekarang kok orang
malah aneh-aneh ya ketakutannya. Aku teruskan saja menonton televisi dan ada
yang mengebel pintu. Siapa sih malam-malam begini? Tanyaku. Aku tanpa pikir
panjang segera menuju ke pintu dan membukanya. Kulihat ada sesosok lelaki
rupawan.
“Irnanya ada, mas?”
“Oh, ada sebentar ya?”
Ketika aku hendak berbalik untuk memanggil Irna kulihat ia sudah di
depanku dan wajahnya berubah ketakutan,
“Na, lo kenapa?”
Ia lari ketakutan menuju kamarnya. Ketika aku hendak berbalik lagi
ke arah pintu, lelaki itu sudah menghilang. Nah lho, cepat sekali. Saat itu aku
langsung seperti dihinggapi rasa takut. Bulu romaku berdiri. Jangan-jangan,
gumamku. Aku langsung berlari menuju kamar tempat Irna berada. Dan pintu pun
masih terbuka
0 komentar:
Posting Komentar