Eh, apa ini? Apa ini nggak salah? Kenapa uang itu diberikan saja
secara cuma-cuma kepada para anak-anak itu yang lantas langsung menerima.
Uangnya jumlahnya besar lagi. Ada sekitar ratusan ribu. Uang sejumlah itu,
mungkin, bagi masyarakat perkotaan yang sudah mapan tiada arti. Tetapi bagi
mereka itu sungguh berarti. Mungkin juga diriku. Aku sejujurnya juga mau jika
diberi uang itu namun, untuk sekarang, ini sungguh sesuatu yang tidak bisa
ditoleransi.
Langit cukup cerah. Berawan. Angin sepoi-sepoi berembus. Membuat
nyiur melambai-lambai seolah-olah hendak melepas kepergian orang-orang yang
sedang ingin melaut. Pemandangan itu sudah cukup bagiku untuk bisa kuabadikan
dalam lensa kameraku. Apalagi ada pasir putih perawan memanjang dan cukup menggoda.
Satu-dua-tiga jepretan, aku tangkap pemandangan surgawi itu. Ini
seperti di film-film yang berlatarkan pantai yang eksotis. Aku bayangkan diriku
di sana. Bermain selancar, lalu ditemani para gadis cantik. Hm...memang
benar-benar surgawi. Sayang, mereka tidak ada sekarang. Yang ada hanyalah
pantai kosong dengan satu-dua orang hendak melaut. Kecewa sih. Tapi itu tak
masalah. Toh, pasti di pantai lain akan ada. Kalau saja ada bidadari-bidadari
itu pasti objek fotoku akan bagus.
Aku sekarang berada di sebuah pulau di gugusan kepulauan di Maluku.
Sebut saja itu Pulau Merpati meski itu bukan nama sebenarnya. Aku bukannya
tidak tahu nama asli pulau ini, tetapi aku hanya tidak hafal namanya yang
disebut dalam bahasa lokal. Pokoknya kalau kata si pemanduku di pulau ini kalau
dibahasaindonesiakan ya menjadi merpati. Jadi, aku tak salah kan. Kata si
pemandu di pulau ini dulunya memang banyak merpati. Namun, entah mengapa,
merpati-merpati itu hilang entah ke mana. Aku tanya penyebabnya apa? Dia bilang
karena banyak ditangkap untuk dijual. Lantas aku berpendapat, itu sih bukan
hilang, pak, tetapi dihilangkan.
Di pulau ini aku sejujurnya tak sendiri. Selain bersama si pemandu,
juga bersama rekan-rekan yang lain, terutama dari media massa. Aku sendiri juga
termasuk dari media massa, tepatnya dari sebuah majalah pariwisata. Posisinya
ya sebagai fotografer atau juru foto. Berbicara posisiku ini, hm...awalnya sih
dari hobi sewaktu SMA. Waktu itu aku, entah mengapa, saat melihat foto-foto
dalam sebuah majalah berita ternama begitu terkesima. Foto-foto dalam majalah
itu begitu realistis dan memukau. Dari situ aku melihat bahwa foto itu bukan
sekedar foto, tetapi sebagai sesuatu yang bercerita melalui gambar yang
tertangkap. Mulai sejak itu, aku pun jadi tertarik menggeluti fotografi bersama
dengan salah satu karibku, Erman, yang sekarang bekerja di majalah berita yang
foto-fotonya aku lihat tadi. Objek pertama tentu objek yang sederhana seperti
buku, gelas, dan korek api. Kami berdua belajar secara otodidak lewat sebuah
buku. Dan kameranya ya berdua menabung. Saat kuliah, aku dan Erman berpisah,
aku tetap melanjutkan minatku ini. Bak gayung bersambut di kampusku rupanya
membuka ekstrakurikuler fotografi. Tanpa panjang lebar aku segera ikut. Di
sinilah kemampuan fotografiku diasah walaupun dari awal lagi. Sering ekskulku
ini mengundang para fotografer terkenal yang membuat aku menjadi semangat
belajar fotografi. Apalagi di ekskul ini ada seorang wanita cantik. Namanya
Vira. Sekarang dia bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan. Aku sempat
menjalin hubungan cinta dengannya.
Lepas kuliah, aku akhirnya mantap untuk masuk menjadi fotografer
dan tidak peduli dengan jurusanku, ekonomi. Aku berpendapat toh untuk mendapat
pekerjaan tidak harus dilihat dari latar belakang pendidikan, tetapi hobi. Dan
itu terbukti. Aku diterima di sebuah majalah pariwisata. Sudah sekitar mau dua
tahun aku di majalah ini.
Aku bersama dengan rekan-rekan media massa lain, kebanyakan dari
televisi, datang ke Pulau Merpati sebenarnya, selain ingin mengekspos keindahan
alam pulau ini yang bisa dijadikan potensi pariwisata atas undangan dari pihak
pemerintah kabupaten di sana, juga ingin menceritakan sebuah mitos tentang
merpati-merpati yang hilang tersebut. Si pemandu tadi kan bilang
merpati-merpati hilang karena ditangkap untuk dijual. Namun ada yang menyanggah
dan bilang, mana mungkin. Masa iya burung seperti itu harus dijual jika secara
ekonomis, penduduk Pulau Merpati yang kebanyakan adalah nelayan bisa menghidupi
dirinya dari menjala ikan di lautan. Ini pasti karena perubahan cuaca atau
faktor alam lain, begitu kata salah satu rekanku yang berasal dari sebuah
majalah keilmuan populer.
Ke pulau itu kami semua menaiki speed boat. Mengarungi
lautan yang berirama cukup datar alias minim gelombang. Aku jelas tidak
menyia-nyiakan kesempatan untuk sebisa mungkin menangkap pemandangan hidup itu.
Apalagi awan yang cukup cerah menghadirkan guratan yang begitu jelas. Guratan
yang berpetak-petak. Bila kupotret tentu aku lebih menonjolkan guratan-guratan
di awan tersebut. Bagiku itu indah.
Agak sejam untuk mencapai daratan sejak berangkat dari Ternate.
Saat sampai, kami disambut secara sederhana oleh penduduk lokal di sana yang
diwakili si kepala adat. Aku lihat beberapa kru televisi tampak sibuk
mengangkat peralatan-peralatan mereka untuk siaran off air dalam salah
satu program mereka.
“Lihat itu, seperti kuli saja mereka,” ujar Andri, salah satu
temanku yang ikut dalam rombongan itu. Ia juga berasal dari sebuah majalah
pariwisata yang dimiliki salah satu kelompok usaha media terkenal. Sebuah rokok
ia isap dengan nikmat hingga membentuk gumpalan asap yang menari-nari lalu
menghilang.
“Ah, memangnya lo bukan kuli? Kuli foto!” sanggahku. Ia lalu
tertawa-tawa.
Kami berdua bersama rombongan itu lalu masuk ke dalam desa nelayan
di sana. Merapat ke dalam sebuah bangunan seperti pendopo. Berbincang sebentar
dengan si kepala adat, terutama yang berasal dari televisi bahwa mereka, para
kru, mau membuat sebuah dokumenter. Si kepala adat dengan bahasa Indonesia khas
Indonesia Timur tampak setuju sebaab bagi dia itu sama saja mempromosikan
daerahnya. Aku ketika hendak berangkat, beberapa hari sebelumnya, sudah dipesan
oleh redakturku untuk memotret yang indah-indah saja dan merepresentasikan
majalah. Itu berarti sesuatu yang sifatnya ironis dan berlawanan tidak boleh
dimasukkan. Satu contoh kecil saja: sampah. Jadi, jika ada sampah sekecil
apapun jangan dipotret. Apalagi jika wilayah yang dituju diproyeksikan menjadi
potensi wisata dan masuk majalah, sedangkan situasi yang didapat tidak
mendukung, harus dimanipulasi sebagus mungkin dan meyakinkan.
Jujur, aku agak tidak suka dengan cara demikian. Cara yang
sebenarnya melawan hati nuraniku. Membohongi keadaan demi kepentingan di atas.
Cara yang membuat yang melihat jadi
begitu yakin, dan ketika ke sana malah kecewa dan kesal. Ini yang kudapati
pertama kali sewaktu bekerja jadi fotografer di sini. Awalnya aku iya aja.
Senang. Bisa keliling Indonesia, bahkan ke luar negeri. Sesuatu yang aku
impi-impikan dari dulu. Tetapi, lama-kelamaan, kusadari buat apa melanglang
buana kemana-mana namun hanya kebohongan yang harus kutangkap dalam lensaku.
Rasa-rasanya mengkhianati diriku sendiri yang sebenarnya mau masuk majalah
berita tetapi malah ditolak. Ya kusadari waktu itu aku masih hijau alias awam apalagi
majalah berita membutuhkan foto-foto yang menurutku tidak asal, tidak
sembarangan, dan sesuai fakta. Aku tidak lolos sewaktu seleksi pengambilan foto
gambar demonstrasi. Alasannya, foto yang kuambil terlalu umum gambarnya,
murahan, apalah. Benar-benar seperti sebuah hinaan. Ya aku sadari aku sewaktu
memotret agak ketakutan. Apalagi itu sewaktu demonstrasi yang bisa saja berubah
menjadi ajang pukul-pukulan antara si pendemo dan polisi. Memang juga itu bukan
rezekiku sampai akhirnya aku masuk ke dalam majalah pariwisata ini.
Kalau melihat keadaanku sekarang, rasanya ingin pindah saja ke
majalah berita. Toh, aku sudah punya modal yang cukup, dan tahu banyak
teknik-teknik pengambilan foto yang benar. Ya, aku merasa percaya diri saja.
Tetapi, memang, keinginanku ini aku singkirkan dulu. Tugas ada di depan mata
meskipun itu harus dimanipulasi.
Setelah si kepala adat setuju, mulailah para kru televisi memasang
alat dan menentukan setting cerita. Dalam setting itu mereka
menginginkan ada anak-anak di dalamnya. Supaya anak-anak itu mau mereka memberi
uang. Dan inilah yang aku tidak suka. Apa-apaan ini, gumamku tak percaya, kok
malah diberi uang. Anak-anak lagi. Kenapa bukan permen saja?
“Lho, mbak kok mereka diberi uang?” tanyaku pada si presenter
televisi. Aku tak perlu sebut namanya. Dia presenter televisi terkenal.
“Memang kenapa?” tanyanya sewot padaku, “Nggak salah kan? Supaya
mereka mau,”
“Tapi, cara mbak salah,” kataku berargumen, “Itu sama saja
mengajari mereka menjadi konsumtif dan menghambakan uang,”
“Jangan sok tau deh lo!” si presenter malah menghardikku, “Mending
lo foto aja deh. Ga usah ribet!”
“Saya tetap nggak setuju,” kataku ngotot, “Kalau suatu saat mbak ke
sini lagi dan mereka sudah besar mereka akan minta uang ke mbak lagi,”
“Terserah!”
Ketika kami berargumen itu, datanglah salah satu kru televisi
mencoba melerai kami. Aku jelaskan permasalahannya mengapa, eh dia malah
menyuruhku bungkam. Aku jelas kesal. Apa-apaan ini. Katanya memberitakan
kebenaran tetapi kok prakteknya malah membusukkan kebenaran itu. Sesuatu yang
ironis. Rancu. Aku memang kurang suka anak-anak itu diberi uang. Berapa lembar
pun. Sebab nanti pikiran mereka akan merekam lalu diturunkan ke anak-anak
cucunya bahwa kalau ada orang ke tempat mereka harus dimintai uang. Dan uang
menjadi sesuatu yang harus diharapkan bak dewa penolong. Kalau begini terus ya
bisa dipastikan, terutama para pelancong pas-pasan bisa miskin karena dimintai
uang dengan cara diperas yang kemudian membudaya. Kenapa sih tidak memberi
permen saja atau coklat asal jangan uang? Bagiku makanan kecil itu perlu dan
penting dan tidak akan menimbulkan kesan untuk mengharapkan uang.
Aku yang jelas kesal tetap memotret. Bagaimanapun, aku harus
profesional. Seusai acara, Andri berkata padaku,
“Makanya, lo jangan sok idealis segala. Udah tau mereka orang TV.
Tentulah yang dicari kualitas tayangan,”
“Ya gue tau,” kataku berargumen, “Tetapi, caranya salah. Pantas aja
pariwisata kita jalan di tempat,”
Semenjak kejadian itu, aku malah punya keinginan kuat untuk pindah.
Aku harus menjadi fotografer majalah berita. Sesuatu yang aku impi-impikan
semenjak SMA melalui gambar-gambar di majalah itu. Aku ingin menjadi bagian
dari majalah itu. Aku ingin sekali. Aku ingin memotret sesuai fakta. Memotret
sesuai nurani dan bukan pesanan. Oh, semoga saja mereka membuka lowongan.
Batinku merasa tersiksa di sini. Semoga.