Dalam beberapa jam ini Aceh sedang menjadi bahan pembicaraan. Kali ini pembicaraan bukan berkisar pada hukum syariah yang berlaku di salah satu provinsi di republik ini atau memori-memori pasca-tsunami yang masih begitu menghangat di benak seluruh warganya. Pembicaraan itu tertuju pada bendera yang ada pada provinsi berjuluk "serambi Mekkah" tersebut. Sejujurnya, lazim kalau tiap provinsi punya bendera juga lambang provinsi. Namun menjadi persoalan serius ketika bendera yang dijadikan bendera provinsi terkait dengan akar masa lalu separatisme di tanah rencong itu. Ini karena desain bendera Aceh mirip dengan desain bendera GAM. Sesuatu yang katakanlah sensitif, tidak bisa ditoleransi. Alasan pemilihan desain itu sendiri karena berdasarkan mayoritas rakyat Aceh yang menginginkan bendera itu haruslah mengandung "keacehan" yang kental dengan unsur-unsur islami. Meskipun ada yang mengatakan bahwa itu demi kepentingan politis Partai Aceh yang tersirat dalam Qanun Wali Nanggroe. Ini seperti yang diungkapkan masyarakat Gayo yang menolak bendera tersebut karena diskriminatif. Mereka berunjuk rasa sambil membentangkan bendera Kerajaan Linge, bendera Gayo, sebagai simbol perlawanan.
Berita di atas tadi menjadi sebuah pengesahan bahwa bendera, kain berbentuk persegi panjang lalu diikatkan pada sebuah tiang hingga berkibar-kibar, nampak menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Bendera memang sebuah kain. Namun kain itu bukanlah kain yang polos, tetapi kain yang telah diberi warna dan corak tertentu yang sesuai dengan amanat dan pesan yang ingin disampaikannya. Dari benderalah terbentuk suatu konstruksi visual yang menunjukkan bahwa suatu tempat, daerah, atau negara itu benar-benar ada. Maka, ketika di dalamnya termuat pesan-pesan yang tersirat itu lalu bendera itu diperlakukan tidak baik, amarah akan segera muncul sebab hal itu sama tidak menghormati alias melakukan penghinaan.
Kita tahu sewaktu masa-masa perang kemerdekaan, bendera Merah-Putih menjadi sesuatu yang sakral, tidak boleh dinodai. Sekali dinodai itu sama saja dengan melecehkan harga diri. Maka, ketika Inggris mengultimatum para pejuang dan pemuda Indonesia untuk meletakkan senjata yang dibarengi dengan meletakkan bendera Merah-Putih di tanah, seketika mereka marah, tidak menerima, dan langsung mengajak Inggris berperang yang dianggap melakukan pelecehan. Singkat kata, beberapa hari kemudian, terjadilah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Sebaliknya, bendera bisa menjadi sasaran kemarahan karena dianggap merepresentasikan negara yang mempunyai bendera tersebut. Ketika Amerika Serikat, si negara adidaya melakukan tindakan sewenang-wenang dengan menghakimi negara yang dianggap bersalah melalui invasi, Israel melakukan penyerangan ke Palestina, atau Malaysia mengklaim budaya Indonesia, maka yang pertama-tama menjadi sasaran adalah bendera. Bendera itu diinjak-injak, dirobek, ditimpuki, dan dibakar. Padahal, sekali lagi, jika melihat bentuk fisik, itu hanyalah sebuah kain.
Itulah bendera. Sebuah kain yang menyimpan sejuta pesan dan makna. Menjadi sebuah simbol hidup untuk menandai wilayah yang bersangkutan. Juga simbol perlawanan, terutama untuk gerakan kemerdekaan. Simbol yang sensitif, tetapi juga bisa menjadi simbol yang agung dan memancarkan kejayaan. Namun apa yang terjadi di Aceh belakangan jam ini, dengan dalih menyampaikan "keacehan", bisa dibilang tidak mengindahkan kesan sensitif yang ditimbulkan sehingga menjadi pembicaraan.
Berita di atas tadi menjadi sebuah pengesahan bahwa bendera, kain berbentuk persegi panjang lalu diikatkan pada sebuah tiang hingga berkibar-kibar, nampak menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Bendera memang sebuah kain. Namun kain itu bukanlah kain yang polos, tetapi kain yang telah diberi warna dan corak tertentu yang sesuai dengan amanat dan pesan yang ingin disampaikannya. Dari benderalah terbentuk suatu konstruksi visual yang menunjukkan bahwa suatu tempat, daerah, atau negara itu benar-benar ada. Maka, ketika di dalamnya termuat pesan-pesan yang tersirat itu lalu bendera itu diperlakukan tidak baik, amarah akan segera muncul sebab hal itu sama tidak menghormati alias melakukan penghinaan.
Kita tahu sewaktu masa-masa perang kemerdekaan, bendera Merah-Putih menjadi sesuatu yang sakral, tidak boleh dinodai. Sekali dinodai itu sama saja dengan melecehkan harga diri. Maka, ketika Inggris mengultimatum para pejuang dan pemuda Indonesia untuk meletakkan senjata yang dibarengi dengan meletakkan bendera Merah-Putih di tanah, seketika mereka marah, tidak menerima, dan langsung mengajak Inggris berperang yang dianggap melakukan pelecehan. Singkat kata, beberapa hari kemudian, terjadilah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Sebaliknya, bendera bisa menjadi sasaran kemarahan karena dianggap merepresentasikan negara yang mempunyai bendera tersebut. Ketika Amerika Serikat, si negara adidaya melakukan tindakan sewenang-wenang dengan menghakimi negara yang dianggap bersalah melalui invasi, Israel melakukan penyerangan ke Palestina, atau Malaysia mengklaim budaya Indonesia, maka yang pertama-tama menjadi sasaran adalah bendera. Bendera itu diinjak-injak, dirobek, ditimpuki, dan dibakar. Padahal, sekali lagi, jika melihat bentuk fisik, itu hanyalah sebuah kain.
Itulah bendera. Sebuah kain yang menyimpan sejuta pesan dan makna. Menjadi sebuah simbol hidup untuk menandai wilayah yang bersangkutan. Juga simbol perlawanan, terutama untuk gerakan kemerdekaan. Simbol yang sensitif, tetapi juga bisa menjadi simbol yang agung dan memancarkan kejayaan. Namun apa yang terjadi di Aceh belakangan jam ini, dengan dalih menyampaikan "keacehan", bisa dibilang tidak mengindahkan kesan sensitif yang ditimbulkan sehingga menjadi pembicaraan.
0 komentar:
Posting Komentar