Pages

Sabtu, 19 Oktober 2013

Selepas Senja di Stasiun Gondangdia

Pada senja yang terukir
Mencoba memberi salam perpisahan
Guratan merah pada langit itu nampak jelas
Ketika malam sudah merayap perlahan

Ini selepas senja
Menerawang mata pada rimba-rimba beton yang angkuh
Mencoba menikmati diri pada pancaran sinar
Membentuk rentetan cahaya yang tak begitu padu

Kita terduduk menghibur diri
Ular besi tak juga singgah
Angin berdesir pelan
Suara-suara dari mulut menjadi percuma

Rabu, 16 Oktober 2013

Promosi Kumcer Penunggu Puncak Ancala

Penulis: Indra Maulana, Sulung Hanum, Ageng Wuri, Acen Trisusanto, Dea Sihotang
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: 216 hlm
Penerbit: Bukuné
ISBN: 602-220-113-6

Price:
Sales price: Rp38000
Sales price without tax: Rp38000


Anda penggemar cerita horor? Suka petualangan berbau horor dengan latar belakang gunung dan pendakiannya. Buku kumpulan cerpen berjudul Penunggu Puncak Ancala ini bisa menjadi buku yang tepat untuk Anda. Buku ini ditulis oleh 5 orang, Indra Maulana, Sulung Hanum, Ageng Wuri, Acen Trisutanto, dan  Dea Sitohang. Salah satu penulisnya, Ageng Wuri, pernah bekerja menjadi wartawan di sebuah majalah mingguan nasional, Gatra.
Nah, berikut sinopsis dari buku kumpulan cerpen ini atau kumcer:


Aku dan teman-teman penasaran akan keberadaan komplek makam Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas. Sesampainya di sana, perasaanku jadi tidak enak. Ingin rasanya segera kembali ke tenda. Aku merasa… ada yang mengawasi.
Sesosok anak perempuan terlihat mengintip rombongan dari balik pohon. Siapa itu? Kulitnya hitam, bajunya lusuh, dan…. Ah, aku dibuatnya gemetaran, tapi kami saling berjanji untuk tetap diam jika menemukan keganjilan.
Perlahan, anak perempuan itu keluar dari persembunyiannya. Sepertinya tidak ada yang sadar bahwa kami tidak lagi bersepuluh, melainkan sebelas. Karena dia kini mengikuti kami di barisan paling belakang.
Dan…, selama berjalan… lehernya yang hampir putus juga ikut bergoyang….
***
Alam tidak hanya menyuguhkan keindahan, tapi juga menyimpan banyak misteri. Dan ini adalah kisah kami, para pencinta alam yang ingin mengalahkan rasa takut.
Dalam perjalanan mendaki gunung, menelusuri gua, menapaki hutan, kami bersentuhan dengan “mereka”—penghuni alam lain yang membuat nyali ciut. Namun, bagi para petualang, ketakutan harus dihadapi. Sebab, ke mana pun kami pergi, mereka akan selalu mengikuti….
Bagi yang berminat, bisa langsung membelinya di Gramedia atau toko-toko buku terdekat.

Minggu, 13 Oktober 2013

Sinosfer: Sama Belum Tentu Kompak

Tadi malam, suasana hati cukup senang sekali. Kenapa? Indonesia berhasil menang atas Korea Selatan 3-2. Kemenangan ini menempatkan Indonesia menjadi juara grup G dari 3 kali bertanding dan lolos ke Piala Asia U-19 di Myanmar tahun depan. Kemenangan yang cukup membanggakan. Bagaimana tidak? Lawan yang berhasil dikalahkan itu Korea Selatan, salah satu raksasa sepak bola Asia dan juara 12 kali Asia U-19. Jarang-jarang timnas, di level apa pun, bisa menang atas tim "negeri ginseng" itu. Apalagi kemenangan itu dilengkapi dengan permainan yang tidak mengenal kata inferior complex. Salut!

wikipedia.org


Nah, terkait kemenangan itu, saya pun memosting status di Facebook. Saya bilang bahwa Indonesia sudah mengalahkan dua negara sinosfer. Pertama Vietnam. Kedua Korea Selatan. Nah, kemudian saya harap kemenangan ini berlanjut ke timnas senior yang akan menghadapi negara sinosfer lainnya, Cina. Syaratnya sih satu, jangan inferior complex. Nah, berbicara tentang sinosfer, pasti ada yang bertanya-tanya apa itu sinosfer. Saya sendiri setelah memosting itu jadi tertarik menuliskannya di blog ini.

Kata 'sinosfer' saya dapatkan pertama kali ketika hendak menuliskan Vietnam di blog ini, salah satu negara ASEAN yang ternyata lebih kuat pengaruh Cina-nya. Sepintas memang jika melihat Vietnam, tampilan luar budaya Vietnam mengarah ke Cina atau kecina-cinaan. Dan setelah ditelusuri, rupanya "negeri Paman Ho" ini memang pernah, dalam sejarahnya, dikuasai Cina, selama beberapa abad. Dimulai dari masa Dinastin Han. Ketika lepas dari Cina pada 938, Vietnam tetap meneruskan pengaruh Cina itu pada tulisan, ritual, dan pakaiannya.

Lalu bagaimana dengan sinosfer dan pengertiannya? Sinosfer sendiri berasal dari bahasa Inggris, Sinosphere. Kata ini saya Indonesiakan supaya bisa mudah diucapkan dan disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia tentang serapan asing. Sinosfer yang berasal dari sinosphere itu sebenarnya merupakan penggabungan dua kata, sino dan atmosphere. Sino berarti Cina, sedangkan atmospehere suasana/ lingkungan. Harfiahnya berarti, suasana cina. Nah, maksud dari sinosfer sendiri adalah suatu tempat atau lingkungan yang secara kultural mayoritasnya adalah orang-orang Cina atau dalam pengertian lain, tempat yang dahulunya secara historis dan kultural pernah di bawah kekuasaan Cina.

Sinosfer sendiri mempunyai nama lain yang dikenal sebagai sinic world atau dunia Cina. Nama ini juga erat kaitannya dengan Asia Timur sebagai wilayah dari Sinosfer. Kebanyakan negara di Asia Timur merupakan negara Sinosfer. Hal ini karena pengaruh budaya Cina amat lekat dan kuat di negara-negara tersebut. Negara-negara itu, antara lain Cina, Hongkong, Makao atau Cina Raya, Taiwan, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, dan Vietnam. Pengaruh budaya itu terlihat dari tulisan, prinsip konfusianisme, buddhisme, pakaian, makanan, serta struktur sosial dan politik. Hal itu sesuai dengan pendapat Nishijma Sadao, ahli sinosfer dari Universitas Tokyo.


confusedlowai.com
Bagaimana sinosfer bisa terjadi dan berkembang? Hal ini tentu ada hubungannya dengan penyebaran agama Buddha dari Cina ke beberapa negara tetangganya yang kemudian dilanjutkan dengan invasi dan pendudukan. Korea dan Vietnam menjadi wilayah yang mempunyai sinosfer atau budaya Cina karena invasi dan pendudukan dinasti-dinasti Cina di kedua wilayah itu. Sedangkan Jepang, karena penyebaran Buddha yang dikonversi dengan shinto, serta banyaknya orang Jepang yang belajar tentang kesusasteraan di Cina. Dari sinilah, hal yang paling dapat diketahui  dengan mata telanjang, lahirlah tulisan-tulisan bahasa setempat namun ditulis dengan aksara Cina. Di Jepang muncul Kanji, Korea muncul Hanja dan Hangeul, Taiwan Zhuyin, dan Vietnam Han Nom. Dari kelimanya, hanya Vietnam yang tidak memakai lagi aksara itu semenjak dikuasainya negara di Indocina itu oleh Prancis sampai Perang Dunia ke-2. Gantinya, Vietnam memakai aksara Latin.

Dari segi ekonomi, hampir semua negara sinosfer merupakan negara-negara maju, kecuali Vietnam dan Korea Utara. Beberapa malah disebut sebagai macan asia. Sebut saja Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan satu negara di Selat Malaka, Singapura. Singapura bisa dianggap sebagai sinosfer mengingat mayoritas penduduk negeri kecil di antara Malaysia dan Indonesia ini beretnis Cina. Akan tetapi, sinosfer bukan secara geografis. Sebab itu tadi, Sinosfer utamanya berpusat di Asia Timur. Belakangan, Cina, sebagai pusat sinosfer, juga tengah menggeliat sebagai kekuatan ekonomi baru. Mereka semua tengah berusaha mengganti posisi Jepang, sebagai negara sinosfer yang lebih dahulu mapan pasca Perang Dunia ke-2.

Sayangnya, kemapanan ekonomi, kesamaan budaya, dan filosofi, tidak serta-merta membuat negara-negara sinosfer rukun, baik dalam politik dan kedaulatan. Sejarah beberapa negara sinosfer menunjukkan bahwa mereka sering berkonflik satu sama lain. Jepang, misalnya, sering berkonflik dengan Cina, terutama perang memperebutkan Kepulauan Ryukyu, perang saat terjadinya Perang Dunia ke-2 dengan menyerang dan menduduki Cina, dan terakhir memperebutkan Kepulauan Senkaku. Jepang malah nampak ketakutan melihat kekuatan Cina belakangan ini, terutama militernya hingga kemudian berupaya menghapus konstitusi yang tidak lagi mengharuskan armada militer Jepang tidak sebagai unsur bela diri demi menghadapi Cina. Tak hanya dengan Cina, Jepang juga terkadang berkonflik dengan Korea, jika dikaitkan dengan pendudukan "negeri matahari terbit" itu dari 1910 hingga 1945. Apalagi kunjungan para pejabat Jepang ke kuil Yasukuni menjelang peringatan Perang Dunia ke-2 yang selalu disambut protes besar-besaran di Korea dan Cina. Korea yang terbelah dua pun juga tersurut konflik. Pecahnya Perang Korea pada 1950 menjadi titik awal konflik antara utara dan selatan, akibat beda ideologi, sampai sekarang. Lalu Cina juga berkonflik dengan Taiwan soal status Taiwan dari Cina yang dianggap sebagai provinsi yang membangkang. Konflik ini terjadi akibat perang saudara yang berlangsung di Cina pasca-terusirnya Jepang dari Cina. Dan dengan Vietnam, Cina pun berkonflik mengenai Kepulauan Spratly. Kedua negara pun pasca Perang Dunia ke-2 pernah bertempur di perbatasan.

Nah, itulah sinosfer. Kondisi/suasana budaya yang memang berasal dan dipengaruhi oleh Cina. Kesamaan itu terkadang membuat kita sulit membedakan pada tampang, mana yang Cina, mana yang Jepang, mana yang Korea. Hanya ketika mendengar bahasanya dan melihat tulisannya, kita baru tahu. Meskipun sama, tak selamanya beberapa negara itu kompak jika berbenturan dengan kepentingan nasionalnya. Ya seperti Indonesia dan Malaysia saja.





Senin, 07 Oktober 2013

Sriwijaya

Sriwijaya. Nama itu sudah terdengar akrab di telinga saya, dan mungkin juga telinga sebagian orang di negeri ini. Yang saya tahu Sriwijaya adalah sebuah nama kerajaan di masa lalu ketika republik belum benar-benar ada. Sebuah kerajaan yang terletak di Palembang, Sumatera Selatan, begitu menurut keyakinan para ahli. Sebuah kerajaan yang menganut Buddha sebagai agama kerajaan. Dan sebuah kerajaan yang begitu termahsyur hingga Asia, bahkan ke Timur Tengah (Umayyah) sekalipun, yang mempunyai kekuasaan dari Semenanjung Melayu sampai Kalimantan. Wilayah-wilayah kekuasaan itu dijadikan pijakan pembentukan sebuah negara yang sekarang bernama Indonesia, selain Majapahit.

melayuonline.com


Warisan Sriwijaya dari masa lalu begitu banyak. Bahkan sampai ke India (Tentu kita ingat biara dan prasasti Nalanda). Nama Sriiwaya pun dijadikan sebuah gaya arsitektur bangunan candi, yang umumnya terbuat dari bata merah, serta patung yang terbuat dari emas. Begitulah jika kita menyebut candi-candi peninggalan Sriwijaya dari Biaro Bahal di Sumatera sampai Batujaya di Jawa. Di Thailand dan Malaysia juga menggunakan gaya ini. Apalagi seni patung yang bertahtakan emas mengingat Sumatera sebagai pusat Sriwijaya merupakan surga emas atau swarnadwipa. Dan menurut catatan para pedagang Arab, para petinggi Kerajaan Sriwijaya gemar membuang emas beberapa ton ke laut tiap harinya. Candi Borobudur yang termahsyur dan Angkor Wat di Kamboja juga identik dengan Sriwijaya. Politik kekerabatan dan perdagangan masa lalu menjadi penyebab adanya tali simpul persaudaraan antara Sumatera (Sriwijaya)-Jawa (Syailendra), dan Khmer (Kamboja). Bahkan antara Sriwijaya dan Syailendra beraliansi sehingga membentuk kekuatan besar di Nusantara dan Asia Tenggara. Khmer pun menjadi wilayah dari keduanya. Salah satu rajanya, Jayawarman II pun pernah tinggal di Jawa dan terpengaruh gaya Jawa Tengah ketika membangun kompleks Angkor. Di Sriwijaya pun, salah satu raja dari dinasti Syailendra, Balaputradewa menjadi raja di Sriwijaya, dan membawa gaya Jawa Tengah dalam banyak bidang.

Sriwijaya, sebuah nama yang sepertinya begitu sakral. Begitu suci. Sebuah kebanggaan yang tersemat, terutama bila dihubungkan dengan Provinsi Sumatera Selatan. Di sinilah nama Sriwijaya berkibar. Bukan hanya sebagai bentuk kerajaan di masa lalu juga. Melainkan sebagai nama untuk instansi-instansi lain. Sebut saja Universitas Sriwijaya atau Unsri, sebuah universitas negeri di Palembang, Sriwijaya Air, sebuah maskapai penerbangan nasional, Sriwijaya FC, sebuah klub sepak bola termahsyur di Palembang dan juga Indonesia, nama sebuah BUMN, Pupuk Sriwijaya, nama sebuah hotel, Hotel Sriwijaya,  nama sebuah instansi militer, Kodam Sriwijaya, nama sebuah koran lokal Sumatera Selatan, Sriwijaya Post, nama stasiun televisi tempatan, Sriwijaya TV,  nama sebuah lagu dan tarian, Gending Sriwijaya, yang kemudian dijadikan judul film, dan nama sebuah kompleks olahraga, Gelora Sriwijaya. Bahkan juga menjadi nama jalan, Jalan Sriwijaya. Nama jalan ini tak hanya di Palembang, tetapi juga di kota-kota besar di Jawa.

Dan bila melihat kenyataan di atas, nampak nama Sriwijaya begitu banyak tersemat daripada nama Majapahit, yang digadang sebagai kerajaan terbesar di Jawa dan Asia Tenggara. Apalagi dalam sebuah penelitian arkeologis, salah satu peninggalan Sriwijaya, kompleks Candi Muaro Jambi di tepian Sungai Batanghari merupakan kompleks candi terbesar di Indonesia. Melebihi Borobudur. Kebanggaan itu benar-benar masih terasa meskipun Sriwijaya sudahlah berakhir sejak beribu abad lalu. Seolah-olah Sriwijaya hidup kembali. Dan dari seorang Coedes-lah Sriwijaya benar-benar nama kerajaan bukan raja seperti yang ditimpakan Kern.



Rabu, 02 Oktober 2013

Tonle Sap, Warisan Keanekaragaman Hayati Kamboja

Jika di Indonesia mempunyai danau terbesar, Danau Toba, dan sudah cukup termashyur hingga ke seluruh jagad, Kamboja pun juga mempunyainya. Nama danau itu Tonle Sap. Danau ini terletak di Siem Reap, kota terbesar kedua di Kamboja setelah Phnomh Penh, ibu kota negara tersebut. Jaraknya dari kota sekira 19 kilometer, tepatnya berada di sebelah selatan. Tonle Sap merupakan danau terluas di Asia Tenggara. Jika kita mengarahkan mata ke peta Kamboja akan terlihat jelas sebuah cekungan besar.


Tonle Sap dalam bahasa Khmer berarti sungai besar air tawar. Penamaan itu merujuk pada keadaan danau yang merupakan campuran air sungai dan danau. Tak seperti danau-danau lainnya di muka bumi, Tonle Sap merupakan danau yang cukup unik. Pada musim penghujan panjang danau bisa mencapai 12.000 kilometer persegi dengan kedalaman air 12 meter. Sedangkan pada musim kemarau hanya mencapai 250 kilometer persegi dan kedalaman airnya hanya sedalam 1.50 meter. Jadi, dengan keadaan yang demikian ketika Anda berkunjung ke danau pada musim penghujan, Anda dapat menyaksikan keadaan air danau yang nampak menggenangi beberapa area. Seolah-olah pemandangan yang demikian memberikan kesan pada Anda sedang terjadi banjir.

 

Aliran danau berasal dari Sungai Tonle Sap yang mengarah pada Sungai Mekong, sungai terbesar di Asia Tenggara. Tonle Sap bukanlah sekedar danau. Ia merupakan rumah bagi beberapa masyarakat yang tinggal dan menggantungkan kehidupan di atas danau. Ada 1.115 keluarga yang tinggal di atas danau tersebut. Masyarakat ini melakukan kegiatan sehari-harinya di atas danau. Mulai dari mencari nafkah seperti memancing, menjaring dan membuat keramba ikan hingga mengolah lalu menjualnya ke daratan melalui perahu atau menjual di daerah apung tersebut. Rumah-rumah di atas danau itu dibuat terapung dan bisa dipindahkan sewaktu-waktu, terutama jika terjadi bencana alam. Keadaan terapung ini bisa kita samakan dengan di Banjarmasin yang mempunyai pasar apung.

Di Tonle Sap selain rumah terapung kita juga bisa menemukan penangkaran buaya siam. Namun buaya siam bukanlah spesies asli danau. Buaya ini hanya hidup di Sungai Mekong. Begitulah yang dikatakan kepada saya oleh seorang tukang perahu bermotor yang memandu kami dan menceritakan tentang Tonle Sap. Spesies asli danau ini adalah patin raksasa mekong dan merupakan spesies legendaris. Dikatakan legendaris sebab spesies ini merupakan spesies yang amat langka dan dilindungi. Dagingnya yang enak dan bernilai ratusan dolar menjadi penyebabnya hingga populasinya pun berkurang. Bahkan di danau ini pernah ditangkap ikan patin yang beratnya hampir mencapai 674 ponds. Berat itu melebihi berat normal yang dimiliki satwa air tersebut, yang berkisar antara 250-500 ponds dengan panjang antara 8 hingga 10 kaki.


Selain patin raksasa hidup juga beragam spesies lainnya. Kebanyakan dari spesies itu adalah burung-burung seperti pelikan dan elang. Perlu diketahui di Tonle Sap hidup 200 jenis burung dan ikan. Kebanyakan burung yang hidup merupakan jenis dari bangau. Apabila di suatu tempat masih terdapat bangau, itu berarti tempat tersebut masih bagus ekologinya. Bangau dalam sistem ekologi merupakan rantai penyeimbang makanan. Keadaan demikian masih terlihat di Tonle Sap. Tidak nampak sampah atau limbah. Danau itu masih terlihat bersih dan murni. Di beberapa bagian danau dibangun generator listrik untuk menyuplai listrik dari air danau tersebut. Tonle Sap bisa dibilang merupakan warisan berharga Kamboja sebab dari danau inilah situs sejarah Angkor terhidupi. Dan di sanalah keseimbangan lingkungan masih terjaga. Wajar jika pada 1997 UNESCO menetapkannya sebagai titik penting keanekaragaman hayati.


Selasa, 01 Oktober 2013

Antara Jakarta dan Kuala Lumpur

Ini seperti membandingkan bumi dan langit atau sebaliknya. Kedua kota merupakan ibu kota negara masing-masing. Yang satu ibu kota Indonesia. Satunya lagi Malaysia. Kedua-duanya pun boleh dibilang sama-sama kota terbesar dan bahkan superbesar, baik di negara masing-masing dan di Asia Tenggara. Bersanding dengan beberapa kota besar dunia seperti New York, Tokyo, London, dan Paris. Jakarta pun mendapat predikat sebagai ibu kota paling sibuk dan terbesar di Asia Tenggara dengan menggandeng Jabodetabeknya. Menjadikan kota seluas 740.3 kilometer persegi menempati urutan kedua di asia setelah Tokyo dan menempati peringkat ke-17 dunia dari 200 kota yang ada mengalahkan Bangkok, Kuala Lumpur, dan Beijing.

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/02/1360575572933526818.jpg
lifestyle.kompasiana.com

Akan tetapi "kebesaran" yang dimiliki Jakarta itu pada kenyatannya tidak sebanding dengan isi yang di dalamnya. Istilahnya, kuantiatif lebih mentereng daripada kualitatif. Beberapa masalah sering dan berulang kali mendera kota yang dahulunya merupakan kota kanal yang dibangun Belanda pada abad ke-17. Macet, banjir, polusi udara, permukiman padat penduduk, kemiskinan, kurangnya rasa aman seolah-olah tidak pernah lepas dari kota yang diinginkan Soekarno harus menjadi mercusuar di bumi selatan. Kenyataan-kenyataan yang demikian seringkali membuat beberapa penghuninya sering mengalami stres. Masalah pembangunan yang sering tidak menyertakan tata ruang yang sesuai membuat Jakarta nampak seperti sebuah kota yang diperuntukkan bagi rimba-rimba beton. Taman pun jarang. Kalaupun ada hanya beberapa yang bagus. Transportasi publik seringkali tidak berjalan begitu baik. Adanya TransJakarta yang diharapkan meminimalisasi kemacetan malah sebaliknya seiring dengan bertambahnya pengguna kendaraan bermotor. Kereta api listrik yang menjadi sarana para penglaju sering bermasalah dengan sinyal dan penumpang. Angkot-angkot yang jumlahnya ratusan sering menjadi tidak efektif dengan berhenti di jalan. Akibatnya, mudah ditebak macet. Belum lagi Sungai Ciliwung yang tiap hari semakin menghanyutkan sampah. Wacana pemindahan ibu kota serta alternatif transportasi seperti monorel acap terdengar. Sayang, wacana tinggal wacana jika bercampur dengan kepentingan politis.

Permasalahan yang membuat beberapa penghuninya seringkali menjadi masa bodoh lalu berlari ke luar Jakarta ketika akhir pekan tiba. Sayangnya, bukan ketenangan tetapi malah kepenatan yang didapat kala ke luar Jakarta.

www.mydestination.com


Bagaimana dengan Kuala Lumpur?
Ibu Kota Malaysia ini tampak santai dan adem-ayem saja seperti orang yang tidak sedang menghadapi banyak masalah. Dan itu memang betul. Kota seluas 243.65 kilometer persegi nampak sedang mengalami kejayaannya sebagai sebuah kota yang diharapkan para penduduknya. Bersih, rapi, tenang, bebas polusi, banyak ruang hijau, dan teratur. KL, demikian dipanggil bisa dibilang merupakan sebuah kota yang ramah bagi penghuni dan para penglaju di sekitarnya. Hal itu bisa terlihat ketika Anda menjejakkan kaki di Lapangan Terbang Antarabangsa Kuala Lumpur (KLIA)  yang terletak di Sepang, yang justru jauh dari Kuala Lumpur. Pola letak ini sebenarnya sama dengan letak Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang terletak di Cengkareng, yang berada di luar Jakarta. Namun, di sinilah pintarnya Malaysia. Bandara itu ditaruh di perkebunan kelapa sawit yang jelas-jelas tidak bermasalah ketika di atasnya dibangun bandara karena bukan daerah resapan air. Berbeda dengan Soekarno-Hatta yang dibangun di atas resapan air dan seringkali mengalami banjir pada jalur menuju bandara. Dan macet

Dari KLIA banyak tersedia bisa menuju KL seperti aerobas. Jalan dari bandara ke KL cukup lancar. Berbeda dengan di Jakarta. Ketika tiba KL, tepatnya di KL Sentral, sebuah pemandangan akan keteraturan nampak disuguhkan. Di situlah semua moda transportasi berkumpul. Baik itu taksi, kereta komuter, monorel, kereta bandara, dan bis. Semua terintegrasi dengan baik. Tidak ada angkot seperti mikrolet sama sekali. Yang ada bus setingkat TransJakarta. Bisa dipastikan macet tidak ada. Transportasi seperti komuter berjalan dengan optimal. Bisa dibilang tepat waktu sesuai yang dijadwalkan. Jarang mengalami gangguan sinyal.

Kota yang dibangun di pertemuan Sungai Klang dan Sungai Gombak oleh seorang kapitan Cina pada abad ke-19 itu, sama seperti Jakarta, juga mengalami macet. Namun, pada 1999, untuk mengurangi kemacetan, dibuatlah kota pendamping bernama Putrajaya. Beberapa instansi pun pindah ke kota baru hingga semua tak harus terpusat di KL. Kemudian untuk meningkatkan akses dan produktivitas warganya, dibuatlah monorel dan kereta bandara sehingga segala kemudahan akses pun tersedia di KL. Nampak apa-apa yang diwacanakan menjadi nyata karena tidak bercampur kepentingan politis di dalamnya. Semua untuk kepentingan umum.

Ya, Kuala Lumpur memang sedang di atas langit. Sedangkan Jakarta di bumi. Kuala Lumpur nampak sedang menikmati kemodernannya yang manusiawi. Melewati masa-masa yang menyulitkan. Jakarta pun sebaliknya. Masih berkutat dengan banyak masalah klasik alias itu-itu saja. Meski sekarang Jakarta dalam genggaman Jokowi, masih banyak lika-liku yang harus dihadapi dan dituntaskan. Pembangunan monorel dan subway seperti menemukan titik terang meski prosesnya berbelit-belit. Kanal Banjir Barat dan Timur sedang terus dioptimalisasi meski banjir terus menghantui. KL pun juga mengalami banjir tetapi kota ini nampak sigap dalam menghadapi bencana itu.

Pada dasarnya, ada baiknya, Jakarta belajar dari Kuala Lumpur. Tidak ada salahnya. Belajar bisa dari siapa saja, termasuk dari musuh sendiri. Karena Kuala Lumpur juga belajar dari Jakarta hingga akhirnya bisa melampaui. Kita pun berharap Jakarta seperti KL dan kalau perlu melampaui KL. Yang diperlukan sekarang ialah sikap pemangku kebijakan dalam mengatur tata ruang kota. Buat apa modern tetapi tidak menyejukkan penghuninya tetapi justru menakutkan penghuninya. Dan dari ibu kota lah, cermin sebuah negara terpampang.





 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran